Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Tuesday, October 29, 2013

Seorang Perempuan di Halaman Depan Sebuah Koran


PEREMPUAN itu berinisial WG. Begitu nama yang disemat situs Totabuan.Co, Kamis, 24 Oktober 2013, Pelaku Foto Syur Melapor ke Polres (http://totabuan.co/2013/10/24/pelaku-foto-syur-melapor-ke-polres/), menyebut wanita yang pose-pose tanpa busananya dipajang di halaman depan Harian Radar Bolmong edisi Selasa, 22 Oktober 2013.

Dikawani orangtuanya, dua sosok yang fotonya (kemudian diganti dengan ilustrasi) berulang kali saya cermati di berita unggahan Lintasbmr.Com, Penyebar Foto Syur Dilapor (http://lintasbmr.com/penyebar-foto-syur-dipolisikan/), perempuan berusia 31 tahun itu menyambangi Mapolres Bolmong. Melihat gambar mereka yang duduk pasrah dan pariah, dada saya bagai ditindih berbalok-balok es. Dingin, kebas, dan nyeri. Orang kecil dan papah selalu mudah jadi korban, bahkan oleh jurnalis yang semestinya menjadikan hati nuraninya kompas; dan media yang selayaknya memihak yang lemah dan korban.

Saya memang patah hati terhadap praktek jurnalistik koran yang mengklaim ‘’No. 1 di Bolmong Raya’’ itu. Dan patah hati itu paripurna jadi remuk menyimak Totabuanews.Com, Adegan Foto Syur di Kotamobagu Ditangani Polres Bolmong (http://totabuanews.com/2013/10/25/adegan-foto-syur-di-kotamobagu-ditangani-polres-bolmong/), tentang bagaimana derita WG setelah peristiwa di ruang pribadi dan tertutupnya dipampang jadi lahapan orang banyak.

Perempuan itu, ibu rumah tangga biasa, dan kedua orangtuanya, saya yakini telah mengumpulkan seluruh keberanian yang tersisa sebelum menyeret kaki, badan, dan pikiran berkabut malu ke Mapolres Bolmong. Aib yang sebelumnya bertebaran kemudian dikumpul, dirajut, dan dipakukan Radar Bolmong, bahkan bagi seorang serdadu paling berani pun, sungguh menciutkan nyali. Tak ada lagi yang mampu menghapus foto seronoknya dari ingatan para penyaksinya. Tidak juga permintaan maaf dari koran yang jadi bagian dari raksasa penerbitan negeri ini, yang memang tak bakal dengan rela dinyatakan.

Sungguh mengerikan kesombongan pewarta dan media yang tak lagi memandu prakteknya dengan aturan, standar, norma, dan etika jurnalistik. Mereka mampu dan berhak seolah-olah berada di atas semua yang semestinya di hormati. Tak ada yang keliru, sebab merekalah yang mengatur apa yang jadi pikiran dan persepsi orang banyak. Dan bahwa yang terdampak, pelaku atau sekadar korban, dianggap risiko individu masyarakat modern yang mudah berjaya dan jatuh hanya oleh 60 detik gambar atau berita di televisi dan radio; atau sekolom-dua rangkaian kalimat di majalah, koran, situs berita, dan media sosial.

Ya, Radar Bolmong adalah media yang seperti itu. Yang telah memalu dan menyempurnakan kehancuran perempuan berinisial WG, orangtua, anak-anak, dan keluarganya.

Bagaimanakah kita merekonstruksi badai yang menggelora di jantung dan pikiran anak-beranak itu di hadapan penyidik Polres Bolmong tatkala mereka menutur laranya? Seperti apakah luka hati orangtua yang disayat kenyataan putrinya dikembalikan sang suami karena meloloskan busana di hadapan lelaki lain; yang dimamah-biak pula oleh para pembaca koran? Cucu dan anak mereka tak lagi punya muka dan nyali menginjakkan kaki di sekolah sebab wajah terujung ibunya sudah jadi konsumsi cibir dan bisik-bisik.

Di tiap perbenturan peradaban, perang, dan peristiwa, korban pertama yang jatuh selalu perempuan dan anak-anak. Televisi, radio, surat kabar, dan situs berita merajam kita dengan duka mereka. Gambar-gambar perempuan dan anak-anak sekurus lidi yang merenggang nyawa disapu kelaparan di ceruk sebuah negara di Afrika. Perempuan dan anak-anak yang dianiaya dan dirajam di tengah konflik perang Afganistan atau Palestina. Pula perempuan dan anak-anak yang terlunta-lunta dari kampung yang dihantam bencana, ghetto kumuh, hingga jalanan gemerlap neon metropolis.

Perempuan berinisial WG, yang foto-foto syur-nya disiarkan vulgar di halaman depan sebuah koran yang merasa lebih terhormat dan pantas angkuh, adalah korban. Anak-anak dan keluarganya adalah korban ikutan sebab media tak lagi memilihan mana yang publik dan private. Yang mana demi pengetahuan dan pembelajaran umum dan sekadar syahwat sensasional.

Ketika satu bangunan keluarga runtuh dengan alasan apapun --cinta terlampau cepat berganti benci atau sebab ‘’rumput tetangga lebih hijau dari halaman sendiri’’, siar media, ada masa depan lain yang dipertaruhkan. Orang-orang pintar, pakar, dan para bijak angkat suara. Bicara tentang akar-soal, musabab, resep menangkal, atau menyembuhkan yang memar, bengkok, luka, retak, dan patah. Kata mereka: Masa depan itu, anak-anak yang diimaji dan doanya tak terpinta berkayuh di biduk retak, jangan pernah dibiarkan tenggelam. Sebab peradaban sesungguhnya dibangun di atas reruntuhan demi reruntuhan oleh mereka yang bernurani setelah yang barbar tersungkur dan dikubur.

Di manakah peradaban itu di Mongondow ketika anak-anak yang semestinya ceria menyongsong pagi, bunggah berlarian ke sekolah, menyerukkan wajah dan tubuh ke sudut tergelap dan sepi? Di sesemakan yang sempurna menolak hingga hanya selarik cahaya, di mana telinga tak lagi menangkap sesuara pun kata-kata, ‘’Ibumukah perempuan yang dibakar nafsu di halaman depan koran yang aku lihat?’’

Suara itu adalah iblis yang menghantui seumur hidup, bahkan sekali pun dia tumbuh dewasa dan mengasingkan diri ke belantara terjauh tanpa jejak dan bau makluk berjalan. Waktu memang menyembuhkan borok yang membusuk di otak dan hatinya. Tapi ada parut membekas, yang tak sesiapa pun (tidak juga LSM perempuan dan anak, Komnas, atau orang-orang ber-uniform penuh tanda dan lambang) kuasa menghapus.

Perempuan itu, yang diinisiali WG dan orangtuanya adalah sampan retak yang mendampar di Mapolres Bolmong. Mereka tak datang demi menegakkan harga diri. Dari lalu-lalang kabar yang saya baca, ketiganya hadir karena kesah dan putus asa. Pada siapa lagi remah-remah modal sosial yang tersisa diminta perlindungan, kecuali otoritas yang wajib menjaga harkat setiap warga negara, sekali pun itu puing-puing aib dan malu?

Hari-hari ini saya kerap merenungi dan merindukan Mongondow yang bertahun-tahun lampau saya kenal dan mesrai. Mongondow dengan masyarakat yang mototompia’an. Tempat di mana ‘’memanusiakan manusia lain’’ mengaliri nadi dan jantung orang-orangnya, tanpa pamflet dan poster kampanye. Mongondow yang menutup rapat aib di ruang pribadi sembari menghardik mereka yang masyuk menggunjingkan sensasi. Mongondow yang adatnya tanpa pandang bulu adil menimbang siapa korban dan pelaku yang mencoreng-coreng nilai-nilai luhurnya.

Saya kangen pada Mongondow yang tak membuta-tuli bahwa ada yang sakit dan kronis di tengah mereka.***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:
LSM: Lembaga Swadaya Masyarakat; Komnas: Komisi Nasional; Bolmong: Bolaang Mongondow; dan Mapolres: Markas Kepolisian Resort.