Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Monday, October 21, 2013

Selamat Pemred (Wapemred?) Firman! Target ‘’Cash In’’ Menanti Anda


SEJAK Jumat, 18 Oktober 2013, informasi itu berturutan datang dengan versi agak berbeda satu dengan yang  lain.

Kabar versi pertama dilayangkan seorang sobat wartawan di Kotamobagu, bahwa per Kamis, 17 Oktober 2013, wartawan Harian MP Biro Bolmong, Firman Toboleu, ditugaskan ke Radar Bolmong di posisi Wapemred. Dengan demikian koran ini punya dua Wapemred, masing-masing Firman dan Yokman Muhaling.

Versi kedua yang disampaikan beberapa kawan (juga berprofesi jurnalis), menyebutkan Firman dipindahkan ke Radar Bolmong dengan jabatan Pemred, menggantikan Budi Siswanto yang dipromosi menjadi GM. Di atas mereka berdua ada Taufik Adam sebagai Direktur sekaligus ‘’orang nomor satu yang menjalankan operasi sehari-hari’’ karena Presdir, M Tauhid Arief, masih menjadi ‘’komandan tertinggi’’ anak penerbitan Grup MP di Malut.

Mana yang paling benar di antara dua versi informasi itu? Menurut salah seorang informan, ‘’Tidak penting apakah Firman masuk sebagai Wapemred selama dua-tiga minggu, dua-tiga bulan, kemudian dilantik jadi Pemred atau langsung resmi sebagai Pemred. Yang sudah confirm dia dipindah ke Radar Bolmong. Tentu pemindahan itu tidak mungkin hanya ke posisi Redpel atau Redaktur.’’

Penjelasan yang sangat masuk akal. Lagipula apa urusan saya dengan perubahan di manajemen keredaksian Radar Bolmong? Secara pribadi saya mengenal Firman sebagai wartawan yang tidak riuh, humble, dan banyak senyum. Dia tipe pewarta yang bertekun dengan pekerjaan sembari mengambil jarak dari hiruk-pikuk khas jurnalis Indonesia umumnya yang senang mempertontonkan betapa penting kehadiran mereka di tengah publik.

Pengetahuan dan penilaian saya terhadap Firman mungkin bias karena kami memang tidak pernah bergaul secara intens, dibanding misalnya hubungan saya dengan Tauhid Arief yang berakar hingga 20 tahun lampau ketika setiap malam saling memberi dukungan di ‘’balapan’’ deadline zaman MP masih berkantor di Tikala. Saya tak dapat menggambarkan Firman sebaik melukiskan bagaimana karakter Tauhid yang selalu ceria tetapi kerap kelewat santai. Namun, di antara banyak perbedaan di antara mereka, yang pasti saya tak meragukan keduanya adalah jurnalis yang baik, dengan cara, gaya, dan ekspresi masing-masing.

Bahkan Firman lebih unggul dalam satu aspek: Di banyak pertemuan dengannya, saya melihat dia adalah observer yang handal. Seorang pencermat yang sekali pun tak bersuara, kehadirannya terasa kental. Andai Grup MP menskenariokan Firman sebagai pengganti Budi Siswanto, menurut hemat saya dia bakal menjadi role model dan motivator yang diterima semua pihak.

Masalahnya, Firman (dalam posisi Pemred atau Wapemred) menapak redaksi Radar Bolmong saat –diakui atau tidak-- koran ini tengah diguncang krisis. Dua bulan terakhir sejumlah wartawannya mengundurkan diri atau dipaksa mundur; beberapa dinon-aktifkan (salah satunya bahkan dua kali menulis di blog ini), serta yang terakhir saya mendengar lebih dari empat pewarta juga bakal mengajukan pengunduran diri di pekan-pekan depan. Secara spekulatif bahkan diprediksi, dengan derasnya arus keluar wartawan, bukan tak mungkin redaksi koran ini bakal hanya diperkuat lima-enam wartawan dan dua calon reporter.

Minimnya jurnalis yang memperkuat redaksi bukan masalah di jangka pendek. Sebagai bagian dari Grup MP, Radar Bolmong tidak akan kering berita karena disuplai dari induk dan sesama anak perusahaan yang lain, khususnya yang juga menempatkan wartawan di BMR. Paling-paling yang berlangganan Radar Bolmong sekaligus MP, Posko Manado atau Radar Manado, mesti menahan kecewa karena telah merogoh kantong untuk dua-tiga produk tapi pada dasarnya cuma menerima satu.

Di jangka menengah dan panjang keterbatasan SDM justru lebih mengguncang pencapaian target cash in. Celakanya, manajemen Radar Bolmong baru menerima ‘’titah’’ bahwa di 2014 mendatang pemasukan dari ‘’bbi’’, ‘’bbk’’, atau advertorial dinaikkan 30 persen dibanding 2013. Selain target cash in, para dewa di jajaran puncak ‘’katanya’’ juga menetapkan koran yang dicetak dan terjual harus mencapai jumlah paling sedikit 5.000 eksemplar per hari.

Minimnya jumlah wartawan menyebabkan pemasukan cash in melorot tajam. 10 jurnalis dengan (misal) kewajiban Rp 10 juta per bulan, membawa masuk dana segar ke kas perusahaan sebesar Rp 100 juta. Dengan hanya 5 wartawan, setiap orang harus menanggung Rp 20 per bulan supaya jumlah yang sama tetap tercapai. Dengan menaikkan target lebih besar 30 persen, maka minimal beban setiap wartawan bertambah tak kurang dari Rp 6 juta. Bagaimana kalau targetnya Rp 30 juta per bulan? Firman Toboleu pasti mulai berkeringat dingin ketika menghitung-hitung pikulan yang dibebankan ke pundaknya.

Bagaimana dengan oplah? Menjual koran sama sekali berbeda dengan menjajakan panada. Koran yang diburu pembaca adalah yang kredibel dan isinya memang dibutuhkan. Produk kebijakan dan praktek jurnalistik Radar Bolmong yang compang-camping bukanlah pilihan yang mengundang selera. Tantangan untuk Firman adalah: Meniadakan cash in agar berita dan tulisan yang dipublikasi Radar Bolmong berkualitas top dan karenanya diperlukan pembacanya; atau memburu cash in dan wassalam dengan oplah. Konsumen media yang kian cepat bertambah cerdas dan selektif hanya akan melempar koran ‘’bbi’’, ‘’bbk’’, atau advertorial ke tong sampah.

Pembaca, sebagian besar Anda mungkin tidak ingat atau tidak tahu beberapa tahun silam pernah terbit Tabloid Totabuan yang isinya khusus ditujukan dan tentang Mongondow. Umur tabloid ini tidak panjang, tetapi melahirkan beberapa jurnalis yang ada di antaranya kemudian bergabung ke Harian MP. Percaya atau tidak, oplah riil (yang terjual langganan dan eceran) Totabuan ternyata lebih besar hampir dua kali dari oplah Radar Bolmong saat ini.

Dari semua aspek, Totabuan juga jauh di atas kelas Radar Bolmong. Media ini benar-benar melarang pewartanya menerima apapun dari sumber berita, semua yang dipublikasi mutlak memenuhi standar kerja jurnalistik, serta redaksi dan usaha diberi pembatas yang tak dapat ditawar. Nyatanya Totabuan menguntungkan. Buktinya, hanya dalam beberapa bulan redaksi dan usaha punya mobil (bekas) operasional yang diberi nama Kumbai oleh para pengelola media ini.

Andai sedemikian prospektif-nya, mengapa tabloid itu berumur pendek? Jawabannya, Totabuan ditutup bukan karena rugi, ditinggal pengelolanya, atau sebab kehilangan pembaca, melainkan faktor lain yang bila dikenang hingga kini selalu membuat hati eks orang-orangnya meleleh.

Dengan dukungan membesarkan semangat Firman Toboleu, saya berharap dia mampu menjadi ‘’kapten’’ yang diharapkan jajaran redaksi, konsumen Radar Bolmong, dan masyarakat BMR umumnya. Semoga promosi itu bukan hukuman, tetapi benar-benar apresiasi terhadap profesionalisme, ketrampilan, dan kecakapannya sebagai jurnalis. Akan halnya penunjukkan Budi Siswanto di posisi GM, hanya menunjukkan bahwa semakin ngawur dan tidak kompetennya seseorang di Grup MP, sepanjang dia patuh pada ‘’para dewa’’ dan piawai jadi mesin uang, selalu tersedia jabatan lebih tinggi dan wewenang yang kian besar.***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

bbi: Berita Berbayar Iklan; bbk: Berita Berbayar Koran; BMR: Bolaang Mongondow Raya; GM: General Manager; Malut: Maluku Utara; MP: Manado Post; Pemred: Pemimpin Redaksi; Presdir: Presiden Direktur; Redpel: Redaktur Pelaksana; SDM: Sumber Daya Manusia; dan Wapemred: Wakil Pemimpin Redaksi.