Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Sunday, May 14, 2017

Politik BMR 2018-2019 dan Para Fakir Etika

KEMENANGAN pasangan Yasti Soepredjo Mokoagow-Yanny Ronny Tuuk di Pilkada Bolmong 2017 menentukan hasil Pilwako KK 2018. Nujum ini kerap saya dengar beberapa saat setelah Yasti-Yanny ditetapkan sebagai Cabup-Cawabup menantang pasangan (petahana) Salihi Bue Mokodongan-Jefri Tumelap.

Ramalan itu bagai déjà vu. Tatkala (petahana) Sehan Landjar-Rusli Gumalangit mengungguli Sam Sachrul Mamonto-Medy Lensun di Pilkada Boltim 2016, umum di BMR hampir serentak menyepakati: Eyang akan memainkan peran penting di Pilkada Bolmong. Apalagi dia kemudian terpilih sebagai Ketua DPW PAN Sulut (dan Bupati-Wabup Bolmong 2011-2016 tak lain pasangan yang diusung PAN, PDIP, PKS, dan PDS).

Kelompok yang terang-terangan mendukung dan mengagumi Eyang bahkan sangat optimis pengaruh politiknya juga bakal sangat menentukan di Pilwako KK 2018. Pokoknya, pemenang Pilkada Boltim 2016—yang dilaksanakan bersamaan dengan Pilkada Bolsel—seolah menjadi kartu ace peta politik BMR di tahun-tahun setelahnya. Terlebih, walau menang dengan selisih suara cukup besar dari penantangnya, petahana di Bolsel, Herson Mayulu, seperti berada di lingkar kedua isu utama politik BMR.

Fakta Pilkada Bolmong 2017 mengubah peta itu, sekaligus memperjelas polarisasi politik Parpol dan para politikus di BMR. Sehan Landjar terpilih dari PAN lalu memimpin partai ini di Sulut. Herson Mayulu adalah Ketua DPC PDIP Bolsel. Yasti adalah pengurus DPP PAN dan anggota DPR RI dari partai ini; Yanny tak lain Ketua DPC PDIP Bolmong; dan keduanya diusung PDIP, PAN, dan PKS.

Ringkasnya, Pilkada Bolmong mengkongklusi, saat ini pertarungan politik BMR dapat dibagi menjadi setidaknya empat kelompok: (1) Yasti dan para politikus yang sejalan dengan visi dan ide-idenya seperti Walikota KK, Tatong Bara, dan Wabup Bolmong Yanny Tuuk. (2) Sehan Landjar dan politikus seperti Rusdi Gumalangit (Ketua DPD PAN Boltim) dan Djainuddin Damopolii (Ketua DPD PAN KK). (3) Herson Mayulu yang relatif berdiri sendiri tetapi cenderung lebih sejalan dengan kelompok Yasti Mokoagow. Dan (4) Bupati Bolmut, Depri Pontoh, yang tampaknya tidak punya masalah dan konflik politik dengan tiga kelompok lainnya. Depri juga menunjukkan dia tidak memiliki ambisi dan minat memainkan peran berlebih di jagad politik BMR. Dia sungguh berkonsentrasi di Bolmut.

PG dan tokoh-tokohnya seperti Marlina Moha-Siahaan (Ketua PG Bolmong), Aditya Moha Siahaan (anggota DPR RI dari PG Sulut), dan Djelantik Mokodompit (Ketua PG KK) yang sebelumnya berada di garda depan, untuk sementara harus puas di lingkar luar mainstream. Guncangan internal PG yang secara nasional belum jua menemukan keseimbangan serta problem individu yang menjerat politikusnya, membuat nilai tawar mereka memudar di tengah masyarakat Mongondow.

Di tengah gambaran besar itu, dinamika lain yang mempermarak pengelompokan politik dan para politikus di BMR adalah adanya perubahan afiliasi, misalnya bergabungnya anggota DPD RI yang menjadikan Mongondow sebagai basis konstituen, Benny Rhamdani, ke Hanura. Sejumlah orang, terutama para pembual di warung-warung kopi sudah menyiarkan spekulasi, posisi baru Benny ini bakal membawa dampak penting terhadap politik BMR.

Saya mengenal dekat Benny Rhamdani dan selalu mudah takjub dengan manuver politiknya. Dengan sungguh menghormati prestasi politiknya yang unik sejak pertama kali dia terpilih sebagai anggota DPRD Sulut dari PDIP, menurut hemat saya, di Hanura—yang sama sekali berbeda gaya dan praktek politik dibanding PDIP yang membesarnya dia—Benny akan menemukan kesulitan luar biasa. Tradisi politiknya yang cenderung keras (bahkan seringkali ‘’brutal’’) memerlukan penyesuaian lama sebelum pas dengan nafas Hanura.

Jadi, bagaimana peta politik dan politikus BMR di 2018? Mengutip Ketua Umum DPP PAN, Zulkifli Hasan, zonabmr.com, Selasa, 17 Januari 2017 (https://www.zonabmr.com/pilwako-2018-ketum-pan-tegaskan-kembali-usung-tatong-bara/) memastikan, partai ini tetap mengusung Tatong Bara di Pilwako KK 2018. Kemenangan Yasti-Yanny di Pilkada Bolmong mempertegas tiket yang ada di genggaman Tatong tak bakal terusik, kecuali ada hal sangat luar biasa yang terjadi. Yasti dan gerbongnya membuktikan, perencanaan dan eksekusi politik yang rapi mampu meredam pengaruh Sehan Landjar dan kelompoknya serta nostalgia dominasi PG (Marlina-Aditya Moha-Djelantik).

Tersebab titik pandang utama politik BMR terpaku pada rivalitas tiga kelompok politik (Yasti-Sehan Landjar-Herson Mayulu), yang paling diuntungkan adalah Depri Pontoh. Sebagai petahana di Pilkada Bolmut 2018 (yang dilaksanakan serentak dengan Pilwako KK) dia bakal mudah mendapatkan dukungan. Posisi aman Tatong dan Depri itu disertai keawasan siapa tokoh yang dipilih sebagai pendamping. Salah memilih Cawawali/Cawabup, Tatong dan Depri bakal berhadapan dengan gangguan yang potensial mengubah lanskap politik BMR saat ini.

Siapa calon wakil Tatong Bara di Pilwako 2018? Demi keutuhan PAN, pilihan rasionalnya tetap Djainuddin Damopolii. Tapi publik sudah mafhum, TB-Djadi telah tamat sejak usai tahun pertama kepemimpinan mereka. Djainuddin bahkan belakangan terang-terangan mengisyaratkan dia akan maju sebagai kandidat Cawali. Maka, di antara sejumlah banyak nama yang beredar, menurut hemat saya, yang paling mendekati ideal dan masuk akal (mengingat kedekatan, prestasi, serta persepsi publik KK) adalah mengandeng Ketua KPU KK (yang dinobatkan sebagai salah satu KPU terbaik di Indonesia) saat ini, Nayodo Kurniawan.

Dari sisi netralitas politik, Nayodo mudah diterima oleh parpol mana pun yang bakal berkoalisi dengan Tatong (PAN). Hubungannya dengan para ‘’tokoh pemain utama’’ seperti Yasti-Sehan-Harson pun relatif baik.  Satu-satunya halangan untuk pasangan ini jika Djainuddin Damopolii, entah bagaimana, berhasil mendapatkan tiket sebagai Cawali dan mampu menggandeng pasangan yang lebih kuat dari Nayodo Kurniawan—yang jelas sulit ditemukan di BMR. Bahwa ada spekulasi pasangan Djelantik Mokodompit-Djainuddin Damopolii cukup ampuh menghadang Tatong Bara dan siapapun Cawawali-nya, menurut pendapat saya, walau tak mustahil (mengingat politik adalah kompromi) tak mudah diwujudkan; sebagaimana gosip Djainuddin Damopilii-Aditya Moha (di atas kertas lebih lemah) yang lebih masuk akal tetapi berarti mengesampingan Djelantik sebagai Ketua PG KK.

Akan halnya Depri Pontoh, sekali lagi dia diuntungkan. Tidak ada ruginya dia tetap bersama Suriansyah Korompot atau mengganti pasangan. Dinamika politik Bolmut yang teduh dan tenteram, cukup menjadi jaminan penerimaan masyarakat terhadap gaya dan pendekatan kepemimpinannya.

Namun, sesungguhnya di mana titik keseimbangan politik di BMR di (minimal) tujuh tahun mendatang? Dari amatan saya, komposisi paling ideal dimulai dari kompromi-kompromi di Pilwako KK dan Pilkada Bolmut.

Pertama, koalisi PAN-PDIP dan beberapa partai sejalan mengusung Tatong Bara-Nayodo Kurniawan di Pilwako. Hal yang sama dilakukan di Pilkada Bolmut dengan kesepakatan yang fair siapa yang diusung sebagai Cawabup—yang sejauh ini masih menunjukkan peluang terbesar tetap Suriansyah.

Dan kedua, sebagai kompromi, Djainuddin Damopolii disepakati diusung ke DPRD Sulut pada 2019; Sehan Landjar dan Herson Mayulu ke DPR RI; dan Muslimah Mongilong (anggota DPRD Sulut mewakili Bolmong dari PDIP) disiapkan menjadi Wabup Bolsel mendampingi Iskandar Kamaru ketika Herson Mayulu menanggalkan jabatannya.

Di manakah posisi tokoh-tokoh lain seperti Aditya Moha dan Benny Rhamdani (yang pasti juga berkeinginan ke DPR RI setelah bergabung dengan Hanura)? Mohon maaf, saya tidak bermaksud mengecilkan keduanya, tetapi pasar politik saat ini jelas lebih berpihak pada Sehan Landjar dan Herson Mayulu jika keduanya serius berniat ke DPR RI pada 2019. Konstituan Aditya Moha adalah irisan identik dengan ‘’penggemar’’ Sehan Landjar; sedang lapangan politik Benny Rhamdani yang selama ini bertumpuh pada pemilih PDIP, pasti cenderung loyal pada Herson Mayulu yang 100% merepresentasikan partai ini.

Sebagai duga-duga belaka, idealisasi itu belum tentu masuk akal dan ‘’dibeli’’ oleh parpol dan para politikus utamanya di BMR. Apalagi jika para tokoh—setidaknya yang saya sebutkan di tulisan ini—kemudian asyik merasa ‘’besar’’, lebih pantas dari yang lain, dan enggan berkompromi; lalu mulai mengatraksi umum dengan pendekatan klasik dan kuno politik di BMR: menggunakan aktivis, LSM, wartawan dan media, dan bahkan ASN mengkampanyekan diri mereka dengan segala cara.

Delusi ‘’tokoh’’ ala aktivis, LSM, wartawan dan media, dan (bahkan) ASN yang dipraktikkan di BMR memang efektif di masa lalu. Makin ke belakang, daya pukau mereka (yang biasanya mudah ditemukan di warung-warung kopi) kehilangan tuah. Publik sudah memahami, keramaian yang mereka buat tidak lebih dari sekadar kepentingan mendapatkan keuntungan sesaat. Soldier of furtune. Para tentara bayaran yang mudah berpindah pihak, tergantung seberapa royal tokoh yang diusung mengucurkan rupiah. Para pembual yang modal utamanya cuma omong kosong, tapi fasih dan piawai membaca kebodohan tokoh publik dan politikus yang akan diperdaya.

Etika (politik-sosial-budaya) yang mereka anut adalah kompensasi. Entah itu uang, posisi, atau kemudahan yang menguntungkan secara ekonomi. Minimal kopi gratis dan uang jajan memadai. Mereka, boleh dibilang, fakir etika dalam pengertian utuh, yang sebenarnya tidak memberikan dampak apa-apa kecuali keriuhan di tempat-tempat berbual, media sosial, serta beberapa situs berita abal-abal dan terbitan bertendensi kuning.

Dengan demikian, terserah para pemain utama publik dan politik BMR itu, apakah mereka memilih akal sehat dan kompromi; atau delusi dan kepercayaan seolah-olah yang akhirnya berujung pada zero sum game politik.***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

ASN: Aparatur Sipil Negara; BMR: Bolaang Mongondow Raya; Bolmong: Bolaang Mongondow; Bolmut: Bolaang Mongondow Utara; Bolsel: Bolaang Mongondow Selatan; Boltim: Bolaang Mongondow Timur; Cabup: Calon Bupati; Cawabup: Calon Wakil Bupati; Cawali: Calon Walikota; Cawawali: Calon Wakil Walikota; Djadi: Djainuddin Damopolii; DPC: Dewan Pimpinan Cabang; DPD: Dewan Pimpinan Daerah/Dewan Perwakilan Daerah; DPP: Dewan Pimpinan Pusat; DPR: Dewan Perwakilan Rakyat; DPRD: Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; DPW: Dewan Pimpinan Wilayah; Eyang: Sehan Landjar; Hanura: Hati Nurani Rakyat; KK: Kota Kotamobagu; KPU: Komisi Pemilihan Umum; LSM: Lembaga Swadaya Masyarakat; PAN: Partai Amanat Nasional; Parpol: Partai Politik; PDIP: Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan; PDS: Partai Damai Sejahtera; PG: Partai Golkar; PKS: Partai Keadilan Sejahtera; Pilkada: Pemilihan Kepala Daerah; Pilwako: Pemilihan Walikota/Wakil Walikota; RI: Republik Indonesia; Sulut: Sulawesi Utara; TB: Tatong Bara; dan Wabup: Wakil Bupati.

Saturday, May 13, 2017

Bupati Bolsel dan Pikiran-pikiran Sekadar Arang

PERSAHUTAN itu berlangsung di facebook. Dari rekaman lalu-lintas komentar yang saya terima sepanjang Rabu hingga Sabtu (10-13 Mei 2017), saya melihat ada Bupati Bolsel, Herson Mayulu; ASN KK, Sehan Ambaru dan Hendra Makalalag; mahasiswa S2 asal Bolsel yang sedang kuliah di IPB, Rinto Ladja; entah aktivis/karyawan swasta/wartawan (saya sulit mendefinisikan), Ando Lobud; dan beberapa lagi yang tampaknya mengira diri mereka selebriti media sosial top, setidaknya di BMR.

Mudah-mudahan tak silap. Tapi muasal saling lempar komentar yang lalu (menurut hemat saya) berlanjut dengan insinuasi dan olok-olok terbuka terhadap Bupati Bolsel, adalah perkara bea siswa/bantuan pendidikan untuk sang mahasiswa S2 Bio Fisika IPB. Merunut unggahan lain yang saya baca, dari Hendra Makalalag, mahasiswa ini orang hebat. Penelitiannya, arang aktif dari batok kelapa dan tepung pisang goroho, adalah tesis dasyat yang membuat penulisnya diharapkan bisa mengangkat derajat kehidupan rakyat (di Bolsel), sekarang dan masa depan.

Mari kita telisik akar masalahnya, yakni ‘’bantuan’’ Pemda untuk calon (Insya Allah) pakar bio fisika yang ahli arang aktif batok kelapa dan tepung pisang goroho itu. Apakah ini urusan maha penting dan bikin wow? Saya tidak kenal Rinto Ladja dan sungguh mengapresiasi pencapaiannya, apapun itu. Tapi, maaf saja, ilmu yang dia tekuni (setidaknya bagi kami yang cukup terpapar dan berhubungan dengan segala ilmu yang aneh, ajaib, dan—beberapa—sungguh cetar), sejatinya hal biasa dan umum saja. Sebegitu pula dengan arang aktif batok kelapa dan tepung goroho.

Lebih 25 tahun lampau, ketika masih anak jalanan yang nyambi kuliah, saya mengenal arang aktif batok kelapa karena Almarhum Haji Aris Patangari. Nama ini, bagi aktivis HMI di Sulut, pasti abadi. Dia, alumni HMI yang juga dikenal sebagai pengusaha Muslim dermawan, bertahun-tahun menjadi pengampu organisasi ini di Manado khususnya dan Sulut umumnya. Salah satu ruangan di gedung di mana kantornya berada, dia dedikasikan menjadi Sekretariat HMI Cabang Manado (bahkan ketika itu masih HMI Sulut).

Di antara banyak lini bisnis Ka’ Aris (demikian dengan hormat kami menyapa dia), produksi dan ekspor arang aktif dari batok kelapa memberi kontribusi signifikan. Pabriknya berdiri di Bitung dan—seingat saya—negara yang rakus membeli komoditas ini dari Ka’ Aris ini adalah Inggris.

Akan halnya tepung pisang goroho, maaf pula jika urusan ini sudah lama khatam, setidaknya buat saya. Di perusahaan di mana saya memiliki sedikit share (di dokumen legalnya tertulis 58%) dan melibatkan banyak alumni IPB—dari pakar manajemen pertanian, jagoan hidproponik, hingga ahli budidaya serta nutrisi tanah dari Perancis dan Jerman--, sekadar tepung pisang sudah bukan topik menarik lagi. Asal tahu saja, masalah perpisangan di BMR, khusus goroho, sejauh ini bukan pada produk turunannya. Tapi kuantitas produksinya yang masih rendah.

Beberapa bulan lalu, soal bisnis pisang goroho dan turunannya ini pernah saya sampaikan pada entrepreneur Mongondow, Haji Hanafi Sako. Kepada dia, saya menggambarkan, bahkan untuk memasok goroho mentah ke pasar di luar Sulut (yang demand-nya sangat tinggi), rasanya kita belum mampu. Bukan rahasia lagi, kebanyakan warga Mongondow mulai meninggalkan pertanian sebagai gantungan hidup. Boro-boro urusan produk turunannya.

Makanya, lepas dari Pemda Bolsel wajib memperhatikan SDM di daerahnya, menjadikan sekolah dan penelitian Rinto Ladja segawat kabar kiamat akan tiba, menurut saya tak beda dengan menggambarkan kucing sebagai harimau. Biasa jo. Sangat banyak anak Mongondow yang menempuh pendidikan, di universitas besar di luar negeri, hingga PhD, tidak membuat kegemparan, terlebih menghiba-hiba perhatian Bupati yang berujung pengecilan dan tendensi penghinaan.

Kerendahan hati orang berpendidikan itu saya lihat dari, misalnya, Chairil Anwar Koropot (saya mengakrabi dia dengan sapaan ‘’Ling’’), PhD salah satu universitas ternama Australia yang kini bermukim di luar Mongondow, yang selama studinya senyap dari menghiba, apatah lagi menodong Pemda. Demikian pula puluhan anak Mongondow yang terserak di universitas-universita terkemuka dalam negeri, Australia, Eropa, dan Amerika, yang diam-diam sedang melakukan riset S2 dan S3 yang lebih hebat dari cuma batok kelapa dan pisang goroho yang pada dasarnya bukan hal dan terobosan baru.

Tersebab isu utamanya adalah hal biasa saja, urusan sehari-hari individu yang dimanipulasi seolah-olah menjadi harkat-hajat orang banyak, yang saya lihat dari persahutan antara Bupati Bolsel dan sejumlah orang sok penting itu adalah runtuhnya adab, etika, dan norma. Komentar-komentar yang (utamanya) disampaikan Sehan Ambaru, Hendra Makalalag, dan Ando Lobud, sangat tidak bermutu, merendahkan, dan mengecilkan Bupati Bolsel. Mereka, dalam unggahan-unggahan yang saya baca, jelas menujuk pada Bupati (sesekali terselip ‘’Om Oku’’). Yang menjadi subyek dan obyek adalah Bupati.

Meletakkan Om Oku pribadi sederajat dengan orang-orang ini, sekali pun buat saya menggelikan dan risi (adab, etika, norma, dan budaya Mongondow menuntut ‘’o-aheran terhadap yang berusia lebih tua) masih dapat diterima, tentu dengan susah payah menekan ego sedalam-dalamnya. Tetapi menyejajarkan Bupati dengan tinggi mereka berdiri, dengan terang-terangan mengolok-olok dia di media sosial, menunjukkan orang-orang ini (siapa mereka? Apa prestasi dan capaian mereka buat Mongondow, kecuali kopi satu gelas, kemudian setengah gelas, disertai bual-bual politik?), secara terencana sedang mempertontonkan ketiadaan penghargaan dan respek terhadap Herson Mayulu.

Bupati Bolsel pasti punya kelemahan. Sebagai tokoh publik, cacat-celanya mudah ditemukan. Jika Sehan Ambaru, Hendra Makalalag, Ando Lobud, dan serombongan orang yang sekarang turut campur dalam gegar isu yang bermula dari Rinto Ladja, memang menyoroti kelemahan kebijakan Herson Mayulu sebagai Bupati, lakukanlah tanpa mencapur-aduk dengan harkatnya sebagai individu. Sebab jika kartunya dibalik, apa pula sulitnya buat Bupati Bolsel sebagai pejabat publik dan Herson Mayulu sebagai pribadi yang memiliki kekuatan dan pengaruh politik, mengulik-ngulik cacat dan cela ASN seperti Sehan Ambaru dan Hendra Makalalag, Ando Lobud yang ghirah menyandang segala gelar, dan rombongan mereka yang praktis cuma gerombolan serabutan (yang maaf se-maaf-maafnya) terang-benderang hidup dari belas kasihan politik, birokrasi, dan APBD.

Di atas semua itu, khusus terhadap Sehan Ambaru dan Hendra Makalalag, baca, pikirkan, dan resapi UU ASN dengan segala kode etik dan kode kehormatannya. Renungan seberapa besar dan banyak pelanggaran yang telah Anda berdua lakukan lakukan. Internalisasi lagi, apa pantas ASN di KK bersoal terhadap problem Pemda di Bolsel, sementara di tempat asalnya hal yang sama terjadi, bahkan lebih buruk lagi. Coba, kalau benar-benar jagoan, berhati lurus, dan berani, persoalkan pula kebijakan bea siswa di KK yang amburadulnya tak karuan (untuk pernyataan ini, sesiapa yang berani membantah, saya tidak akan segan menempeleng dengan data otentik).

Terkhusus Sehan Ambaru, bila benar-benar laki-laki yang punya integritas dan tahu diri, putuskan dengan tegas: profesional sebagai ASN atau sekalian berhenti dan menjadi apapun yang diinginkan. Entah itu aktivis LSM, politikus, atau benar-benar tikus yang mengelana dari satu warung kopi ke warung kopi lainnya. Sebab saat ini Anda beruntung ber-ASN di KK yang cukup toleran dan longgar dalam penegakan etika. Dalam catatan saya, sebagai ASN, jika diakumulasi, pelanggaran etika yang dia lakukan lebih dari cukup menjadi alasan menendang pantatnya jauh-jauh dari lingkungan Pemkot KK.

Dengan pikiran dan hati dingin serta sikap fair, tanpa memihak sesiapa pun dalam isu remeh itu, saya menilai laporan polisi Bupati Bolsel pada Rabu, 10 Mei 2017, terhadap Sehan Ambaru, memang punya dasar sangat kuat. Sebaliknya, laporan balik yang dilakukan Sehan Ambaru pada malam harinya tak beda dengan ‘’coba-coba berharap hadiah’’. Tindakan bodoh dan implusif khas tukang cari masalah berpikiran pendek. Sama pendeknya dengan permintaan maaf setengah hatinya yang disebar di media sosial, yang menunjukkan ego besarnya tidak diimbangi dengan kecerdasan, apalah lagi pengetahuan terhadap adab, etika, norma, dan budaya sosial.

Lalu bakal kemana percekcokan media sosial ini bakal berakhir? Saya kok hampir yakin, di ujung hari ketersinggungan Bupati Bolsel dan Herson Mayulu pribadi, jika tak selesaikan sebagaimana mestinya, bakal menimbulkan kerusakan parah terhadap beberapa orang. Dan saya meyakini korban itu bukan Herson Mayulu.***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

APBD: Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah; ASN: Aparatur Sipil Negara; BMR: Bolaang Mongondow Raya; Bolsel: Bolaang Mongondow Selatan; HMI: Himpunan Mahasiswa Islam; IPB: Institut Pertanian Bogor; KK: Kota Kotamobagu; LSM: Lembaga Swadaya Masyarakat; Pemda: Pemerintah Daerah; Pemkot: Pemerintah Kota; PhD: Doctor of Philosophy; S2: Strata 2; S3: Strata 3; SDM: Sumber Daya Manusia; Sulut: Sulawesi Utara; dan UU: Undang-undang.