Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Tuesday, October 22, 2013

Terkutuklah Jurnalisme ‘’Radar Bolmong’’ (1)


ASTAGA! Kopi yang sedang saya sesap, Selasa pagi (22 Oktober 2013), nyaris melumeri pangkuan ketika membuka gambar yang dikirim salah seorang kawan dari Kotamobagu. Pemandangan yang tersaji memantik syok: Empat rangkaian gambar, masing-masing dua memperlihatkan seorang wanita tanpa busana dengan buah dada menggantung mencolok; satu gambar sang wanita tengah berciuman dengan seorang pria; dan gambar terakhir memperlihatkan wajah pasangan ini sedang menghadap kamera.

Gambar-gambar itu tidak berasal dari situs porno, selebaran esek-esek, atau majalah syur terbitan luar negeri. Materi konsumsi dewasa ini dipajang sebagai foto utama halaman depan Harian Radar Bolmong bersama headline Foto Mesum PNS Bolmong Beredar serta dua berita pendamping, Sanksi Adat Dilempar ke Laut dan Wabup Usul Dipecat. Tanpa pikir panjang saya membalas kiriman gambar itu dengan komentar, ‘’Bahkan Majalah Playboy pun tak bakal menampilkan foto telanjang frontal seperti itu di halaman depannya.’’

Radar Bolmong memang mengaburkan (blurring) foto-foto oknum terduga pelaku asusila itu. Namun pengaburan yang dilakukan gagal menjadikan pose-pose di ruang sangat pribadi tersebut sekadar ilustrasi. Koran ini boleh dibilang mengumumkan: ‘’Inilah dua pelaku cabul yang narsis memotret keintiman mereka di bilik tertutup! Silahkan pembaca mengenali dan mencari tahu siapa mereka!’’

Untuk beberapa saat saya bertanya-tanya: Apa maunya Radar Bolmong dengan umbaran foto-foto mengguncang seperti itu? Upaya menaikkan oplah dengan berita dan gambar-gambar sensasional dan murahan; atau pengabsahan bahwa redaksinya memang dikelola para amatir bodoh yang kehilangan akal sehat jurnalistiknya?

Tak berselisih lama, BB saya dibanjiri BBM berisi gambar serupa dengan aneka komentar dan pertanyaan. Pembaca, saya sependapat media yang mengklaim ‘’No. 1 di Bolmong Raya’’ ini mestinya bukanlah jenis terbitan yang mempraktekkan ‘’jurnalisme selera rendah’’ sebagaimana yang dirumuskan dua pakar komunikasi penulis Mass Communication Theory: Foundations, Ferment, and Future (2006), Stanley J Baran dan Danis K Davis. Karenanya, adalah skandal yang lain ketika koran ini memutuskan memajang (khususnya) foto-foto cabul dan asusila itu.

Dari pendekatan jurnalistik, ada dua cara menelaah headline, berita pendamping, dan foto utama Radar Bolmong yang kini jadi sorotan panas di Mongondow. Pertama, sebagai sebuah peristiwa, isu asusila pasangan yang disebut-sebut sebagai oknum PNS dan pegawai honor di Pemkab Bolmong itu cukup menarik tetapi jauh dari layak dipilih jadi sajian utama. Salah satu kriteria memilih berita utama yang umum dipraktekkan media yang bertanggungjawab dan kredibel adalah, isunya sedapat mungkin berkaitan langsung dengan kepentingan orang banyak.

Di manakah kepentingan itu? Apakah isu moralitas PNS, pragmatisme dan longgarnya norma dan disiplin di kalangan birokrat, karena skandal mereka berdua telah mengganggu kinerjanya sebagai pelayan publik, atau sebab keberadaban dan susila masyarakat tercoreng? Kalau jawaban terhadap pertanyaan itu adalah ‘’ya’’; bagaimana dengan pelaku korupsi, komplotan maling yang sudah menilep puluhan sepeda motor, atau anggota DPR yang berombongan menjarah uang rakyat? Bukankah mereka lebih pantas dijadikan berita utama lengkap dengan foto, ketimbang kelakuan mesum dua oknum birokrat yang kebablasan berakting bak bintang porno, lalu entah dengan cara apa aksi mereka tersebar hingga mengundang perhatian media.

Lain halnya bila Radar Bolmong adalah koran kuning yang berliur dan berlendir-lendir, yang memang gemar menjadikan skandal, khususnya di tempat tidur dan ruang pribadi, sebagai menu utamanya. Taruh kata demikian adanya, tetap saja dituntut kriteria ketat yang memagari sehingga tulisan atau berita yang dipublikasi tidak menjadi provokasi syawat publik, tetapi fakta sebuah peristiwa yang menjadi kepentingan dan layak diketahui orang banyak. Kendati kepentingan terbesar publik yang dimaksud sekadar tersedianya bahan yang gurih digosip dan dipergunjingkan.

Kian dicermati dan didalami, saya bersyak Radar Bolmong mengangkat skandal dua pasang oknum birokrat karena mereka tidak lagi menggunakan pertimbangan profesional, rasional, etis, serta kepantasan norma sosial dan budaya; melainkan imajinasi mesumnya sendiri. Bahwa redaksi koran ini telah menjatuhkan vonis melampaui fakta-fakta yang berhasil dikumpulkan pewartanya.

Prasangka itu dipertegas pemilihan judul yang bombastis, Foto Mesum PNS Bolmong Beredar. Siapa pakar atau otoritas berwenang yang telah memastikan pasangan sial itu adalah PNS Pemkab Bolmong? Apakah benar mereka memang berpose-pose mesum, bukan hasil olah digital yang kini mudah dilakukan bahkan oleh bocah SD?

Di lain pihak, menurut hemat saya, koran ini memperlakukan isu itu terlalu istimewa dengan menambah dua angle. Angle bertajuk Wabup Usul Dipecat masih dapat diterima sebagai bentuk konfirmasi otoritas yang bertanggungjawab terhadap profesionalisme, kapasitas, kapabilitas, norma, dan etika kalangan birokrat. Walau, semestinya dia cukup menjadi sub judul dari berita induk.

Sebaliknya, berita Sanksi Adat Dilempar ke Laut sudah pasti kerja acak-acakan wartawan yang tidak memiliki frame isu yang jelas. Apa dasar tiba-tiba urusan asusila yang entah dilakukan di mana harus disanksi adat? Siapa ahli hukum adat yang dikutip? Dan adat mana yang dirujuk? Menjengkelkan betul membaca koran dengan berita yang menghina kecerdasan dan pengetahuan pembacanya. Mengutip nara sumber ngawur hanya dilakukan oleh jurnalis yang sama mabuknya.

Tegasnya, dari aspek kepantasan dan praktek jurnalistik profesional lembaga berita yang kredibel, skandal beredarnya foto dua oknum birokrat di Pemkab Bolmong memang layak diberitakan, tetapi tidak dengan porsi besar, apalagi headline.

Kedua, cara pandang dan penilaian terhadap putusan redaksi Radar Bolmong menjadikan empat frame gambar oknum yang diduga asusila itu sebagai foto utama di halaman depan setidaknya dapat ditilik dari dua aspek: UU No 40/1999 Tentang Pers dan KEJ, mengingat terbitan ini adalah media publik yang terikat dan tunduk pada aturan dan etika jurnalistik; serta KUHP, etika, norma, dan konvensi-konvensi sosial-budaya masyarakat konsumennya.

Pasal 5, Ayat 1, UU No 40/1999 menyebutkan, ‘’Pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah.’’ Pelanggaran terhadap pasal dan ayat itu, menurut Pasal 18, Ayat 2, ‘’Perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 13 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (Lima ratus juta rupiah).’’

Pembaca, melihat foto-foto yang dipajang, bahkan seorang atheis pun saya kira bakal sependapat Radar Bolmong memang melecehkan norma-norma keagamaan yang dianut pembacanya dan masyarakat Mongondow umumnya. Dan hanya orang gila atau pencabul dan asusilais yang menolak penilaian bahwa gambar-gambar itu sangat melukai kesusilaan masyarakat. ***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

BB: BlackBerry; BBM: BlackBerry Messenger; Bolmong: Bolaang Mongondow; KEJ: Kode Etik Jurnalistik; KUHP: Kitab Undang-undang Hukum Pidana; Pemkab: Pemerintah Kabupaten; PNS: Pegawai Negeri Sipil; SD: Sekolah Dasar; UU: Undang-undang; dan Wabup: Wakil Bupati.