Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Wednesday, September 12, 2012

Senjakala Sang Mantan Bupati


HARI-HARI itu seperti baru kemarin. Dengan segala kelebihan dan kekurangan, prestasi dan kegagalan, mantan Bupati Marlina Moha-Siahaan (sahabat dan koleganya menyapa dia dengan ‘’Butet’’, sedang kebanyakan orang belakang menggunakan ‘’Bunda’’) yang berkuasa selama 10 tahun di Kabupaten Bolaang Mongondow (Bolmong) layak dijaga integritas dan kehormatannya.

Di masa kepemimpinnya, dibanding siapa pun di Mongondow, saya nyaris menjadi ‘’musuh laten’’. Lepas tahun kedua periode pertama kepemimpinan Bupati Marlina, saya mulai mengkritik dia dan jajarannya dengan sangat keras lewat tulisan yang berserak di media (cetak) terbitan Manado dan blog. Padahal tulisan-tulisan itu, yang kerap disambut pro-kontra (beberapa bahkan debat panjang penuh ancaman –termasuk fisik—dari para pendukung Bupati) sama sekali tidak diniatkan menjatuhkan seorang pemimpin yang memegang jabatan publik. Tidak pula untuk menciderai dan menjatuhkan nama baik Bupati, jajaran, dan para pendukungnya.

Yang saya tuliskan adalah kontrol terhadap keawasan dan kewarasan tak hanya bagi Bupati Marlina seorang, melainkan orang-orang yang dia pimpin (termasuk partai politik di mana di menjadi Ketua Dewan Pengurus Daerah –DPD), serta masyarakat Mongondow umumnya. Di atas semua itu, berulang-ulang saya tegaskan, alangkah bahagianya kita bisa menyaksikan seorang pemimpin (yang masa jabatannya dibatasi waktu), setelah tak lagi duduk di kursi puncak, terbebas dari apa pun yang tidak seharusnya menjadi beban.

Usai memimpin Bolmong, termasuk memekarkan kabupaten ini menjadi satu kota dan tiga kabupaten baru, Bupati Marlina harusnya menjadi mantan yang integritasnya kita jaga sebagai kekayaan sosial Mongondow. Dan itu terlepas dari apakah dia memilih tetap bergiat sebagai praktisi politik (dengan memimpin Partai Golkar Bolmong atau mencalonkan diri untuk jabatan lebih lebih tinggi) atau menekuni aktivitas ekonomi, sosial, budaya, bahkan keagamaan.

Alasannya sederhana –selalu sederhana. Kehormatan seorang mantan pemimpin yang dijaga dan dirawat oleh seluruh warga masyarakat, menunjukkan tingkat keberadaban masyarakat itu sendiri. Seorang pemimpin yang menjadi bulan-bulanan kasus setelah dia melepaskan jabatan mengindikatorkan banyak kekeliruan dan ketidak-bacusan orang banyak: Kita semua gagal mengingatkan dia, gagal memaksa dia agar tetap amanah, dan gagal menyayangi dengan tulus karena membiarkan (lebih buruk lagi mendorong) dia lancung dari tanggungjawab.

***

Hari ini, Rabu (12 September 2012), saya membaca berita Kapolres: Butet Tersangka di situs Harian Manado Post (http://www.manadopost.co.id/index.php?mib=berita.detail&id=115631) dengan perasaan pilu. Saya merasa menjadi bagian dari orang-orang yang gagal menjaga dan merawat kehormatan mantan pemimpinnya. Kurang dari dua tahun setelah meletakkan jabatan, mantan Bupati Marlina resmi didudukkan sebagai tersangka dugaan korupsi dana Tunjangan Penghasilan Aparat Pemerintah Desa (TPAPD) yang terjadi di masa kepemimpinannya.

Kita semua tahu kisah dugaan penyelewengan keuangan itu. Media (termasuk media sosial) sudah mengupas lengkap tuntas –dengan berbagai versi. Orang-orang yang kini didudukkan di kursi pesakitan sebagai terduga penyeleweng dana itu, yang dulunya hanya sekadar dugaan, kian benderang pula wujudnya. Sekali pun sedih, sesungguhnya orang-orang yang mengikuti isu ini dengan saksama tak heran bila akhirnya tokoh sekelas mantan Bupati Marlina, mantan Sekretaris Daerah (Sekda) Ferry Sugeha, dan Sekda (saat ini) Farid Asimin akan terjerat.

Mempertanyakan apa dan siapa penyebab utama terjadinya penyelewenangan dana itu juga tidak relevan lagi. Kalau pun mencoba menjadi bijak, saya pribadi hanya menyesali kasus itu seharusnya tidak terjadi bila para bawahan yang kini beramai-ramai diseret ke meja hijau melaksanakan tugas dengan profesional. Soalnya remeh-temeh belaka: Ada perintah menyediakan dana dari seorang Bupati pada birokrat bawahannya yang tentu saja mesti patuh. Birokrat profesional dan tahu ada kemungkinan mereka bersama-sama akan terjerumus, tidak serta-merta bersigegas melaksanakan perintah itu.

Semestinya ada saran dan pertimbangan, yang apabila tak diterima, maka perintah itu harus dituangkan (minimal) dalam bentuk tertulis. Memo, nota dinas, atau apa kek. Sepanjang syarat minimal administrasi ini tak terpenuhi, saya yakin birokrat berotak waras yang tidak gila jabatan, hanya bisa menjilat dan menyenang-nyenangkan atasan, pasti menjawab tegas: Tidak bisa!

Nyatanya, sebagaimana yang saya ikuti di media, milyaran rupiah dana TPAPD berpindah begitu saja hanya dengan perintah lisan. Sungguh tak masuk akal. Dengan kata lain, peringatan, kritik, dan cacian yang saya tulis berulang kali, bahwa kebanyakan orang yang menunjukkan kepatuhan (semu) pada Bupati Marlina selama masa kepemimpinannya, sebenarnya secara sadar dan sengaja memang mendorong dia satu saat terjerembab ke dasar sumur.

Dasar sumur yang dingin dan gelap itu sekarang ada di hadapan mantan Bupati Marlina.


***

Di balik musibah selalu ada pelajaran yang dapat dipetik. Ditetapkannya mantan Bupati Marlina dan sejumlah elit pemerintahan Bolmong sebagai tersangka menjadi pelajaran penting, bahwa: Pertama, wahai para pemimpin di Mongondow saat ini, selalulah mendengarkan suara yang tidak menyenangkan hati. Kepatuhan buta dan puja-puji biasanya manis, tetapi juga amat sangat beracun. Dua, para bawahan, penyokong dan supporter, saya kembali mengingatkan: berkata jujur di hadapan seorang penguasa kerap berakhir pahit, tapi ahirnya kita akan tidur nyenyak sekali pun mungkin dengan melepas aneka privilege. Dan ketiga, bagi kita rakyat banyak, mengingatkan para pemimpin terhadap tanggungjawab mereka, setiap saat, akhirnya adalah ikhtiar menjaga integritas dan kehormatan kita semua.

Di luar tiga poin itu, bersama ditetapkannya mantan Bupati Marlina dan dua elit puncak di birokrasi Bolmong sebagai tersangka dugaan penyelewengan dana TPAPD, kepada jajaran aparat berwenang saya ingin bertanya: Bagaimana dengan dugaan penyalahgunaan lain yang melibatkan petinggi politik dan birokrasi di Mongondow, semisal kasus CPNS Kota Kotamobau (KK) 2009 yang hanya menjerat hingga level Sekretaris Kota (Sekkot)? Padahal di persidangan mereka yang kini sudah divonis hukuman di tingkat Pengadilan Negeri (PN) secara terbuka menyebutkan keterlibatan atasannya?

Apakah pihak kepolisian akhirnya berani menyentuh mantan Bupati Marlina karena dia tak lagi ‘’bergigi’’? Atau kini memang ada upaya lebih serius mengungkap aneka borok dan aib di Mongondow?***

Thursday, September 6, 2012

Eyang dan Medy, Sudahlah….


KERIUHAN pengunduran diri Medy Lensun dari jabatan Wakil Bupati (Wabup) Bolaang Mongondow Timur (Boltim) yang kemudian batal, mulanya adalah dinamika dan diskursus sosial-politik menarik. Tapi saking banyaknya pengomentar, pendukung, analis hingga ‘’tukang kompor’’ yang angkat bicara dan ngalor-ngidul kemana-mana, dengan cepat  isu ini jadi menjengkelkan.

Dari cermatan saya kebanyakan orang yang omongannya dikutip media –termasuk analisis dari yang ditahbis  sebagai pakar--, sekadar menambah ramai teater politik itu dengan mengesampingkan aspek-aspek substansial dan fundamental dari pernyataan dan langkah-langkah yang diambil Medy. Alih-alih mendudukkan dan menjernihkan tindakkan tiap aktor-aktor utama yang terlibat,  para pemain tambahan jadi tak beda dengan penonton sabung ayam. Mendorong-dorong, menyoraki, dan menyemangati ayam jagoannya masing-masing.

Sejumlah pernyataan yang dipublikasi Harian Manado Post, Kamis (6 September 2012), misalnya, hanya melebar-lebarkan isu dan memperuncing hubungan Sehan Lanjar (sebagai pribadi dan Bupati Boltim) dengan Medy Lensun. Apalagi para komentator yang dikutip di berita AMTI Kecam Pernyataan Lanjar itu, adalah mereka yang memposisikan diri sebagai penyokong Medy.

***

Begini, sidang pembaca, bagaimana kalau kita urut fakta-fakta dan ujung-pangkal drama pengunduran diri Medy sebelum menyimpulkan (mirip karya ilmiah anak sekolah) apa yang semestinya dilakukan semua pihak ke depan.

Pertama, Sehan Lanjar (yang akrab disapa Eyang)-Medy Lensun mencalonkan diri sebagai Bupati-Wabup Boltim dengan sokongan lima partai; dan terpilih. Masyarakat Boltim tahu mereka memilih pasangan ini bersama sejumlah komitmen dan janji seperti yang mereka kampanyekan.

Di balik punggung masyarakat diam-diam ada perjanjian politik yang ditanda-tangani keduanya, disaksikan ketua-ketua partai pengusung. Perjanjian itu (sebagaimana yang sudah saya tuliskan), tidak ada hubungannya dengan pemerintahan yang efisien, efektif, dan bersih; apatah lagi kesejahteraan dan kemaslahatan warga Boltim. Tidak pula ada dasar mengapa mereka membuat kesepakatan itu serta sanksi apabila ada yang melanggar.

Ringkasnya, kandungan substantif perjanjian itu justru (meminjam pengakuan Eyang sendiri) sesat.

Kedua, setelah terpilih, Eyang-Medy bersama-sama menjalankan pemerintahan, yang tampaknya serius demi kemaslahatan orang banyak. Ada beberapa prestasi yang layak dicatat dan dipuji; demikian pula dengan kekeliruan dan kegagalan, termasuk penilaian disclaimer dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terhadap pengelolaan keuangan Boltim dua tahun terakhir.

Dalam menjalankan tanggungjawab, wewenang dan fungsi Bupati-Wabup, keduanya tentu memilih para pembantu (sekretaris daerah –Sekda-- serta Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah --SKPD—dan jajaran di bawahnya) dengan pendekatan kompetensi. Saya pribadi tidak pernah mendengar, misalnya, Sekda Boltim dipilih karena dia kerabat Bupati dan Kepala Dinas A sebab posisi itu jatah Wabup.

Demikian pula dengan proyek-proyek yang dibiayai Anggaran Belanja dan Pendapatan Daerah (APBD), sepengetahuan saya dikerjakan oleh kontraktor atau pemasok tertentu yang terpilih juga tidak berdasarkan jatah pembagian untuk Bupati dan Wabup.

Ketiga, di tengah pemahaman umum seperti itu, tiba-tiba Medy mengumumkan pengunduran diri dengan alasan Eyang melanggar perjanjian yang mereka tanda-tangani saat mencalonkan diri. Artinya: Medy tidak sedang mempermasalahkan wewenangnya sebagai Wabup sesuai undang-undang (UU) dan turunannya, melainkan kekecewaan terhadap bagi-bagi porsi yang ternyata dianggap tidak sesuai dengan perjanjiannya (sebagai pribadi) dengan Eyang (sebagai pribadi pula).

Sebelum orang-orang yang kini berhadapan di posisi pro dan kontra meradang, saya harus mengingatkan bahwa perjanjian antara Eyang dan Medy harusnya boleh digugat sebagai pelanggaran hukum. Sebab berdasar perjanjian itu keduanya terbukti mengikatkan diri dalam mufakat (dan bersama ketua lima partai pengusung bersekongkol) menyalahgunakan wewenang dan tanggungjawab sebagai Bupati-Wabup. Mencermati kandungannya, saya tak ragu menyatakan institusi dan aparat berwenang semestinya dapat menggunakan perjanjian itu sebagai dasar adanya rencana jahat korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).

Keempat, dengan dalih tidak disetujui pendukungnya (yang merampas dan menyobek-nyobek surat pengunduran diri yang siap diserahkan ke Dewan Perwakilan Rakyat –DPR—Boltim), Medy membatalkan niatnya. Pada saat membatalkan pengunduran dirinya itu tidak disinggung apakah dengan demikian Medy membatalkan dan mencabut pula semua tuduhan dan serapah yang sudah dilontarkan terhadap Eyang. Tidak ada juga permintaan maaf secara terbuka terhadap seluruh warga Boltim, mengingat dia bukan hanya Wabup dari para pendukungnya, tetapi pemimpin dari orang se kabupaten.

Dan lima, atas rencana pengunduran diri dan  pernyataan-pernyataan yang dilontarkan Medy, utamanya terhadap Eyang (yang saya cermati umumnya bersifat pribadi), mendapat respons yang gradually dari Bupati. Mulanya Eyang terkesan mengalah dengan mengatakan tidak tahu alasan rencana pengunduran diri Wabup. Namun bersamaan dengan meningginya intensitas isu, terlebih setelah Medy melontarkan aneka tuduhan yang cukup memerahkan kuping, Eyang ‘’tampaknya’’  tak kuasa mengontrol kesabarannya.

Reaksi Eyang pun tak kurang pedas. Dari menyindir Medy di Paripurna DR Boltim, Senin (3 September 2012), bahwa kalau dia yang mengundurkan diri, cukup suratnya dititip ke pengendara becak motor (bentor) atau ojek; menjelaskan bahwa perjanjian antara dia dan Medy adalah sesat; menjawab pertanyaan media tentang batalnya pengunduran diri Wabup dengan ‘’Ha ha ha….’’ saja; menilai sebagian pendemo yang mendukung Medy bukanlah warga Boltim; hingga menolak kemungkinan rekonsiliasi di antara keduanya.

***

Dari fakta-fakta itu, apa langkah terbaik dari pihak-pihak terkait dan konsern agar isu yang membuat demam dinamika sosial-politik di Boltim mereda? Satu-satunya upaya yang paling masuk akal adalah Eyang dan Medy segera menghentikan saling lontar komentar atau pernyataan (termasuk di media sosial). Mereka berdua juga perlu dengan tegas meminta (dan memerintahkan) orang-orang yang mengaku sebagai pendukung untuk tak menambah keruh situasi dengan aneka ocehan dan manuver.

Hanya dengan upaya itu diharapkan tensi tinggi antara para elit di Boltim perlahan-lahan mendingin. Setelah itu (yang saya perkirakan memerlukan waktu berbulan) barulah rekonsiliasi antara Eyang dan Medy mungkin di wujudkan. Di tahap ini partai-partai pendukung, atas kesediaan dua tokoh yang berseteru, mengupayakan pertemuan tertutup di mana proses yang terjadi di dalam ruangan haram hukumnya dijadikan konsumsi publik.

Mendorong dua tokoh yang sudah terlanjur saling melukai untuk segera duduk bersama, seperti yang disarankan sejumlah suara netral, tak beda dengan menyediakan peluang dan kesempatan buat keduanya berhadap-hadapan langsung, menghunus senjata berat, dan saling bantai. Dua gajah yang berseteru, didukung gerombolan penyokong masing-masing, niscaya hanya memporak-porandakan hutan dan menjatuhkan banyak korban ikutan.*** 

Tuesday, September 4, 2012

Mengail di Air Keruh Ijazah Salihi Mokodongan


LAMA hanya terdengar samar-samar, antara disidik atau di-Surat Perintah Penghentian Perkara-kan (SP3), isu keabsahan ijazah Bupati Bolaang Mongondow (Bolmong), Salihi Mokodongan, mendadak mencuat lagi. Adalah Lembaga Pemantau Penyakit KKN Pejabat Sulawesi Utara (Sulut), tulis situs Tribun Manado (http://manado.tribunnews.com/2012/09/03/bupati-bolmong-dilaporkan-ke-polda-terkait-ijazah-palsu), Senin (3 Agustus 2012), yang melaporkan dugaan ijazah ‘’abal-abal’’ itu ke Kepolisian Daerah (Polda) Sulut.

Berita Bupati Bolmong Dilaporkan ke Polda Terkait Ijazah Palsu saya baca dengan perasaan déjà vu. Bagai pengulangan –dengan setting waktu berbeda— dari kejadian yang sama berkaitan dengan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Bolmong 2011 lalu.  Ketika itu Ketua Forum Pemuda Peduli Bolmong (FP2BM), Roni F Mokoginta, menjadi garda depan mempermasalahkan keabsahan ijazah Salihi Mokodongan.

Isu ijazah itu terus bergulir tatkala gugatan para pesaing Bupati-Wakil Bupati (Wabup) Bolmong terpilih, Salihi Mokodongan-Yani Tuuk, berlangsung di Mahkamah Konstitusi (MK). Perhatian warga Mongondow kian terbetot karena ada bumbu penyedap: Dugaan itu juga dilaporkan oleh Widi Mokoginta ke Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia (Mabes Polri).

Siapa pun yang mengikuti riwayat terpilihnya Bupati-Wabup Bolmong 2011-2016, terutama saat sidang di MK, pasti masih mengingat tuduhan ijazah palsu Salihi Mokodongan menjadi salah satu topik utama selama proses persiangan berlangsung. Seingat saya MK tidak memutus soal ijazah, tetapi yang pasti gugatan bakal calon dan calon Bupati-Wabup Bolmong pesaing Salihi Mokodongan-Yani Tuuk ditolak.

Karena laporan ke Mabes Polri tak pernah dicabut, diam-diam perkaranya bergulir. Terakhir yang saya tahu –itu pun dari pemberitaan media online dan cetak yang terbit di Sulut--, laporan dilimpahkan ke Polda Sulut. Konon sedang disidik, tetapi ada info lain (lebih sebagai rumor dan duga-duga), kasusnya sudah di SP3.

Saya sendiri penasaran. Kalau sedang disidik, lama betul kerja Polda Sulut untuk urusan segampang itu. Walau pun saya juga tak heran karena beberapa kasus yang melibatkan elit politik atau elit birokrasi di Bolmong khususnya, bernasib mirip lumba-lumba di lautan: Tampak di depan mata, timbul-tenggelam, tapi tak pernah ditangkat jaring. Sedang bila di SP3, apakah benar surat penting ini sudah keluar? Terhitung sejak kapan dan dengan alasan apa?

***

Kini di tengah ketidak-jelasan nasib laporan polisi oleh Widi Mokoginta, Lembaga Pemantau Penyakit KKN Pejabat Sulut (saya sempat terusik mengapa bukan penyakit jantung, penyakit paru, atau kencing manis yang dipantau) beraksi dengan mengklaim memiliki bukti-bukti kuat. Sambil tak lupa Direktur Eksekutifnya, Stenly Daniel Sendouw, mengaku mendapat mandat dari masyarakat Bolmong. Masyarakat yang manakah itu?

Walau lebih banyak berada di luar Mongondow, saya masih menjadi bagian dari masyarakat Bolmong. Sebagai warga Mongondow, saya berhak tahu siapa masyarakat yang diatas-namakan itu. Atas nama di negeri ini sudah sejak lama patut dicurigai, dipertanyakan, dan ditelisik dengan serius.

Karna mandat itu pula, tak lupa dia mengecam Widi Mokoginta karena tidak menindak-lanjuti kasus itu. Kecaman ini pertegas dengan duga-duga (khas aktivis pemula yang baru kenal teori konspirasi) ada kongkalingkong antara Widi dan Bupati Salihi Mokodongan. Lalu demi menegaskan keseriusannya, Stenly Daniel Sendouw dengan heroik mengumumkan akan mengawal kasus itu, termasuk dengan menggelar demo besar-besaran di Mapolda Sulut.

Ah, membaca pernyataan ‘’calon pahlawan’’ penyakit KKN itu, spontan mulut saya mencetuskan, ‘’Rupa butul-butul jo….’’ Pertama, Widi Mokoginta telah melaporkan dugaan adanya pelanggaran hukum dari ijazah yang dikantongi Salihi Mokodongan. Dia, sepengetahuan saya (setidaknya yang ada di ranah publik), tidak pernah mencabut laporan itu. Artinya, mau ke pengadilan atau ke laut, didesak, dikawal, dipelototi atau tidak, sepenuhnya menjadi wewenang pihak kepolisian. Mau ribuan orang berdemo, membangun tenda, benteng atau kamp konsentrasi di Mapolda Sulut, bila polisi menyatakan kasusnya masih dalam penyidikan, Anda bisa berbuat apa?

Kedua, institusi apa Lembaga Pemantau Penyakit KKN Pejabat Sulut ini? Sejak kapan dia berdiri? Di mana kantornya dan apa fokus kerjanya? Mengapa repot-repot mengurusi dugaan ijazah ‘’abal-abal’’ Salihi Mokodongan sementara kasus-kasus yang tergolong kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN) kelas ‘’hiu’’ dan ‘’naga’’ berserak di tingkat provinsi. Lebih penting mana, Salihi Mokodongan yang ada di Lolak sana –hampir 200 km dari Manado—atau gonjang-ganjing di Universitas Sam Ratulangi (Unsrat) misalnya?

Dan ketiga, tampaknya Direktur Eksekutif lembaga itu bangun kesiangan. Yang dia klaim sebagai bukti, termasuk bahwa selisih waktu antara didapatnya ijazah paket B dan C hanya 20 bulan, sudah habis-habisan dikupas di MK. Saya tidak segan mengatakan, sudah kesiangan, pekak pula. Tahukah Stenly Daniel Sendouw bahwa banyak pejabat di Sulut yang menggunakan gelar master hanya dengan berkuliah (yang hebatnya dilakukan di kelas jauh) selama satu tahun. Normalkah S2 hanya setahun? Kalau itu dianggap wajar, maka 20 bulan Salihi Mokodongan bukanlah masalah.

***

Terlepas dari tingkah lebay Lembaga Pemantau Penyakit KKN Pejabat Sulut, pihak kepolisian memang semestinya segera menuntaskan dugaan yang ditudingkan terhadap Bupati Bolmong itu. Masyarakat Mongondow, khususnya warga Bolmong (Induk), lebih dari pantas mempertanyakan dan menagih hasil kerja polisi yang sudah lebih setahun lamanya sejak Widi Mokoginta pertama kali melapor ke Mabes Polri.

Tanpa bermaksud membela Salihi Mokodongan (terlebih warga Mogondow tahu bahwa belakang saya secara terbuka mengkritik dia habis-habisan), polisi yang selama ini mengkampayekan stabilitas dan keamanan seharusnya tahu bahwa dugaan ijazah palsu Salihi Mokodongan yang  --saya kian curiga—dibuat terkatung-katung, adalah bom waktu yang mencemaskan. Sewaktu-waktu isu ini mudah digulirkan bukan hanya untuk menggoyang Salihi Mokodongan dari kursi Bupati Bolmong; provokasi yang memecah belah masyarakat ke posisi pro dan kontra; melainkan juga sebagai pancing dan umpan mengail di air keruh.

Apalagi ihwal mengail di air keruh bisa dibungkus dengan aneka alasan: Atas nama aspirasi warga, demi memberantas KKN, atau sejenisnya.***

Kisah Pertengkaran dan Tafsir Map Hijau


INI kisah tentang seorang kawan dekat yang sangat saya hormati. Mengingat dia cukup populer di Sulawesi Utara (Sulut), namanya tidak akan saya tuliskan. Akan halnya cerita yang dibeber di tulisan ini, saya yakin dia akan sama dengan Anda sekalian, Pembaca: Menikmati dengan senyum dikulum.

Tersebutlah kawan ini dan istrinya, yang sebagaimana pasangan lain, tak lepas dari cekcok dan silang-selisih. Bedanya, di kalangan yang dekat dan tahu persis kelakuan keduanya, kebanyakan peristiwa cekcok mereka berakhir sebagai bahan lelucon.

Satu ketika istri kawan ini meradang karena suaminya terus-menerus pulang larut malam, bahkan tidak sekali-dua menjelang subuh. Pecahlah pertengkaran di antara mereka. Masing-masing pihak melontarkan gertak dan ancaman. Si istri melolongkan maklumat akan pulang ke rumah orangtuanya, kawan saya mengultimatum mau bunuh diri dengan minum racun serangga.

Keriuhan rumah tangga di mana-mana mengundang longokkan tetangga dan keluarga dekat. Satu per satu keluarga dari kedua pihak tiba dan berusaha menenangkan keduanya. Suami-istri bertengkar itu biasanya, tapi kalau jadi tontonan massal bukan hanya keduanya yang malu, tapi penonton pun akhirnya jengah.

Melihat orang-orang berkumpul, entah dibisikkan oleh ilham apa, kawan saya masuk ke dapur, diam-diam menyembunyikan kerupuk yang baru digoreng sang istri, bergegas ke kamar, mengunci pintu rapat-rapat dan berteriak: ‘’Kalu bagitu ngana pe mau, biar kita mati jo!’’

Bersama teriakan itu dia mulai mengunyah kerupuk sembari menghancurkan obat anti nyamuk bakar yang memang selalu tersedia di rumah mereka. Obat anti nyamuk bakar itu kemudian dia lulurkan di sekitar mulutnya.

Mendengar teriakan mati jo itu, paniklah para sanak kerabat. Pintu kamar di dobrak dan mereka menemukan kawan saya yang menggeletak, akting seolah-olah racun obat anti nyamuk bakar yang dikunyah sudah bekerja. Geger pun meletus. Beberapa lelaki segera meringkus kawan ini, menahan tangan, kaki, dan mengekang mulutnya erat-erat. Yang lain bersigegas memanjat kelapa, mengukur dan memeras santannya. Konon salah satu obat pertolongan pertama keracunan makanan adalah dengan menggelontorkan santan kelapa kental pada korban.

Kawan saya yang melihat lima liter santan kelapa siap dicekokkan, kontan panik, meronta-ronta, dan mati-matian ingin mengatakan bahwa dia mengunyah kerupuk, bukan obat anti nyamuk bakar yang remah-remahnya berceceran. Tapi mulutnya sudah dikunci dan mulailah lima liter santan kelapa dipompakan oleh para kerabat dan tetangga hingga kawan ini kembung dan muntah-muntah.

Lima hari dia harus menanggung akibat drama ancaman bunuh dirinya. Badan remuk-redam, mulut kebas, dan diare akibat hantaman lima liter santan kelapa.

***

Lain hari, kawan yang saya ceritakan ini bertengkar lagi dengan istrinya. Penyebabnya pun bukan soal gawat yang berpotensi mengguncang stabilitas rumah tangga. Kadang-kadang cuma karena kawan ini malas-malasan mengurusi permintaan sepele istri, semisal menyiangi pohon pisang goroho yang tumbuh merimbun di sampaing rumah mereka.

Buat kawan saya, pohon pisang memang harus rimbun dan sedikit acak-acakan. Bagi istrinya, tidak mesti begitu karena banyak pertimbangan kalau: kalau jadi sarang ular, sarang kaki seribu, sarang semut, bahkan penyebab kebakaran karena suaminya sembarangan menjentikkan puntung rokok dan mendarat di daun pisang kering.

Perkara sepele sekali lagi memicu pertengkaran hebat. Tetangga yang kembali mendapat tontonan meriah, mulai keluar satu per satu menunggu aksi apa lagi yang akan dilakukan salah satu di antara pasangan ini. Sanak kerabat juga berdatangan dan mengingatkan agar mereka menggunakan akal sehatnya. Tidak baik keseringan bertengkar, hebat pula, sebab anak-anak mulai besar dan bisa membuat mereka malu melihat ayah-ibunya lebih mirip pesilat mabuk daripada orangtua yang memberi contoh positif.

Mendapatkan angin karena penonton sudah terkumpul, istri kawan ini mulai mengeluarkan jurus mematikan: ‘’Cere jo pa kita…. Cere jo pa kita….!’’

Ditohok ancaman seperti itu, kawan saya melompat dari kursi yang diduduki, masuk kamar tidur, membanting pintu dan mengaduk-aduk isi lemari tempat penyimpan berkas. Mencari surat nikah mereka. Ketika itu matanya tersirobok pada sepotong map hijau bekas tempat dokumen pekerjaan kantor. Dengan segera diraihnya map itu, menyobek-nyobek dengan bunyi keras sembari berteriak, ‘’Ngana pe mau bagitu, noh kita rabe-rabe ini surat nikah!’’

Perlu beberapa menit bagi kawan saya untuk membuat map hijau bekas dokumen itu menjadi serpihan-serpihan kecil. Agar lebih dramatis, sambil menyobek-nyobek, dia juga melayangkan tendangan ke ranjang, kursi, lemari pakaian, dan meja rias istrinya.

Yang tak kawan saya duga aksi teaterikalnya itu ternyata sejak awal sudah ditonton sang istri dari jendela yang terbuka. Bersama melayangnya serpihan terakhir map hijau yang disobek-sobek sang suami, dari balik jendela istrinya  melontarkan komentar di antara tawa tertahan: ‘’Yang dia robe’-robe’ bukan surat nikah noh….’’

***

Saya teringat pada kawan dan istrinya itu (sampai hari ini keduanya masih suami-istri yang harmonis dengan cara mereka sendiri) tatkala membaca Keputusan Medy Batal dalam Hitungan Menit di situs Tribun Manado (http://manado.tribunnews.com/2012/09/04/keputusan-medy-batal-dalam-hitungan-menit), Selasa (4 September 2012). Ada semacam kebetulan yang lucu dari kisah suami-istri dan peristiwa yang terkait dengan Medy Lensun.

Map yang disobek-sobek kawan yang bertengkar dengan istrinya berwarna hijau, demikian pula dengan map yang ‘’katanya’’ berisi surat pengunduran diri Medy Lensun sebagai Wakil Bupati Bolaang Mongondow Timur (Wabup Boltim) yang dilumat pendukungnya di halaman Kantor DPR Boltim, Senin kemarin (3 September 2012).

Dan demikianlah tulisan ini berakhir. Pembaca boleh menafsir makna yang terkandung secara bebas, sesuai keyakinan dan persepsi masing-masing.***