Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Sunday, October 27, 2013

Sengkarut Warisan di Pasar Serasi


TIGA situs berita menurunkan berita gonjang-ganjing Pasar Serasi. Lintasbmr.Com, Sabtu, 26 Oktober 2013 menulis ‘’Ahli Waris Pasar’’ Bongkar Lapak Pedagang (http://lintasbmr.com/ahli-waris-pasar-bongkar-lapak-pedagang-demo-minta-aparat-kepolisian-segera-bertindak/), Harian Komentar mempublikasi Sengketa Pasar Serasi Masuki Babak Baru (http://www.harian-komentar.com/berita-daerah/totabuan/11500-sengketa-pasar-serasi-masuki-babak-baru.html), dan Okemanado.Com memberitakan Sengketa Pasar Serasi Berlanjut (http://www.okemanado.com/baca/sengketa-pasar-serasi-berlanjut/).

Keriuhan sengkarut Pasar Serasi adalah salah satu warisan pemerintahan mantan Walikota KK, Djelantik Mokodompit, yang diawali ide pemindahan para pedagang ke Pasar Genggulang dan Poyowa Kecil demi rencana pendirian Pusat Belanja Modern. Isu yang mengemuka di 2011 ini jadi bola liar karena penolakan para pedagang; keberatan orang banyak terhadap rencana mendadak Walikota membangun Pusat Belanja Modern; serta ada pula gugatan sejumlah orang yang mengaku pewaris lahan Pasar Serasi.

Di blog itu, terutama sepanjang 2011, beberapa kali saya menggelar pendapat terkait kebijakan Pemkot KK terhadap Pasar Serasi. Dua aspek utama yang menjadi sorotan saya. pertama, kelayakan Pasar Genggulang dan Poyowa Kacil sebagai tempat relokasi pedagang dari Pasar Serasi; dan kedua, rencana pendirian Pusat Belanja Modern bekerjasama dengan investor, selain tidak pernah diketahui DPR, juga belum masuk dalam RTRW KK.

Mana bisa Pemkot dan Walikota (ketika itu) dikritik? Pasar Genggulang dan Poyowa Kecil yang dibangun seadanya, asal-asalan, dan tidak dilengkapi infrastruktur memadai tetap dipaksa dioperasikan. Pemindahan pedagang dilaksanakan dengan digegap-gempitai tarik-ulur dan bentrok massa dengan Satpol PP. Akan halnya pembangunan Pusat Belanja Modern, DPR buru-buru dilibatkan dan RTRW konon sudah memasukkan rencananya.

Kritik dan kritisasi saya terhadap isu Pasar Serasi memang tidak pernah menyentuh turun gelanggannya orang-orang yang mengaku ahli waris pemilik tanah. Isu penguasaan dan kepemilikan tanah, apalagi menyangkut hak milik para pendahulu, tergolong sangat sensitif di Mongondow. Salah berkomentar atau berpendapat, boleh jadi bukan hanya menyinggung orang-orang yang kini menyebut dirinya ahli waris, tetapi berpotensi menyerempet ketenangan istirah orang-orangtua yang telah berpulang. Ujung-ujungnya cuma meletupkan ketersinggungan tak perlu yang menambah keruh permasalahan.

Tapi tampaknya benang kusut Pasar Serasi kini tak dapat dilepaskan dari peran orang-orang yang mengaku ahli waris. Pemberitaan Lintasbmr.Com bahwa lapak para pedagang yang tak mau membayar ‘’retribusi’’ Rp 6.000 pada ‘’para ahli waris’’ diobrak-abrik, memaksa semua orang Mongondow waras dan peduli terhadap KK memberikan atensi. Bukankah kota ini masih memiliki pemerintahan yang sah? Membiarkan aksi melawan hukum di depan mata sama dengan mendudukkan sejumlah orang berada ‘’di atas hukum’’.

Di sisi lain, pembaca Harian Komentar juga dapat menyimak MA sudah menurunkan putusan atas perkara No 478/K/PDT/2012, tertanggal 21 Maret 2013, yang diklain oleh orang-orang yang mengaku ahli waris pemilik tanah di mana Pasar Serasi berdiri, Almarhum Balangket Mokodompit, sebagai bukti Pemkot KK bukanlah pemilik sah lahan yang jadi sengketa. Saya tidak tahu persis isi putusan MA, tetapi pernyataan Kabag Hukum dan Organisasi Pemkot KK, Haris Podomi, SH, di dalam berita yang sama, menunjukkan tafsir orang-orang yang mengaku sebagai ahli waris tidaklah tepat.

Menurut Podomi, gugatan kepemilikan dan penguasaan lahan Pasar Serasi oleh mereka yang mengaku ahli waris dilakukan lewat dua cara, yakni perdata (terkait kepemilikan) dan Tata Usaha Negara (terkait proses administratif sertifikat tanah). Di PN Kotamobagu dan PT Manado, gugatan perdata ditolak. Sedang putusan yang dikantongi orang-orang yang mengaku ahli waris, jelas Haris sebagaimana dikutip Harian Komentar, hanya soal administratif dikeluarkanya sertikat. “Jadi tidak ada hubungannya dengan status kepemilikan, karena dalam hal itu mereka tidak bisa menunjukan bukti lengkap,” tegasnya.


Mungkin karena tiga media yang mempublikasi isunya tak jernih memapar pokok-soal gugat-menggugat lahan Pasar Serasi, saya agak pening menyimpulkan subtansi yang dipertengkarkan antara yang mengaku ahli waris dan Pemkot KK. Apakah yang disoal oleh mereka yang mengaku ahli waris adalah peruntukan lahannya, sebagaimana yang diketahui umum ketika isu Pasar Serasi mengemuka? Atau kepemilikan, yakni siapa pemilik sesungguhnya tanah tersebut, Pemkot KK atau orang-orang yang mengaku ahli waris?

Agar tak memelihara pening, urusan kerumitan hukum kita serahkan pada para ahlinya. Sebagai orang Mongondow yang warga KK, tanpa bermaksud mengusik mereka yang mengaku ahli waris, saya ingin bertanya: Benarkah kepemilikan dan penguasaan lahan Pasar Serasi itu memang masih menjadi hak Almarhum Balangket Mokodompit, yang kemudian diwariskan pada anak-anaknya, lalu oleh anak-anaknya diwariskan pada para cucu? Tidak pernahkah terjadi pengalihan penguasaan dan kepemilikan antara Almarhum dengan (ketika itu) Pemkab Bolmong, baik dalam bentuk hibah maupun jual beli?

Dua pertanyaan itu saling tarkait, sebab sepengetahuan saya, sejak masa kanak Pasar Serasi sudah berdiri tanpa ada gugatan dan silang-selisih. Masuk akalkah bila Pemkab Bolmong menguasai lahan tersebut tanpa perjanjian dan kompensasi apa-apa lalu Almarhum Balangket dan anak-anaknya tidak bereaksi keras? Yang lebih mengherankan, mengapa baru generasi yang mengaku cucu-cucunya yang mengajukan gugatan, itu pun setelah ada pemindahan para pedagang dan rencana pembangunan Pusat Belanja Modern di lahan yang kini jadi sengketa?

Bila pertanyaan itu diperluas, apakah pengakuan sebagai ahli waris didasarkan semata pada klaim karena hubungan darah (anak dari anaknya Almarhum Balangket Mokodompit), atau sebab orang-orang yang kini mengajukan gugatan memiliki bukti pewarisan? Kalau bukan surat waris, maka minimal kesaksian yang dapat diuji kebenarannya, bahwa Almarhum mewariskan lahan tersebut pada anak-anaknya, dan kemudian anak-anaknya mewariskan lagi pada para cucu.

Sebagai orang Mongondow saya mengajukan pertanyaan-pertanyaan itu dengan kesadaran: Milik orang-orang tua yang tidak diwariskan secara langsung (sekadar penunjukkan lisan maupun dibuktikan dengan dokumen), tidaklah menjadi hak anak-anak dan temurunnya. Diakui atau tidak, generasi Mongondow masa kini masih tetap menjunjung dan menghormati rasa malu mempertengkarkan milik orang-orangtua, terlebih bila mereka telah berpulang, bila derajat keabsahan klaimnya meragukan.

Dengan niat baik saya ingin mengingatkan mereka yang kini mengaku ahli waris lahan Pasar Serasi. Bahwa, tidak ada salahnya mengkaji dan memikirkan kembali silang-sengkarut yang mereka picu, sebab bila akhirnya terbukti lahan tersebut ternyata telah dihibahkan atau dijual oleh Almarhum pada Pemkab Bolmong (dan kemudian dikuasai Pemkot KK), faktanya bakal jadi aib yang mencoreng nama baik keluarga dan Almarhum Balangket Mokodompit.***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

DPR: Dewan Perwakilan Rakyat; KK: Kota Kotamobagu; MA: Mahkamah Agung; Pemkab: Pemerintah Kabupaten; Pemkot: Pemerintah Kota; PN: Pengadilan Negeri; PT: Pengadilan Tinggi; PTUN: Pengadilan Tata Usaha Negara; RTRW: Rencana Tata Ruang Wilayah; dan Satpol PP: Satuan Polisi Pamong Praja.