Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Saturday, December 28, 2013

Skandal TPAPD Bolmong dan Tikungan di Peta Politik Mongondow

KABAR buruk kerap datang disaat yang tak tepat. Jumat, 27 Desember 2013, dengan keprihatinan mendalam, saya membaca Berkas Kasus Mantan bupati Bolmong Dinyatakan Lengkap di situs Tribun Manado (http://manado.tribunnews.com/2013/12/27/berkas-kasus-mantan-bupati-bolmong-dinyatakan-lengkap). Saya tahu, bagi mantan Bupati Bolmong, Ny Marlina Moha-Siahaan, yang sedang memanaskan lagi mesin karir politiknya, berita itu adalah mendung tebal yang tiba-tiba menggantung.

Setelah berlarut-larut, bolak-balik antara Polres Bolmong dan Kejari Kotamobagu, akhirnya berkas perkara tersangka MMS dinyatakan lengkap atau P21. Itu pun, menurut Kasi Pidsus Kejari Kotamobagu, Ivan Baramuli, prosesnya baru tahap satu. Tahap dua atau penyerahan tersangka dari penyidik di Polres Bolmong ke kejaksaan, kemungkinan berlangsung Januari 2014 mendatang. Dengan kata lain, kalau pun prosesnya tanpa kendala, tersangka mulai menjalani sidang di Pengadilan Tipikor selang dua-tiga pekan setelahnya.

Sejatinya penyalahgunaan dana TPAPD di Pemkab Bolmong adalah skandal warisan pemerintahan MMS yang semestinya mudah dan cepat diungkap. Pertama, aparat pemerintah desa yang tunjangannya raib bukan hanya mengeluh lewat bisik-bisik dan informasi tanpa nama. Mereka bahkan secara terbuka menggelar unjuk rasa mempertanyakan dan menuntut hak-haknya.

Kedua, alokasi anggaran TPAPD tercantum di APBD. Begitu anggaran dinyatakan keluar dan tidak pernah tiba di tangan mereka yang berhak, secara administratif proses pencairannya sangat gampang ditelusuri. Dari pejabat yang mengusulkan hingga penanggungjawab tertinggi.

Dan ketiga, polisi sudah menyidik, menetapkan beberapa tersangka di level pelaksana, dan melimpahkan ke kejaksaan yang kemudian membawa ke sidang Tipikor. Hasilnya, beberapa pejabat di lingkup Pemkab Bolmong telah divonis, menjalani hukuman, dan bahkan ada yang saat ini sudah merampungkan masa tahanannya.

Pertanyaannya, mengapa proses untuk tersangka di level lebih tinggi, mereka yang menjadi pengambil, penentu, dan penanggungjawab kebijakan seperti MMS dan dua lainnya yang ‘’konon’’ masih dalam proses, masing-masing FS (mantan Sekda Bolmong) dan FA (kini Sekda Bolmong), memerlukan waktu yang amat panjang? Polisi kekurangan bukti? Para tersangka (yang sudah jadi terhukum) tak mampu menunjukkan bukti keterlibatan atasan mereka karena canggihnya modus hingga bawahan memang sejak mula disiapkan jadi korban? Atau sebab aparat berwenang menyimpang kasus ini, mengeluarkan di saat yang tepat, sebagai peringatan, pembelajaran, dan contoh bagi para calon pelaku tindak pidana yang sama?

Bagaimana pun juga, status tersangka yang setiap malam terbayang-bayang tiap kali menjelang tidur, pasti membangkitkan mimpi buruk. Mengganggu percernaan, pernafasan, aliran darah, stabilitas otak dan jantung, yang hanya kuat dipikul oleh mereka yang benar-benar tidak bersalah atau yang bermental baja. Andai dalam posisi MMS dan dua tersangka lain yang ‘’kini masih dalam proses’’, sejak lama saya mendesak aparat berwenang bergegas menyelesaikan penyidikan dan pelimpahan kasusnya.

Lebih cepat mengetahui bersalah atau tidak dan menanggung hukuman, baik bagi semua pihak dan diri sendiri. Tidur bisa lebih nyenyak sembari memikirkan apa langkah selanjutnya, sebab kehidupan tidak berhenti mendadak karna empat-lima tahun dalam bui. Kecuali, karena malu dan tak kuat menahan aib, lalu mereka memilih menamatkan riwayat hidupnya dengan sukarela.

Saya tidak akan membahas konsekwensi pribadi yang dipikul orang per orang elit birokrasi dan politik (atau sudah berstatus mantan) yang tersangkut skandal TPAPD, yang proses hukumnya masih berlangsung itu. Yang lebih penting bagi warga Mongondow adalah ihwal yang langsung bersentuhan dengan kepentingan kontektualnya, khususnya politik kontemporer, yang salah satu ultimate moment-nya adalah Pemilu, April 2014 mendatang.

Tak dapat dipungkiri, lepas dari segala kelemahan dan kekeliruannya selama menduduki kursi Bupati dua periode dan Ketua PG Bolmong, MMS masihlah salah seorang tokoh yang diperhitungkan di wilayah Mongondow. Kendati tak banyak terdengar berkiprah, pengaruhnya belum surut. Terakhir, ketika Provinsi BMR sedang jadi isu utama, MMS bahkan disebut-sebut sebagai salah satu kandidat Gubernur terkuat.

Di Pemilu 2014 mendatang MMS yang comeback setelah lebih dua tahun ber-hibernasi tercatat sebagai Caleg PG untuk DPR Sulut, sedang putranya, Didi Moha, yang masih duduk sebagai anggota DPR RI dari Sulut, juga tercantum di urutan 1 Caleg PG Sulut untuk DPR RI. Tanpa kasus pidana, apalagi sangkaan korupsi, hampir dipastikan MMS bakal jadi politikus Bolmong yang melenggang mudah ke DPR Sulut; juga potensial mempengaruhi konstituen PG memilih Didi Moha –sebagaimana yang dibuktikan pada Pemilu 2009 lampau.

Kini, ketika kita menghitung mundur jelang ‘’tahun politik’’, status tersangka penyelewengan TPAPD MMS justru di P21 dan dia bakal menjalani sidang Tipikor, sementara di saat bersamaan para Caleg mestinya tengah ‘’menjual diri’’ di hadapan para pemilih. Alhasil, posisi sosial dan politik MMS (juga Didi Moha) itu bagai déjà vu yang mengingatkan saya pada apa yang dialami Syarial Damopolii di Pilwako KK 2008. Ketika itu Syarial Damopolii harus mati-matian menyiasati kampanyenya sebagai kandidat Walikota dan sangkaan tindak-pidana korupsi yang dia lakukan, yang tiba-tiba jadi isu panas.

Entah ada kaitannya dengan sangkaan korupsi atau tidak, yang jelas Syarial Damopolii akhirnya gagal terpilih sebagai Walikota KK. Akankah nasib yang sama menimpa MMS? Mungkinkah proses hukum yang dijalani MMS juga berdampak terhadap Didi Moha?

Alih-alih berspekulasi, menurut hemat saya, jawaban terhadap dua pertanyaan itu justru adalah sederet pertanyaan: Mampukah MMS menghadapi proses hukum dengan persidangan yang mungkin ketat, melelahkan, dan menuntut perhatian penuh sembari berkampanye sebagai Caleg –yang juga menuntut keseriusan 24 jam setiaphari, tujuh hari seminggu? Kalau dia mampu, bagaimana dengan kredibilitasnya di mata konstituen? Maukah warga Mongondow memilih Caleg yang sedang terjerat sangkaan Tipikor? Demikian pula, dapatkah Didi Moha berkampanye tanpa terganggu dengan kasus yang menimpa Ibunya? Mungkinkah konstituen tidak mengait-ngaitkan MMS dengan Didi Moha, baik karena hubungan kekerabatan yang sangat dekat maupun afiliasi politik yang identik?

 Apa boleh buat, tak dapat ditolak perkembangan terkini skandal TPAPD bakal mengubah peta dan bandul politik di Mongondow, bahkan Sulut. Tidak apalah bila hanya karir politik MMS yang terancam mendadak macet, tapi bagaimana dengan Didi Moha? Sementara, suka atau tidak, dia (juga petahana lain, Yasti Mokoagow) masih tetap kandidat kuat dan paling rasional sebagai wakil masyarakat Mongondow di DPR RI 2014-2019.

Saya kira, alangkah keliru bila kita menjadikan Didi Moha ‘’korban ikutan’’. Walau, tak bisa ditampik pula, ada akibat sosial dan politik yang harus turut dia pikul dari kasus hukum yang menimpa MMS.***

Istilah dan Singkatan yang Digunakan:

APBD: Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah; Bolmong: Bolaang Mongondow; Caleg: Calon Legislatif; DPR: Dewan perwakilan Rakyat; Kasi: Kepala Seksi; KK: Kota Kotamobagu; MMS: Marlina Moha-Siahaan; Pemkab: Pemerintah Kabupaten; Pemilu: Pemilihan Umum; PG: Partai Golkar; Pidsus: Pidana Khusus; Pilwako: Pemilihan Walikota; RI: Republik Indonesia; Sekda: Sekretaris Daerah; Sulut: Sulawesi Utara; Tipikor: Tindak Pidana Korupsi; dan TPAPD: Tunjangan Penghasilan Aparatur Pemerintah Desa.

Thursday, December 26, 2013

Orang Miskin, DPR Tuan Besar, RSUD ‘’Asal Malontok’’

MEMBACA tiga unggahan di Totabuan.Co, Minggu dan Senin, 22-23 Desember 2013, tentang buruknya pelayanan terhadap pasien di RSUD Datoe Binangkang, membuat saya menyimpulkan: Institusi yang semestinya mengurusi orang sakit ini justru sama tak sehatnya dengan pengguna jasanya. Fakta-fakta yang dibeber cukup dingin dan jauh dari spekulasi, kendati beberapa informasi dasar yang sangat diperlukan pembaca, semisal sumber beritanya, hanya disebut ‘’pasien’’.

Walau demikian, saya tidak meragukan ada kebenaran yang dikandung berita  Jika Lihat Pasien Miskin, Dokter di RSUD Datoe Binangkang Banyak Alasan (http://totabuan.co/2013/12/21/jika-lihat-pasien-miskin-dokter-di-rsud-datoe-binangkang-banyak-alasan/); Ketua DPRD Ragukan Alasan Pihak Rumah Sakir Datoe Binangkang, Soal Kehabisan Benang Jahit (http://totabuan.co/2013/12/22/ketua-dprd-ragukan-alasan-pihak-rumah-sakit-datoe-binangkang-soal-kehabisan-benang-jahit/); dan Soal Buruknya Pelayanan Kepada Warga Miskin, Komisi III Segera Panggil Dirut RSUD Datoe Binangkang (http://totabuan.co/2013/12/23/soal-buruknya-pelayanan-kepada-warga-miskin-komisi-iii-segera-panggil-dirut-rsud-datoe-binangkang/) itu. Terlebih Totabuan.Co sudah pula meminta tanggapan pihak RS Datoe Binangkan dan DPR Bolmong.

Agar lebih kredibel, ada baiknya situs berita itu mulai belajar meninggalkan ‘’jurnalisme hantu’’ yang prakteknya di Sulut dipelopori Grup MP. ‘’Pasien’’ yang menjadi sumber berita buruknya pelayanan RSUD Datoe Binangkang bukanlah pelaku atau korban kejahatan berusia belia yang namanya perlu disamarkan. Dia, bila benar adalah ‘’orang miskin’’ yang mengalami kejadian seperti yang ditulis Totabuan.Co, adalah korban yang berhak menuntut penjelasan, pula simpati semua pihak.

Lagipula telah kita mahfumi, orang miskin, miskinnya pelayanan kesehatan, serta dokter dan pengelola institusi publik pengurus hajat sehat orang banyak yang miskin profesionalisme, sudah jadi isu laten di negeri ini. Peristiwa yang ditulis Totabuan.Co itu, tak pelak mengingatkan saya pada buku karangan Eko Prasetyo, Orang Miskin Dilarang Sakit (Resist Book, 2004). Sejujurnya, saya tidak pernah membaca buku ini, karena judul sudah menjelaskan seluruh maksud yang dikandung.

Di Indonesia yang berdasar Pancasila dan UUD 45, yang masyarakatnya diklaim suka tolong-menolong dalam keramahan dan kesantunan, orang miskin bukan hanya dilarang sakit. Semua hal yang mungkin mampu kita pikir, yang kira-kira berkonsekwensi biaya, layak jadi larangan untuk orang miskin: Orang miskin dilarang sekolah; orang miskin dilarang jadi politikus; orang miskin dilarang jadi PNS; orang miskin dilarang jadi pengusaha; bahkan orang miskin dilarang cerewet.

Sebaliknya, orang kaya boleh apa saja, khususnya di Mongondow, apalagi kalau dia juga memegang jabatan publik dan politik. Aparat penegak hukum di daerah ini toh ingin kaya juga. Dan resep menjadi orang kaya dengan cara gampang sungguh sederhana: Mulailah bergaul dengan orang kaya, pasti Anda ketularan –atau minimal terpercik—berkah kekayaannya.

Saya tak hendak berburuk sangka, apalagi berspekulasi hingga tergelincir jadi fitnah dan ujung-ujungnya menyeret saya ke hadapan hukum, tapi kenyataannya (tak hanya di wilayah Mongondow) maling ayam selalu cepat dicokot pihak berwenang. Lain soal kalau urusan korupsi, penyalahgunaan wewenang, atau sejenis ‘’kasus basah’’ yang melibatkan pelaku ‘’kelas kakap’’, prosesnya bisa bertahun-tahun, bahkan lama-kelamaan orang banyak terpaksa pura-pura lupa dan mengikhlaskan sembari berpasrah mengingat tausiah yang kerap disampaikan Pak Ustadz, bahwa, ‘’Tuhan tidak pernah tidur.’’

Itu sebabnya, di atas semua larangan yang harus dicamkan, orang miskin juga dilarang berperkara atau kena perkara. Polres Bolmong, seingat saya, masih berhutang beberapa kasus yang melibat mereka yang tak berpunya sebagai korban, salah satunya (yang sudah berulang kali saya tulis) adalah tewasnya bocah perempuan dari Desa Paret (Boltim), Alvira Mokoginta, yang hilang pada Sabtu (26 Juni 2011) dan ditemukan dalam kondisi menggenaskan.

Di akhir 2013 ini pelaku kebiadaban terhadap Almarhumah Elvira tak kunjung terungkap, padahal polisi sudah punya bukti-bukti permulaan. Apakah karena orangtua anak kelima dari enam bersaudara ini, Aleng Mokoginta dan Suriati, cuma ‘’orang kecil yang papah’’ lalu pengungkapan kasusnya bukan prioritas? Atau karena kasusnya ‘’kering’’, cuma bikin repot, dan tak ada pula pihak lain yang meramaikan, lalu duka mereka akhirnya bakal terlupa oleh cepatnya zaman yang melintas?

Cara pihak berwenang, juga elit birokrasi dan politik yang wajib mengurus kemaslahatan masyarakat, menangani masalah yang melibatkan orang miskin atau pelayanan publik, memang selalu memuakkan. Kasus yang dikedepankan Totabuan.Co berkenaan dengan pelayanan di RSUD Datoe Binangkang tidaklah rumit: Ada pasien yang melahirkan dan (tampaknya) harus dioperasi, tapi karena RSUD kehabisan obat bius, maka dia dirujuk ke RS swasta dengan konsekwensi harus merogoh kantong lebih dalam. Kasus yang lain, juga pasien yang akan melahirkan dan mesti dibedah, dirujuk ke RS swasta yang sama karena RSUD kehabisan benang jahit. Dari angle pemberitaan, patut diterjemahkan bahwa dua pasien ini adalah warga miskin yang jadi korban ‘’kongkalingkong bisnis layanan kesehatan.’’

Pembaca, Anda tahu apa yang menjengkelkan dari kasus itu? Respons DPR Bolmong dan kilahan Direktur RSUD Datoe Binangkang yang asal-asalan, sungguh menghina akal sehat. DPR akan memanggil Direktur RSUD untuk hearing. Lalu apa yang akan ditanyakan? Direktur RSUD sendiri dengan enteng sudah menyampaikan alasan, benang yang habis tidak dijual di apotek di Kotamobagu dan harus didatangkan dari Manado.

Apa sulitnya bagi tuan-tuan besar di DPR Bolmong, yang berkantor tak jauh dari RSUD Datoe Binangkang, melakukan inspeksi, mengecek benar-tidaknya publikasi media; setelah itu merumuskan pihak mana saja yang harus di-hearing. Sebaliknya, Direktur RSUD jangan pula menjawab seperti pedagang rica-tomat yang buta-tuli supply chain. Kecelakaan atau pasien melahirkan bukan peristiwa satu kasus dalam satu tahun seperti gigitan ular kobra yang obatnya boleh jadi sama sekali tak ada di daftar stok yang siap setiap saat. Obat bius dan benang jahit mutlak tersedia, terlebih dengan memahami bahwa setiap hari sangat mungkin ada pasien yang memerlukan penanganan dengan tindakan pembedahan, minimal minor.

Ibu Direktur RSUD Datoe Binangkan, jawaban asal malontok Anda, seolah pasien dan orang banyak yang awam bodoh belaka, membuat profesi dokter kini kian dianggap sebagai sekadar ‘’tukang kelontong jasa kesehatan’’. Mungkin Anda perlu jujur mengatakan, ‘’Persediaan obat bius dan benang jahit kami sering habis karena anggaran kosong.’’ Atau, sekalian saja mengakui, ‘’Di RSUD Datoe Binangkang kami memang tidak memiliki tenaga mumpuni yang memahami supply chain dan manajemen persediaan yang mendukung layanan kesehatan prima.’’ Ini lebih baik dan lebih bermartabat, juga menunjukkan kualitas kecerdasan seorang dokter yang juga Direktur RSUD.

Warga umumnya sudah tahu, pendidikan dan layanan kesehatan berkualitas tinggi memang masih jauh dari perhatian para Bupati-Wabup serta Walikota-Wawali di wilayah Mongondow. Sebab itu, wahai tuan-tuang besar di DPR Bolmong, Direktur RSUD Datoe Binangkang, serta institusi dan aparat layanan publik terkait, janganlah pula derita mereka yang menggantungkan harapannya, terutama kaum yang tak mampu dan tak berdaya, diremehkan dengan omong kosong dan tipu-tipu politis.

Mohon diingat, orang-orang miskin yang marah dan capek dijadikan sekadar obyek, ditambah mereka yang punya kesadaran menuntut hak, adalah kumpulan yang mampu melindas apapun.***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

Bolmong: Bolaang Mongondow; Boltim: Bolaang Mongondow Timur;  DPR: Dewan Perwakilan Rakyat; MP: Manado Post; PNS: Pegawai Negeri Sipil; RSUD: Rumah Sakit Umum Daerah; dan UUD: Undang-undang Dasar.

Tuesday, December 24, 2013

CPNS 2013: Kisah Sedih di Akhir Tahun

HASIL seleksi calon pengawai negeri sipil (CPNS) tahun ini diumumkan Selasa, 24 Desember 2013. Saya, yang sesungguhnya tak punya sangkut-paut –kecuali karena sejumlah kerabat, teman, dan kenalan terdaftar sebagai peserta--, tak urung turut cawe-cawe mencermati yang lulus dan tidak, khususnya CPNS dari wilayah Mongondow.

Dibanding tahun-tahun sebelumnya, seleksi CPNS 2013 ini boleh dibilang cukup transparan dan fair. Sejak mula Kementerian PANRB ‘’mengkampanyekan’’ prosesnya diupayakan meminimalisir kecurangan (yang galib dituduhkan selama ini). Kementerian ini juga secara terbuka mengumumkan jenis tes serta passing grade (terjemahan yang tepat mungkin ‘’nilai kelolosan’’) yang harus dicapai para peserta, sebagaimana yang diunggah di situs Kementerian PANRB, Selasa, 5 November 2013, Pemerintah Tetapkan Passing Grade Tes CPNS (http://www.menpan.go.id/berita-terkini/1999-pemerintah-tetapkan-pasing-grade-tes-cpns).

Ada tiga jenis tes yang dihadapi para peserta, masing-masing TKP, TIU, dan TWK. Untuk peserta yang mengikuti tes dengan sistem CAT, passing grade  yang ditetapkan masing-masing TKP 60% (nilai ambang batasnya 105), TIU 50% (nilai ambang batasnya 75), dan TWK 40% (nilai ambang batasnya 70). Sedang peserta dengan sistem LJK masing-masing TKP 60% (nilai ambang batasnya 108), TIU 50% (nilai ambang batasnya 70), dan TWK 40% (nilai ambang batasnya 64). Selain tiga jenis tes itu, masih ada TKB untuk instansi, lembaga, atau insitusi yang memang membutuhkan keahlian khusus.

Hanya berdasar pada pemahaman umum TKP dan TIU, saya cenderung setuju dengan model tes yang digunakan Kementerian PANRB. Bila benar TKP mampu menguji karakteristik pribadi dan TIU mampu mendeteksi ‘’kecerdasan’’ seorang CPNS, inilah pendekatan yang relatif ideal. Bagaimana pun karakteristik seseorang memang amat menentukan performance-nya di dunia kerja. Mereka yang malas, bossy, cenderung korup dan semena-mena, serta berbakat besar jadi tukang tipu dan politicking, sebaiknya langsung dicoret sebagai CPNS. Demikian pula, ‘’kecerdasan’’ yang kerap tidak korelatif dengan ‘’kepintaran’’. Banyak orang yang di masa sekolah dan PT selalu tercatat sebagai juara kelas dan punya IP di atas 3,00, ternyata majal di dunia kerja.

Secara pribadi saya pernah harus menghadapi ujian karakteristik pribadi ketika satu ketika menjalani tes etik yang disyaratkan perusahaan tempat bekerja, terutama untuk level di atas manajer. Materi tes yang disodor menguji sejauh mana seorang profesional memahami, meresepi, dan menegakkan komitmen etis profesonalnya. Yang mengejutkan bukan karena saya lolos dengan nilai sempurna (dan menjadi satu-satunya di antara seluruh peserta), tetapi sebab begitu banyak penyandang dua-tiga gelar akademik yang bekerja lebih lama dan di posisi lebih tinggi dari saya, gagal melewati passing grade dan harus dididik kembali di pelatihan etik.

Akan halnya intelegensia umum yang diuji lewat TIU, saya kira bukanlah sejenis psikotes yang umum kita kenal. Dugaan saya, tes ini semata menakar ‘’kecerdasan normatif’’ yang minimal harus dimiliki seorang PNS. Apa sulitnya? Masak seseorang yang lulus SMA/SMK atau PT tidak cukup cerdas? Tentu sangat tidak masuk akal bila selama masa sekolahnya dia terus-menerus mencontek, serta skripsi dan ujian akhirnya hanya sulap-sulapan?

Lain halnya dengan TWK. Apa yang dimaksud dengan wawasan kebangsaan? Seorang CPNS tahu persis sejarah Indonesia masa silam; pahlawan-pahlawan di negeri ini yang gugur karena merintis dan mempertahankan kemerdekaan; atau siapa-siapa menteri di kabinet terakhir? Ataukah wawasan kebangsaan adalah bagaimana setiap anak negeri ini mencintai tanah airnya dengan hati tak tergoyahkan?

Cilakalah bila wawasan kebangsaan yang dimaksud adalah yang pertama. Ekstrimnya, CPNS-CPNS yang orang Indonesia (lebih khusus Mongondow) tulen, yang katakanlah sejak masa kanak hingga PT menempuh pendidikan di luar negeri, hampir dapat dipastikan bakal mencatat capaian di bawah 40% untuk TWK. Kementerian PANRB sedang mencari CPNS atau sarjana sejarah?

Di masa SD hingga SMA tidak masalah bagi kebanyakan kita menjawab pertanyaan: Siapa pendiri Kerajaan Majapahit? Siapa Menteri Pendidikan? Atau siapa yang mengusulkan Piagam Jakarta? Begitu di PT, apalagi untuk mereka yang mengambil studi eksakta, siapa yang repot-repot mengingat Raden Wijaya, nama menteri yang kian hari jumlahnya lebih banyak dari pasukan gerak jalan, dan piagam yang nasibnya tinggal jadi kajian sejarah? Bagi dokter, dokter gigi, sarjana teknik, atau ahli pertanian, tidak masalah dia lupa siapa tokoh bangsa; yang lebih penting dia ingat letak jantung, gigi mana yang harus dicabut, kekuatan pondasi, atau terong harus dibibitkan seperti apa.

Menguji wawasan kebangsaan seseorang, setelah dia dites dengan karakteristik pribadi dan intelegensia umum, adalah kesia-siaan yang menggelikan. Ketika dunia kian maju, globalisasi membuat negara menjadi tanpa batas, Kementerian PANRB justru mempersempit takaran kebangsaan hanya sekadar urusan memahami sejarah dan tetek-bengeknya; bukan bagaimana seseorang (CPNS pula) mencintai dan berkomitmen sekukuh granit terhadap negerinya. Bagi sejumlah orang, terutama mereka yang brilian, memilih menjadi PNS (sementara tawaran di dunia kerja pertikelir melambai-lambai menggoda) bukanlah berkah; melainkan pengorbanan karena kecintaan yang keras kepala terhadap ke-Indonesia-an.

Di Perth, Western Australia, Selasa, 17 Desember 2013, saya sempat bercakap-cakap dengan seorang anak Indonesia yang dengan gemilang menyelesaikan studi masternya di bidang yang masih amat langka, bahkan di Australia. Dia bekerja di salah satu institusi negara di Indonesia, yang sebab kecerdasannya, University of Western Australia menawari kesempatan menjadi pengajar yang otomatis memberikan kesempatan studi lanjutan dan gelar profesor.

Melihat masa depan yang terbentang di hadapannya, saya spontan mengatakan, ‘’Ambil kesempatan itu. Di Indonesia mungkin kau tidak akan pernah mendapatkan tawaran yang begitu bagus.’’ Saya terkejut ketika dia justru menjawab, ‘’Saya memang akan mengambil PhD. Tetapi saya akan kembali dan mengabdi di Indonesia. Dengan segala risikonya.’’

Hari ini, sembari mengecek kelulusan peserta tes CPNS 2013 yang saya kenal, juga membaca aneka keluh dan geram di status BBM, serta BBM dan SMS yang dikirimkan sejumlah orang dari Mongondow; saya membayangkan kegalauan yang mendera banyak orang. Peserta tes yang gagal melewati passing grade, Bupati dan Walikota yang pusing karena (konon) hanya 80% peserta tes tahun ini yang lolos (artinya banyak formasi yang gagal terisi), serta –yang tak bisa dielakkan-- sentimen anak daerah versus pendatang yang tiba-tiba diruyakkan oleh sejumlah orang.  Dan kesedihan itu pun menerjang.

Kelulusan tes CPNS 2013 di Mongondow memang patut dipertanyakan bila pesertanya gagal di TWK; tetapi tidak untuk TKP dan TIU. Bukankah selama ini kita mengharapkan ada proses yang benar-benar jujur dan adil? Dan yang terpilih menjadi CPNS , lalu PNS, adalah mereka yang layak memikul manah?

Apa yang dilakukan Kementerian PANRB tahun ini memang jauh dari sempurna, terutama TWK yang menggelikan itu. Selebihnya, saya kira, harus diterima dengan lapang dada, setidaknya seperti yang ditunjukkan Bupati Bolsel, Herson Mayulu, sebagaimana yang dipublikasi Totabuan Co,  Bupati Bolsel Menyurat ke Menpan RB, Soal Tingginya Passing Grade (http://totabuan.co/2013/12/24/bupati-bolsel-menyurat-ke-menpan-rb-soal-tingginya-passing-grade/).

Ya, hasil seleksi CPNS 2013 ini, khususnya di Mongondow, memang jadi kisah sedih di akhir tahun untuk sangat banyak pesertanya, juga kebanyakan kita yang peduli. Tapi saya hanya bersedih untuk mereka yang tak lolos karena TWK-nya rendah, tidak untuk yang TKP dan TIU-nya payah.***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

BBM: BlackBerry Messenger; CPNS: Calon Pegawai negeri Sipil; CAT: Computer Assisted Test; IP: Index Prestasi; LJK: Lembar Jawab Komputer; PANRB: Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi; PNS: Pegawai Negeri Sipil; PT: Perguruan Tinggi; SD: Sekolah Dasar; SMA: Sekolah Menengah Atas; SMK: Sekolah Menengah Kejuruan; SMS: Short Message/Pasan Pendek; TIU: Tes Intelegensia Umum; TKP: Tes Karakteristik Pribadi; TWK: Tes Wawasan Kebangsaan; TKB: Tes Kompetensi Bidang; dan TWK: Tes Wawasan Kebangsaan.

Friday, December 13, 2013

‘’Maraju Minta Oto Dang?’’

DI PERTUNJUKAN sirkus penonton disuguhi atraksi aneka hewan dan orang-orang terlatih. Di masa pra remaja, sebelum layar televisi didereti ratusan saluran, hanya ada TVRI yang menyambangi pemirsa. Seingat saya, televisi pertama yang dibeli Ayah bermerek Quintrix. Berwarna dan (kalau tidak salah) berlayar 30 atau 32 Inch. Di zaman itu, ketika televisi umumnya masih black and white, punya televisi berwarna sungguh keren.

Sebab tak ada saluran lain, apapun yang ditayangkan TVRI harus diterima dengan lapang dada, termasuk tari-tarian yang banyak dijadikan tontonan sela dari satu acara ke acara berikut. Yang paling menantang dari pentas tari-tarian ini, terutama tari Jawa klasik dan ditayangkan mendahului film seri yang saya gilai, BJ and The Bear, CHIPs, atau The Avengers. Dayuan musik dan lenggok gemulai para penarinya dijamin memanjakan mata dan lewatlah serial kesayangan diseret mimpi berpeluk dingin Mogolaing paruh 1980-an.

Selain film seri, acara lain yang ditunggu-tunggu pemirsa televisi zaman saluran tunggal adalah Dunia Dalam Berita serta (tentu saja lebih khusus saya) komedi dan sirkus. Tak pelak hari paling membahagiakan adalah akhir pekan seusai makan malam dan TVRI menyajikan tayangan komedi, disusul sirkus, lalu ditutup dengan film seri kesayangan. Sudah begitu Ayah-Ibu juga tak cerewet menyuruh anak-anak segera naik ke tempat tidur. Amboi....

Mengapa saya menyukai tayangan sirkus? Karena saya tahu jumpalitan para trapeze dari ayunan dan tambang di ketinggian belasan meter atau aksi hewan-hewan terlatih, bukanlah trik kamera dan kemasan skenario ditopang alat bantu keselamatan serta pemeran pengganti. Namun, di antara seluruh rangkaian pertunjukan, yang paling menggelitik dan ditunggu-tunggu adalah saat keluarnya para badut: sosok berhidung merah bulat bak tomat ranum, rambut sebahu membumbung-acak-acakan, kostum gembrong, dilengkapi sepatu berujung mirip bukit salah tempat.

Apa saja yang dilakukan badut-badut sirkus (kemudian badut-badut lain, seperti badut ulang tahun kanak-anak) itu pasti memicu gelak. Padahal resepnya klasik belaka dan barangkali telah diulang-ulang jutaan kali: Bunga hiasan yang memuncratkan air, topi yang naik-turun di kepala seirama langkah, atau sekadar slapstick tendang-menendang dan geat-menggaet kaki sesamanya. Badut bagi sirkus adalah garam yang menyempurnakan santapan. Tanpa badut sirkus pasti terasa hambar.

Sirkus pula yang segera melintas di benak tatkala saya menyimak Bupati Bolmong Pulang Dengan Kecewa Lantaran 16 Anggota DPRD Tak Hadir Dalam Pembahasan di Totabuan.Co, Rabu, 11 Desember 2013 (http://totabuan.co/2013/12/11/bupati-bolmong-pulang-dengan-kecewa-lantaran-puluhan-anggota-dprd-tak-hadir-dalam-pembahasan/). Dalam berita dipapar, Rapat Paripurna Pembahasan APBD 2014 tahap dua di Kantor DPRD Bolmong, Jalan Paloko Kinalang, dibatalkan karena 16 dari 30 anggota DPR tak hadir tanpa alasan jelas.

Atraksi apa lagi yang sedang dipertontonkan oleh para politisi di DPR Bolmong? Boikot terhadap Bupati-Wabup Bolmong yang dinilai gagal menjalankan amanat jabatannya; atau –seperti biasa— sebab ada ‘’udang di balik batu’’? Dugaannya, tulis situs berita yang sama, Batalnya Pembahasan, Karena Para Anggota DPRD Dikabarkan Ingin Mobil Dinas Dari Bupati (http://totabuan.co/2013/12/11/batalnya-pembahasan-karena-para-anggota-dprd-dikabarkan-ingin-mobil-dinas-dari-bupati/). Membaca ‘’dugaan’’ ini, saya bersyak Totabuan.Co sekadar memanas-manasi tensi politik di Bolmong.

Saya agak meragukan duga-menduga itu. Masak karena kebelet punya mobil lalu 16 anggota DPR Bolmong maraju berjamaah bagai perawan kepingin menikah tapi terhalang restu orangtua, lalu mengurung diri di kamar, mogok bicara, mogok mandi, mogok makan? Ataukah maraju sedang jadi mode di Mongondow setelah Bupati Bolsel, Herson Mayulu, memelopori dengan ancaman menarik dukungan terhadap PBMR, bahkan pindah ke Provinsi Gorontalo?

Kamis, 12 Desember 2013, dari pengakuan sumber yang dikutip Totabuan.Co,  Beberapa Oknum Anggota DPRD Bolmong, Ternyata Mengaku Ingin Kendaraan Dinas (http://totabuan.co/2013/12/12/beberapa-oknum-anggota-dprd-bolmong-ternyata-mengaku-ingin-kendaraan-dinas/), 16 legislator itu nyatanya memang maraju. Yang mengundang gelak sebab di tubuh berita dituliskan, ‘’Alasan mereka, itu bagian dari penghargaan karena sudah sepuluh tahun mengabdi sebagai wakil rakyat.’’ Frasa ini pertegas kutipan dari dua legislator, bahwa, ‘’Memang jika itu dimungkinan, apa salahnya. Kita kan sudah sepuluh tahun mengabdi. Anggap saja itu sebagai penghargaan.’’

Boleh-tidaknya ‘’penghargaan’’ itu dikabulkan, Totabuan.Co memapar, ‘’Namun niat tersebut rupanya terhalang Peraturan Menteri keuangan terkait dump (terjemahan yang tepat bukan ‘’jual murah’’, melainkan ‘’pelimpahan’’) kendaraan dinas. Bupati Kabupaten Bolmong menegaskan, untuk dump kendaraan dinas tidak diperbolehkan, terkecuali harus dilakukan lelang.’’

Sempurnalah sirkus politik dan pemerintahan di Bolmong, yang penuh aksi dan atraksi pembentot perhatian sejak Bupati Salihi Modongan-Wabup Yani Tuuk menduduki jabatannya lebih dua tahun terakhir. Hanya saja, kali ini badut-badut sirkus yang mestinya menghibur penonton tampak lucu dan menggemaskan sebab mereka dengan sengaja mengunyah topi, hidung merah tomat, bunga hiasan, bahkan sepatu pentasnya.

Begitu pentingnyakah nilai mobil dump bagi kehormatan seorang anggota DPR di Bolmong hingga mereka ramai-ramai mempermalukan diri di hadapan publik? Penduduk Jalan Amal, tempat saya dibesarkan di Kotamobagu hingga tahun terakhir SMA, barangkali akan mempergunjingkan dengan cibir, ‘’Cuma bagitu dorang pe harga diri dengan harga jabatan dang?’’

Tapi kalau memang sedemikian penting dan mustahaknya punya mobil karena telah mengabdi 10 tahun sebagai wakil rakyat, apa sulitnya Bupati Bolmong mengabulkan keinginan mereka? Lelang saja kendaraan dinas yang sekarang dikuasai anggota DPR yang masa bhaktinya berakhir 2014 mendatang. Pastikan bahwa peserta lelangnya sangat terbatas dan pasti dimenangkan oleh para legislator haus mobil itu. Saya yakin jajaran Pemkab Bolmong piawai kalau cuma perkara sulap-menyulap tingkat dasar seperti itu. Menyulap DB 25 D menjadi anggunan dan kini dikuasai pihak ketiga pun mereka ahli; sekadar sedikit membengkok-bengkokkan aturan pasti mampu dilakukan sambil menutup mata.

Jika perlu, sekalian saja Pemkab Bolmong mengganggarkan 30 mobil baru di APBD 2014 sebagai penghargaan terhadap anggota seluruh anggota DPR yang akan mengakhiri jabatannya. Bukankah mereka juga yang akan membahas dan membubuhkan persetujuan? Tidak ada risiko yang bakal dipikul Bupati, Wabup, dan jajaran Pemkab Bolmong.

Lagipula, dengan demikian masyarakat Bolmong bakal punya tontonan dan amunisi pergunjingan di tahun-tahun mendatang, karena 30 legislatornya pasti bakal beramai-ramai menyesaki tahanan kepolisian, bahkan mungkin KPK. Ulah, keluh, ratap, dan lolong mereka dijamin membuat kita tak henti terbahak-bahak.***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

APBD: Anggaran Belanja dan Pendapatan Daerah; Bolmong: Bolaang Mongondow; DPR: Dewan Perwakilan Rakyat; Pemkab: Pemerintah Kabupaten; PBMR: Provinsi Bolaang Mongondow Raya; SMA: Sekolah Menengah Atas; TVRI: Televisi Republik Indonesia; dan Wabup: Wakil Bupati.