Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Friday, August 31, 2012

Tercolok Jempol di DPR Bolsel


POLITIKUS di Mongondow tampaknya memang gemar bikin sensasi, bahkan sebelum akal sehat mereka usai memproses tindakan yang diambil. Kadang-kadang ulah itu bisa kita nikmati sebagai lelucon, tontonan sambil mengudap goroho direbus dengan santan, atau yang paling buruk menjengkelkan karena menunjukkan kualitas mereka yang tak lebih dari blanga goreng popolulu.

Pernyataan Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Bolaang Mongondow Selatan (DPR Bolsel), Riston Mokoagow, yang hari ini (Jumat, 31 Agustus 2012) saya baca di situs Kontraonline.Com, menjadi salah satu contoh bagaimana politikus kita memang menerapkan aksi ‘’bicara dulu, berpikir kemudian’’. Perilaku itu celakanya dilakukan di sembarang tempat, termasuk di Rapat Paripurna sepenting pembahasan Anggaran Pembangunan dan Belanja Daerah Perubahan (APBD-P) 2012. Sebagai bagian dari pandangan fraksi pula.

Di Rapat Paripurna APBD-P Bolsel tahun 2012 yang berlangsung di Molibagu, tulis Kontraonline.Com, Riston menuding pemberitaan berkaitan aksi cap jempol darah yang dilakukan tujuh anggota DPR Bolsel beberapa waktu lalu, adalah bagian dari upaya memprovokasi hubungan eksekutif dan legislatif. Karena sudah menyudutkan pihak DPR, janji  Riston, dia dan teman-teman (anggota DPR Bolsel) bakal melaporkan hal ini ke pihak kepolisian.

Sebagai anggota DPR (bahkan Wakil Ketua), Riston tampaknya lebih banyak tidur dan main game dibanding membaca-baca dan mempelajari hal-hal mendasar yang mesti diketahui dan dipahami seorang politikus yang juga legislator. Atau dia bersikap pura-pura buta-tuli bahwa kerja jurnalistik dilindungi undang-undang (UU) yang bersifat lex specialist, yang artinya bila ada masalah dengan pemberitaan oleh media, kasusnya dihadapkan ke Dewan Pers, bukan polisi.

Ada pengecualian (saya yakin sebagian besar jurnalis akan menentang pendapat ini), kalau pemberitaan oleh media ditulis 100 persen tanpa fakta, menurut hemat saya wilayahnya bukan UU Pers, melainkan pidana. Apakah pemberitaan cap jempol darah tujuh anggota DPR Bolsel berdasar kuat atau sekadar karang-karangan para wartawan?

Dugaan saya, Riston Mokoagow dan enam anggota DPR Bolsel yang pernah melakukan cap jempol darah kini tak berdaya namun tak ingin kehilangan muka. Karena masih amatir dalam politik, bukannya bersiasat dengan cara canggih, dia memilih jalan paling gampang: Menyelesaikan masalah dengan menciptakan masalah baru.

***

Ihwal cap jempol darah tujuh anggota DPR Bolsel itu pertama kali saya baca di Radar Sulteng Online (http://www.radarsulteng.co.id/index.php/berita/detail/rubrik/45/3450), Selasa, 24 Juli 2012, dengan tajuk 7 Legislator Cap Jempol Darah. Judulnya yang ‘’gawat’’ mendorong saya menyimak berita tersebut. Sayangnya tak ada penjelasan lebih jauh siapa dan mengapa anggota-anggota DPR yang terhormat itu melakukan upacara ala sekte fanatik atau kelompok kriminal terorganisir.

Tanda-tanya di kepala saya baru terjawab setelah membaca situs Harian Manado Post (http://www.manadopost.co.id/index.php?mib=berita.detail&id=114009), Rabu, 25 Juli 2012, yang mempublikasi Sumpah Jempol Daerah Terkuak: 1 Legislator Ajukan 3 Petisi. Berita ini dilengkapi foto petisi yang ditanda-tangani serta info grafis yang memperjelas poin demi poinnya.

Nama-nama anggota DPR Bolsel yang menandatangani petisi adalah Riston Mokoagow, Ibrahim Podomi, Jamaludin Rajak, Ismail Paputungan, Sumitro Moha, Syamsudin Jamaludin dan Syafrudin Datu. Isi petisinya sendiri: 1) Tidak akan mengikuti dan menghadiri HUT Bolsel (Paripurna). 2) Tidak akan mengikuti dan membahas serta menetapkan atau pun menyetujui kebijakan umum anggaran dan prioritas plafon anggaran sementara. Dan 3) Tak akan membahas dan menetapkan perda-perda lainnya di Bolsel. Apabila Bupati Bolsel serta unsur pemda lainnya tidak menyetujui dan mengikuti prinsip-prinsip keadilan yang diinginkan oleh anggota dewan perwakilan daerah sebagai representasi dari rakyat Bolsel.

Baiklah, ‘’para pendekar’’ penjempol-darah petisi telah diketahui, demikian pula isinya, tapi latar belakang aksi itu tak jua terjawab. Beberapa teman dan kenalan di Mongondow yang saya tanyai sambil lalu, juga kompak menyatakan tidak tahu. Maka dengan menduga-duga, saya menyimpulkan (sesuka hati saya), bahwa petisi dijempoli darah itu pasti tak lepas dari masalah pembagian porsi ‘’kue’’ yang umum jadi isu di seantero negeri ini.

Bukan rahasia lagi, bila eksekutif (Bupati dan jajaran) agak ketat melakukan bagi-membagi ‘’kue’’ ke legislatif, dapat dipastikan aneka isu bakal bersemburan, membuat suhu politik dan pemerintahan meriang -–terlebih bila yang dibagi onde-onde dan legislatif merasa mereka hanya kebagian bumbu kelapanya. Dalam hati saya membathin: ‘’Begitu tujuh orang anggota DPR itu mendapat masing-masing satu piring onde-onde, mereka bakal tak dapat membedakan lagi apakah bekas jempol di petisi berwarna merah karena darah atau akibat gula yang meluber.’’

Sudah pengetahuan umum yang lain bahwa kebanyakan politikus kita (tak hanya di Mongondow) bisa mendadak cerewet dan gagah berani membela rakyat; juga mendadak diam dengan alasan yang sama. Sementara rakyat yang diatas-namakan hanya bisa melongo-longo bingung karena situasi dan kondisi mereka ternyata cuma berubah seupil, atau bahkan sama sekali tidak.

***

Saya hampir melupakan perkara petisi cap jempol darah itu hingga membaca berita Cap Jempol Darah Dilanggar di situs Harian Manado Post (http://www.manadopost.co.id/index.php?mib=berita.detail&id=115018), Rabu, 29 Agustus 2012. Saya terbahak membaca kutipan dari salah seorang anggota DPR yang ikut menjempolkan darahnya, Jamaludin Razak, yang menyatakan, ‘’Tujuh jenderal cap jempol darah kini sudah terkubur.’’

Rupanya hanya dalam jangka satu bulan darah yang dibubuhkan di atas petisi yang mereka buat sudah berubah jadi gula merah onde-onde.

Sebagaimana dimulainya, berakhirnya petisi juga tak diketahui sebabnya. Tidak pula ada penjelasan apakah prinsip-prinsip keadilan sebagaimana yang mereka cantumkan di poin tiga petisi akhirnya disetujui dan diikuti oleh Bupati Bolsel dan unsur Pemda lainnya. Kalau pun disetujui dan diikuti, apa sebenarnya makluk yang disebut sebagai ‘’prinsip-prinsip’’ keadilan itu?

Di antara sejumlah tanya dan misteri, Riston Mokoagow yang namanya tercantum di nomor satu penjempol-darah tiba-tiba meradang pada para jurnalis dengan ancaman menyeret mereka ke hadapan polisi. Lengkaplah sudah tontonan ondel-ondel di DPR Bolsel dan karenanya izinkan saya mencaci secara terbuka: Idiot!

Menghadapi politikus kelas kuaci seperti yang ditunjukkan beberapa anggota DPR Bolsel, saya kira para jurnalis tak perlu ikut-ikutan bertindak bodoh dengan beramai-ramai pula mengadu ke polisi. Cukup kirimkan UU Pers, lup dan Cerebrovit X-Cel (nutrisi yang dapat memenuhi kebutuhan vitamin, mineral tubuh dan otak) dengan iringan doa semoga jendela pengetahuan dan kearifan segelintir legislator itu bolehlah sedikit terkuak.

Meladeni kebodohan dengan serius adalah perbuatan sia-sia yang cuma membuang-buang umur.***

Thursday, August 30, 2012

Eyang dan Medy: Mengapa Kemesraan Itu Cepat Berlalu?


KABAR itu tiba di malam yang menua, Rabu (29 Agustus 2012). Beberapa short message dan BlackBerry Messenger (BBM) mengabarkan Wakil Bupati (Wabup) Bolaang Mongondow Timur (Boltim), Medy Lensun, akan mengundurkan diri dari jabatannya. Pernyataan ini, tulis beberapa kawan dan sanak, bisa dicek di status BBM-nya.

Saya buru-buru mencari kontak BBM Wabup Boltim dan terhenyak ketika menemukan info itu benar adanya. Apa gerangan yang menyebabkan Medy Lensun pecah kongsi dengan pasangannya, Bupati Sehan Lanjar? Hubungan mereka, sebagaimana relasi antar elit umumnya, sepengetahuan saya sangat dinamis. Tapi biasanya dengan cepat mereka segera se-iya sekata lagi.

Kedua tokoh itu saya kenal dekat. Eyang –sapaan akrab Bupati Boltim—selalu menyebut Medy sebagai ‘’Wabup dan adik saya’’. Sebaliknya di kesempatan-kesempatan pribadi Medy menyapa Bupatinya sebagai ‘’Eyang’’ saja. Hampir tak ada jarak di antara mereka berdua.

Sebagai pasangan Bupati-Wabup terpilih yang dilantik pada 4 Oktober 2010 lalu, Eyang-Medy melalui jalan yang tak mudah. Dibanding para pesaingnya, pasangan ini adalah underdog dalam segala pengertian (tidak didukung partai besar, dana terbatas dan kalah popularitas). Eyang menggambarkan proses terpilihnya mereka berdua sebagai, ‘’Kerja politik yang susah-payah dan berdarah-darah.’’

Karena itu, dalam satu pertemuan dengan saya dan beberapa kawan di Hotel Swiss Maleosan Manado, Eyang dan Medy tanpa ragu bertekad mempertahankan duet mereka hingga akhir masa jabatan. Malam itu saya tidak menangkap yang disampaikan adalah komitmen politik, melainkan kemesraan dan saling memahami antara dua tokoh yang telah dengan tulus mengikat kesepakatan.

***

Pukul 23.39 WIB saya mengontak Medy Lensun dan menanyakan apakah dia serius dengan maklumat mundur itu? Dan apa penyebabnya? Komunikasi kami tentu bukan konsumsi publik, tetapi intinya Medy tidak sedang baku sedu. Dia dan Eyang terpaksa harus berpisah sebab memang demikianlah situasinya.

Menjelang tidur terlintas di benak saya harapan semoga Medy menyampaikan pengunduran diri (serta alasannya) dengan elegan dan bermartabat. Dengan begitu dia bukan hanya membuktikan bahwa ‘’jabatan bukan tujuan’’, tetapi juga memberikan pelajaran integritas pada warga Boltim umumnya dan Bupati Sehan Lanjar khususnya.

Sayangnya Kamis (30 Agustus 2012) beberapa media massa –cetak dan elekronik—yang memuat lebih detil ihwal pengunduran diri Medy jauh dari harapan saya. Bahkan ada berita dengan kutipan langsung, yang menurut pendapat saya, menunjukkan Medy tak mampu mengontrol emosi dan tergelincir menyerang Eyang secara pribadi sebagai sosok dengan kepribadian yang tak dapat dipercaya.

Ah, andai Medy mengundurkan diri dengan pernyataan terkontrol, bahwa karena tidak lagi cocok dengan Bupati sebagai pasangannya. Stop sampai di situ, secara eksplisit dan implisit dia dapat kita gambarkan sebagai seseorang yang pergi penuh kehormatan, santun, dengan wajah serta dada tegak. Menyerang Eyang sekadar sebagai pelampiasan apa yang bergolak di dada setelah terlebih dahulu memproklamirkan pengunduran diri, menurut hemat saya, hanya provakasi yang mengundang anak-pinak kemarahan dari banyak pihak (pro dan kontra) di jangka panjang.

Saya mencoba merasionalisasi bahwa usia dan darah muda kerap membuat kita alpa mengontrol emosi. Saya mahfum bahwa Medy pun bukan ‘’orang suci’’ yang sepenuhnya mampu bersikap arif dan bijaksana. Semoga Eyang yang diserang secara langsung tetap menunjukkan bahwa Medy adalah ‘’(bakal mantan) Wabup dan (tetap) adik saya.’’

***

Pukul 16.58 WIB, saya masih bersikutat dengan pekerjaan kantor ketika panggilan telepon dari Eyang masuk. Panggilan telepon itu hanya selisih 16 menit setelah saya mengirimkan SMS, menanyakan apa sebenarnya yang sedang terjadi antara dia dan Wabup.

Eyang yang masih berada di Gorontalo dan dalam kondisi berduka dengan wafatnya Ibu Mertuanya, meluangkan waktu bercakap-cakap dengan saya lebih dari satu jam. Banyak latar belakang yang disampaikan Eyang. Tentu dari versi subyektifnya, yang sesungguhnya hampir semuanya sudah saya ketahui dari sumber lain. Biarlah percakapan antara kami –sebagaimana komunikasi saya dengan Medy—menjadi konsumsi yang tidak akan saya jadikan milik publik.

Yang dapat saya bagikan adalah, saya menyatakan menghormati sikap Eyang dan juga Medy, dan berharap keduanya dapat menyelesaikan perbedaan pendapat dengan tetap menjunjung kehormatan masing-masing. Sebagai Bupati yang juga berusia lebih tua, saya berharap Eyang tidak kehilangan kearifannya.

Hingga kami menutup percakapan, ada pertanyaan di ujung lidah yang tak pernah berhasil terucap. Sesuatu yang sepele dan tak penting, tetapi mungkin cukup mengingatkan Eyang dan Medy betapa dulu mereka rukun dan bahu-membahu mencapai posisi publik saat ini. Bahwa, ‘’Mengapa kemesraan itu cepat berlalu?’’

Tidakkah Eyang dan Medy mencoba memahami bahwa perpisahan mereka dengan cara menyakitkan sungguh mengecewakan warga Boltim; juga mematahkan hati sejumlah banyak orang yang pernah optimis pasangan ini bakal menjadi contoh sosok Bupati-Wabup ideal di Mongondow?


***

Kata-kata seperti batu yang dilamparkan atau waktu yang berlalu. Tak dapat ditarik kembali. Medy telah menyatakan pengunduran dirinya secara terbuka. Mari kita hormati sembari memberikan dukungan agar dia konsisten, sebab dengan demikian juga meletakkan harga dirinya di tempat terhormat.

Simpati dan empati berbentuk penghadangan terhadap pegawai negeri sipil (PNS) yang akan berangkat kerja ke Tutuyan seperti yang terjadi hari ini, justru bakal menciderai integritas yang ingin ditegakkan Medy. Pun aksi dukungan seperti itu hanya mengundang reaksi tak perlu yang berpotensi menciptakan perpecahan di tengah orang-orang yang sesungguhnya mungkin tak komprehensif memahami musabab ketidak-sepahaman Eyang dan Medy.

Kepada Eyang, saya hanya dapat menyampaikan (kembali): Terimalah pengunduran diri Wabup sebagai koreksi (yang sangat keras), kritik, dan teguran tanpa tedeng aling-aling dari seseorang yang hanya akan menjadi ‘’mantan Wabup''; bukan ''mantan adik’’.***

Wednesday, August 29, 2012

Kuliner Mongondow Memang Dasyat!


KONON kian panjang rentang usia seseorang makin kerap dia menengok ke belakang. Di usia melewati 40 tahun saya pun tak kuasa menolak kecenderungan itu. Tapi setidaknya, untuk saya pribadi, masa kini selalu punya tautan dengan sesuatu yang dapat ditengok ke belakang.

Mengikuti dinamika di Bolaang Mongondow (Bolmong) saat ini pun tak lepas dari ingatan yang kadang-kadang menggelikan bagi generasi kini. Anak-anak saya, misalnya, hanya nyengir ketika diungkapkan bahwa setiap kali melakukan perjalanan dari Manado ke Kotamobagu (ke rumah Aki dan Ba’ai mereka), saya selalu lega setelah melewati kelokan tajam Inobonto –menjelang Jembatan Kaiya yang setia tegak beberapa ratus meter di sisi kanannya.

Rumah Ayah-Ibu makin terasa dekat setelah melewati sepotong jalan di ruas Lobong yang sejak masa remaja saya terus-menerus bikin masalah; lalu Tugu Nenas yang jadi penanda komoditi andalan desa ini; dan terakhir kelokan menjelang gerbang Kotamobagu (dulu) yang biasanya dihiasi baliho raksasa sejak zaman Bupati Bolmong Marlina Moha-Siahaan.

Tugu Nenas (yang sekarang tampaknya tak lagi diperdulikan orang) bukanlah sebuah monumen besar. Dia hanya sepotong adonan semen, batu dan pasir dengan puncak dihiasi nenas dengan ukuran tak mencolok. Tak sebesar Tugu Kacang di Kawangkoan yang langsung memaku pandangan begitu kita memasuki kota ini dari arah Tomohon.

Tapi sebagaimana Tugu Kacang, Tugu Nenas melekat di benak saya dan jadi penanda karena sejumlah pengetahuan yang jadi alasan. Warga Lobong pantas mengabadikan nenas sebagai ‘’sesuatu’’. Buah ini berhasil menjadi komoditi utama yang membawa kesejahteraan ekonomi dan sosial mereka. Di antara duri-duri daun nenas yang pedih dan gatal bila tertusuk kulit, buah ini seperti emas yang siap dipetik.

Diam-diam selama bertahun-tahun saya mengangguk penuh hormat setiap kali melewati Tugu Nenas. Mereka yang membangun –kemudian membiar begitu saja—mungkin sudah usai mengekspresikan apapun nilai yang ingin diabadikan dari tugu itu. Namun buat saya pribadi, sebagai simbol, tugu itu menyimpang pesan yang seharusnya melewati generasi ke generasi: Sumber kehidupan kerap datang dari sesuatu yang sebelumnya bukan hal penting bagi kebanyakan kita.

Nilai itu pula yang membuat saya menghormati simbol Mongondow yang lain: Patung Bogani. Saya sangat yakin sosok Bogani yang sebenarnya barangkali sangat berbeda dengan yang digambarkan lewat patungnya. Tapi seorang gagah yang berdiri dengan tameng dan tombak, dengan wajah menengadah penuh percaya diri, sungguh semestinya mewakili orang Mongondow: Mereka yang tanpa gentar dan ragu menyatakan diri.

Dari Patung Bogani saya mengidentifikasi diri sebagai orang Mongondow. Selepas Sekolah Menengah Atas (SMA), saya yang sebenarnya bukan seorang pemberani (terlebih dengan tubuh tinggi kurus tanpa otot), setelah jauh dari rumah Ayah-Ibu bisa tiba-tiba beringas membela diri bila diperlakukan semena-mena, hanya dengan membayangkan sosok Bogani. Bayangan yang ada di kepala saya, lucunya, hanya meminjam semangat berani yang digambarkan dari patungnya.

Pembaca, Anda mungkin tidak percaya bahwa sebuah patung dapat membangkitkan nyali. Tapi orang Mongondow siapa –setidaknya mereka yang pernah dengan cermat mengamati-- yang bisa membantah, bila disalami dengan khusuk, Patung Bogani memang mampu menggentarkan hati?

***

Ada pesan yang sarat nilai dari penanda seperti Tugu Nenas atau Patung Bogani. Pesan itu pula yang susah payah saya kais tatkala membaca Djelantik Letakan Batu Pertama Pembangunan Tugu ‘’Binarundak’’ di http://www.beritamanado.com/ pada Sabtu, 25 Agustus 2012 (sebagai catatan: Penulis berita ini mesti belajar bahasa Indonesia dengan lebih serius, sebab seharusnya bukan ‘Letakan’ tetapi ‘Letakkan’).

Tanpa bermaksud membuat tersinggung seluruh warga Motoboi Besar yang bersuka ria, bergotong royong dan memestakan pembangunan Tugu Binarundak itu, saya ingin bertanya: Tugu itu ingin menyimbolkan apa? Pesan dan nilai apa yang ingin disampaikan?

Apakah binarundak ditemukan dan hanya dibuat di Motoboi Besar? Apakah jenis makan ini bersumber dari kelurahan ini? Atau adakah tradisi asli warganya yang terikat erat dengan binarundak, sehingga dia absah diabadikan sebagai sebuah tugu? Seingat saya, di acara-acara tertentu binarundak umum ditemukan di seluruh Mongondow. Berbeda, misalnya, dengan ilulut (daging, kulit, jeroan, dan tulang sapi yang dimasak tanpa garam –tapi anehnya tidak tawar) yang hanya khas Motoboi Kecil.

Dengan rendah hati saya ingin mengingatkan bahwa binarundak harus dikaji dengan serius apakah memang berakar di Mongondow atau hasil adopsi tata cara kuliner dari persentuhan budaya, sosial dan ekonomi dengan masyarakat lain. Di luar Mongondow, di Sulut warga Minahasa mengenal binarundak sebagai ‘’nasi jaha’’. Di konteks yang lebih luas, masyarakat Indonesia tahu bahwa makanan dari beras pulut yang diadon dengan santan dan ditanak di dalam tabung (bambu) adalah ‘’lemang’’.

Di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dan Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), jenis makanan ini juga tidak dibakukan sebagai ‘’binarundak’’ atau ‘’nasi jaha’’, melainkan ‘’lemang’’.

Dengan pula memohon maaf sebesar-besarnya pada warga Motoboi Besar, bila benar alasan pembangunan tugu itu (sebagaimana yang ditulis Beritamanado.Com) sebagai tanda peringatan acara binarundak yang dilaksanakan setiap tahun, bangun-membangun tugu yang sekadar tugu sebentar lagi bakal jadi trend percuma di seantero Mongondow (sebagaimana trend rekor Museum Rekor Indonesia –MURI—yang pernah mewabah). Yang paling mudah diduga adalah bakal ada Tugu Ketupat, sebab masyarakat Mongondow sekarang juga ghirah berlebaran ketupat. Lalu setelah itu ada Tugu Dinangoi, Tugu Kacang Goyang, Tugu Pisang Goroho Goreng, Tugu Tude Bakar, dan tidak tertutup kemungkinan Tugu Biapong.

Sebagai warga Mongondow, saya tidak keberatan. Setidaknya dengan demikian cukup banyak tempat yang dapat diklaim sebagai situs wisata (kuliner) di Bolmong. Walau, di balik itu saya pening memikirkan bagaimana bentuk Tugu Yondog Binango’an, mengingat makanan ini –selain kuliner eksotis sangat khas seperti ilulut dan dinangoi— bukan sekadar pengganjal perut bagi orang Mongondow, melainkan nyaris menjadi identitas budayanya.

Jauh di rantau, dengan mengesampingkan tugu-tuguan yang barangkali bakal bertumbuhan itu, saya bersaksi dengan serius: Kuliner Mongondow memang dasyat! Nyam-nyam….***

Tuesday, August 28, 2012

Makar Goblok Orang-Orang Barbar



ANARKI meletus seusai upacara Peringatan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia (RI), Jumat (17 Agustus 2012), di Bolaang Mongondow Timur (Boltim). Musababnya, menurut yang saya baca dari sejumlah situs berita (termasuk situs terkemuka http://www.detik.com/), karena Pemerintah Kabupaten (Pemkab) memindahkan lokasi upacara dari ibukota kabupaten, Tutuyan, ke Kotabunan.

Orang-orang yang marah kemudian berinisiatif menggelar upacara HUT Proklamasi ‘’pertikelir’’ dengan dipimpin Sangadi (Kepala Desa) Tutuyan, Piantai Potabuga, di Lapangan Pondabo. Usai upacara, massa berbondong ke perbatasan Tutuyan-Tombolikat dan menghadang para peserta upacara  (resmi) yang akan kembali ke Tutuyan.

Aksi massa yang tampaknya sudah dididihkan amarah tak sekadar menghadang. Bupati Boltim, Sehan Lanjar, yang bersigegas menemui mereka disambut dengan tindakan membabi-buta. Konon kendaraan dinas Bupati dan rombongan dihujani timpukan hingga rusak, dan bahkan dari satu foto yang saya lihat di sebuah situs berita, seseorang tampak tengah beraksi di atas kap mobil Bupati, bagai preman mabuk alkohol murahan.

Luar biasa! Lengkap sudah tindakan goblok dan barbar yang dipertunjukkan segelintir orang di Boltim.

Beruntunglah para pandir itu karena: Pertama, aksi mereka dilakukan di penghujung Ramadhan, di mana semua orang dengan amat ketat dan hati-hati menjaga adabnya (kecuali tentu saja mereka tidak terdidik itu). Kedua, Bupati yang mereka perlakukan semena-mena adalah Sehan Lanjar, sosok yang saya kenal pemaaf, humoris, dan jauh dari sifat pendendam. Ketiga, tidak ada satu pun tokoh yang berbalik menggerakkan massa, yang pada akhirnya meletuskan ‘’perang sipil’’ di antara warga Boltim sendiri. Diakui atau tidak, jumlah yang mencintai dan mendukung Sehan Lanjar sebagai Bupati jumlahnya masih berlipat kali dibanding mereka yang tidak menyukai dan menentang dia.

***

Apa yang ada di batok kosong kepala orang-orang yang beraksi di saat seluruh warga negeri ini tengah mensyukuri kemerdekaannya? Bila semata rumor dipindahkannya upacara HUT Proklamasi ke Kotabunan, kemudian dikait-kaitkan dengan teori konspirasi bahwa itu petanda adanya niat memindahkan ibukota kabupaten, akal budi mereka jelas korsleting (kortsluiting).

Saya yakin Bupati Boltim dan jajarannya masih sangat waras untuk kehilangan akal sehat dan berencana memindahkan ibukota kabupaten, setelah sebagian infrastruktur pemerintahan sudah berhasil dibangun di Tutuyan. Memangnya memindahkan ibukota kabupaten semudah membuat binarundak? Bahkan binarundak pun memerlukan perencanaan dan proses pembuatan yang memakan tenaga, waktu, dan uang.

Maka jelas orang-orang yang beraksi pada Jumat (17 Agustus 2012) di Boltim itu dapat dikategorikan sebagai: Sekumpulan otak udang yang mencoba tunjung jago dan tunjung pande.

***

Mari kita telaah apa dasar pelaksanakan upcara bendera umumnya di negeri ini. Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 14 Tahun 1981 Tentang Penyelenggaraan Upacara Pengibaran Bendera Merah Putih adalah yang pertama kali menjadi dasar pelaksanaan upacara bendera yang kita kenal sekarang ini.

Inpres yang ditujukan pada para Menteri, Jaksa Agung RI, para Gubernur/Kepala Daerah Tingkat I, para Sekretaris Jenderal Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara, para Kepala/Pimpinan Lembaga Non Departemen, dan para Pimpinan Bank Pemerintah dan Badan Usaha Milik Negara, ini berisi instruksi antaranya (yang terpenting): Menyelenggarakan Upacara Pengibaran bendera Merah Putih pada tanggal 17 Agustus setiap bulan. Jika tanggal 17 Agustus jatuh pada hari libur maka upacara diadakan pada hari kerja berikutnya.

Kemudian, upacara diadakan dalam lingkungan dan tempat pekerjaan masing-masing yang merupakan satu kesatuan dan diikuti oleh semua pejabat/karyawan di lingkungan pekerjaan yang bersangkutan. Acara upacara adalah: 1) Pengibaran Bendera Merah Putih diiringi dengan lagu Kebangsaan 
Indonesia Raya. 2) Mengheningkan cipta untuk mengenang arwah para pahlawan yang telah 
gugur. 3) Pengucapan/pembacaan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. 4) Pengucapan/Pembacaan Pancasila yang di ikuti oleh para peserta 
upacara. 5) Pengucapan/Pembacaan Sapta Prasetya Korps Pegawai Republik 
lndonesia yang diikuti oleh para peserta upacara.

Lima acara utama itu dapat disi pula dengan 6) Acara lain seperti pemberian tanda jasa/kehormatan atau penghargaan lainnya; pelepasan mereka yang pensiun; pengumuman/pemberitahuan mengenai mutasi-mutasi jabatan dan 
kenaikan pangkat, tindakan-tindakan atau langkah-langkah penertiban 
yang telah diambil dalam lingkungan masing-masing dan sebagainya. Serta 7) Sambutan Inspektur Upacara apabila dipandang perlu.

Namun Inpres Nomor 14 Tahun 1981 itu kemudian dicabut dengan Inpres Nomor 6 Tahun 2000 Tentang Pencabutan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1981 Tentang Penyelenggaraan Upacara Pengibaran Bendera Merah Putih.

Inpres Nomor 6 Tahun 2000 yang ditujukan pada para Menteri, Jaksa Agung, para Gubernur, para Sekretaris Jenderal Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara, para Kepala/Pimpinan Lembaga Pemerintah Non/Departemen, serta para Pimpinan Bank Pemerintah dan badan Usaha Milik Negara ini menegaskan, Pertama, kecuali Hari Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, meniadakan kegiatan upacara pengibaran Bendera Merah Putih pada tanggal 17 setiap bulan di lingkungan masing-masing. Kedua, dengan Instruksi Presiden ini maka Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1981 tentang Penyelenggaraan Upacara Pengibaran Bendera Merah Putih dinyatakan tidak berlaku.

Dengan dasar hukum itu, di manakah posisi dan hak orang-orang yang dipimpin Piantai Potabuga menggelar upacara HUT Proklamasi pertikelir dan kemudian menghadang para peserta upacara yang dipimpin Bupati, yang memang melaksanakan kewajiban dan haknya sesuai aturan yang berlaku di negeri ini?

***

Peristiwa di perbatasan Tutuyan-Tombolikat kini di tangan polisi. Menurut hemat saya, polisi semestinya tidak boleh bertindak setengah-setengah,. Tangkap dan proses hukum seluruh mereka yang terlibat dalam upacara liar yang dipimpin Piantai Potabuga. Tangkap dan proses pula siapa pun aktor di belakang mereka. Tindakan orang-orang ini jelas makar. Mereka telah dengan sengaja menghalangi pelaksanaan upacara resmi HUT Kemerdekaan yang bernilai sakral bagi setiap warga negara Indonesia.

Di luar itu, masyarakat umum boleh menggunakan hukuman yang berakar dari budaya, adat dan tradisi Mongondow: Usir para barbar pembuat onar itu dari kampung agar muka orang se kabupaten tidak tercemar kotoran.***