Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Thursday, October 3, 2013

Mengamuk untuk Mekar


PERINGATAN yang bersiliweran di SMS dan BBM, Rabu sore (2 Oktober 2013), menjalar bagai api menebas ilalang kering. ‘’Dumoga rusuh. Warga yang menuntut pemekaran Bolteng melakukan penghadangan Mobdin. Jangan melewati Simpang Tiga Dolodua.’’ Tak lama kemudian tanda awas ini disusul foto Mobdin yang dirusak dan dicorat-coret para penghadang.

Maafkan saya, wahai warga Dumoga dan sekitar, rusuh di wilayah Anda bukan kabar menarik lagi. Budaya onar yang dikembangkan di wilayah ini (seolah-olah perkelahian antar kampung adalah olahraga tradisional yang mesti dilestarikan; menghadang orang dan –merusak-- kendaraan yang lewat sebagai hobi; dan aneka perilaku destruktif masyarakat abad kegelapan sebagai gaya hidup), membuat umumnya kami di seantero wilayah Mongondow lain kian pintar mengasah ketidak-pedulian. Sepanjang itu terjadi antara sesama kalian, laksanakan saja sesukanya.

Tetapi, bagaimana dengan pihak lain, terlebih mereka yang sama sekali tak punya sangkut-paut dengan urusan yang jadi pokok-soal? Mengapa kepala Anda yang gatal lalu tangan dan kaki orang lain mesti dikepruk? Masuk akal dimanakah, sebagaimana yang saya baca dari beberapa situs berita, salah satunya Tribun Manado, Oknum Warga Dumoga Rusak Mobil Pelat Merah (http://manado.tribunnews.com/2013/10/03/warga-dumoga-rusak-mobil-plat-merah), Kamis (3 Oktober 2013), kecewaan karena rencana pembentukan Kabupaten Bolteng belum masuk agenda Komisi II DPR RI, diekspresikan secara serampangan dan tanpa adab?

Ada hubungan apa antara Mobdin DB 8162 AM milik BKKBN Pemrov Sulut yang dirusak massa penghadang dengan urusan pemekaran Bolteng? Tupoksi BKKBN adalah pengendalian penduduk dan kesejahteraan keluarga, yang biasanya dengan serampangan kita sederhanakan tak jauh dari urusan kondom, pil KB, IUD, dan sejenisnya; serta pemberdayaan agar keluarga di Indonesia sejahtera secara sosial dan ekonomi. Apa karena Komisi II DPR RI kekurangan kondom, pil KB, dan IUD lalu mereka enggan memasukkan pembahasan pemekaran Bolteng dalam agendanya? Kalau demikian adanya, BKKBN Sulut memang harus ikut bertanggungjawab!

Yang saya tahu, DB 8162 AM yang berisi petugas sosialisasi KB semata berada di tempat yang salah, di waktu yang salah, karena mengambil jalur menuju (atau kembali) dari tempat bertugas di ruas jalan yang melintasi Dumoga. Saya menguatirkan, besok-lusa kelakuan barbar masyarakat Dumoga ini dijadikan preseden dan dipraktekkan pula oleh komunitas lainnya di Sulut. Katakanlah karena warga Manado kesal dengan kepemimpinan Walikota dan Wawali-nya, lalu mereka melampiaskan dengan menghadang Mobdin, mobil, dan warga Dumoga, yang kebetulan ke kotanya.

Pemekaran Bolteng adalah keniscayaan yang tak hanya diharapkan oleh warganya. Secara pribadi, di beberapa kesempatan, saya menyampaikan pada Wabup Bolmong yang juga warga Dumoga, Yani Tuuk, bahwa banyak manfaatnya bila Bolteng dimekarkan sebagai daerah otonomi sendiri. Sejujurnya, saya bukanlah orang yang gemar mendukung pemekaran. Bagi saya, yang pertama (dan utama) mencecap berkah pemekaran wilayah tetaplah sejumlah kecil elit, sementara perbaikan kehidupan orang banyak yang berstatus rakyat hanya beranjak setara kecepatan siput. Apalagi bila SDM di daerah yang dimekarkan jauh dari kompetitif di pasar persaingan pendidikan, sosial, ekonomi, dan politik.

SDM yang menguatirkan seperti itulah yang kini dipertontonkan warga Dumoga dengan perilaku ‘’’rusuh salah tempat’’-nya. Bila benar pemantik kerusuhan itu karena DPR RI belum mengagendakan pemekaran Bolteng sebab ada kekurangan persyaratan, yang pertama dimintai pertanggungjawaban adalah orang-orang yang berhimpun di Panitia Pemekaran. Kerja mereka tentu tidak genah; mereka belum pintar (atau memang tidak tahu), sebab dokumen yang diajukan ternyata jauh dari sempurna. Pihak berikutnya adalah Pemkab dan DPR daerah induk, yang telah mengabaikan kekurangan persyaratan itu sehingga mengganjal proses yang semestinya berlangsung smooth di Komisi II DPR RI.

Hal mustahak berikut yang harus dilakukan, terutama oleh mereka yang merasa elit dan menjadi tokoh di tengah warga Bolteng, adalah menjelaskan selengkap-lengkap dan serinci-rincinya, bahwa pemekaran bukanlah usaha membuat dodol. Upaya menjadikan sebuah wilayah berdiri sendiri adalah kerja yang dihitung dalam bilangan tahun, bukan satu dua-hari; dengan kesiapan lebih dari aspek-aspek teknis pemerintahan. Dan bahwa setelah banyak pemekaran wilayah (provinsi, kota, dan kabupaten) di negeri ini, nyatanya sebagian hanya menjadi beban Pemerintah Pusat dan masyarakatnya sendiri.

Tengoklah bagaimana beberapa daerah pemekaran justru lebih riuh politik perebutan kekuasaan dan meraup keuntungan ekonomi oleh beberapa elitnya, ketimbang memaksimalkan otonomi bagi kemaslahatan rakyat. Fasilitas, infrastruktur, dan layanan publik yang diharapkan membaik dan lebih menyentuh, jauh tertinggal dibanding megahnya rumah pribadi, mewahnya mobil dan gaya hidup, serta gendutnya perut elit-elit yang mendaulat (atau didaulat) sebagai ‘’pahlawan pemekaran’’.

Pemekaran adalah upaya bermartabat dan konstitusional membuktikan bahwa sebuah entitas di wilayah tertentu siap membangun peradaban sendiri. Di zaman kini, peradaban yang dimaksud bertumpuh pada ketaatan hukum, proses yang demokratis, mengindahkan HAM, ketata-laksanakan, serta stabilitas sosial-ekonomi-dan keamanan. Semua pra syarat peradaban seperti ini ditumpuhkan pada kecerdasan, keterdidikan, akal sehat, kesama-rataan, inovasi, dan transparansi.

Di manakah seluruh aspek-aspek penting itu diletakkan ketika urusan memenuhi satu-dua dokumen persyaratan pemakaran Bolteng justru direspons dengan kebiasaan anarki? Wajarkah sebuah masyarakat yang kesenangannya berlaku di luar adab umum diberi tempat di tengah negara dengan dasar yang sewelas-asih dan bermartabat seperti Pancasila?

Warga (calon) Kabupaten Bolteng, dengan kelakuan Anda-Anda yang tak mengindahkan aspak-aspek utama peradaban modern, kalau akhirnya sebuah daerah otonomi berhasil dirikan, dia tak beda dengan ring tinju atau arena perkelahian bebas raksasa. Pemilihan Bupati-Wabup adalah pesta tawuran massal, seleksi anggota DPR sama dengan ajang perkelahian jalanan anak SMA, dan penunjukkan aparat pemerintahan didasarkan bukan pada profesionalisme dan kompetensi tetapi seberapa besar otot dan pita suaranya.

Lalu ketika menjalankan tugas dan wewenangnya, Bupati-Wapub harus dilengkapi baju besi, tameng, dan mengendarai kendaraan lapis baja. Anggota DPR bersidang dengan menggunakan pelindung kepala dan uniform petarung bela diri, demi kesiapan menghadapi apapun yang bakal meledak. Sedang aparat birokraksi, hingga ke tingkat kelurahan dan desa, mesti dibekali jampi-jampi dan ilmu kebal. Masyarakat yang tidak tahu aturan hanya mungkin dipimpin oleh tiran; pendekar silat, petinju handal, atau jago karate; atau sekalian kita impor superhero dari Marvel dan DC Comics.

Lanjutkan saja segala hadang-hadangan, rusak-rusakkan, dan bahkan bakar-bakaran, apalagi kelihatannya aparat berwenang jerih mengambil tindakan tegas, seolah HAM hanya berhak dimiliki para perusuh, tidak untuk mereka yang jadi korban. Namun demikian, jangan harap Kabupaten Bolteng bakal terwujud. Pemerintah Pusat dan DPR RI bukanlah gerombolan idiot yang akan memberikan otonomi pada masyarakat dan wilayah yang jelas-jelas membuktikan ketidak-pantasannya mengatur diri sendiri.***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

BBM: BlakcBerry Messenger; BKKBN: Badan Koordinasi Keluarga Berencana; Bolteng: Bolaang Mongondow Tengah; Bolmong: Bolaang Mongondow; DPR RI: Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia; HAM: hak Asasi Manusia; IUD: Intrauterine Device; KB: Keluarga Berencana; Mobdin: Mobil Dinas; Pemprov: Pemerintah Provinsi; SMA: Sekolah Menengah Atas; SDM: Sumber Daya Manusia; SMS: Short Message; Sulut: Sulawesi Utara; Tupoksi: Tugas Pokok dan Fungsi; Wabup: Wakil Bupati; Wawali: Wakil Walikota.