Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Tuesday, October 8, 2013

Kritik dan Kritisasi: Sebuah Pertanggungjawaban (1)


BBM yang saya terima, Senin, 7 Oktober 2013, dengan santun meminta izin menyampaikan kritik. Waduh, memangnya kritik dilarang dan sejak kapan harus mengantongi izin kepolisian? Kritik, dengan cara apapun dan kapanpun, tetaplah kritik. Saya dengan sukarela menerima dan mempersilahkan yang dikandung pikiran dan hati itu diekspresikan sebebas-bebasnya.

Ternyata, yang ingin diutarakan adalah penilaian bahwa tulisan-tulisan yang saya unggah di blog ini, terlebih yang belakangan berkaitan dengan kritik dan kritisasi terhadap Pemred serta kebijakan dan praktek jurnalistik di Radar Bolmong, bertendensi ‘’narsisme intelektual’’. O, ini bukan kritik tetapi apresiasi, karena saya sendiri tidak pernah merasa menjadi intelek atau pantas dianggap intelektual. Tulisan-tulisan saya hanya berlandas kewarasan, norma, etika, sedikit referensi (jauh dibanding kelas Goenawan Mohamad), serta standar-standar sosial dan budaya yang menjadi common practices sehari-hari.

Terima kasih atas kritik (atau pujian) yang disampaikan itu. Setidaknya ‘’narsisme intelektual’’ jauh lebih terhormat dan bermutu dibanding narsisme jurnalisme cash in yang mempraktekkan profesinya bahkan dengan instruksi memeras.

Sesungguhnya, saya tidak pernah menduga kritik dan kritisasi saya terhadap Pemred Radar Bolmong dan manajemen keredaksian yang dia praktekkan, yang lebih buruk dari kamp Gulag, bakal mengundang heboh. Tidak pula tulisan-tulisan yang saya unggah bakal membuka Pandoras’ Box, membuat segala jin, iblis, setan, dan aneka penghuni neraka berhamburan; yang kini mulai mengungkap apa, siapa, dan bagaimana modus satu kelompok media melakukan ‘’perampokan halus’’ secara sistemik di Sulut lewat ‘’bbi’’, bbk’’, atau advertorial.

Kritik dan kritisasi saya (penjelasan yang berulang-ulang rasanya mulai membosankan) dilindungi UU No 40/1999 yang mengikat dan wajib dipatuhi setiap institusi media. Tidak pula melenceng dari hak warga negara (bukan hanya pembaca Radar Bolmong) untuk mengontrol sejauh mana media dan para pewartanya menegakkan KEJ. Bahwa segala sesuatu yang berada di luar cakupan dan perlindungan UU N0 40/1999 dan KEJ bukanlah perilaku dan praktek jurnalisme. Dia kriminalitas terorganisir, terstruktur, dan terencana berkedok jurnalisme.

Tulisan saya juga dipublikasi terbuka di blog ini (memangnya Radar Bolmong mau memuat kritik saya terhadap compang-campingnya isi korannya?), tidak dengan menyindir-nyindir, fokus hanya pada Pemred (sebagai representasi kebijakan dan praktek di news room institusi pemberitaan), serta didukung fakta dan kesaksian yang kesahihannya dapat diuji hingga ke Dewan Pers dan meja hijau.

Bahwa manajemen dan keredaksian Radar Bolmong tidak tahu, tidak mau tahu, atau bingung menyikapi, bukan urusan saya. Bila mereka keberatan, tempuh upaya yang dijamin oleh hukum di negeri ini. Atau buktikan dengan fakta-fakta yang menggugurkan bukti dan argumen saya. Di saat yang sama, pihak-pihak lain yang hanya terkait karena hubungan kekeluargaan atau kolega dan sesame jurnalis dari grup penerbitan yang sama, berhak melakukan pembelaan terhadap Pemred Radar Bolmong dan kebijakan keredaksian yang dia praktekkan. Tapi lakukan itu dengan cara yang sama-sama terbuka dan berharga-diri, dengan argumen yang menunjukkan kualitas dan patut dihormati.

Musabab argumen yang diutarakan bermuatan emosi atau tidak, saya tidak ambil pusing. Kalau Radar Bolmong boleh mengedepankan cash in dan memerintah pewartanya melakukan pemerasan, mengapa tidak kritik dan kritisasi terhadap laku cemar itu dimuati emosi, bahkan sakit hati? Memangnya ada ekspresi yang lebih baik dan tepat mewakili ungkapan terhadap gerombolan perompak kecuali kutukan?

Sorotan saya terhadap Pemred serta kebijakan dan praktek keredaksiannya di Radar Bolmong, juga dengan tegas sedapat mungkin dibatasi pada wilayah publik. Memang ada urusan pribadi, penistaan terhadap marga dan nama kakek buyut saya, tetapi itu akan diselesaikan dengan cara pribadi pula. Sekali pun, penistaan itu menjadi salah satu bukti (bersama bukti-bukti lain, termasuk instruksi memeras DRP KK), bagaimana kualitasnya sebagai Pemred yang akhirnya termanifestasi dari wajah koran yang melecehkan publik (nara sumber dan pembacanya).

Itu sebabnya saya keberatan dengan ulah Bambang Hermawan, wartawan Posko Manado, Ketua PANDU Sulut, yang juga adik kandung Budi Siswanto, yang menyebarkan olok-olok dan sindirin ‘’GILA Noh’’ di media-media sosial. Saya akan mengurusi hal ini di  kesempatan khusus sebagai masalah pribadi.

Namun, secara terbuka, sikap saya adalah: Bambang Hermawan, Anda boleh membela profesi, grup penerbitan di mana Anda bekerja, dan kakak Anda, tetapi lakukan dengan cara ‘’laki-laki’’. Jangan mengikuti jejak becek penghinaan terhadap sesuatu yang sangat pribadi dan prinsipil. Sebelum terlambat, saya ingin mengingatkan, Anda tidak tahu monster dan hewan jahat seperti apa yang sedang Anda usik. Jangan sampai mereka bangun dan menciptakan kerusakan, juga sesal sepanjang sisa kehidupan Anda. Ini Mongondow, tanah tempat bermukim para pemaaf yang welas asih dan suka ria dalam susah-senang; sekaligus juga para pendendam yang punya ingatan dan kesabaran panjang menuntut piutang nista.

Saya juga kecewa dengan Korlip Harian MP, Idhan Malewa, yang hanya menyindir-nyindir lewat status BBM, yang kemudian di-capture dan diteruskan oleh beberapa kawan. Begini, Bung Korlip, kalau sebagai jurnalis Anda menilai apa yang saya tulis keliru, putar bale, dan sesat, tulis dan publikasi bantahan yang membuktikan keberatan itu. Kalau saya dinilai menzalimi Radar Bolmong, bahkan grup MP, beber di tulisan dan bagian mana penzaliman itu dilakukan? Bukankah saya telah membuktikan bahwa sebagai sebuah institusi Radar Bolmong memang menzalimi awak redaksinya?

Lebih mengecewakan lagi, Selasa (8 Oktober 2013), Idhan Malewa mem-broad cast BBM yang berisi aneka tuduhan, mulai dari sasaran saya bukanlah Budi Siswanto, melainkan institusi (yang mana, Radar Bolmong atau grup-nya hingga ke JP?); blog ini hanya mengumbar kejanggalan dan salah analisis; yang dijalankan Pemred Radar Bolmong adalah strategi pasar yang mengadopsi praktek Grup MP (ini juga membuka Pandora’s Box yang lain); pembantaian; serta tulisan-tulisan saya kehilangan fairness, logika, menghasut, dan mencari pembenaran dari sekutu dan ‘’Brutus-Brutus’’. Baiklah, kalau ini diperlakukan sebagai perang dan diperluas kemana-mana oleh salah satu level eksekutif di di Redaksi MP, mari kita berperang.

Namun, sebelum itu, Idham Malewa, saya berterima kasih karena di broad cast tersebut Anda menuliskan pernah mengagumi dan membela pikiran-pikiran saya semasa mahasiswa. Ini tidak akan saya lupakan.***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

bbi: Berita Berbayar Iklan; bbk: Berita Berbayar Koran; BBM: BlackBerry Messenger; DPR: Dewan Perwakilan Rakyat; JP: Jawa Pos; KEJ: Kode Etik Jurnalistik; KK: Kota Kotamobagu; Korlip: Koordinator Liputan; MP: Manado Post; PANDU: PAN Muda untuk Indonesia; Pemred: Pemimpin Redaksi; dan UU: Undang-undang.