Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Monday, October 7, 2013

Instruksi Pemred ‘’Radar Bolmong’’: Peras DPR KK!


DIPIMPIN Pemred Budi Siswanto, redaksi Radar Bolmong memang dijadikan mesin uang, tak hanya dengan melanggar UU No 40/1999 Tentang Pers dan KEJ. Praktek pengelolaan news room di koran ini bahkan sudah tergolong tindak pidana terstruktur dan terencana. Terhadap dua pelanggaran ini, wilayah jurnalistik dapat dilaporkan ke Dewan Pers, sedang aspek kriminalnya ke pihak kepolisian.

Tidakkah saya terlampau berani menyatakan media arus utama di BMR ini telah dengan sengaja disetir menjadi organisasi kriminal? Pembaca, di beberapa tulisan sebelumnya saya sudah mengungkap kewajiban setiap wartawan di redaksi Radar Bolmong menyetor sejumlah uang yang mereka sebut cash in. Target yang ditetapkan mengharuskan setiap jurnalis memonetisasi apapun yang dia lakukan menjadi ‘’bbi’’, ‘’bbk’’, advertorial, dan sejenisnya. Kasarnya, lakukan segala cara agar setiap berita tidak hanya menjadi uang ketika pembaca membeli koran, tetapi bahkan nara sumber pun (halus atau brutal) harus membayar setiap kalimat yang dia ucapkan.

Wartawan yang terilusi mereka masih menjalankan profesi jurnalistik, mati-matian agar tak gagal menyetor cash in yang dengan tegas dan ketat selalu dikejar Pemrednya. Termasuk terlebih dahulu menalanggi lewat pinjaman pada rentenir (yang berkonsekwensi bunga 15-20 persen), terutama bila sumber cash in berasal dari ‘’bbi’’, ‘’bbk’’, atau advertorial dengan Pemkab, Pemkot, atau institusi birokrasi yang pencairannya memerlukan proses yang memakan waktu.

Pewarta yang enggan atau gagal memenuhi target dianggap membangkang terhadap kebijakan manajemen. Hukumannya minimal dipindahkan dari redaksi hingga dipaksa mengundurkan diri atau dipecat. Saya kutipkan (dengan penghilangan nama subyek dan penyesuaian tata bahasa) maklumat Pemred Radar Bolmong pada salah satu wartawannya, sebagai contoh bagaimana tuntutan cash in ditegakkan: ‘’Khususnya ngana (nama wartawan), kita sarankan mundur jo dengan baik-baik. Parah ngana. Ngana so ndak bisa dibina. Ndak mau dibina. Kalo ngana ndak mundur kita akan binasakan. Kurang mo lia keadaan, ngana mundur, kita bikin mundur, atau iko sistem kantor, wajib capai.’’

Saya tahu persis bagaimana kelompok preman yang kerap diidentikkan dengan brutalitas mengelola organisasinya. Hampir tak pernah saya menyua atau mendengar instruksi seganas bahasa tidak berpendidikan yang digunakan Pemred Radar Bolmong terhadap wartawannya itu. Andai saya si wartawan, minimal keyboard komputer atau notebook sudah berakhir jadi serpihan di kepalanya. Persetan dengan urusan hukum.

Kendati begitu, instruksi tersebut belum bertendensi menyuruh atau menganjurkan kriminalitas atau tindak pidana. Wartawan hanya diancam wajib mengikuti sistem kantor, apapun bentuknya. Wajib mencapai target yang dibebankan. Kendati bukan target berita atau pemenuhan terhadap standar jurnalistik, melainkan setoran sejumlah dana tertentu yang diwajibkan tanpa sepotong dokumen hitam di atas putih, kecuali dengan dalih ‘’kebijakan manajemen’’.

Kriminalitas terorganisasi, terstruktur, dan terencana yang dipraktekkan Pemred Radar Bolmong baru terang-benderang ketika dia memerintah jajarannya untuk ‘’mengerjai’’ DPR KK. Perintah yang dikeluarkan pukul 13.10, Senin, 2 September 2013, selain ekspisit bertujuan memeras (karenanya melanggar Pasal 1 dan Pasal 6 KEJ), juga menggunakan bahasa yang sangat menista dan merendahkan anggota dewan yang terhormat.

Instruksi Meneer Pemred Budi Siswanto (sekali lagi dengan penghilangan nama wartawan yang dituju) berbunyi, ‘’(Nama wartawan), bage ni dewan-dewan KK karena blum ada satu setang ba kontrak. Suruh redaktur dan reporter Kinalang koordinasi.’’ Menyeramkan betul perintah itu. Apa dosa DPR KK dan anggota-anggotanya pada Budi Siswanto dan Radar Bolmong sehingga mesti mo bage? Ada hak apa dia menyebut anggota-anggota DPR KK sebagai ‘’setang-setang’’ demi kepentingan mengejar kontrak ‘’bbi’’, ‘’bbk’’, atau advertorial?

Sungguh saya penasaran melakukan content analysis terhadap seluruh pemberitaan Radar Bolmong di edisi-edisi setelah instruksi itu dikeluarkan. Bila isinya melulu positif dan puja-puji, berarti yang dimaksud ‘’setang-setang’’ itu menggigil gentar. Kalau negatif atau tiba-tiba sangat sepi isu (padahal salah satu keahlian anggota dewan adalah menciptakan aneka isu), pasti aliran cash in dari DPR KK masih seret.

Media adalah institusi ekonomi yang menjual jasa komunikasi. Dari prinsip dasar ekonomi dia sama dengan warung kelontong. Sebagai pengguna jasa atau pembeli komoditi yang ditawarkan, siapa pun anggota masyarakat bebas menentukan bersedia atau tidak. Pemilik warung kelontong yang mencegat orang di depan tempatnya berjualan, memaksa belanja dengan todongan parang, adalah perbuatan kriminal. Wartawan yang dengan pena dan recorder menodong anggota DPR KK untuk mengontrak ‘’bbi’’, ‘’bbk’’, atau advertorial, bukan jurnalis. Dia kriminalis yang tidak lagi dilindungi UU No 40/1999 dan KEJ. Dan media di mana dia berhimpun serta Pemrednya jelas perkumpulan bandit yang dipimpin bromocorah.

Yang membuat saya tidak habis pikir, siapa dan atas wewenang dari mana Budi Siswanto memiliki kepercayaan diri menyebut anggota DPR KK sebagai ‘’setang-setang’’? Apakah dia merasa kastanya lebih tinggi dari anggota dewan yang terhormat? Saya ingin melihat mimik anggota-anggota DPR KK setelah info ini dibeber. Kalau mereka tidak tersinggung, saya meragukan kewarasannya. Terlebih, Radar Bolmong berkantor dan diterbitkan dari KK serta Pemred-nya ada di kota ini. Sudahlah urusan tindak pidana, tetapi dari budaya dan tradisi di Mongondow, sanksi terhadap instruksi yang melecehkan itu bahkan lebih dari sekedar mongompat kon’ lipu dan diusir keluar BMR.

Saya juga ingin tahu reaksi warga, pendukung, dan kerabat anggota DPR KK. Apakah mereka akan membela kehormatan anggota DPR-nya. Atau, karena memang anggota DPR KK sudah berkelakuan seperti ‘’setang-setang’’, kita aminkan saja pelecehan oleh Budi Siswanto. Kita menerima instruksi itu sebagai fakta dan bukan tindakan menyuruh dan mengajurkan pelanggaran kepatutan dan hukum; serta pengeluarkan kata-kata yang menghina dan melecehkan.

Jelas ada fakta ada perintah Pemred Radar Bolmong agar wartawannya menyelewengkan tugas, wewenang, dan fungsi pers. Yang saya beber memang baru yang ditujukan ke DPR KK, namun sebaiknya Pemkab, Pemkot, dinas-dinas dan lembaga, termasuk perseorangan dan kalangan dunia usaha, segera mengevaluasi setiap keterkaitannya dengan pemberitaan media ini. Apakah tulisan atau berita yang dipublikasi benar-benar produk kerja jurnalistik atau ekspresi ancaman supaya bersedia mengontrak ‘’bbi’’, ‘’bbk’’, atau advertorial?

Mengacu pada UU No 40/1999, siapa pun (termasuk saya) berhak membawa tindakan pelanggaran oleh Pemred Radar Bolmong ke Dewan Pers dan polisi. Dewan Pers karena bagaimana pun Radar Bolmong adalah institusi pers. Sedangkan polisi, selain karena instruksi itu bermuatan tindak pidana, Budi Siswanto juga bukan wartawan. Dia loper koran yang didapuk jadi Pemred, jadi hampir mustahil mengantongi keanggotaan PWI, apalagi AJI.

Kalau pun pembaca blog ini mau bersabar, menunggu hingga lebih banyak bukti yang saya sodor berkaitan dengan pelanggaran UU Pers, KEJ, dan tindak pidana yang dimotori Budi Siswanto, jangan kuatir. Menukil mantan Ketua PD, Anas Urbaningrum: Serial tulisan yang sudah diunggah baru bab pembuka. Saya bahkan belum menyentuh level dan kebijakan sedikit di atas Pemred, apalagi yang ada di puncak-puncaknya.***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

AJI: Aliansi Jurnalis Independen; bbi: Berita Berbayar Iklan; bbk: Berita Berbayar Koran; BMR: Bolaang Mongondow Raya; DPR: Dewan Perwakilan Rakyat; KEJ: Kode Etik Jurnalistik; KK: Kota Kotamobagu; Pemkab: Pemerintah Kabupaten; Pemkot: Pemerintah Kota; PD: Partai Demokrat; PWI: Persatuan Wartawan Indonesia; dan UU: Undang-undang.