Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Friday, October 25, 2013

Gagal Resep, Koran Hancur, Kredibilitas Remuk


EMPAT berita di situs Tempo.Co, Jumat pagi, 25 Oktober 2013, membawa Harian Radar Bolmong menjadi perhatian nasional. Yang mengusik malu, khususnya untuk saya sebagai orang Mongondow, bukan sebab koran ini moncer dari kebijakan dan praktek jurnalistiknya; melainkan karena kesuksesan jajaran redaksinya menginjak-nginjak UU Tentang Pers dan KEJ.

Rangkaian berita yang diunggah selang dua jam itu, masing-masing Masyarakat Kecam Radar Bolmong Pasang Foto Mesum (http://www.tempo.co/read/news/2013/10/25/058524523/Masyarakat-Kecam-Radar-Bolmong-Pasang-Foto-Mesum); Ini Sikap AJI Terkait Foto Radar Bolmong (http://www.tempo.co/read/news/2013/10/25/058524528/Ini-Sikap-AJI-Terkait-Foto-Radar-Bolmong); 14 Foto Mesum PNS di Manado Marak di Gadget (http://www.tempo.co/read/news/2013/10/25/058524533/14-Foto-Mesum-PNS-di-Manado-Marak-di-Gadget); dan Dewan Pers: Koran Radar Harus Minta Maaf (http://www.tempo.co/read/news/2013/10/25/173524536/Dewan-Pers-Koran-Radar-Harus-Minta-Maaf), adalah tamparan buat Radar Bolmong, Grup MP, dan bahkan Grup JP. Apalagi isunya telah pula disulih ke edisi Inggris, Press Council: Radar Newspaper Must Apologize (http://en.tempo.co/read/news/2013/10/25/055524564/Press-Council-Radar-Newspaper-Must-Apologize) serta menjadi berita utama di situs Grup Tempo ini.

Rasanya lucu membayangkan wajah patron grup penerbitan yang menaungi Radar Bolmong, Dahlan Iskan, serta Ketua PWI Pusat, Margiono, yang berlatar Grup JP ketika mereka disodori pemberitaan Tempo.Co. Belum lagi kalau diungkap lebih jauh bahwa jurnalisme koran ini hancur-lebur karena cash in yang dipraktekkan membuat jurnalisnya wajib memburu ‘’bbi’’, ‘’bbk’’, dan advertorial dengan mengabaikan aspek-aspek dan standar paling minimal jurnalistik.

Sedikit saja ‘’dorongan’’, saya yakin isu yang dipicu Radar Bolmong ini bakal disusul pengungkapan praktek jurnalistik di anak-anak Grup JP yang tersebar di seluruh Indonesia. Bila itu terjadi dan terbukti ternyata setali tiga uang, imperium bisnis media ini bakal diguncang gempa dasyat dan tsunami ketidak-percayaan publik. Ujung-ujungnya bukan hanya mengganggu stabilitas bisnis mereka tetapi juga menyerempet dan berpotensi meremukkan kredibilitas Dahlan Iskan sebagai salah satu kandidat Capres 2014.

Saya ingin tahu apa kilahan Dahlan Iskan dan pembelaan Margiono (yang jabatannya sebagai ketua PWI Pusat resmi dilekati ‘’Jawa Pos’’) terhadap kebijakan dan praktek jurnalistik Radar Bolmong dan Grup MP. Tapi saya tidak akan kaget kalau penyelesaian masalahnya dilakukan khas kelompok penerbit ini. Satu-dua sekrup kecil dikorbankan sementara sejumlah orang yang semestinya bertanggungjawab penuh, tetap melenggang, bahkan menerima promosi ke posisi lebih tinggi. Terlebih kalau mereka adalah bagian penting dari mesin penyedot cash in.

Sejatinya, memang tinggal menunggu waktu jurnalisme cash in Radar Bolmong dan Grup MP menjerumuskan media ini dan kelompoknya ke jurang yang entah seberapa dalam. Bukan karena derasnya arus mundur atau dimundurkannya para pewartanya, tetapi karena kebijakan dan praktek jurnalistik yang diterapkan tidak lagi mengurusi kelayakan produk yang disajikan ke hadapan sidang pembaca.

Produk media cetak bermutu rendah atau buruk pasti dijauhi konsumen, yang ditakar dari stagnan atau turunnya oplah. Dengan oplah yang rendah, bagi konsumen dan pengguna jasa yang cerdas, harga ‘’bbi’’, ‘’bbk’’, dan advertorial Radar Bolmong juga dinilai dengan recehan. Apa boleh buat, redaksi yang berisi orang-orang dengan kompetensi rendah, dipandu Pemred yang sudah saya nilai ‘’sekelas teri’’, cuma mampu kembali ke resep kuno: Menjual sensasi dan skandal, yang biasanya ampuh memicu adrenalin pembaca dan mendorong mereka memburu koran yang memuat. Sensasi dan skandal yang paling menggiurkan apalagi kalau bukan yang berhubungan dengan kamar tidur dan ruang pribadi.

Terjerembablah Radar Bolmong. Saya tak ragu di Selasa, 22 Oktober 2013, koran ini sempat mencicip kenaikan oplah signifikan. Tetapi di saat yang sama mereka menekan denotator bom yang ledakannya berantai dan merusak ke segala arah. Kerusakan itu, sebagaimana yang dilansir Tempo.Co, sudah diisyaratkan anggota Dewan pers, Nezar Patria, dapat melebihi sanksi sesuai yang diatur UU No 40/1999 Tentang Pers dan KEJ.

Menurut hemat saya, Nezar sangat berhati-hati dan berupaya bijak menyikapi skandal foto cabul dan asusila yang dipajang Radar Bolmong di halaman depannya. Dia menitik-beratkan pada UU Tentang Pers dan KEJ sembari mengingatkan Dewan Pers tidak berwenang membredel sebuah media. Namun dengan mengisyaratkan perbuatan yang dilakukan jajaran redaksi Radar Bolmong berpotensi pidana, dia sejalan dan sebangun dengan analisis yang telah berkali-kali saya tulis di blog ini.

Tanpa bermaksud mendebat Nezar, saya punya pendapat lain. Sekali pun Dewan Pers tidak memiliki hak membredel sebuah media yang tidak lagi mempraktekkan jurnalisme sebagaimana aspek-aspek dasar dan fundamentalnya, institusi ini berwenang mengeluarkan rekomendasi. Rekomendasi itulah yang dapat digunakan aparat berwajib, kepolisian atau kejaksaan, menyeret Radar Bolmong dan para pengurusnya ke meja hijau; menuntut penutupan korporasi penerbitnya dan menghukum orang-orang yang bertanggungjawab.

Saya juga tidak sejalan dengan Nezar Patria, bahwa sebagai tindak pidana, perbuatan jajaran redaksi Radar Bolmong ditindaklanjuti setelah ada laporan masyarakat setempat. Bila mengacu pada Pasal 282 KUHP, apa yang disampaikan Nezar tidak keliru. Tetapi saya percaya aparat kepolisian dan kejaksaan tidak buta tuli serta paham betul UU Pornografi-lah yang lebih tepat digunakan menjerat koran ini. Dengan demikian seluruh pihak terkait, perusahaan dan penanggungjawab redaksi, mutlak memikul konsekwensi publikasi vulgar foto-foto cabul dan asusila itu.

Lepas dari telah bergulirnya isu tersebut ke level nasional, saya tak henti terkagum-kagum dengan manajemen Radar Bolmong dan Grup MP. Hingga tulisan ini dibuat, mereka kukuh tak mengeluarkan satu pun pernyataan resmi, terlebih meminta maaf pada publik yang dirugikan. Jurnalisme cash in dan produknya tampaknya dianut dan diamini dengan konsisten, apapun kata dan pendapat umum.

Melihat ketangguhan sikap orang-orang yang bekerja di grup penerbitan itu, dengan rendah hati saya merevisi pendapat yang selama ini kerap disampaikan ke mana-mana. Bahwa, sekte atau kelompok kepentingan terkuat dan paling gigih yang dikenal di peradaban manusia adalah yang berkaitan dengan keagamaan, oriantasi seksual, serta ideologi komunis. Mohon maaf, fenomena Radar Bolmong dan Grup MP membuat saya mesti menambahkan satu lagi, yaitu kalangan ''penganut jurnalisme cash in’’ hingga mereka bertobat dan kembali ke jalan yang benar.***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

bbi: Berita Berbayar Iklan; bbk: Berita Berbayar Koran; Capres: Calon Presiden; JP: Jawa Pos; KEJ: Kode Etik Jurnalistik; KUHP: Kitab Undang-undang Hukum Pidana; MP: Manado Post; Pemred: pemimpin Redaksi; PWI: Persatuan Wartawan Indonesia; dan UU: Undang-undang.