Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Monday, March 31, 2014

Gagal Ujian Walikota-Wawali KK di Mogolaing

GERUNDELAN, tanya, dan kecewa menggantung di udara yang sarat asap rokok. Satu malam akhir pekan lalu saya terus-menerus menyemburkan batuk –yang sudah mengganggu sejak penerbangan dari Jakarta ke Manado, Rabu, 26 Maret 2014— sembari menatap wajah-wajah kesal yang tengah reriungan.

Pertemuan sembari menatap hamparan permukaan kolam yang menghitam memantulkan cahaya di malam yang menua itu, adalah kehadiran kesekian saya di beberapa majelis yang hampir mirip. Isunya bukanlah tentang gonjang-ganjing kampanye Pemilu 2014 yang sedang memasuki puncak hingar-bingarnya. Bagi lanskap politik Bolmong Raya, bahkan KK, isu yang dideras orang-orang yang datang berhimpun, kecil belaka.

Memang, di skala makro, apa signifikansi penggantian Lurah Mogolaing bagi pemerintahan, birokrasi, dan dinamika sosial-politik-kemasyarakatan di KK? Bukankah wajar belaka ada pergeseran dan perubahan peta birokrasi dan birokrat (sebagai pelayan warga) di periode-periode tertentu? Begitu istimewakah proses penggantian Lurah Mogolaing hingga sejumlah tokoh dan orang-orang berpengaruh, tak hanya di kalangan warga Mogolaing, mendadak berkumpul dan membahasa isunya dengan serius.

Bukan karena menjadi bagian dari Kelurahan Mogolaing sejak sebelum dilahirkan lalu saya mampu memahami pentingnya isu ini di skala mikro dan makro KK, khususnya intervensi politik sempit dalam penyelenggaraan birokrasinya. Pergantian Lurah Mogolaing di antara (kalau tak salah ratusan) perubahan jabatan yang dilakukan Walikota KK, Tatong Bara, dan Wawali Jainuddin Damopolii, Kamis (27 Maret 2014), menjadi tanda awas berlanjutnya model pemerintahan warisan mantan Walikota terdahulu, Djelantik Mokodompit. Pemerintahan yang pengambilan keputusan birokrasi dan politiknya acak-acakan, tanpa pertimbangan matang, hanya berlandas bisik-bisik dan kepentingan sempit, serta jauh dari mengedepankan substansi fundamental: kenyamanan dan stabilitas masyarakat.

Saya memang tak ambil pusing dengan rolling yang dilakukan Walikota- Wawali. Adalah hak prerogatif mereka untuk melakukan perubahan kapan saja dengan menempatkan siapa saja, sepanjang itu sejalan dengan hak dan kewajiban mereka sebagai Kepala Daerah. Masalahnya, seorang atau dua Kepala Daerah semestinya menunjukkan apapun kebijakan dan putusannya, telah dengan sungguh-sungguh diambil dengan mempertimbangkan berbagai aspek secara komprehensif.

Pertama, sejak tumbangnya rezim Orba, umumnya Kepala Daerah di Indonesia adalah juga politisi (karir maupun karbitan) yang terafiliasi dengan Parpol. Imbas dari fakta ini adalah, pengambilan keputusan birokrasi yang memang tak lepas dari pertimbangan politis dan politik, kian terjerumus pada politisasi. Penunjukkan seorang Kepala SKPD misalnya, tak lepas dari intervensi persepsi loyalitas yang melebihi kesetiaan birokrat profesional. Sederhananya, loyalitas Kepala SKPD juga berkaitan atau dikaitkan dengan kesediaan turut mengindahkan kepentingan Parpol yang terafiliasi dengan Kepala Daerah.

Kepentingan utama Parpol adalah mengikat (dan memperluas) kesetiaan konstituen. Di tingkat paling kecil, salah satu yang sangat efektif adalah perangkat kelurahan dan desa. Menguasai para perangkat di level pemerintahan terendah ini berarti mengoptimalkan penetrasi pengaruh hingga ke akar rumput paling terbawah.

Dalam politik, the winner takes all adalah hal lumrah. Tapi memanen keuntungan di saat tak tepat, sama dengan menggali lobang neraka. Penggantian dan pergeseran jabatan yang dilakukan Walikota-Wawali KK beberapa hari sebelum Pemilu 2014 dilaksanakan; adalah kedunguan  yang sulit dimaafkan. Kebijakan ini mudah dituduh sebagai upaya memenangkan Parpol asal pasangan ini; atau lebih buruk lagi menunjukkan inkompetensi seorang Kepala Daerah yang mestinya mengedepankan stabilitas dan keamanan agar Pemilu 2014 berlangsung sukses.

Dan kedua, Kepala Daerah yang benar-benar menginginkan kemajuan wilayah yang dia pimpin, pasti mengedepankan pertimbangan profesionalisme dan kinerja saat memilih dan menata perangkat birokrasi pembantunya. Di kasus penggantian Lurah Mogolaing (sebagai contoh paling terasa dan telanjang bagi warga kelurahan ini), adakah petimbangan itu menjadi dasar utama? Di mana cacat profesional dan kinerja buruk mantan Lurah yang baru menjalankan tugas kurang dari 1,5 tahun?

Sepanjang kehadiran saya di semua pertemuan dan pembicaraan membahas nasib mantan Lurah, tak ada satu pun keberatan yang disuarakan. Bagi warga Mogolaing, mantan lurah yang juga seorang jiow sejauh ini berhasil menunjukkan profesionalisme dan kinerja optimal, yang salah satunya dibuktikan dengan netralitasnya di Pilwako 2013 lalu. Yang tak dapat ditampik, sudah menjadi semacam tradisi, masyarakat Mogolaing sangat menghormati dan gigih menjunjung pemimpin lokalnya, terutama mereka yang dianggap benar-benar menjadi pelayan dan pengayom masyarakat.

Tradisi yang sangat lokal ini dimanifestasi dengan masa jabatan hampir semua Lurah Mogolaing yang rata-rata di atas delapan tahun. Bahkan Lurah Ati Ginoga ‘’diminta’’ tetap meneruskan jabatannya beberapa waktu setelah pensiun, karena kepemimpinannya memang minimal berhasil menjaga kelurahan di jantung KK ini relatif aman-tenteram.

Maka wajar ada pertanyaan semacam ‘’Apa Lurah pe salah?’’; ‘’Ini Walikota-Wawali mo kase tunjung dorang pe kekuasaan?’’; atau ‘’Kiapa so jadi sambarangan bagini ini Walikota-Wawali?’’ dilontarkan terang-terangan. Sama dengan cacian bahwa sejumlah pembisik Walikota yang diketahui dekat karena menjadi penyokong politiknya, berlaku culas terhadap mantan Lurah, yang kepentingan akhirnya demi meraup dukungan di Pemilu 2014. Orang-orang itu, yang namanya disebutkan dengan tambahan ‘’Mo pilih pa dorang? Blum stau!’’, sudah menjadi pengetahuan umum adalah lingkaran non struktural dan non formal Walikota, yang pengaruhnya nyaris tanpa batas dan filter.

Menjadi pemimpin politik dan birokrasi pada akhirnya adalah parade pengetahuan kompleks seseorang terhadap berbagai aspek terkait di wilayah dan masyarakat yang dia ayom. Penggantian Lurah Mogolaing menjelang Pemilu 2014 dengan cara yang tidak mempertimbangkan konteks sangat lokal, menunjukkan Walikota-Wawali KK memang politisi dan pemimpin sangat amatir. Mengecewakan betul. Terlebih, sekali pun Tatong Bara berlatar Matali, hampir satu dasawarsa terakhir dia adalah penduduk Mogolaing, yang semestinya paham dan khatam bagaimana laku dan tindak masyarakat di kelurahan ini.

Apa boleh buat, isu bagai api dalam sekam yang kini menjalar di Kelurahan Mogolaing menjadi cermin kebijakan lebih besar Walikota-Wawali, setidaknya di tingkat kecamatan dan Kota. Di Mogolaing, di awal masa pemerintahan mereka, Walikota-Wawali sudah menyemai bibit yang cepat atau lambat bakal dituai panenannya. Sebab, sebagaimana yang diutarakan seorang tokoh masyarakat termuka di kelurahan ini, ‘’Mo ganti deng sapa pun, nyanda masalah. Tapi depe waktu baganti deng cara baganti yang jadi masalah.’’

Saya mesti mengingatkan, khususnya pada Walikota Tatong Bara, cara masyarakat Mogolaing menghukum pemimpin yang dianggap tak karuan, seringkali sangat menyakitkan. Mantan Walikota Djelantik Mokodompit sudah merasakan, sebagai penduduk Kelurahan Mogolaing, dia dengan telak kalah di tempatnya bermukim di Pilwako 2013 lalu. Dia di-delegitimasi oleh masyarakat yang seharusnya menjadi jangkar sosial dan politik utamanya.

Saya lahir dan tumbuh di Mogolaing. Saya memahami apa yang dipikir, dirasa, dan menjadi sikap masyarakatnya. Sebab itu juga yang kini berkecamuk di benak dan hati saya. Para elit birokrasi dan politik di KK tampaknya terlalu bebal mempelajari, bahwa mempercayai para pembisik tanpa reserve, tak beda dengan menarik gerbong perlawanan dan delegitimasi. Diam-diam dan terang-terangan.  Dan itulah yang kini dilakukan Walikota-Wawali di Kelurahan Mogolaing.***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

Bolmong: Bolaang Mongondow; KK: Kota Kotamobagu; Orba: Orde Baru; Parpol: Partai Politik; Pemilu: Pemilihan Umum; Pilwako: Pemilihan Walikota; SKPD: Satuan Kerja Perangkat Daerah, dan Wawali: Wakil Walikota.

Sunday, March 9, 2014

Janji Bupati Warung Kopi

PERTANYAAN dan ‘’gugatan’’ itu berdatangan setidaknya sejak Rabu, 5 Maret 2014. Yang sukar dimengerti, urusannya sama sekali tak berhubungan dengan kewajiban, terlebih tanggungjawab saya pribadi. Ibarat penggalan lagu Benang Biru dari Meggy Z (2006), ‘’Orang lain (yang) berlabuh aku yang tenggelam.’’

Ihwal yang dipertanyakan (dan ‘’digugat’’) itu adalah janji Bupati Boltim, Sehan Lanjar, yang telah dinyatakan di banyak kesempatan, termasuk di gelaran Secangkir Kopi Bersama Eyang  yang digagas Pemred lintasbmr.com, Buyung Potabuga, di Dir Coffee Break Kotamobagu, Jumat (28 Februari 2014) lalu. Karena tak terlepas isu yang jadi perhatian warga Mongondow (bahkan Sulut), telah dinyatakan bahkan di hajatan-hajatan sosial yang dihadiri Bupati, pula dikutip di media massa, eksekusi maklumat yang telah diucap itu sungguh-sungguh ditunggu.

Tapi apa sebenarnya ‘’sesuatu’’ yang dianggap janji itu? Wujudnya adalah tekad Sehan Lanjar melaporkan Harian Radar Bolmong ke pihak berwenang karena isu penistaan agama dan sakralitasnya sebagai buntut dari bbi di koran ini, Jumat (21 Februari 2014), Sachrul Lawan Sehan di Pilbup 2015 Mulai Bergulir? Sebagaimana orang banyak yang mengikuti isunya, saya tentu menyambut baik ikhtiar Bupati Boltim menempuh upaya hukum sebagai contoh positif yang selayaknya diikhtiarkan setiap pemimpin politik dan pemerintahan tak hanya di Mongondow.

Dari perspektif pendidikan hukum, pengaduan Sehan Lanjar (dengan alasan namanya dicatut, dicemarkan, atau apapun itu) mendorong masyarakat mempercayai upaya hukum sebagai jalan terbaik menyelesaikan silang-selisih. Secara sosial dan budaya, dia secara nyata berkontribusi pada stabilitas sosial yang telah terintegrasi dan khusyuk dipelihara di Mongondow. Pendek kata, sama sekali tak ada mudaratnya mengadukan Radar Bolmong ke pihak berwenang. Kecuali, semata sebab pertimbangan politik, semacam bargaining ‘’rica-tomat’’ di pasar tradisional, yang muaranya demi kepentingan Sehan Lanjar seorang.

Apalagi, dalam catatan saya bukan baru sekali koran yang mengklaim ‘’No. 1 di Bolmong Raya’’ menyudutkan Sehan Lanjar hingga ke posisi yang membahayakan kredibilitas dan integritasnya. Tewasnya Abdullah ‘’Ayu’’ Basalamah (doa saya selalu untuk Almarhum) pada Senin, 17 Juni 2013, yang dikait-kaitkan dengan Sehan Lanjar, secara implisit turut pula dikipasi pemberitaan Radar Bolmong.

Pengait-ngaitkan tewasnya Almarhum Ayu tidak terlepas dari silang-selisih tersebarnya BBM melecehkan Bupati Boltim. Sepengetahuan saya, hampir tak satu pun pihak yang bersuara berbeda dengan bisik-bisik umum, kecuali saya yang lalu menulis Tragedi Ayu, Musibah Eyang (Sabtu, 22 Juni 2013) sebagai pengingat, jangan sampai ada ‘’pengadilan media’’ dan ‘’sidang orang banyak’’ hanya dengan dasar duga-duga dan asumsi.

Terbukti kemudian, tewasnya Ayu tidak berhubungan dengan perkara ketidak-sepahamannya dengan Sehan Lanjar. Polisi turun tangan. Pembunuh Almarhum dicokok dan diproses; bersamaan pula peristiwa yang terkait Bupati Boltim diusut. Kalau pun ada yang masih mengganjal, hingga tulisan ini dibuat, saya sama sekali tidak mendengar ada upaya hukum terhadap penyebar BBM pelecehan yang sumber awalnya dari Almarhum Ayu. Sekali lagi, polisi kita memang hebat-hebat. Lebih dasyat dari polisi seperti yang kerap digambarkan di film-film Bollywood.

Sekarang, Radar Bolmong berulah lagi. Terang-terangan mengipasi sentimen publik dengan isu sensitif SARA. Untunglah masyarakat Bolmong, khususnya umat Islam dan Kristen, entah karena tidak peduli atau kian kebal, tidak buru-buru terprovokasi. Polisi pun cekatan menyelidiki isunya, memeriksa sejumlah orang, dan setelah itu mari kita bertanya pada atap pos penjagaan di gerbang masuk Polres Bolmong.

Berhadapan dengan anak perusahaan MPG itu, Polres Bolmong majal bagai pisau berkarat. Sebab itu, maaf saja, Pak Kapolres (yang secara pribadi adalah sosok yang dikenal santun dan mencoba profesional), saya kok benar-benar kehilangan kepercayaan terhadap cara kerja institusi Anda di Bolmong. Sekadar mengingatkan, bagaimana kabar publikasi porno dan mesum Radar Bolmong yang beberapa bulan lalu bahkan sempat menasional? Sudah sampai di manakah kasusnya? Apakah sudah menjerat pelaku utama, penyebarnya, dan media yang terang-terangan menjadi pengumbarnya? Atau kita anggap saja sudah dark number yang jawabannya sama sepoi-sepoi dengan angin yang mengelus pohon kandasuli di  pekuburan umum Mogolaing?

Apakah Bupati Boltim telah sama tumpulnya dengan Polres Bolmong? Seorang kawan jurnalis yang rupanya mengikuti silat Sehan Lanjar-Radar Bolmong di isu dugaan penistaan agama dan sakralitasnya, merepet  di BBM panjang yang dikirimkan ke saya. Menurut dia, sebagai pejabat publik, Bupati Boltim ini gemar menggumbar janji, gertak, bahkan mencampur-aduk dan melebih-lebihkan rencana dan fakta.

Waduh, pernyataan itu provokasi mengena dan (sebagai kawan dekat Sehan Lanjar) langsung mengusik saya. Tanpa berpikir panjang, saya merespons, ‘’Hati-hati itu mulut. Bisa-bisa saya bilas dengan sabun cuci piring. Mana buktinya?’’

Saya pun menggali lobang sendiri. Ditunjukkanlah sejumlah bukti. Kata kawan itu, ‘’Tiga saja, selebihnya cari sendiri. Satu, Bupati Boltim pernah mengeluarkan kebijakan PNS tidak boleh membawa mobnas keluar dari wilayah tugasnya. Kemana kebijakan itu sekarang? Dua, dia menggumbar ancaman mencopot langsung bawahan yang tidak menunjukkan kinerja maksimal. Bupati bahkan mengumumkan akan membawa-bawa SK yang sudah ditandatangi dan tinggal ditulisi nama pejabat yang akan dilengser. Dan tiga, sejak isu penistaan agama dan sakralitasnya mengemuka, terakhir Bupati mengatakan akan mengadukan Radar Bolmong ke pihak berwenang pada Senin, 3 Maret 2014. Mana buktinya?’’

Biasanya saya tangkas mendebat kilahan sepele seperti itu. Kali ini saya terpaksa mengeluarkan kelitan tak bermutu. ‘’Jawabannya, satu, tugas instansi atau badan di bawah Bupati yang menegakkan kebijakan yang dia tetapkan. Dengan tidak adanya sanksi terhadap dibawanya mobnas keluar Boltim, artinya ada pihak yang tidak mendukung Bupati. Dua, tunjukkan kepala dinas atau badan mana yang tidak becus itu, Bupati pasti menandatangani SK pencopotannya. Dan tiga, Sehan Lanjar mengatakan melapor ke pihak berwenang pada Senin. Soal Senin kapan, itu yang harus kita tunggu bersama-sama.’’

Dapat diduga, serangan balik yang datang lebih pedas dan sinis. ‘’Abang menjawab seperti diskusi kuda dan kusir bendi. Sama seperti Bupati yang omongannya lama-kelamaan tidak berbeda dengan bual-bual warung kopi saja. Setelah secangkir kopi dan kudapan tandas, menguap pula apa yang diucapkan.’’

Apa boleh buat, elakkan terakhir yang masih tersedia harus dikeluarkan, ‘’Kita kan tidak memilih Bupati dengan Pemilu warung kopi? Sehan Lanjar pasti akan mengambil tindakan. Apa itu? Masak Bupati harus diatur-atur.’’ Lalu, dengan cepat saya mengetikkan pukulan telak, ‘’Kita sambung lagi nanti, saya ada meeting penting.’’

Tiba-tiba saya ingin bersigegas ke warung kopi, melegakan kepala dengan seruputan Arabika Sidikalang sembari mengunyah lemper. ***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

bbi: Berita Berbayar Iklan; BBM: BlackBerry Messenger; Bolmong: Bolaang Mongondow; Boltim: Bolaang Mongondow Timur; Mobnas: Mobil Dinas; MPG: Manado Post Group; Pemilu: Pemilihan Umum; Pemred: Pemimpin Redaksi; PNS: Pegawai Negeri Sipil; Pilbub: Pemilihan Bupati; Polres: Kepolisian Resort; SK: Surat Keputusan; dan SARA: Suku, Agama, Ras, dan Antar Golongan.

Monday, March 3, 2014

Dan Jadilah Sang Wapemred Tumbal ‘’Cash In’’

SENIN, 21 Oktober 2013, saya mengunggah Selamat Pemred (Wapemred?) Firman! Target ‘’Cash In’’ Menanti Anda. Artikel ini ditulis menyambut dipromosinya Kepala Biro MP Bolmong, Firman Toboleu, menjadi Wapemred Radar Bolmong.

Kendati mengimpikan ada media dengan para pewarta independen, kredibel, dan profesional di Mongondow, saya tidak terlampau optimis mengetahui penunjukkan Firman. Sekalipun posisinya sangat strategis mengingat Pemred, Budi Siwanto, bukanlah seorang jurnalis (kriteria dipilihnya dia memimpin koran yang mengklaim ‘’No. 1 di Bolmong Raya’’ bagi saya masih tetap misteri). Boleh dibilang, Firman-lah yang bakal mengendalikan otak dan isi perut media ini.

Pemahaman itu mendorong saya –dalam tulisan itu-- mengingatkan dia bahwa hanya ada dua pilihan. Menjadikan Radar Bolmong koran yang sesungguhnya dengan konsekwensi melikuidasi kebijakan cash in; atau patuh pada tuntutan cash in dan lupakan serta selamat jalan pada praktek jurnalistik yang semestinya. Kurang dari lima bulan sejak ditunjuk sebagai Wapemred, awal Maret 2014 ini kita tahu, rekam jejak dan pengalaman Firman Toboleu tak kuasa melawan kebijakan ‘’para dewa’’ di atasnya. Radar Bolmong tetap perkasa dan membuta-tuli menegakkan kewajiban cash in pada para pewartanya.

Firman adalah sosok yang selalu menyenangkan. Begitu menduduki kursi Wapemred kami tetap berteman di BBM. Dia tak menghapus kontak saya, tetapi juga tidak pernah menyapa (saya pun demikian). Bagi saya, dipertahankannya kontak BBM itu cukup mengherankan, mengingat di saat yang sama saya menjadikan koran tempatnya bekerja (bahkan induknya, MPG) sasaran kritik, sinisme, dan olok-olok. Bukan rahasia lagi, khususnya di Radar Bolmong, siapapun yang berani berhubungan dengan saya, sekadar bertemu di kedai kopi dan tak segera menyingkirkan pantat sejauh mungkin, terancam dikucilkan dan akhirnya disingkirkan.

Beberapa mantan wartawan Radar Bolmong yang kini pindah ke media lain, termasuk yang memegang posisi penting seperti Yokman Muhaling, didepak (didahului penonaktifan untuk jangka waktu yang tak ditentukan) konon hanya karena pernah duduk mendengarkan bual-bual saya di Kopi Jarod Sinindian. Wartawan lain bernasib sama: dibikin tidak nyaman dan akhirnya hengkang (atau dihengkangkan) hanya karena tanpa sengaja ada di sekitar majelis ngalor-ngidul itu.

Tak pernah ada bukti ‘’konon’’ yang menempatkan saya seperti musuh haram jadah Radar Bolmong. Para eks pewarta koran ini, walau sudah bekerja di tempat lain, memilih tertawa atau senyum kecut ketika saya mintai konfirmasi.  Mereka dengan santun mengemukakan memilih keluar (atau dikeluarkan, tergantung perspektif mana yang digunakan) karena ingin mencari tantangan di tempat lain. Sungguh arif dan bijaksana. Apa menyetorkan Rp 15 hingga 25 juta (dan menjadi akumulatif bila tak mencapai target) per bulan ke kantong redaksi masih kurang menantang? Bukankah di koran ini para pewartanya tak dituntut pengetahuan jurnalistik, terutama UU Tentang Pers dan KEJ, kecuali keterampilan menyedot dana dari sumber berita?

Mengetahui diposisikan seperti itu, saya jadi berhati-hati melakukan kontak dengan teman-teman yang masih berkhimad di kelompok MPG. Mengerikan betul hanya karena papasan di tengah riuh pasar, bercakap-cakap demi sopan-santun sosial, tanpa sengaja dipergoki mulut ember, lalu kawan yang tak bersalah itu diparia perusahaan tempatnya bekerja.

Yang agak menghibur, ternyata saya bukan satu-satunya orang yang dianggap ‘’berbahaya’’. Sebab wartawan di kelompok penerbitan ini juga harus waspada bereriungan dengan mereka yang mantan dan pindah ke penerbitan saingan (misalnya Tribun Manado atau Sindo Manado), karena terancam surat peringatan keras. Luar biasa hebatnya manajemen paranoid dan curiga yang menjalar ke induk dan kerabat Radar Bolmong, silaturrahim pun dianggap sebagai konspirasi makar.

Beberapa hari terakhir saya nyaris melanggar prinsip kewaspadaan untuk tak menimbulkan masalah pada orang-orang yang saya kenal, yang (masih) bekerja di bawah payung MPG. Kabar dinonaktifkannya Firman Toboleu sebagai Wapemred Radar Bolmong akibat bbi Jumat (21 Februari 2014) yang bermuatan sensitif SARA, hampir membuat saya meraih telepon dan mengontak dia menanyakan kebenaran rumor yang lalu-lalang itu. Untunglah kewarasan saya mengingatkan, informasi itu mungkin sekadar pancingan dan bila saya teledor menghubungi Firman dan diketahui oleh entah siapa, bisa jadi niat baik bersimpati dan empati malah berubah jadi peluru eksekusi.

Sabtu, 1 Maret 2014, seorang kawan memberitahu benar adanya Firman Toboleu dinonaktifkan. Informasi ini, Minggu, 2 Maret 2014, dikonfirmasi pula oleh kawan lain yang tahu persis perkembangan di redaksi Radar Bolmong. Yang menonaktifkan adalah direksi. Alasannya, sitir kawan pembawa kabar, karena ada gugatan hukum terhadap bbi yang diedit oleh Firman.

Pikiran yang teracuni melahirkan keputusan bertuba. Pertama, bbi adalah kebijakan manajemen Radar Bolmong yang wajib dipatuhi dan diburu oleh seluruh wartawan dan supporting staff-nya. Lepas dari apakah Firman menulis, hanya mengedit, atau sekadar meloloskan bbi itu (karena posisinya sebagai Wapemred), dia konsisten menegakkan kebijakan manajemen. Dan bukankah sesuatu yang bersifat iklan, yang dipublikasi di media, pihak pertama (dan utama) yang bertanggungjawab adalah pemasangnya?

Menonaktifkan Firman Toboleu adalah perlakuan semena-mena dan cuci tangan. Manajemen Radar Bolmong bertindak mendahului proses hukum dengan membuang seluruh tanggungjawab ke pundak dia seorang.

Dan kedua, apa dan siapa sebenarnya yang digugat (yang diketahui orang banyak adalah yang dilayangkan Aliansi Masyarakat Muslim Bolmong Raya)? Bukankah yang digugat adalah Bupati Boltim karena mengeluarkan yang dianggap menista agama dan sakralitasnya; serta Radar Bolmong karena memuat pernyataan itu? Menonaktifkan Firman Toboleu tidak membuat kewajiban pidana koran ini gugur. Tindakan ini justru membuka peluang Radar Bolmong menganak-pinakkan masalahnya ke isu pengabaian hak jurnalisnya untuk mendapatkan perlindungan hukum.

Penonaktifkan itu juga menjadi kontradiksi karena menunjukkan redaksi Radar Bolmong mengakui isu sensitif SARA yang dipublikasi itu adalah 100 persen berita, bukan bbi. Dengan demikian melepaskan terduga pemasang bbi dari tanggungjawab hukum. Konsekwensi yang diakibatkan publikasi Sachrul Lawan Sehan di Pilbup 2015 Mulai Bergulir? praktis hanya terpusat di pundak Radar Bolmong dan Bupati Boltim.

Padahal, sebagai bbi, pihak yang harus bertanggungjawab adalah: Bupati Boltim (bila benar dia mengeluarkan pernyataan gawat itu); Radar Bolmong (karena memuat sebagai berita dan menerima suap), dan pemesan bbi (sebagai dalang penyebaran materi penistaan agama dan sakralitasnya yang dapat memprovokasi orang banyak).

Kewajiban cash in memang menjadi bencana. Prakteknya yang menghalalkan segala cara seperti pesugihan: wajib dan rutin menyetorkan ‘’korban’’. Sudah begitu, hasilnya adalah ‘’duit setan dimakan iblis’’. Hanya memakmurkan mereka yang ada ‘’di atas angin dan kahyangan’’. Memangnya siapa direksi yang peduli dengan Firman Toboleu yang pasti kebingungan sebab (sebagaimana praktek di MPG) penonaktifan itu langsung pula menghentikan salary dan benefit-nya sebagai karyawan?

Promosi yang mestinya membuat karir Firman kian mencorong, ternyata dengan cepat menjadi musibah. Yang menyedihkan, dia akan berpasrah karena itulah satu-satunya jalan yang paling tidak merepotkan. Melawan direksi Radar Bolmong, apalagi MPG, memerlukan lebih dari tekad dan kekeras-kepalaan. Firman Toboleu pasti memiliki tekad, tapi saya meragukan kekeras-kepalaannya.

Saya bersimpati dan berempati pada Anda, Kawan Firman. Biarlah solulokui diakhiri dengan mengutip seorang karib Anda yang sama nelangsanya dengan saya: ‘’Tidak banyak Wapemred yang masih turun meliput. Firman Toboleu adalah salah satunya. Sayang sekali dia harus dipatahkan oleh jurnalisme cash in.’’***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

bbi: Berita Berbayar Iklan; BBM: BlackBerry Messenger; Bolmong: Bolaang Mongondow; Boltim: Bolaang Mongondow Timur; KEJ: Kode Etik Jurnalistik; MP: Manado Post; MPG: Manado Post Group; Pemred: Pemimpin Redaksi; SARA: Suku, Agama, Ras, dan Antar Golongan; UU: Undang-undang; dan Wapemred: Wakil Pemimpin Redaksi.

Saturday, March 1, 2014

Taktik Kotor Politik Praktis di Mongondow

HARI masih belia, Sabtu (1 Maret 2014), sewaktu saya menerima broadcast BBM yang mengesankan ‘’bagi-bagi rezeki’’ mengatasnamakan anggota DPR RI Yasti S Mokoagow. Bagi kebanyakan orang, isi BBM itu sangat menggoda; tapi tentu tidak berlaku untuk mereka yang waspada terhadap aku-akuan, janji-janji, dan modus penipuan lainnya.

Broadcast yang dengan cepat menjalar itu (terbukti saya menerima berturut dari sejumlah orang yang tampaknya melakukan tanpa mikir dan mengecek terlebih dulu) adalah: ‘’Calon DPR RI PAN ibu YASTI SUPREJO No.6 bagi pulza karena mencalonkan diri sebagai DPR RI bekerja sama dengan operator lanjutkan BC ini ke 15 orang maka pulsa anda terisi 100000, ini benar kita so kirim, kita cek pulsa ta isi 100000 cepat sebarkan sekarang.’’

Penyebaran ‘’rezeki tiban’’ itu jelas tipu-tipu. Pertama, BBM tersebut dibuat asal-asalan oleh orang yang tak memahami Yasti S Mokoagow hingga ke detil sikap dan perilakunya. Yang paling mencolok, hampir lima tahun terakhir Yasti tidak lagi menggunakan ‘’Suprejo’’ di akhir namanya, tetapi ‘’Mokoagow’’. Kedua, materi-materi komunikasi dan kampanye resmi Yasti S Mokoagow (kecuali dia telah berubah sama teledornya dengan kebanyakan politikus Indonesia) selalu disiapkan dengan cermat dan hati-hati. Bahasa compang-camping broadcast BBM itu jauh dari cermat, apalagi hati-hati. Dan ketiga, Yasti Mokoagow paham betul mana komunikasi dan kampanye efektif; mana yang bukan. Kampanye dengan memagi-bagi pulsa jauh dari efektif, efisian, dan cuma membuang-buang duit.

Karena ingin tahu kebenaran kabar itu, saya lalu mengontak Ketua DPW PAN Sulut yang juga Walikota KK, Tatong Bara, yang tegas menyatakan hoax belaka.  Setelahnya, tak lama kemudian berturutan masuk BBM yang mengklarifikasi: ‘’SMS dan BBM yg beredar membawa bawa nama. Anggota DPR-RI. Dra Hj Yasti Soepredjo Mokoagow yang membagi bagi pulsa gratis itu adalah salah satu bentuk fitnah dan ingin menjatuhkan nama beliau. Di mohon agar tidak mempercayai BBM atau SMS tersebut ##Sebarkan BC ini sebagai bentuk klarifikasi#.’’

‘’Perang’’ antara yang tidak dan yang mendukung Yasti S Mokoagow di Pemilu April 2014 mendatang sudah terang-terangan berkobar. Dua belah pihak sama-sama konyol. Pihak kontra melancarkan serangan tak cerdas dan kekanak-kanakan; sementara pendukung Yasti Mokoagow membalas dengan ketidak-cermatan anak SD. Lihatlah kandungan SMS dan BBM klarifikasi yang mereka sebarkan, bahasa Indonesianya minta ampun cacat-celanya. Tidak mewakili citra anggota DPR RI yang semestinya tertatalaksana, terutama dalam berbahasa.

Mana ada ‘’membawa bawa’’, ‘’membagi bagi’’, atau ‘’di mohon’’ di bahasa Indonesia yang baik dan benar? Urusan berbahasa saja masih tak karuan; bagaimana para pendukung ini merumuskan strategi dan taktik politik ‘’kelas tinggi’’, elegan, efektif, efisien, dan tepat sasaran mendukung keterpilihan Yasti Mokoagow untuk kedua kalinya ke DPR RI?

Kegairahan (atau tepatnya nafsu besar) politik di kalangan politikus di Mongondow memang menggebu-gebu tanpa dibarengi keinginan dan kemampuan belajar yang sungguh-sungguh. Politik seolah-olah dimaknai sebagai kepiawaian yang turun begitu saja dan melekat di diri seseorang, sepanjang dia sudah bergiat di aspek-aspek praktisnya. Hasilnya, alih-alih kita melihat politikus sebagai sosok yang membawa, menjadi, dan memberi harapan; yang tampak adalah badut-badut dan artis kartun. Lebih minta ampun lagi, tokoh-tokoh di sekitar mereka, yang semestinya menjadi supporting tim, tak beda dengan segerombolan simpanse yang cuma bisa menciptakan kebisingan.

Prasangka broadcast ‘’bagi-bagi rezeki’’ atas nama Yasti Mokoagow sebagai fitnah dan upaya menjatuhkan nama baiknya, menjadi tafsir yang masuk akal bagaimana busuknya politik praktis dipraktekkan (paling tidak) di Mongondow. Sedihnya, kebusukan itu makin menyegat karena caranya yang absolut bodoh. Menjatuhkan politikus sekelas Yasti Mokoagow, yang masih punya cadangan penasihat dan orang sekitar dengan keterampilan strategi dan taktik politik berkapasitas tinggi, tak cukup hanya dengan cara-cara konvensional sepele yang mudah dibaca dan diantisipasi.

Brutalitas tanpa otak yang dikelindangi keinginan banyak pihak untuk terlibat (dan mengambil manfaat) politik praktis di Mongondow, mesti sangat diwaspadai para politikus yang tulus dan bersungguh-sungguh memilih politik sebagai ladang pengabdiannya. Kasus dugaan penistaan agama dan sakralitasnya yang melibatkan nama Bupati Boltim, Sehan Lanjar; Harian Radar Bolmong; dan –belakangan mencuatkan dugaan keikutsertaan— Ketua PAN Boltim, Sam Sachrul Mamonto, adalah contoh nyata kotornya taktik para pemain politik praktis di Mongondow.

Sejak pekan lalu (Jumat, 21 Februari 2014), orang banyak dibombardir fakta dan spekulasi kebenaran isu penistaan itu, apa motifnya, dan siapa-siapa terduga di baliknya? Perkembangan terakhir menunjukkan, perhatian publik terfokus pada Radar Bolmong sebagai kreator dan pihak yang mempublikasi isunya dalam bentuk bbi, serta Sachrul Mamonto yang ‘’konon’’ menjadi penyandang dana.

Benarkah demikian? Jumat (28 Februari 2014), Sachrul Mamonto mengontak saya, menyampaikan versi dari sisinya –yang menurut dia diabaikan oleh media yang gegar menyoroti isunya.

Menurut Ketua PAN Boltim ini: Pertama, wartawan Radar Bolmong memang menghubungi untuk konfirmasi apakah dia bakal berkompetisi di Pilbub Boltim 2015 mendatang atau tidak. Konfirmasi diberikan; dan untuk itu kutipan pernyataannya di-bbi-kan agar tepat hingga titik-koma sebagaimana yang disampaikan. Kedua, Sachrul Mamonto sama sekali tidak mengetahui keseluruhan isi bbi yang dipublikasi Radar Bolmong. Dan ketiga, dia bingung dan keberatan karena belakangan di banyak kesempatan Bupati Boltim secara terbuka menyatakan Sachrul Mamonto berada di balik dugaan penistaan itu.

Saya menyambut baik komunikasi dengan Sachrul Mamonto dan menyarankan: Pertama, kalau dia keberatan dan akan mengadukan ke pihak berwenang (karena mengganggu kredibilitasnya, apalagi sebagai calon anggota DPR di Pemilu April 2014 mendatang), maka siapkan seluruh bukti tak terbantahkan. Bila buktinya lemah, langkah apapun yang diambil justru kian merusak reputasi dan kredibilitas sendiri. Dan dua, andai versi Sachrul Mamonto 100 persen benar, maka mutlak Radar Bolmong memang berniat jahat dan kotor terhadap Bupati Boltim serta Sachrul Mamonto. Dua tokoh ini sama-sama wajib menjernihkan pangkal soalnya dan menuntut tanggungjawab pidana dari Radar Bolmong.

Cara terbaik menguak tuntas isu penistaan itu memang hanya dengan masing-masing pihak menempuh upaya yang dijamin UU dan turunannya serta aturan-aturan terkait lainnya. Tanpa bermaksud mendahului aparat berwenang, dengan mempertimbangkan versi Bupati Boltim dan versi Sachrul Mamonto, tanggungjawab pidana isu tampaknya mengerucut ke Radar Bolmong.

Sekadar spekulasi, demi kepentingan cash in, koran ini sadar dan sengaja menceburkan diri ke tengah praktek politik praktis di Mongondow, dengan saling menabrakkan tokoh-tokohnya sembari meraup keuntungan dari bbi, bbk, advertorial, dan apapun yang dapat mengalirkan duit ke kantong manajemennya. Yang menggenaskan, cara yang dilakukan Radar Bolmong sungguh kotor, jahat, dan jauh dari cerdas; sebagaimana broadcast ‘’bagi-bagi rezeki’’ yang mengatasnamakan Yasti S Mokoagow.

Pertanyaan saya: Masak media yang kotor, jahat, bodoh, dan tak profesional masih tetap dilanggani, dibeli, dan dibaca? Kemana kewarasan orang-orang di Mongondow; terutama politikus dan Pemkab yang tetap menggunakan Radar Bolmong sebagai wahana komunikasi? Apakah mereka juga sama kotor, jahat, dan bodohnya?***

Singkatan dan istilah yang digunakan:

bbi: berita berbayar iklan; bbk: berita berbayar koran; BBM: BlackBerry Messenger; BC: Broadcast; Boltim: Bolaang Mongondow Timur; DPR: Dewan perwakilan Rakyat; DPW: Dewan Pimpinan Wilayah; KK: Kota Kotamobagu; Pemilu: Pemilihan Umum; PAN: Partai Amanat Nasional; RI: Republik Indonesia; SMS: Short Massage/Pesan Pendek; Sulut: Sulawesi Utara; dan UU: Undang-undang.