Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Saturday, October 26, 2013

‘’Radar Bolmong’’ Profesional? Puih!



PEMAJANGAN empat foto cabul dan asulasi oleh Harian Radar Bolmong terus menjadi perhatian publik yang lebih luas dari BMR dan Sulut. Setelah situs Tempo Co melansir empat berita terkait isu ini, Jumat, 25 Otober 2013, harian terkemuka Koran Tempo, Sabtu, 26 Oktober 2013, menurunkan berita yang menyoroti publikasi foto-foto ini sebagai indikasi penyebaran pornografi.

Berita Koran Tempo yang dimuat di Halaman Nusa itu bertajuk Radar Bolmong Disarankan Minta Maaf Soal Foto Mesum (http://koran.tempo.co/konten/2013/10/26/325749/Radar-Bolmong-Disarankan-Minta-Maaf-Soal-Foto-Mesum), dengan mengutip anggota Dewan pers, Nezar Patria; Ketua AJI Manado, Yoseph Ikanubun; dan Pemred Radar Bolmong, Budi Siswanto. Pernyataan Nezar dan Yoseph tidak berbeda dengan yang dapat dibaca di Tempo.Co, tidak dengan kutipan Budi Siswanto yang tampaknya baru pertama kali bersuara sejak skandal ini meruyak.

Pada wartawan Tempo, Pemred Radar Bolmong menyatakan foto yang dimuat medianya sudah disamarkan. ‘’Kami berusaha profesional. Boleh dilihat foto sebelum dan sesudah dimuat. Sudah kami blur," katanya. Budi Siswanto juga mengemukakan, ‘’Kami tunggu Dewan Pers. Surat resmi permintaan untuk mengirimkan koran juga belum sampai. Kami siap mempertanggungjawabkannya.’’

Sedap betul pernyataan Pemred yang juga ‘’panglima jurnalisme cash in’’ di Radar Bolmong ini. Seolah-olah blurring yang dilakukan berhasil menghilangkan, menutupi, atau menghapus jejak pemandangan syur foto-foto yang mereka sajikan ke hadapan publik. Empat jempol (dua jempol tangan dan dua jempol kaki) untuk Budi Siswanto. Dia justru memberi alasan sesiapa pun yang berkepentingan terhadap media dapat mempertanyakan pemahamanan dan praktek jurnalistik profesional di koran yang dipimpinnya.

Berhubung Budi Siswanto tidak punya kamus, saya ingin berbaik hati mengajari pengertian profesional, profesionalisme, dan profesionalitas sebagaimana yang semestinya dianut umum di negeri ini. KBBI terbitan Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional dan Balai Pustaka, 2005, mencatumkan, pengertian ‘’profesional’’ antaranya: (1) Bersangkutan dengan profesi; (2) Memerlukan kepandaian khusus untuk menjalankannya; (3) Mengharuskan adanya pembayaran untuk melakukannya.

KBBI juga mencantumkan, ‘’profesionalisme’’ adalah: Mutu, kualitas, dan tindak tanduk yang merupakan ciri suatu profesi atau orang yang profesional. Akan halnya ‘’profesionalitas’’ tidak lain dari: (1) Perihal profesi atau keprofesian; (2) Kemampuan untuk bertindak secara profesional.

Karena profesi, profesionalisme, dan profesionalitas yang kita bicarakan berkaitan dengan jurnalis, jurnalisme, dan jurnalistik, Pemred dan para pewarta di Radar Bolmong perlu dipapar pula dengan pengertian yang benar dari tiga kata ini. Menurut KBBI, ‘’jurnalis’’ adalah: Orang yang pekerjaannya mengumpulkan dan menulis berita di surat kabar dan sebagainya; wartawan. ‘’Jurnalisme’’ tak lain: Pekerjaan mengumpulkan, menulis, mengedit, dan menerbitkan berita di surat kabar dan sebagainya; kewartawanan. Dan ‘’jurnalistik’’ dipahami sebagai: Yang menyangkut kewartawanan dan persurat-kabaran.

Berlandas pemahaman itu, sejak mulai mengkritik dan mengkritisi profesionalisme praktek jurnalisme di Radar Bolmong, saya berkeyakinan media ini bukanlah produk jurnalistik dan wahana para pewarta profesional. Fakta dan bukti-bukti yang saya tulis pun hingga kita tak pernah dibantah, baik oleh pengelola koran ini maupun grup penerbit yang memayunginya.

Pemuatan foto cabul dan asusila yang kemudian menjadi isu nasional adalah contoh nyata tidak profesionalnya pengelola Radar Bolmong menjalankan fungsi, tanggungjawab, kewajiban, dan haknya sebagai jurnalis. Sebab foto-foto itu terkait dengan berita, maka selayaknya dia tidak dicermati sebagai satu isu yang berdiri sendiri. Dengan kata lain, bagaimana berita yang menjadi induk foto-foto tak senonoh itu dari perspektif jurnalistik?

Pernyataan ‘’profesional’’ Budi Siswanto adalah upaya terakhir mengais-ngais perlindungan, tak beda dengan kesia-siaan orang tenggelam meraih pegangan, sekali pun itu moncong hiu. Media profesional macam apa yang mewajibkan pewartanya memburu ‘’bbi’’, ‘’bbk’’, dan advertorial demi menyetor jutaan rupiah dan disaat yang sama menggaji mereka pas sesuai UMP? Pemred profesional di manakah yang jangankan khatam UU No 40/1999 dan KEJ, urusan kata, titik koma, dan pilihan kalimat saja masih minta ampun cemang-cemongnya?

Dalam konteks berita yang menyertai pemajangan foto-foto tak senonoh itu, hanya dengan satu-dua pertanyaan kita dapat membuktikan ‘’profesionalisme’’  yang diklaim Pemred Radar Bolmong omong kosong belaka. Pertanyaan-pertanyaan itu adalah: Memangnya tiga (Foto Mesum PNS Bolmong Beredar, Sanksi Adat Dilempar ke Laut, dan Wabup Usul Dipecat) ditulis dengan pendekatan jurnalistik sebagaimana jurnalisme yang dipahami, dianut, dan dipraktekkan oleh para profesionalnya? Yang paling dasar, apakah pewarta yang meliput dan menulis melakukan check, re-check, crosscheck, balance, dan menerapkan fairness? Adakah pasangan yang jadi obyek pemberitaan diminta komentar, pernyataan, atau bantahannya?

Mereportase sebuah isu dari bisik-bisik yang beredar tidaklah sulit. Teknologi komunikasi modern memberi ruang seluas-luasnya, bahkan bagi wartawan pemula atau sekadar tukang gosip yang berlagak jurnalis, memungut isu, menulis, dan mempublikasikanya. Cara inilah yang dilakukan jajaran redaksi Radar Bolmong ketika menulis berita disertai empat frame foto cabul dan asusila yang kini berubah menjadi skandal tersendiri.

Seolah tak kapok, satu hari sesudahnya, Rabu, 23 Oktober 2013, media ini masih menurunkan berita spekulatif, asumtif, dan insinuatif, masing-masing PNS Selingkuh Makin Menjadi, Pemkab/Pemkot Siapkan Sanksi Tegas dan Kasus Cerai BMR Tinggi. Apa takaran dan pembanding ‘’makin menjadi-nya’’ selingkuh PNS? Siapa yang mengeluarkan statistiknya? Seberapa valid statistik itu? Dan kalau ‘’kasus cerai di BMR tinggi’’, apakah dia korelatif dengan fakta bahwa para pencerai adalah PNS yang terbukti selingkuh?

Alih-alih memupuk amarah, kian hari ulah dan kilah Pemred (dan jajarannya) Radar Bolmong justru makin mengundang iba. Dalih profesional dan menunggu sikap Dewan Pers hanya menunjukkan betapa mereka cuma punya kesombongan disertai kebodohan serta kegigihan tak memperdulikan praktek umum di negeri ini (yang aturannya bahkan dituangkan dalam UU), juga pendapat dan penilaian orang banyak. Sementara orang banyak inilah yang justru menjadi konsumen utama jasa dan produk yang mereka produksi.

Saya ingin melihat bagaimana pengelola koran ini dan grup penerbit yang memayunginya berkelit jika Dewan Pers tidak hanya menilai fakta-fakta permukaan, bahwa mereka telah melanggar UU Tentang Pers, KEJ, UU Pornografi, dan Pasal 282 KUHP; tetapi juga menukik hingga ke akar penyebabnya. Dengan alasan apapun, ‘’jurnalisme cash in’’ yang diadopsi dari induknya di Grup MP, yang dipraktekkan di Radar Bolmong dengan komandan Pemred Budi Siswanto, adalah pelecehan dan penghinaan terhadap jurnalisme, bahkan tindak pidana.***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

AJI: Aliansi Jurnalis Independen; bbi: Berita Berbayar Iklan; bbk: Berita Berbayar Koran; BMR: Bolaang Mongondow Raya; Bolmong: Bolaang Mongondow; KBBI: Kamus Besar Bahasa Indonesia; KEJ: Kode Etik Jurnalistik; KUHP: Kitab Undang-undang Hukum Pidana; MP: Manado Post; Pemred: Pemimpin Redaksi; PNS: Pegawai Negeri Sipil; UMP: Upah Minimum Provinsi; dan UU: Undang-undang.