Kamis (26 April 2012), menjelang siang, saya menelepon
seorang sepupu (yang tengah rehat makan siang) untuk sebuah urusan. Menjelang
perbincangan kami usai, sambil lalu dia menginformasikan Harian Radar Totabuan menurunkan tulisan dari
Amato Assagaf: Drama Lembah Bening yang
Menggelikan.
Membayangkan judulnya saja sudah merekahkan senyum. Macet
yang mengepung SCBD Jakarta, seketika bukan masalah. Tidak salah. Begitu alinea
pertama dan kedua artikel itu dibacakan, saya langsung terbahak. Mongondow dan
orang-orangnya sungguh cinta pertama dan terakhir saya. Cinta yang tak
terkatakan, tanpa batas masa dan tempat.
Amato adalah sahabat (sebenar-benar arti kata sahabat),
sekaligus putra Guru Spiritual saya, Kiai Arifin Assagaf –hormat saya pada
beliau hampir setara sujud pada Ayah dan Ibu di Jalan Amal. Pada derajat
kenakalan tertentu, saya yakin Amato tidak jauh berbeda dengan saya. Kalau pun
ada perbedaan, dia pasti lebih pintar tetapi kurang nekad.
Baiklah, yang dituliskan Amato (tentang ‘’drama’’ berlatar
reses anggota DPR RI, Yasti Mokoagow, yang berlangsung di Restoran Lembah
Bening, Kamis, (19 April 2012) saya aminkan 50 persennya. Sisanya, menurut
hemat saya, kurang-lebih dia mencoba bersopan-santun (syukur-syukur dapat
perhatian dari para politikus yang begitu punya kursi otaknya dengan cepat
mengkisut), menyindir-nyindir seolah-olah para politikus masih menggunakan
nalar orang normal dalam segala sepak terjangnya. Ihwal sopan-santun, di negeri
gila seperti Indonesia, khususnya di Mongondow yang kian hari kian mengiriskan,
keberadaban sebaiknya disisihkan saja. Rendah hati dan santun telah lama
dimaknai sebagai kelemahan atau ketidak-mampuan
Dengan kata lain, kritik yang dia tuliskan setengah hati
belaka. Ibarat insiden (yang disengaja) di jalan raya, cuma ada kase kikis-kikis.
Normalitas Rantai
Makanan
Ketimbang mengkritik kikis-kikis,
saya mulai saja dengan mengkritik Amato: Tafsir bahwa reses anggota DPR RI di
Lembah Bening adalah pentas drama politik adalah keliru besar. Puja-puji penuh kembang
dan bunga-bunga itu adalah adab dan kultur yang wajib diadopsi dan dipraktekkan
oleh para politikus, seketika mereka menduduki jabatan publik; atau seketika
mereka didaulat menjadi tokoh.
Amato bukan politikus profesional (amatir juga tidak),
hingga kurang peka terhadap praktek-praktek mutakhir politik Indonesia. Dia
juga terlampau asyik berkebudayaan, mencerahkan diri dengan buku-buku dan
pemikirin tinggi, yang sayangnya kehilangan konteks kekinian.
Politik dan para pelakunya di Indonesia kurang-lebih sama
dengan rantai makanan yang secara sederhana kerap digambarkan berbentuk sederet
ikan: ikan kecil diujung paling kanan, ikan besar di ujung paling kiri. Setiap
ikan membuka mulutnya lebar-lebar, menyantap ikan yang ada di depannya.
Politikus kita, khususnya di Bolmong, setali tiga uang.
Bupati/Wakil Bupati (Wabup) dan Walikota/Wakil Walikota (Wawali) memuja-muji
anggota DPR RI yang juga Ketua Komisi V karena mereka juga kerap mabuk
dipuja-puji Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dan para Camat. Turunan
di bawahnya, para Kepala SKPD dan Camat di-service
liur manis para Kepala Bidang dan para Lurah/Kepala Desa. Di rantai berikut,
Kepala Bidang dan para Lurah/Kepala Desa dibuai-buai para Kepala Seksi serta
Ketua RW dan Ketua RT. Di ujung terjauh, ada rakyat yang menonton dengan aneka
kecamuk di kepala.
Sebaliknya, setelah anggota DPR RI ‘’makang pujian’’ Bupati/Wabup dan Walikota/Wawali, dia harus
melakukan hal yang sama ke Ketua DPR RI, Ketua Partai, dan entah siapa lagi di
sisi lain rantai makanan. Satu-satunya yang mutlak, siapa pun yang harus diberi
sesajen itu, pasti jenis ikan yang lebih besar lagi dari sekadar anggota DPR RI
yang bahkan sekelas Ketua Komisi.
Ekosistem ‘’Makang
Puji’’
Di ekosistem politik seperti itu menjadi mudah
mengidentifikasi seorang politikus di tengah orang banyak. Ciri-ciri umumnya: Pertama, kaki yang fleksibel. Kuat dan
kokoh di saat pencalonan atau mencalonkan diri. Begitu kokohnya hingga ke
pelosok terpencil pun akan didatangi. Sebaliknya, menjadi kecil dan lemah saat
yang bersangkutan terpilih.
Kedua, sepuluh jari
tangan seluruhnya berubah jadi telunjuk. Ini untuk memudahkan menunjuk apa saja
yang dianggap penting dan harus.
Ketiga, (maaf)
bokong yang besar agar sesuai dengan kursi yang dimiliki. Semakin tinggi
jabatan publiknya, semakin besar bokong sang politikus.
Keempat, perut
buncit menandakan kemakmuran (bukan cacingan atau busung lapar yang biasanya
diidap rakyat jelata); juga untuk menampung aneka sesajen.
Kelima, punggung,
dada serta telinga kecil dan tipis. Punggung memang mesti kecil dan tipis sebab
hanya rakyat yang wajib punya beban. Akan halnya dada yang juga kecil dan
tipis, karena pejabat publik memang harus peka hingga ke hati, terutama
terhadap segala sesuatu yang berbentuk kritik dan ketidak-setujuan, yang ditangkap
telinga yang sama kecil dan tipisnya. Pendeknya, semua bentuk kritik harus
segera ditangkap telinga dan masuk ke hati!
Keenam, kepala besar
lengkap dengan mata besar, wajah berkulit tebal serta bibir ukuran jumbo dengan
lidah panjang bercabang. Ukuran kepala ini bukan karena volume otak membesar
(dan artinya si pemilik makin pintar), melainkan dipersiapkan untuk menampung
segenap puja-puji. Wajah tebal supaya ekspresi bisa diatur dan bertahan lama.
Sedang mata besar sungguh berguna menelisik peluang, kesempatan, serta
membedakan musuh dan kawan.
Bibir ukuran jumbo memang dipersiapkan agar tahan bicara
(atau mengulang-ngulang cerita dan janji yang sama), terlebih dilengkapi lidah
panjang dan bercabang. Lidah jenis ini cocok dan piawai digunakan ‘’mengolah
kata’’ dan menjilat.
Jadi apa yang dapat disimpulkan dari peristiwa reses di
Lembah Bening yang dikritisi sebagai drama serta dipertanyakan mengapa dan
kenapanya oleh Amato Assagaf? Menurut saya jawabannya ada dua. Satu, bukti gegar dan gagapnya para politikus
Mongondow menempatkan diri di tengah masyarakatnya. Dua, gagalnya mekanisme dan fungsi kontrol dari masyarakat dan
aktor-aktornya.
Terhadap aspek pertama, saya kira hanya satu-dua politikus
Mongondow yang berhasil selamat dari gegar dan gagap ketika mereka berhasil
meraih posisi elit jabatan publik. Dari lima nama yang ditulis Amato, saya
berani memastikan lebih dari setengahnya bahkan tergolong gegar dan gagap kronis.
Aspek kedua, tak perlu saya ulas. Cukup dengan satu
pertanyaan: ‘’Amato, jadi ente berminat
di paket proyek yang mana dan di mana?’’***