Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Friday, April 27, 2012

Ekosistem ‘’Makang Puji’’ Politikus Mongondow

SELALU ada kisah yang mengundang rindu pada Mongondow. Kerap bahkan jauh dari hal yang patut dibanggakan. Tapi tersebab itulah saya mencintai tanah ini dan orang-orangnya.

Kamis (26 April 2012), menjelang siang, saya menelepon seorang sepupu (yang tengah rehat makan siang) untuk sebuah urusan. Menjelang perbincangan kami usai, sambil lalu dia menginformasikan Harian Radar Totabuan menurunkan tulisan dari Amato Assagaf: Drama Lembah Bening yang Menggelikan.

Membayangkan judulnya saja sudah merekahkan senyum. Macet yang mengepung SCBD Jakarta, seketika bukan masalah. Tidak salah. Begitu alinea pertama dan kedua artikel itu dibacakan, saya langsung terbahak. Mongondow dan orang-orangnya sungguh cinta pertama dan terakhir saya. Cinta yang tak terkatakan, tanpa batas masa dan tempat.

Amato adalah sahabat (sebenar-benar arti kata sahabat), sekaligus putra Guru Spiritual saya, Kiai Arifin Assagaf –hormat saya pada beliau hampir setara sujud pada Ayah dan Ibu di Jalan Amal. Pada derajat kenakalan tertentu, saya yakin Amato tidak jauh berbeda dengan saya. Kalau pun ada perbedaan, dia pasti lebih pintar tetapi kurang nekad.

Baiklah, yang dituliskan Amato (tentang ‘’drama’’ berlatar reses anggota DPR RI, Yasti Mokoagow, yang berlangsung di Restoran Lembah Bening, Kamis, (19 April 2012) saya aminkan 50 persennya. Sisanya, menurut hemat saya, kurang-lebih dia mencoba bersopan-santun (syukur-syukur dapat perhatian dari para politikus yang begitu punya kursi otaknya dengan cepat mengkisut), menyindir-nyindir seolah-olah para politikus masih menggunakan nalar orang normal dalam segala sepak terjangnya. Ihwal sopan-santun, di negeri gila seperti Indonesia, khususnya di Mongondow yang kian hari kian mengiriskan, keberadaban sebaiknya disisihkan saja. Rendah hati dan santun telah lama dimaknai sebagai kelemahan atau ketidak-mampuan

Dengan kata lain, kritik yang dia tuliskan setengah hati belaka. Ibarat insiden (yang disengaja) di jalan raya, cuma ada kase kikis-kikis.

Normalitas Rantai Makanan

Ketimbang mengkritik kikis-kikis, saya mulai saja dengan mengkritik Amato: Tafsir bahwa reses anggota DPR RI di Lembah Bening adalah pentas drama politik adalah keliru besar. Puja-puji penuh kembang dan bunga-bunga itu adalah adab dan kultur yang wajib diadopsi dan dipraktekkan oleh para politikus, seketika mereka menduduki jabatan publik; atau seketika mereka didaulat menjadi tokoh.

Amato bukan politikus profesional (amatir juga tidak), hingga kurang peka terhadap praktek-praktek mutakhir politik Indonesia. Dia juga terlampau asyik berkebudayaan, mencerahkan diri dengan buku-buku dan pemikirin tinggi, yang sayangnya kehilangan konteks kekinian.

Politik dan para pelakunya di Indonesia kurang-lebih sama dengan rantai makanan yang secara sederhana kerap digambarkan berbentuk sederet ikan: ikan kecil diujung paling kanan, ikan besar di ujung paling kiri. Setiap ikan membuka mulutnya lebar-lebar, menyantap ikan yang ada di depannya.

Politikus kita, khususnya di Bolmong, setali tiga uang. Bupati/Wakil Bupati (Wabup) dan Walikota/Wakil Walikota (Wawali) memuja-muji anggota DPR RI yang juga Ketua Komisi V karena mereka juga kerap mabuk dipuja-puji Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dan para Camat. Turunan di bawahnya, para Kepala SKPD dan Camat di-service liur manis para Kepala Bidang dan para Lurah/Kepala Desa. Di rantai berikut, Kepala Bidang dan para Lurah/Kepala Desa dibuai-buai para Kepala Seksi serta Ketua RW dan Ketua RT. Di ujung terjauh, ada rakyat yang menonton dengan aneka kecamuk di kepala.

Sebaliknya, setelah anggota DPR RI ‘’makang pujian’’  Bupati/Wabup dan Walikota/Wawali, dia harus melakukan hal yang sama ke Ketua DPR RI, Ketua Partai, dan entah siapa lagi di sisi lain rantai makanan. Satu-satunya yang mutlak, siapa pun yang harus diberi sesajen itu, pasti jenis ikan yang lebih besar lagi dari sekadar anggota DPR RI yang bahkan sekelas Ketua Komisi.

Ekosistem ‘’Makang Puji’’

Di ekosistem politik seperti itu menjadi mudah mengidentifikasi seorang politikus di tengah orang banyak. Ciri-ciri umumnya: Pertama, kaki yang fleksibel. Kuat dan kokoh di saat pencalonan atau mencalonkan diri. Begitu kokohnya hingga ke pelosok terpencil pun akan didatangi. Sebaliknya, menjadi kecil dan lemah saat yang bersangkutan terpilih.

Kedua, sepuluh jari tangan seluruhnya berubah jadi telunjuk. Ini untuk memudahkan menunjuk apa saja yang dianggap penting dan harus.

Ketiga, (maaf) bokong yang besar agar sesuai dengan kursi yang dimiliki. Semakin tinggi jabatan publiknya, semakin besar bokong sang politikus.

Keempat, perut buncit menandakan kemakmuran (bukan cacingan atau busung lapar yang biasanya diidap rakyat jelata); juga untuk menampung aneka sesajen.

Kelima, punggung, dada serta telinga kecil dan tipis. Punggung memang mesti kecil dan tipis sebab hanya rakyat yang wajib punya beban. Akan halnya dada yang juga kecil dan tipis, karena pejabat publik memang harus peka hingga ke hati, terutama terhadap segala sesuatu yang berbentuk kritik dan ketidak-setujuan, yang ditangkap telinga yang sama kecil dan tipisnya. Pendeknya, semua bentuk kritik harus segera ditangkap telinga dan masuk ke hati!

Keenam, kepala besar lengkap dengan mata besar, wajah berkulit tebal serta bibir ukuran jumbo dengan lidah panjang bercabang. Ukuran kepala ini bukan karena volume otak membesar (dan artinya si pemilik makin pintar), melainkan dipersiapkan untuk menampung segenap puja-puji. Wajah tebal supaya ekspresi bisa diatur dan bertahan lama. Sedang mata besar sungguh berguna menelisik peluang, kesempatan, serta membedakan musuh dan kawan.

Bibir ukuran jumbo memang dipersiapkan agar tahan bicara (atau mengulang-ngulang cerita dan janji yang sama), terlebih dilengkapi lidah panjang dan bercabang. Lidah jenis ini cocok dan piawai digunakan ‘’mengolah kata’’ dan menjilat.

Jadi apa yang dapat disimpulkan dari peristiwa reses di Lembah Bening yang dikritisi sebagai drama serta dipertanyakan mengapa dan kenapanya oleh Amato Assagaf? Menurut saya jawabannya ada dua. Satu, bukti gegar dan gagapnya para politikus Mongondow menempatkan diri di tengah masyarakatnya. Dua, gagalnya mekanisme dan fungsi kontrol dari masyarakat dan aktor-aktornya.

Terhadap aspek pertama, saya kira hanya satu-dua politikus Mongondow yang berhasil selamat dari gegar dan gagap ketika mereka berhasil meraih posisi elit jabatan publik. Dari lima nama yang ditulis Amato, saya berani memastikan lebih dari setengahnya bahkan tergolong gegar dan gagap kronis.

Aspek kedua, tak perlu saya ulas. Cukup dengan satu pertanyaan: ‘’Amato, jadi ente berminat di paket proyek yang mana dan di mana?’’***