Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Thursday, October 10, 2013

Untuk Idham dari Seorang ''Kroni''


Pernyataan Korlip Harian MP, Idham Malewa, yang disebar melalui BBM, terutama berkaitan dengan orang-orang yang bersetuju dan patut diduga menjadi sumber fakta yang saya beber dalam mengkritik dan mengkritisasi Harian Radar Bolmong, mengundang reaksi pihak yang dituju. Untuk itu, saya sajikan ke hadapan Anda, Pembaca, tanggapan dari Ahmad Alheid yang tidak hanya relevan terhadap Idham Malewa, tetapi patut disimak oleh kalangan jurnalis umumnya dan para penikmat media.

Oleh Ahmad Alheid

IDHAM Malewa, Korlip Harian MP, menyematkan sebutan kroni bagi segelintir penikmat Kronik Mongondow dan “Brutus-Brutus” bagi “kalangan dalam” RB –mungkin juga, Grup MP—yang terlibat pada “geger” yang ditiupkan Bang Tamsi. Karena saya termasuk pada daftar penerima BBM dari Idham, barangkali, menjadi bagian yang dia golongkan sebagai kroni Bang Tamsi. Apalagi, saya terlanjur nimbrung lewat sebuah artikel yang dimuat Kronik Mongondow. Terlepas dari benar atau tidaknya asumsi saya, Idham harus dijawab. Siapa tahu, jawaban ini bisa tercipta menjadi obrolan yang mengasyikkan.

Idham, biasanya saya tersinggung berat bila dianggap sebagai kroni seseorang. Apalagi, jika sebutan kroni itu dikaitkan dengan politisi –sementereng apa pun namanya di daerah ini. Lagi pula lidah saya tak terbiasa menjilat pantat penguasa atau mereka yang merasa punya kuasa dan kendali atas hajat hidup orang banyak. Namun, saya sungguh-sungguh berlapang dada digolongkan sebagai kroni Bang Tamsi. Menjadi kroni seorang esais berkelas cukup membuat dada saya agak berkembang.

Saya selalu senang menceritakan tradisi sewaktu di tabloid Kabar dan Totabuan. Menceritakan masa-masa pergaulan dengan para “pendekar kepenulisan” di Bumi Nyiur Melambai sebagai kisah penuh romantisme. Mengamati wajah Endi Biaro --seorang aktivis HMI dan turut berkecimpung sebagai wartawan Kabar— yang berdecak kagum menyimak rubrik “Ufuk” yang berisi esai-esai Bang Tamsi. Motivasi yang dipantik sejak dari Kabar itu, mungkin, yang kemudian mengantarkan Endi dinobatkan sebagai pemilik blog terbaik di Detik.com.

Hari-hari itu, Idham, telah menjebak “para kroni” ini pada militansi mengasah kepenulisan. Keterampilan menulis ditularkan, penggunaan huruf dan tanda baca dipelototi, kepekaan jurnalistik diasah, dan ihwal menelisik data dijejalkan. “Si Penulis Cepat” --meminjam sebutan Hamid Basyaib untuk Bang Tamsi— adalah “penyiksa” utama bagi awak Kabar. Juga, di kemudian hari, bagi Totabuan. Andai Kabar bisa hidup lebih lama, mungkin telah menjadi mercusuar bagi penikmat karya jurnalistik di daerah ini.

Semua eks Kabar –-semisal Endi, Asep Sabar, Raymond Pasla, Begie Ch Gobel, Jamaluddin Lamato, dan kami yang datang belakangan bergabung ketika Kabar tengah dirundung tengkar “para pendekar”— barangkali bisa menirukan mimik dan gesture Bang Tamsi kala naik pitam. Semua kegeramannya adalah tentang data tak lengkap jelang tengat, kekacauan struktur penulisan, nara sumber yang tak terkonfirmasi, dan atau kekeliruan penulisan huruf dan kesalahan tanda baca. Pemeriksaan produk penulisan dilakukan saksama sebelum diantarkan ke percetakan.

Perlakuan serupa diterapkan pada artikel opini yang masuk ke tabloid mingguan ini. Di zaman Bang Tamsi meninggalkan Kabar, saya pernah terkena “dampratan” Pitres Sombowadile karena meloloskan sebuah artikel opini. Karena kesalahan menangkap instruksi, artikel yang semestinya diteruskan ke tong sampah, saya per-“moy” dan memaksakan memuatnya.

Kabar, juga Totabuan, menyiapkan iklim bagi mereka yang bertekad mengasah kemampuan menulis dan reportase. Persentuhan singkat dengan media ini cukup memberi saya wawasan tentang jurnalistik. Secara tidak langsung, Kabar juga memacu semangat media lain agar menaikkan mutu kewartaan dan perwajahan. Karena itulah banyak pembaca setia lembaga berita ini menyayangkan “kematian” tabloid yang hanya berumur sekira tiga tahun ini.

Tetapi, bagi saya, Kabar dan Totabuan tetaplah ingatan yang membanggakan.

Tapi ada hal yang “salah” sebagai hasil belajar dari “para pendekar”. Kita selalu merasa serupa diri yang tak lengkap menekuni profesi sebagai jurnalistik. Kita menetapkan standar terlalu tinggi untuk mendapatkan “pangkat” selaku penulis dan jurnalis. Saya sempat tercerabut dari dunia jurnalistik, memasuki kehidupan LSM atau Ornop, dan kembali mencoba menjalani profesi ini di lain kesempatan.

Di suatu hari, saya mendapat kesempatan mengikuti pelatihan jurnalistik yang digelar Yayasan Lestari, sebuah LSM di Manado yang bergerak pada isu-isu lingkungan. Salah seorang pematerinya adalah Andreas Harsono, pendiri majalah Pantau dan pengintroduksir genre jurnalisme naratif (sastrawi) di Indonesia.

Di sana, Idham, hadir juga wartawan-wartawan --bahkan mungkin kelas redaktur--  dari media Anda. Coba Anda tanyakan kepada yang hadir bagaimana Andreas menyebut koran terbesar di Sulut waktu itu!

Saya cukup beruntung memiliki kesempatan menemani Andreas ke Jalan Roda. Dia menceritakan kisah perjalanannya ke daerah kepulauan. Seorang pastor yang berbincang dengannya di tengah perjalanan menyelipkan pertanyaan, apa agama Andreas. “Agama saya adalah jurnalisme,” jawabnya lugas. Cerita itu kelihatan sederhana. Tetapi, membuat saya mafhum apa arti jurnalisme bagi seseorang seperti Andreas. Saya lebih mengerti ketika menyimak Elemen-Elemen Jurnalisme karya Bill Kovach dan Tom Rosenstiel. Sebagai sebuah “agama”, tentu saja, jurnalisme punya “syari’at”-nya sendiri.

Saya yakin, Idham, Anda pernah membaca Elemen-Elemen Jurnalisme. Sehingga semua lembaga berita tak sesuka hatinya menetapkan “pakem” jurnalisme sendiri-sendiri. Bila setiap lembaga berita dan masing-masing jurnalis berhak menentukan standar jurnalisme sesuai keinginannya, apa artinya klaim Pilar Keempat Demokrasi? Dimana forum kritik ditempatkan? Bagaimana keberpihakan terhadap kebenaran dijalankan?

Toleransi terhadap standar yang disesuaikan dengan kemampuan khalayak pembaca adalah dalih yang harus diperiksa kembali. Benar, bahwa standar yang menjadi dasar kritikan Andreas terhadap media mainstream di Indonesia, terlalu ideal untuk diterapkan hari ini. Namun, tidak serta-merta dijadikan alat merasionalisasi penghancuran kaidah-kaidah jurnalisme.

Kami prihatin, Idham, karena masih menyisakan cinta bagi jurnalisme di lubuk hati. Jurnalisme merupakan ruang bagi publik memperoleh informasi yang benar. Itulah sebabnya, jurnalisme memberikan beberapa syarat yang harus dipenuhi lembaga berita dan para jurnalisnya. Jurnalis ibarat hakim saat berhadapan dengan data-data yang terkumpul dan menjahitnya sebagai sebuah karya.

Tanggung jawab yang tidak kecil yang diemban jurnalis dan lembaga tempat dia bekerja menuntut penyajian fakta yang akurat. Di sisi lain, menghindari paparan kepentingan yang mengotori integritas mereka. Dengan demikian, lalu-lintas informasi tidak distortif. Semua itu dapat diwujudkan selama loyalitas terhadap publik dijaga dan disiplin verifikasi dikedepankan. Selama ada semangat mengikuti standar jurnalisme yang benar, Idham, saya yakin lembaga Anda tidak akan tergelincir terlalu jauh pada praktek yang menodai profesi dan lembaga Anda.

Anda tentu paham, Idham. Sebab Anda yang menggeluti jurnalistik saat ini. Saya sekadar mengingat-ingat ihwal pelajaran masa lalu soal jurnalisme dan, sekarang ini, menghadapi produk lembaga berita sebagai konsumen. Saya hanya menyodorkan sebuah ingatan bahwa semua kaidah itu, elemen-elemen yang dipersepsikan bersama oleh para jurnalis profesional, senantiasa membuat saya merasa tak layak jadi jurnalis. Dan saya kerap heran bertemu orang-orang yang dengan mudah mendapuk diri sebagai “jurnalis”. Pembawa berita, sejak jaman dahulu kala, kredibilitasnya tidak boleh memiliki cacat dan cakap merangkum informasi. Bagaimana pembaca tak tersesat jika pembawa pesan nyata tak cakap?

Di sini kita perlu mempertegas batas perbedaan antara lembaga berita, corong kelompok tertentu, dan pamflet. Itu saja, Idham.***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

BBM: BlackBerry Messenger; HMI: Himpunan Mahasiswa Islam; Korlip: Koordinator Liputan; LSM: Lembaga Swadaya Masyarakat; MP: Manado Post; Ornop: Organisasi Non Profit; dan RB: Radar Bolmong.