Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Sunday, June 30, 2013

Jangan Lupakan Almarhumah Elvira Mokoginta!


KEPOLISIAN Resort Bolaang Mongondow (Polres Bolmong), Sabtu (29 Juni 2013), menetapkan tiga tersangka kasus pembunuhan Abdullah ‘’Ayu’’ Basalamah. 11 hari kerja keras polisi menjawab keingintahuan dan harapan orang banyak, sekaligus menghentakkan kita.

Tiga tersangka yang kini menghuni tahanan, RZ, AA, dan KM, tergolong berusia muda dengan pendidikan relatif baik (salah satunya duduk di semester V Akademi Perawatan Totabuan). Latar belakang keluarga dan pergaulan juga tak mengindikasikan potensi yang mendorong mereka gelap mata dan memilih bertidak melawan hukum. Bahkan dua pelaku –yang untuk sementara ditetapkan sebagai pelaku utama— sangat mengenal Almarhum Ayu, baik karena pergaulan sehari-hari maupun tempat bermukim yang hanya sepelemparan batu dari Ayu Salon.

Setan jenis apa yang malam itu menghuni kepala dua tersangka pelaku utama? Terlebih dari temuan polisi yang dipublikasi luas oleh media (khususnya digital), aksi mereka sudah direncanakan sebelumnya. Memang masih terlampau dini menyimpulkan apakah tragedi menewaskan Ayu sejak mula adalah pembunuhan berencana atau kekerasan berencana yang tak terkontrol. Kita biarkan polisi terus bekerja agar seluruh tanda tanya dan praduga terjawab tuntas.

‘’Prestasi’’ Kepala Kepolisian Resort (Kapolres Bolmong), AKBP Hisar Siallagan, SIK, dan jajarannya tentu tak boleh diabaikan. Pertama, warga Mongondow, terutama saya yang beberapa waktu terakhir bersikap sangat kritis terhadap Kapolres dan jajarannya, harus memuji kesigapan dan gerak cepat polisi menjerat tersangka pembunuh Almarhum Ayu. Ditangkap dan ditetapkannya tiga tersangka itu juga memberikan ketenangan terhadap sejumlah teman dan kolega Almarhum, yang ketakutan karena duga-duga kematiannya terkait dengan penganiayaan yang dialami sebelumnya.

Pujian yang sama terhadap Kapolres dan jajarannya karena diam- sudah melimpahkan (lagi) berkas satu tersangka penyalahgunaan dana Tunjangan Penghasilan Aparat Pemerintah Desa (TPAPD) Kabupaten Bolaang Mongondow (Bolmong). Pelimpahan yang dikonfirmasi Kepala Seksi Perdata dan Tata Usaha Negara (Datun) Kejaksaan Negeri (Kejari) Kotamobagu sebagaimana yang diwartakan Radar Totabuan, Kamis (27 Juni 2013), MMS Masuk Kejaksaan, benar-benar membangkitkan optimisme dan kepercayaan terhadap polisi dan jajarannya di Mongondow.

Kedua, menurut keterangan polisi, motif sementara dua tersangka utama kasus pembunuhan Almarhum Ayu adalah ekonomi. Untuk itu, siapa pun yang selama ini menggulirkan duga-duga, prasangka, dan gosip yang mengait-ngaitkan peristiwa yang dialami Almarhum dengan Bupati Bolaang Mongondow Timur (Boltim), Sehan Lanjar, menurut hemat saya berhutang maaf dari Sehan Lanjar. Kita semua belum lupa bahwa hari-hari setelah korban ditemukan tak bernyawa di dalam salon miliknya, Sehan Lanjar ‘’dianiaya’’ dengan aneka spekulasi dan pengerusakan nama baiknya.

Saya kira adalah sikap yang adil, bijaksana, dan terhormat bila mereka-mereka yang mengolah dan menyebarkan prasangka itu menyampaikan permintaan maaf. Setidaknya lewat pesan berantai atau broadcast message dan status BlackBerry Messenger (BBM) sebagaimana ketika mereka menginsinuasi Sehan Lanjar.

Ketiga, dengan tetap memuji kerja keras polisi, kita tak boleh mengabaikan bahwa mereka masih berhutang kasus-kasus lain yang tidak lebih kecil dari tragedi Almarhum Ayu Basalamah. Tewasnya bocah perempuan dari Desa Paret, Boltim, yang hilang pada Sabtu (26 Juni 2011) dan ditemukan dalam kondisi menggenaskan (diduga diperkosa, dibunuh, kemudian jasadnya dibakar), hingga kini tak ketahuan juntrungannya.

Ketika itu polisi sempat menahan seseorang yang terakhir terlihat membonceng Almarhumah Elvira. Tapi dengan alasannya tak cukup bukti, seseorang tersebut kemudian dilepas dan setelah itu kasus ini perlahan menguap, tak terdengar, dan mungkin sudah dilupakan.

Tak ada kandungan niat membangkit kepedihan keluarga, orang dekat, dan mereka yang mengenal dengan mengingatkan kejahatan yang ditimpakan pada Almarhumah Elvira Mokoginta. Tapi setelah berlalu lebih dua tahun sejak anak kelima dari enam bersaudara keluarga Aleng Mokoginta dan Suriati Modeong itu berpulang, akankah akhirnya kita pasrah dan mengarsipkan kasusnya di file dark number?

Saya masih mengingat peristiwa yang menimpa bocah itu dengan hati yang patah. Dan saya yakin, Kapolres Hisar Siallahan yang belum bertugas di Bolmong di saat Almarhumah Elvira Mokoginta dihabisi dengan darah dingin, perlu diingatkan ada pekerjaan rumah yang menunggu diselesaikan. Kalau Kapolres dengan tegas menyatakan pengungkapan kasus Ayu adalah harga diri buatnya (Totabuan.Co, Kamis, 20 Juni 2013, Kapolres: Soal Kasus Ayu Basalama (h), Itu Harga Diri Saya); mengapa hal yang sama tidak pula untuk kasus-kasus yang lain?

Tersebab begitu lamanya kasus Almarhumah Elvira Mokoginta terkatung-katung, pengungkapannya justru lebih dari sekadar harga diri Kapolres, melainkan jajaran kepolisian di Sulawesi Utara (Sulut). Bukankah polisi sudah kian mumpuni didukung pengetahuan dan peralatan canggih? Apalagi dibanding kejahatan kerah putih, terorisme, dan sejenisnya yang kompleks, menurut hemat saya kasus pembunuhan terhadap Almarhumah Elvira Mokoginta tidak serumit itu.

Terlintas di benak saya syak buruk, bahwa kasus Almarhumah Elvira Mokoginta tak ketahuan ujung-pangkal karena keluarganya bukan siapa-siapa. Kedua orangtuanya ‘’cuma’’ warga kecil dan papah yang berada di pinggiran lingkaran sosial dan ekonomi masyarakat umumnya. Derita dan pedih mereka dilupakan karena tidak ada media yang mendukung agar isunya mengundang atensi luas. Tidak ada pula organisasi atau kelompok yang berdemonstrasi menekan polisi agar bersegera menguak peristiwanya seterang-terangnya.

Kalau jajaran kepolisian memang memerlukan dukungan dalam bentuk apapun, terutama menjadikan keluarga Almarhumah Elviras Mokoginta penting di mata publik, membetot perhatian media, dan tekanan demonstrasi, mohon kami yang belum melupakan peristiwa hitam itu diinformasikan. Kalau hanya mengundang semua Bupati dan Walikota (terpilih di KK) menyambangi keluarga Almarhumah Elvira Mokoginta untuk menunjukkan betapa penting keadilan bagi orang kecil dan menggerakkan demonstrasi, mungkin saya dan beberapa orang cukup mampu melakukan.

Perihal media yang tak peduli dan kerap amnesia, kita serahkan pada ideologi yang diusungnya dan hati nurani para jurnalisnya.***

‘’ Simimpatoi Sin Pompulong’’


PLENO Komisi Pemilihan Umum Kota Kotamobagu (KU KK menetapkan pasangan Tatong Bara-Jainudin Damopolii (TB-JD) sebagai kandidat terpilih Walikota-Wakil Walikota (Wawali) 2013-2018. Melihat proses dan perolehan suara kemenangan pasangan ini, saya kira tak ada lagi yang perlu diperdebatkan dan permasalahkan.

Konklusi pemilihan Wawalikota-Wawali (Pilwako) KK mestinya tidak mengejutkan. 37.677 suara atau 52,81 persen dari total 71.350 suara yang diraih TB-JD hanya menegaskan penilaian warga terhadap buruknya kinerja dan kepemimpinan Walikota 2008-2013, Djelantik Mokodompit (DjM), yang berpasangan dengan Rustam Simbala (RS) dan hanya meraih  27.768 suara (38,92) persen. Dua pasang kandidat lain, Muhammad Salim Landjar-Ishak Sugeha (MSL-IRS) dan Nurdin Makalalag-Sahat Robert Siagian (SRS) masing-masing 5.055 suara (7,08 persen) dan  850 suara (1,19).

Dengan segala kelemahannya, pemilihan Walikota-Wawali (Pilwako) KK berjalan sebagaimana perhelatan politik yang kita kenal di Indonesia. Termasuk cukup tingginya jumlah warga yang tidak menggunakan hak pilih. Anggota KPU KK, Amir Halatan, sebagaimana dikutip Beritamanado.com (http://beritamanado.com/berita-utama/golput-pilwako-kotamobagu-capai-15-ribuan/190744/), Rabu (26 Juni 2013), memperkirakan angka ‘’golongan putih’’ (Golut) itu mencapai kisaran 15 ribu pemilih.

Masyarakat KK yang dari berbagai aspek relatif ‘’lebih’’ dibanding seluruh wilayah Mongondow lainnya, membuat kalangan menengahnya (dari aspek ekonomi, sosial, dan pendidikan) cukup independen. Mereka inilah, dengan berbagai alasan, yang paling potensial menjadi Golput, termasuk karena meyakini tidak ada satu pun dari empat pasang kandidat peserta yang memenuhi kriteria minimal.

Di luar minoritas warga yang tidak memilih (sekali pun demikian angkanya cukup signifikan karena mengalahkan perolehan suara dua pasang kandidat dengan perolehan suara terbawah), mayoritas pendudukan KK sudah menetapkan siapa yang mereka dukung memimpin kota ini lima tahun ke depan. Kita lihat nanti apakah TB-JD mampu memenuhi harapan yang dilimpahkan di pundak mereka; atau keduanya pada akhirnya tak bisa mengelak dari business as usual sebagaimana yang dipraktekkan pendahulunya.

Sedini mungkin TB-JD harus diingatkan agar tak mengulang laku busuk yang dibenci orang banyak. Peringatan dini ini tak mengada-ada. Dalam sepekan terakhir saya melihat dengan cepat bibit-bibit lupa diri disemai utamanya oleh para pendukung dan penyokong mereka, setidaknya yang terlihat dari gelaran pesta dan suka ria yang tak jua berkesudahan.

Menang Pilwako baru langkah awal. Yang lebih berat adalah menunjukkan mereka pantas dipilih bukan karena masyarakat capek dan muak terhadap pemimpin terdahulu, patahana yang telah ditolak meneruskan jabatannya. Jangan sampai lima tahun mendatang TB-JD hanya mampu terhenyak (seperti yang dialami DjM) mendengar The Carnival is Over dari The Seeker (1968) dilantunkan mayoritas warga yang kini memilih mendukung mereka.

TB-JD boleh berkaca dari pahit dan dinginnya selamat jalan terhadap pemimpin yang dianggap gagal. Di hari KPU KK menetapkan hasil Pilwako, Jumat (28 Juni 2013), dengan daya yang dihimpun susah payah, segelintir pendukung DjM berupaya menunjukkan masih ada warga yang mencintai dia. Orang-orang yang dihimpun itu sedianya digerakkan menggelar unjuk rasa bersamaan dengan dilaksanakannya pleno KPU.

Melihat modusnya, mudah diduga siapa-siapa yang menjadi inisiator dan penggerak rencana unjuk rasa yang hanya bisa mengumpulkan puluhan mama’-mama’ itu. Memprihatinkan betul. Sebagai aktivis, juga politikus, yang selama hampir lima tahun mendapat berkah dan privilege dari DjM, mereka cuma punya kekuatan yang dengan mudah disaingi penghuni seperempat ruas Jalan Amal? Itu pun barisan mama’-mama’? Yang benar saja?

Harusnya Ketua KPU, Nayodo Kurniawan, tak perlu berbudi baik (atau justru kegenitan) menyelamatkan muka segelintir oknum tukang jilat yang jadi penggerak dengan menemui perkumpulan pompulong itu di kediaman pribadi DjM. Biarkan saja mereka simimpatoi sesukanya, toh ada aparat keamanan yang menindak setiap gangguan terhadap seluruh rangkaian Pilwako.

Menyaksikan unjuk rasa yang maksud dan tujuannya tak jelas, sekadar upaya ‘’biar nafas kurang satu-satu torang masih eksis’’, pasti cukup menghibur. Mungkin pula menambah pengetahuan dan pembelajaran terhadap orang banyak agar besok-besok waspada tidak mempermalukan diri sendiri.

Saya tak habis pikir, alih-alih bersama menjaga harkat dan martabat, para pendukung DjM (dan mungkin DjM sendiri), tak henti menciptakan kerusakan baru. Dengan masih bersiasat kiri-kanan, mencari-cari celah menganggu seluruh rangkaian Pilwako, mereka tak beda dengan terus menguras tabungan sosial dan politik yang mestinya disimpan demi kepentingan lain di masa mendatang. Mereka malah menempatkan posisi di sorotan seluruh warga Mongondow untuk dengan serius mempertimbangkan dukungan terhadap orang-orang di sekitar DjM di pemilihan umum (Pemilu) 2014 nanti.

Mengakui kekalahan memang menyakitkan, terlebih bagi yang mengidap delusi superior. Tapi perolehan TB-JD yang mencapai 52,81 persen suara pemilih sah Pilwako KK, dibanding 38,92 persen yang diraih DjM-Rs, terlalu absah untuk dikutak-katik lagi. Sekali pun saksi-saksi DjM-RS, MSL-IRS, dan NM-SRS tidak bersedia membubuhkan tanda-tangan di dokumen hasil pleno KPU. Ini sama artinya dengan mengingkari kesaksian dari pendukung-pendukung mereka yang menjadi saksi di tingkat tempat pemungutan suara (TSP) dan Panitia Pemilihan Kecematan (PPK).

Beralasan bahwa banyak kejanggalan yang terjadi selama Pilwako berlangsung, utamanya dari pasangan DjM-RS, tidak menggelikan lagi. Kilahan ini lama-lama memicu jengkel. Bukan karena itu alasan bodoh, tetapi tersebab yang beralasan sungguh tak tahu diri.

Tepatlah bila mereka yang keberatan dengan hasil Pilwako secepat-cepatnya melayangkan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) sebagaimana yang berulang kali dianjurkan oleh Ketua KPU KK. Dengan begitu warga kota juga tak perlu bertanya-tanya dan berspekulasi siapa saja pompulong yang simimpatoi karena ambisinya gagal diwujud.*** 

Friday, June 28, 2013

‘’Kinoitakan In Bantong Bo Kinoumpagan In Nunuk’’



GEGAR pemilihan Walikota-Wakil Walikota (Pilwako) Kota Kotamobagu (KK), Senin (24 Juni 2013), tak jua surut. Dari kejauhan dengan takjub saya menikmati ekspresi keceriaan dan syukur—utamanya—para pendukung kandidat yang dipastikan unggul, sembari bersimpati dan berempati terhadap para penyokong calon yang tersungkur.

Orang Mongondow, warga KK, memang ‘’tukang baterek’’ dengan cara yang harus diakui menunjukkan ketinggian selera humor dan ‘’nimau’ tahu’’-nya etnis ini. Lihat saja bagaimana di seantero kota pendukung Tatong Bara-Jainudin Damopolii (TB-JD), sejak Selasa (25 Juni 2013) hingga tulisan ini dibuat (Jumat menjelang subuh, 28 Juni 2013), menggelar syukur dengan membantai sapi, menggelar aneka hidangan, dan mempersilahkan siapa saja bergabung.

Bukan makan-makannya yang lucu, melainkan kain rentang yang dipajang mengiringi pesta-pora itu serta plesetan (termasuk dalam bentuk foto) dan aneka komentar yang lalu-lalang. Harus diakui dua frame foto Tatong Bara dan Bupati Bolaang Mongondow Timur (Boltim), Sehan Lanjar, yang duduk dalam ekspresi tertawa lebar dan diimbuhi komentar, yang bersiliweran dikirimkan lewat BlackBerry Messenger (BBM), efektif mengguncang urat tawa.

Sama kocaknya dengan poster DjM-RS yang tagline-nya kemudian dimodifikasi menjadi ‘’Landjutkan Sampai ke Lolan.’’ Atau foto DjM sedang terpakur dengan Sehan Lanjar di sisi kiri yang memandang dalam posisi tubuh rendah dan kepala mendongak setengah memutar. Keterangan yang menyertai gambar ini ditulisi, ‘’nTik, kita so bilang jang malawang, eh ngana nyanda ba dengar. Kalah toh….’’

Sempat terlintas di benak pikiran bahwa loleke yang bersiliweran itu mulai melampaui batas. Namun, di sisi lain, dengan melihat rekam jejak pemerintahan Djelantik Mokodompit hampir lima tahun terakhir, perilaku orang-orang dekat dan penyokongnya, saya dapat memahami mengapa mayoritas warga KK bersuka ria menyambut kekalahan sang patahana.

‘’So talalu’’ adalah komentar yang tak berlebihan untuk menggambarkan bagaimana mayoritas warga KK menilai kelakuan Walikota dan antek-anteknya. Yang dikategorikan antek-antek ini bukan hanya mereka yang terhubung karena faktor politik (berada di partai yang sama), kedekatan pribadi, tapi juga pegawai negeri sipil (PNS), bahkan wartawan, yang diuntungkan oleh kekuasaan yang ada di tangan DjM.

Mereka yang pantas disebut antek-antek itulah yang pertama-tama pula tiarap, tanpa malu-malu mencari-cari celah bergabung atau mengaku-ngaku pendukung kandidat terpilih, atau berkilah pemihakannya selama rentang pemerintahan DjM hingga Pilwako sebagai loyalitas atau ketakberdayaan.

Salah satu yang sangat menggelikan adalah bersegeranya sejumlah wartawan menyambangi Tatong Bara di kediamannya, seolah-olah mereka adalah insan pers yang netral dan profesional. Padahal kita semua tahu, selama kampanye Pilwako mereka bukan hanya diam-diam memihak DjM-RS, tetapi bahkan dengan vulgar menghadiri kampanye-kampanye lengkap dengan uniform khas pasangan ini. Untuk gerombolan ini, komentar saya pendek saja: Oi, so nintau malo dang?

Antek atau pendukung yang kategori die hard, mereka yang tampaknya setiap hari memamah ular dan bisa, lumayan loyal tetapi bodoh dan gelap mata. Informasi terkini yang saya terima, mereka tengah merencanakan unjuk rasa merongrong Pleno Komisi Pemilihan Umum (KPU) KK dan akan digiring menjadi chaos. Saya yakin polisi bakal bersikap tegas menghadapi gangguan seperti itu. Kalau tidak, orang banyak yang gantian menggambil tindakan; dan saya pribadi sangat ingin berkontribusi menempeleng oknum-oknum najis itu.

Namun, di antara kegalauan akibat kekalahan patahana, saya mencermati yang paling merana dan was-was adalah PNS yang selama ini secara terbuka menyatakan atau menunjukkan pemihakannya terhadap pasangan DjM-RS. Tak hanya PNS KK, tetapi juga di Bolaang Mongondow (Bolmong) Induk dan Boltim yang tercatat dalam daftar pemilih tetap (DPT) KK. PNS Bolaang Mongondow Selatan (Bolsel) dan Bolaang Mongondow Utara (Bolmut) boleh berlega hati karena Bupati Herson Mayulu resminya adalah pendukung DjM-RS, sedangkan Bupati Bolmut, Depri Pontoh, dapat dikategorikan bersikap netral saat Pilwako KK berlangsung.

Tidur tak nyenyak dan makan tak enak di kalangan PNS itu, terutama di Bolmong Induk dan Boltim, kian merongrong karena tiupan rumor beberapa hari terakhir yang menyatakan bakal terjadi tsunami pencopotan, mutasi, dan non-job. ‘’Katanya’’ Bupati Salihi Mokodongan tak mentolerir PNS-nya yang warga KK yang mendukung kandidat selain TB-JD; demikian pula dengan Bupati Boltim terhadap PNS warga KK yang tak menyokong pasangan Muhamad Salim Lanjar-Ishak Raden Suhega (MSL-IRS).

Saya tak percaya dengan ‘’fitnah’’ terhadap Bupati Bolmong Induk dan Bupati Boltim itu. Bisik-bisik dan spekulasi seperti itu adalah cara-cara oknum bejad mengail di air keruh.

Tetapi saya menyakini bahwa banyak PNS KK yang memang harus dihukum dengan tega oleh Walikota-Wakil Walikota (Wawali) 2013-2018 terpilih, dengan sejumlah alasan sahih. Telah menjadi rahasia umum, banyak PNS yang duduk di posisi-posisi birokrasi penting diangkat oleh Walikota Djelantik Mokodompit bukan berdasar profesionalisme, kompetensi, dan kapabilitas. Sudah demikian, mereka –tak beda dengan patronnya—berlaku semena-mena, seolah-olah KK adalah budel nenek moyangnya seorang dan warga kota ini cuma gerombolan lalat dan nyamuk.

PNS KK yang secara terbuka (dan ikut serta) memihak Djelantik Mokodompit selama proses pencalonan, kampanye, dan puncak Pilwako, semestinya dapat ditolerir. Setiap warga negara berhak memlilih mendukung siapa atau apa yang dia sukai. Namun tidak untuk perlakuan terencana dan berkelanjutan yang memang ditujukan mengkerdilkan seseorang, dalam hal ini Tatong Bara, terutama dalam posisinya sebagai Wawali KK 2008-2013. Posisi mereka, menukil komentar seorang kerabat, ‘’Aindon no’i tongkob bo kinoitakan padoman in bantong bo kinoumpagan magi’ in pangkoi in nunuk.’’

Balas dendam bukanlah tindakan yang saya sukai. Sebagai kandidat yang dipastikan menduduki jabatan Walikota KK 2013-2018, Tatong Bara juga sudah menyatakan dia memaafkan semua yang telah bersikap, berlaku, dan memperlakukan dia tak semestinya (sekaligus menegaskan bahwa memaafkan bukan berarti melupakan). Sayangnya, saya tidak sependapat dengan pemaafan seperti itu. Setiap bangsat yang ada di balik kasur harus disingkirkan. Bila tidak, di saat kita terlelap mereka pasti tanpa ampun berebutan mengisap setiap tetes darah yang mungkin dihirup.

Daftar kutu busuk, kecoak, dan tikus di birokrasi Pemerintah Kota (Pemkot) KK itu lengkap di tangan saya. Dengan penuh hormat saya akan menyerahkan pada Walikota-Wawali terpilih disertai pengantar pendek: ‘’But of course, decision is yours.‘’***

Wednesday, June 26, 2013

Belajar Kalah dengan Kepala Tegak


SIKLUS keseharian warga Kotamobagu tampaknya tak lagi beda dengan penduduk metropolis yang nyaris berlangsung 24 jam tanpa henti. Sudah lama saya membiasakan tak heran bila tiba-tiba menerima telepon, pesan pendek (SMS), atau BlackBerry Messenger (BBM) dari kawan atau kerabat yang bermukim di Kotamobagu, ketika waktu menunjukkan separuh malam telah berlalu.

Itulah yang terjadi tatkala Rabu (26 Juni 2013) baru saja ditapak. Dari pesan-pesan yang berdatangan bersama menyurutnya lalu-lintas di jalan depan kediaman saya, salah satunya diawali dengan pertanyaan santun, ‘’Bolehkah saya menyarankan sesuatu pada Abang?’’

Wow, jangankan saran, pendapat, nasihat, atau tauziah, caci-maki sekali pun kalau itu koreksi yang meluruskan pikir dan laku saya, pasti diterima penuh ikhlas. Prinsipnya: hanya mereka yang benar-benar menyayangi, peduli, dan tulus yang bersedia mencapek-capekkan diri, menahan kantuk menjelang subuh, demi menyampaikan satu atau lebih patah kata.

Tapi apa yang disampaikan itu? Kurang lebihnya adalah, ‘’Jangan pedulikan pendapat miring satu-dua orang berkaitan dengan kritik untuk Mongondow yang selama ini dituliskan. Orang Mongondow sudah pintar untuk tahu mana yang benar dan yang tidak. Mana yang lurus dan yang bengkok. Yang tulus dan yang bermotif udang di balik batu. Yang independen dan yang sarat pesan sponsor serta kepentingan subyektif.’’

Apapun musabab dilayangkannya saran itu, saya terima dengan berlipat terima kasih. Itu tanda awas yang mengingatkan agar saya lebih berhati-hati. Supaya menjaga mulut, tangan, dan kaki. Agar saya nyanda ta epret (entah penggunaan kata ini tepat atau tidak) tersebab salah ucap, teledor menggenggam, dan abai menjaga langkah.

Di sisa malam yang merangkak, saya dan sang pemberi saran bertukar aneka cerita terkini dari Mongondow, terutama gegar pemilihan Walikota-Wakil Walikota Kota Kotamobagu (Pilwako KK) yang masih hangat jadi pembicaraan. Untuk isu ini, saya secara khusus menekankan sudah saatnya semua pihak cooling down. Rakyat telah menjatuhkan pilihan dan bukan untuk patahana. Jadi mari dengan hormat kita antar Djelantik Mokodompit mengakhiri jabatannya.

Selebihnya, percakapan kami mengalir memprihatini yang jadi konsern, menertawai kebodohan bersama. Dan saya beristirah dalam tidur tanpa mimpi. Satu hari lagi terlewati dengan kebanggaan sebagai orang Mongondow, sebagaimana dan seperti apapun perilaku, atraksi, dan sirkus masyarakatnya.

Namun, membaca situs Tribun Manado (http://manado.tribunnews.com), tekad berhenti mengomentari Pilwako KK saya urungkan. Adalah berita Pemilukada Kotamobagu: Panwas Kotamobagu Belum Terima Laporan yang diunggah Rabu petang (26 Juni 2013), yang mengusik saya. Bukan kutipan pernyataan salah satu pimpinan Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu), Shakespeare Makalunsenge, yang mengakui ada politik uang tetapi tak bisa ditindak karena tidak tertangkap tangan. Atau penegasan Sekretaris Panwaslu, Hendra Manggopa, pihaknya tak menemukan pelanggaran yang berbau pidana.

Pernyataan dua petinggi Panwaslu itu menggelikan. Kecuali anggota Panwaslu, seluruh KK tahu, melihat, atau bahkan terlibat lalu-lalang rupa-rupa ‘’serangan’’, dari duit hingga bahan pokok. Yang menjadi operator dari tim sukses, pendukung, hingga aparat birokrasi. Jadi bukan tidak ada pelanggaran atau sulit menangkap tangan pelanggaran, tetapi Panwaslu memang cuma manuk to’ina.

Tetapi apa yang mengusik itu? Pernyataan salah seorang kandidat, Muhamad Salim Lanjar (MSL) seusai proses pencoblasan yang ingin saya garis bawahi. Tribun Manado menulis, kendati tidak puas dengan hasil Pilwako yang diwarnai polilik uang, MSL menegaskan, ‘’Calon pemimpin cenderung melakukan segala cara untuk menang. Tapi saya tidak akan melakukan upaya hukum untuk kasus tersebut.’’

Pengakuan tak langsung terhadap keunggulan lawan dan komitmen menerima hasil Pilwako dari MSL patut dipuji sebagai ekspresi kesadaran politik yang semestinya dimiliki tiap politikus. MSL paham, kendati dengan kekecewaan, bahwa kompetisi politik bukanlah pertandingan lari 100 meter, 200 meter, bahkan 10 km. Pilwako adalah arena brutal hingga ke cara dan trik paling kotor, sepanjang tidak ditiup oleh wasit (Panwaslu yang cuma bisa berkotek itu).

MSL dengan tepat memperlihatkan bagaimana seorang petarung yang kalah bersikap: Meninggalkan arena dengan kepala tegak. Petarung jenis ini pantas mendapat hormat dari lawan, penonton, dan kita semua.

Sebaliknya, saya menyesalkan kandidat patahana, Djelantik Mokodomit (DjM) yang berpasangan dengan Rustam Simbala (RS), yang justru berkoar dia menerima laporan politik uang di hampir tiap desa dan kelurahan. Katanya, "Ada fenomena jangan memilih dengan membeli undangan atau ditahan. Atau tidak datang dikasih duit.’’ Ini omongan orang kalah yang tidak berkaca dan tahu diri.

DjM adalah incumbent yang bertarung di Pilwako dengan tetap punya kekuasaan sebagai Walikota. Didukung dua partai besar, Partai Golkar (PG) dan PDI Perjuangan, yang selain punya infrastruktur politik kuat, juga memiliki sumber daya dana mumpuni. Boleh dibilang, DjM-RS-lah yang paling memenuhi syarat menjadi pengendali dinamika dan praktek politik di Pilwako KK.

Menguarkan isu politik uang tak lebih dari meludah ke arah datangnya angin. Dia pula yang bermandi liur sendiri. Bila omongan DjM itu dijadikan dasar adanya pidana Pilwako, lalu institusi dan aparat berwenang mengusut dengan serius, saya yakin yang bakal terjerat adalah DjM sendiri, tim sukses (TS), pendukung, dan simpatisannya.

Atau akhirnya politik uang itu dikedepankan semata agar ada kambing hitam? Kalau demikian, kudis modus politik yang dipraktekkan DjM, TS, pendukung, dan simpatisannya cuma kelas receh. Kita semua tahu berapa nilai rupiah yang dibagikan kubu patahana dan berapa yang digelontorkan pesaing utamanya. Jangang marah kalu ngana pe serangan lebe kacili dari yang laeng pe serangan.

Dari pernyataan DjM, orang-orangtua Mongondow akan menilai sikapnya sebagai dia’ ko oya’. Padahal, aka no oya’ don, yo kita ta intau Mongondow na’a in tonga bidon mo matoi atau simimpatoi. Yo simimpatoi don au’, sin intau ibanya in mota’au bi’ doman aka tonga’ mo matoi.

Sebagaimana pun, menjelang berakhirnya masa kekuasaan DjM, kita patut menjaga dan mengantar dia paripurna sebagai pemimpin warga KK. Sebaliknya, orang banyak ini juga mengharapkan DjM berhati-hati dengan kata-kata dan adabnya, demi harga diri dan kehormatan sendiri.

Nasehat kecil dari saya: ‘’Kintum don ule in ponulad-mu, ba' dia' mo'i topa' kon ulod.’’ Kalah bukan akhir dunia. Sesakit apapun itu.***