Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Thursday, October 24, 2013

UU Pornografi: Tamatlah Riwayat ‘’Radar Bolmong’’ (2)


LARANGAN itu dipertegas di Pasal 6, bahwa, ‘’Setiap orang dilarang memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan produk pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), kecuali yang diberi kewenangan oleh peraturan perundang-undangan’’; Pasal 7, yaitu, ‘’Setiap orang dilarang mendanai atau memfasilitasi perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4’’; dan Pasal 9, ‘’Setiap orang dilarang menjadikan orang lain sebagai objek atau model yang mengandung muatan pornografi.’’

Bagaimana dengan konsumen Radar Bolmong yang belum berusia 18 tahun, yang sesuai UU No 44/2008 masih digolongkan anak-anak? Pasal 15 UU ini mencantumkan, ‘’Setiap orang berkewajiban melindungi anak dari pengaruh pornografi dan mencegah akses anak terhadap informasi pornografi.’’ Sebab koran ini adalah media yang didistribusi bebas, pose-pose cabul dan asusila itu juga dengan mudah jatuh ke tangan anak-anak.

Atas pelanggaran-pelanggaran larangan itu, proses hukum terhadap media yang secara sengaja tidak mematuhi UU Tentang Pers dan KEJ, mengacu pada Pasal 23 UU Tentang Pornografi, bahwa, ‘’Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap pelanggaran pornografi dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini.’’ Bukti-bukti yang diajukan, menurut Pasal 24 adalah, ‘’Di samping alat bukti sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana, termasuk juga alat bukti dalam perkara tindak pidana meliputi tetapi tidak terbatas pada: a. barang yang memuat tulisan atau gambar dalam bentuk cetakan atau bukan cetakan, 
baik elektronik, optik, maupun bentuk penyimpanan data lainnya; dan b. data yang tersimpan dalam jaringan internet dan saluran komunikasi lainnya.’’

Ancaman hukuman apa yang menunggu Radar Bolmong dan jajaran pengelolanya? Pasal 29 UU No 44/2008 mencantumkan, ‘’Setiap orang yang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebar-luaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).’’

Karena pelanggaran yang dilakukan bukan hanya ‘’menggandakan, menyebar-luaskan, dan menyiarkan’’, koran ini dan para pengelolanya juga diancam hukuman sesuai Pasal 32, yakni, ‘’Setiap orang yang memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan produk pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dipidana dengan pidana paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah)’’ serta Pasal 35, yaitu ‘’Setiap orang yang menjadikan orang lain sebagai objek atau model yang mengandung muatan pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).’’

Sebagai penegasan, UU Tentang Pornografi di Pasal 39 secara khusus menyebutkan, ‘’Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33, Pasal 34, Pasal 35, Pasal 36, Pasal 37, dan Pasal 38 adalah kejahatan.’’

Tidak hanya sampai di situ. Sesuai UU Tentang Pers, Radar Bolmong bukan hanya lembaga penyiaran publik, tetapi juga institusi bisnis dan karenanya dia juga masuk cakupan yang diatur di tujuh ayat Pasal 40 UU No 44/2008, yang menyebutkan, Ayat (1), ‘’Dalam hal tindak pidana pornografi dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi, tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya.’’ Ayat (2),  ‘’Tindak pidana pornografi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang, baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut, baik sendiri maupun bersama-sama’’ Ayat (3), ‘’Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu korporasi, korporasi tersebut diwakili oleh pengurus.’’

Kemudian Ayat (4), ‘’Pengurus yang mewakili korporasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diwakili oleh orang lain.’’ Ayat (5), ‘’Hakim dapat memerintahkan pengurus korporasi supaya pengurus korporasi menghadap sendiri di pengadilan dan dapat pula memerintahkan pengurus korporasi supaya pengurus tersebut dibawa ke sidang pengadilan.’’ Ayat (6), ‘’Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap korporasi, panggilan untuk menghadap dan penyerahan surat panggilan tersebut disampaikan kepada pengurus di tempat tinggal pengurus atau di tempat pengurus berkantor.’’ Dan Ayat (7), ‘’Dalam hal tindak pidana pornografi yang dilakukan korporasi, selain pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, dijatuhkan pula pidana denda terhadap korporasi dengan ketentuan maksimum pidana dikalikan 3 (tiga) dari pidana denda yang ditentukan dalam setiap pasal dalam Bab ini.’’

Ancaman pasal 40 itu masih dilengkapi dengan Pasal 41 yang berbunyi, ‘’Selain pidana pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (7), korporasi dapat dikenai pidana tambahan berupa:
a. pembekuan izin usaha;
b. pencabutan izin usaha; c. perampasan kekayaan hasil tindak pidana; dan d. pencabutan status badan hukum.’’

Di hadapan penyidik yang kompeten di Polres Bolmong atau Polda Sulut, bila diproses dengan UU No 44/2008, Radar Bolmong dan pengelolanya pasti tak  dapat mengelak dari ancaman hukuman yang bahkan dapat menamatkan riwayat perusahaan yang menerbitkan koran ini. Penyidik pun tidak akan sulit menggali lebih dalam untuk membuktikan bahwa dengan kewajiban cash in lewat praktek jual-beli tulisan dan berita berbentuk ‘’bbi’’, ‘’bbl’’, dan advertorial, media ini bukan lagi lembaga publik. Bahwa mereka tidak pantas dan layak berlindungan di bawah UU No 40/1999 Tentang Pers dan KEJ.

Akankah polisi dengan serius mengusut skandal di atas skandal yang menurut Pasal 39 UU No 44/2008 adalah kejahatan (dan karenanya tidak perlu menunggu sesiapa pun melaporkan kasunya)? Walau tidak terlalu optimis, mengingat yang dihadapi adalah bagian dari grup penerbitan besar di Indonesia (Radar Bolmong adalah anggota keluarga Grup M; dan Grup MP adalah anak Grup JP), saya masih berharap aparat berwenang menyeriusi ‘’hantu belau’’ pornografi sama tak dapat ditawarnya dengan kasus Narkoba. Kalau tidak, tinggal menunggu waktu kita (dan anak-anak kita) ternganga-nganga membuka koran di pagi hari dan melihat adegan senggama dipampang sebagai foto utama.

Bagi mereka yang isi kepalanya melulu mesum, cabul, dan asusila, boleh jadi media seperti itulah yang dirindu-rindui. Tapi tidak untuk masyarakat beradab seperti Indonesia. Bahkan tidak pula di tengah masyarakat yang ultra liberal, yang tetap saja membungkus media untuk orang dewasa dan meletakkan di jajaran pajang tertinggi, agar jauh dari jangkauan mereka yang bukan menjadi target konsumen.***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

bbi: Berita Berbayar Iklan; bbk: Berita Berbayar Koran; JP: Jawa Pos; KEJ: Kode Etik Jurnalistik; MP: Manado Post; Narkoba: Narkotika dan Obat-obat Terlarang; dan UU: Undang-undang.