Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Saturday, October 5, 2013

Ngerinya Gulag ''Radar Bolmong'' (1)


NIKMAT tontonan heli dan pesawat tempur yang bersiliweran di langit Jakarta bertepatan dengan HUT TNI, Sabtu pagi, 5 Oktober 2013, kian meriah karena ‘’laporan padangan mata yang lain’’ dari Kotamobagu. Pemred Radar Bolmong mengamuk pada jajaran di bawahnya menyusul ejekan yang saya tulis, Taklimat untuk Pemred Kelas Teri.

Rupanya pelajaran kewartawanan Meneer Budi Siswanto belum sampai di bab investigasi hingga dia cuma mampu menyumpahi orang-orang di sekitar.

Maka mari kita lanjutkan tutoring jurnalistik untuk Tuan Pemred, yang akan saya mulai dengan permintaan maaf pada ikan teri yang telah dipersamakan dengan kebodohannya. Teri (panganan yang amat saya suka, terutama bila di-‘’garo rica’’ oleh Ibu) lebih layak diberi kehormatan dibanding Budi Siswanto. Sempat terpikir menggantikan pemadanan teri dengan kepala timah (sejenis ikan yang umum ditemukan di got-got di Mongondow), tetapi saya urungkan. Kepala timah ini adalah ikan favorit lain yang saya pelihara (karena belum mampu membeli ikan hias) di wadah kaca bekas kue semasa SD dan SMP.

Sembari mencari padanan yang tepat mendudukkan di kelas mana dia pantas diletakkan, saya mulai dengan bukti baru profil kebingungan si Pemred kita ini. Ultimatum pembangkangan bagi siapa pun yang bekerja di Radar Bolmong membuka blog saya, sukses dilanggar oleh Budi Siswanto sendiri dengan mengunggah link Kronik Mongondow di saluran komunikasi internal dengan jajarannya (ini menunjukkan kedangkalan pengetahuan terhadap komunikasi modern, bahwa lalu lintas pesan digital ke lebih dari satu orang sudah masuk cakupan UU ITE). Pengunggahan link itu dilengkapi komentar ‘’marah si Katamsi’’, ‘’torang blum ba tulis dia so murka’’, ‘’sekali lagi jangan ada yang respon, ‘’torang nda kelas dengan dia’’, dan ‘’biar dia takancing lentaran nafsu’’.

Kalau komentar yang menyertai link Kronik Mongondow itu adalah ujian, Budi Siswanto hanya mendapat nilai 1 dari skala 10. Saya memang marah, tapi untuk hal yang sangat prinsipil: Dia memelesetkan nama kakek buyut saya, Ginano menjadi Gilano. Meneer Pemred, Anda berada di bawah langit dan memijak tanah Mongondow. Hormati hal-hal yang sakral dan profetik yang tak bisa ditawar bagi orang Mongondow. Yang penghinaan terhadapnya bersedia dibayar dengan berapa pun harga yang diminta. Kalau Anda tidak paham arti kata ‘’sembelih’’, bersegeralah membuka kamus. Kami, orang Mongondow, tak segan menggunakan dan mempraktekkan kata ini ketika membela martabat marga.

Catat saja:  Saya akan datang ke kantor Radar Bolmong untuk menuntut pertanggungjawaban soal ini! Saya tidak akan mengatakan ‘’harga mati’’ atau sejenisnya, melainkan ‘’kalau harus mati atau mematikan pun’’, bila tidak ada permintaan ampun terhadap penistaan nama baik buyut dan marga yang sangat kami hormati, saya akan terus mengejar Budi Siswanto dengan segala cara. Dan telah menjadi kebiasaan saya muncul di saat-saat tidak diduga. Jadi sebaiknya waspada setiap waktu, di semua kesempatan, termasuk tengah tertidur sekali pun.

Nah, komentar selebihnya yang menyertai link blog ini, memperoleh nilai 0 karena menunjukkan kebingungan dan kepanikan Pemred Radar Bolmong. Bukankah saya sudah dinyatakan di-black list? Dilarang keras direspons? Akan halnya urusan kelas, ya, memang jauh berbeda. Bagaimana mungkin saya ikhlas disetarakan dengan Budi Siwanto? Saya lebih bahagia dipersamakan dengan level reporter pemula dibanding Pemred jenis pomponu. Yang terakhir, ‘’takancing lanteran nafsu’’ (ini juga harus dikoreksi, bukan ‘’lanteran’’ tapi ‘’lantaran’’), tentu halusinasi yang bersangkutan. Lelucon (kecuali penistaan Ginano menjadi Gilano) kok harus ditanggapi serius?

Koreksi saya terhadap tulisan dan pemberitaan Radar Bolmong (Pentingnya Cool Storit; Pendaftaran Student Idol Sampai 5 Oktober; dan Marka Jalan Moat-Atoga Raib) adalah ikhtiar meluruskan sesuatu yang bengkok dan memalukan. Sesuatu yang mestinya sangat dihindari terjadi di media yang peduli pada profesionalisme dan kredibilitasnya. Di media yang khatam memahami segala sesuatu yang dipublikasi tidak hanya mengungkap fakta dan pendapat publik; tetapi merepresentasi potret internal di ruang beritanya, tentang bagaimana tulisan atau berita dikumpulkan, diolah, dan diterbitkan.

Kekeliruan-kekeliruan yang ditunjukkan oleh tiga tulisan dan berita yang saya rujuk dan kritik menunjukkan ada krisis kronis aspek paling dasar jurnalistik yang dipraktekkan di Radar Bolmong. Saya bahkan tidak mempertanyakan  ‘’Kemana dan apa yang dilakukan oleh Pemred sebagai penanggungjawab utama news room hingga tulisan dan berita yang patut dicemooh itu lolos dan tiba di tangan pembaca?’’ Tidak pula mengedepankan syak: ‘’Mungkinkah Pemred-nya buta dan pekak ikhwal jurnalistik?’’ Pun, ‘’Jangan-jangan wartawan Radar Bolmong tidak lagi fokus pada menyajikan tulisan dan berita berkualitas, minimal memenuhi 5W + 1H, tetapi sesuatu yang lain yang menghalangi mereka menjalankan pekerjaannya dengan profesional dan bermartabat?’’

Saya menghindari duga-duga agar tidak terpeleset jadi tukang fitnah, penista, pencemar nama baik, dan sejenisnya. Tidak pula saya bergenit-genit melewati batas mengkritisi dan mengkritik Radar Bolmong hingga ke urusan ‘’internal rumah tangganya’’. Mau Pemred ternyata dicomot dari peternakan lele, wartawannya lebih sibuk jualan onde-onde ketimbang memburu berita, pengelolaan news room-nya sama dengan pasar blante, bukan urusan saya dan pembaca; sepanjang apa yang dicetak dan disirkulasi tidak compang-camping, yang bahkan digunakan membungkus kacang pun tak layak.

Informasi dan bukti-bukti ‘’internal rumah tangga’’ Radar Bolmong justru membanjiri saya setelah Taklimat untuk Pemred Kelas Teri diunggah. Dengan pertimbangan saksama, hati-hati, dan dingin, saya memutuskan menjadikan apa yang diterima itu sebagai informasi publik. Media adalah ‘’pilar keempat’’ demokrasi, ‘’anjing penjaga’’ yang bertanggungjawab, berhak, dan wajib mengontrol jalannya kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, lebih dari sekadar remeh-temeh politik, ulah pejabat publik, dinamika ekonomi terkini, dan sebagainya. Namun, di saat yang sama dia juga tidak terbebas dari cermatan, selisikan, pantauan, dan penilaian orang ramai.

Informasi dan bukti-bukti yang saya terima mengkonfirmasi: Pemred Radar Bolmong tidaklah dilatih dan terlatih sebagai wartawan. Dia berasal dari bagian support, tepatnya pemasaran. O, ternyata tukang jualan. Mudah-mudahan bukan penjual ikan teri, tetapi minimal sirkulasi koran atau iklan. Terhina betul sang teri kalau diurusi pedagang seperti Budi Siswanto. Dia mengelola news room seperti warung kelontong. Setiap wartawan, apalagi yang dilekati jabatan biro, dipikuli beban cash in (seumur hidup saya baru menemukan istilah ini digunakan oleh redaksi) Rp 10 hingga Rp 30 juta per bulan. Dan bahwa kesibukan utama dan terutama Meneer Pemred (yang penggambaran terhadapnya membuat saya mengasosiasikan dengan pegawai VOC), adalah menagih target cash in dengan cara melebihi tuntutan ketua perkumpulan preman.

Obsesi target dan dagang Pemred yang tak beda dengan antek Kompeni itu, membuat dia tak segan mempermalukan, menghina, dan menista wartawan yang dianggap gagal memenuhi kewajiban cash in. Wartawan yang belum atau tidak menyetor cash in dipanggil lewat iklan agar menyelesaikan piutangnya. Tidak heran di pekan-pekan ini sejumlah wartawan berombongan meninggalkan Radar Bolmong, membangkang, bahkan ‘’menyerbu’’ kantor dengan menenteng pitou, sebab merasa kehilangan muka karena diiklankan sebagai pengutang oleh Pemrednya.***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

5W + 1H: What (Apa), Who (Siapa), When (Kapan), Where (Di mana), Why (Mengapa), dan How (Bagaimana); HUT: Hari Ulang Tahun; ITE: Informasi dan Transaksi Elektronik; Pemred: Pemimpin Redaksi; SD: Sekolah Dasar; SMP: Sekolah Menengah Pertama; TNI: Tentara Nasional Indonesia; UU: Undang-undang; dan VOC: Vereenigde Oostingdische Compagnie.