Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Sunday, October 6, 2013

‘’Meneer’’ Pemred, Tahukah Anda Apa Hak Koreksi?


SERIAL tulisan yang dimulai dengan koreksi terhadap pemberitaan di Harian Radar Bolmong (‘’Storit’’, ‘’Storis’’, dan Sebagainya, Rabu, 2 Oktober 2013), memicu gelombang pro dan kontra, terutama di kalangan jurnalis di BMR. Mereka yang sependapat, mengirim pesan atau mengontak, umumnya menyampaikan isu yang saya kedepankan menjadi bahan introspeksi dan pengingat kemuliaan pers sebagai ‘’pilar keempat demokrasi’’.

Mereka yang tidak sependapat, menganggap ketika mulai mengungkap fakta-fakta internal pengelolaan news room Radar Bolmong, saya terjebak emosi subyektif. Tidak lagi pada kepentingan orang banyak, utamanya kontrol publik terhadap media yang mestinya menghamba pada fakta, kebenaran, dan orang banyak; bukan semata mendulang keuntungan ekonomi sebanyak-banyak dan sebesar-besarnya dengan segala cara dan siasat.

Pandangan seperti itu absah. Tetapi mari kita dadah apakah isu kompetensi Pemred Radar Bolmong dan manajemen redaksi media ini adalah wilayah yang tidak boleh dikritisi pihak eksternal? Radar Bolmong adalah bagian dari Grup MP. Harian MP sebagai induk jaringan media dan penerbitan grup ini diketahui menjadi koran pertama (dan satu-satunya) di Sulut yang dengan sukarela membentuk Ombudsman, yang beranggota tiga tokoh kredibel, Max Rembang (Ketua), Ais Kai, dan Hinca Pandjaitan.

Belakangan tatkala MP terus berkembang dan menggurita, saya tidak mendengar lagi nasib Ombudsman itu. Apakah lembaga ini masih hidup, diam-diam telah dimatikan, atau memang tak diperlukan lagi, sebab masyarakat sudah tak punya keluhan apa-apa; masyarakat bosan mengeluh; atau orang banyak telah tak peduli karena keluhannya tinggal menjadi keluhan. Yang terburuk, Ombudsman tidak diberi ruang mendengar dan didengar karena mereka cuma menjadi kebisingan dan gangguan bagi keleluasaan manuver redaksi.

Kemana masyarakat menyampaikan keluhannya? Keluhan ini tidak berarti berkaitan dengan isi pemberitaan semata, tetapi katakanlah praktek jurnalistik yang melanggar kepatutan, yang belum tentu masuk ranah etika? Pewajiban cash in pada para wartawan, misalnya, apakah pelanggaran kepatutan atau etika? Dua-dua mungkin, tetapi juga tidak.

Pewajiban cash in melanggar kepatutan kalau itu menjadi tugas utama dan diutamakan, serta dikaitkan dengan kelayakan sebuah berita. Melanggar etika kalau untuk memenuhi cash in wartawan menyalahgunakan profesinya, misalnya dengan menekan dan memeras sumber berita. Pelanggaran ini sesuai dengan batasan yang dicantumkan Pasal 6 KEJ, bahwa, ‘’Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap.’’

Celakanya, media-media di Sulut, khususnya yang terbit di tingkat kabupaten atau kota di luar Manado, belakangan menjadi sangat dominan dan mendominasi. Faktor utamanya karena media yang bersangkutan menjadi bagian dari satu jaringan besar serta didukung kekuatan kapital besar. Radar Bolmong adalah contoh idealnya. Itu sebabnya, tidak memerlukan waktu lama koran ini menjadi rujukan dan pengendali isu di wilayah Mongondow. Hitam kata Radar Bolmong, hitam pula yang ada di benak publik. Sebaliknya, putih menurut Radar Bolmong, walau faktanya hitam, orang banyak tak punya cukup daya untuk mengoreksi.

Dominasi itu, saya cermati, membuat seluruh standar-standar dan praktek baku jurnalistik kehilangan tempat. Kebijakan ‘’bbi’’ dan ‘’bbk’’ yang dimotori Pemred (tentu atas restu manajemen), menempatkan jumlah uang sebagai panglima dari setiap berita dan tulisan yang dipublikasi. Hak jawab pun tidak lagi diperlukan, sebab bila Anda keberatan, pasang ‘’bbi’’ atau ‘’bbk’’. Anda ingin mejeng atau menyampaikan pendapat, mari ber-‘’bbi’’ dan ber-‘’bbk’’. Akan halnya hak koreksi, lebih paria lagi.

Terus-terang, saya yakin Pemred Radar Bolmong, Meneer Budi Siswanto, tidak paham apa itu ‘’hak jawab’’ dan ‘’hak koreksi’’. Sebagai pemasar koran dan penjual berita, bagi dia hak jawab adalah ‘’bbi’’ dan ‘’bbk’’. Kasus selesai, rekening bertambah. Bagaimana dengan hak koreksi? Koreksi dan kritik terhadap dan pemberitaan Radar Bolmong yang dia respons dengan penghinaan pada nama kakek buyut dan marga saya, Ginano menjadi Gilano; instruksi black list; wartawan di koran ini dilarang berhubungan dengan saya; dan haram membuka Kronik Mongondow, adalah fakta manajemen memang keliru memilih orang nomor satu di redaksinya.

Begitulah jadinya kalau mendudukkan pedagang mengurusi pekerjaan yang memerlukan pengetahuan, kecerdasan, pengalaman, keterlatihan khusus, dan kematangan emosi. Pemred adalah representasi gengsi media. Semakin berkualitas tulisan, kebijakan, keputusan, dan arahan seorang Pemred, kian berkelas media bersangkutan. Saya belum pernah membaca tulisan Budi Siswanto. Namun dari dokumen-dokumen yang saya miliki, para jurnalis Radar Bolmong harus mengusap dada karena bahasa dan tanda bacanya betul-betul amburadul. Itu baru bahasa dan tanda baca, belum caci maki, ancaman, dan bahasa barbar (tertulis) yang dia tujukan pada jajaran redaksi.

Kembali pada hak jawab dan hak koreksi. UU No 40 Tahun 1999 Tentang Pers, Pasal 1, Ayat 11, mendefinisikan, ‘’Hak Jawab adalah hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya’’; Ayat 12, ‘’Hak Koreksi adalah hak setiap orang untuk mengoreksi atau memberitahukan kekeliruan informasi yang diberitakan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain’’; dan Ayat 13, ‘’Kewajiban Koreksi adalah keharusan melakukan koreksi atau ralat terhadap suatu informasi, data, fakta, opini, atau gambar yang tidak benar yang telah diberitakan oleh pers yang bersangkutan.’’
Tiga Ayat di Pasal 1 itu ditegaskan di Pasal 5, Ayat (2), ‘’Pers wajib melayani Hak Jawab’’ dan Ayat (3) ‘’Pers wajib melayani Hak Koreksi.’’ Lebih jauh, UU ini menjabarkan bagaimana hak koreksi itu dilaksanakan lewat Pasal 17, Ayat  (1), ‘’Masyarakat dapat melakukan kegiatan untuk mengembangkan kemerdekaan pers dan menjamin hak memperoleh informasi yang diperlukan’’ serta Ayat (2), ‘’Kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat berupa: a. memantau dan melaporkan analisis mengenai pelanggaran hukum, etika, dan kekeliruan teknis pemberitaan yang dilakukan oleh pers; b. menyampaikan usulan dan saran kepada Dewan Pers dalam rangka menjaga dan meningkatkan kualitas pers nasional.’’
Pasal-pasal dan ayat-ayat UU No 4/1999 itu telah menjawab apakah kritik dan koreksi saya terhadap tulisan, pemberitaan, kebijakan, dan praktek keredaksian (termasuk kedunguan Pemrednya) di Radar Bolmong, tidaklah didasari sentimen kekanak-kanakkan yang tidak terkait dengan kepentingan publik. Kalau kemudian titik berat sorotan saya setelah tulisan ini ditujukan khusus pada kebijakan, kompetensi, dan perilaku Pemrednya, karena pada dialah apa yang diproduksi media dan dikonsumsi pembacanya bertumpu.

Lain soal kalau Radar Bolmong adalah warung atau tempat ngopi-ngopi. Bila yang saya cecap ternyata kopi sengit dan panganan yang bikin mual, yang mesti bertanggungjawab dan patut ditojor adalah tukang bikin kopi dan tukang masak atau kepala koki. Meneer Pemred, pelajaran UU Tentang Pers, hak jawab, dan hak koreksi saya akhiri. Masih panjang perjalan yang akan kita lalui.***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

bbi: Berita Berbayar Iklan; bbk: Berita Berbayar Koran; BMR: Bolaang Mongondow Raya; KEJ: Kode Etik Jurnalistik; MP: Manado Post; Ombudsman: Pejabat atau badan yang bertugas menyelidiki berbagai keluhan masyarakat; Sulut: Sulawesi Utara; dan UU: Undang-undang.