Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Monday, October 7, 2013

Kritik Semestinya dan Respons Emosional


Koreksi, kritik, dan belakangan pengungkapan saya terhadap praktek jurnalistik di Harian Radar Bolmong tampaknya menjadi perhatian banyak pihak. Tanggapan, yang bersetuju maupun tidak, berdatangan dalam bentuk kontak langsung, SMS, BBM, dan bahkan tulisan yang dikirimkan lewat email. Tulisan yang diunggah ini dikirimkan oleh Ahmad Alheid. Kesempatan yang sama bagi siapa pun, terlepas dari sikap setuju atau tidak, sepanjang memenuhi kaidah tulisan yang baik, akan dihantarkan ke pembaca lewat blog ini.

Oleh Ahmad Alheid

SEMBURAN kritik beruntun oleh Katamsi Ginano di Kronik Mongondow menjadi pil pahit bagi Radar Bolmong (RB). Dimulai dari kritikan terhadap teknik penulisan lewat artikel “Storit”, “Storis”, dan Sebagainya (Rabu, 2 Oktober 2013), disusul Berita Marka, Kutipan Pembatas, Ternyata Rambu Lalu-Lintas (Rabu, 2 Oktober 2013), Katamsi –atau lebih ringan lidah saya menyapanya Bang Tamsi—menunjukkan kelalaian media “terbesar” di BMR ini dalam penulisan kata dan istilah. Dengan gaya meledek, artikel-artikel opini yang diunggah Bang Tamsi menunjukkan rapuhnya kerja editorial di dapur redaksi RB.

Apa yang disajikan Bang Tamsi adalah hal lumrah dan semestinya untuk meluruskan kekeliruan media massa. Bahkan koran sebesar Kompas pernah dikritik berkenan dengan teknik penulisan. Toh tindakan mengingatkan, apa pun cara penyampaiannya, bukanlah dosa. Justru kehadiran kritik semacam ini diperlukan agar itikad meningkatkan mutu dari lembaga berita dapat dilakukan.

Reaksi semestinya yang diperlukan RB dalam merespons kritik seperti ini, baik secara terbuka atau di internal redaksi, adalah melakukan introspeksi diri dan memperbaiki kekeliruannya di masa mendatang. Mereka seharusnya berdiri di atas kesadaran bahwa RB, sebagai lembaga berita, adalah milik khalayak dan loyalitas terhadap publik merupakan tanggung jawab utamanya. Karena itulah, media massa yang baik dituntut memperhatikan kepentingan pembaca.

Sayangnya, respons RB, terutama sikap Budi Siswanto yang menakhodai koran dari Grup Manado Post  ini, malah negatif. Nampaknya, RB hanya membiasakan diri mengkritik pihak lain, tetapi alergi dengan kritik pihak luar atas lembaganya. Dengan memelesetkan marga Ginano menjadi Gilano (atau mungkin Gila Noh, yang berarti: memang gila) sebagai reaksi terhadap tulisan Bang Tamsi, Pemimpin Redaksi RB ini telah menunjukkan ketinggian langit pikirannya: tidak menunjukkan pikiran terbuka dan mengabaikan kebenaran.

Ihwal ketelitian adalah salah satu poin penting yang disyaratkan dalam kerja-kerja jurnalistik. Jika urusan sepele soal penulisan kata dan penempatan huruf disepelekan, apalagi tuntutan verifikasi fakta dalam kerangka akurasi pada berita-berita yang dihadirkan. Barangkali standar dan etika jurnalisme telah diletakan di urutan kesekian dalam kebijakan redaksi RB, sehingga mata mereka tertutup terhadap kebenaran. Mereka bahkan jengkel pada orang yang menyodorkan kekeliruan yang melumuri jari-jari tangannya. Jika begitu sikap awak RB –terutama pimpinannya— terhadap kritik, lantas bagaimana mereka memahami “jurnalisme berpihak pada kebenaran”?

Pada artikel-artikel selanjutnya, Bang Tamsi menyiratkan kegeramannya pada plesetan Budi terhadap nama marganya sebagai dasar memuntahkan kritikan yang lebih memerahkan telinga. Tetapi sebab soal marga itu bukanlah perkara penting jika menyimak ulasan dalam artikel-artikel selanjutnya. Perhatian pembaca Kronik Mongondow tersedot pada fakta-fakta yang menghiasi luapan “kejengkelan” Bang Tamsi. Dia justru terlihat lebih “jengkel” pada borok yang dipraktekkan RB dengan memakai “jubah” jurnalisme.

Soal “bbi” dan “bbk”, misalnya, telah menggerus kepentingan pembaca terhadap informasi lebih layak yang seharusnya mereka dapatkan sebagai konsumen media. Hal ini bukan hanya soal memperdagangkan berita, namun penipuan materi iklan/advertorial yang disamarkan dalam bentuk berita. Pembaca awam tentu tidak bisa membedakan mana yang betul-betul berita sebagai hasil reportase guna memenuhi kebutuhan informasi untuk pembaca dan mana yang merupakan berita “pesanan”.

Apa penyebab perubahan orientasi RB yang melenceng jauh dari praktek jurnalisme yang benar lebih terang-benderang dengan melihat fakta yang diungkapkan Bang tamsi selanjutnya. Kewajiban cash in yang dibebankan manajemen RB pada wartawan-wartawannya telah mengotori profesionalisme kewartaan mereka. Awak RB tidak lagi merasa bertanggung jawab memikul loyalitas pada publik, melainkan berjibaku berburu fulus guna memenuhi “setoran ke atas”. Nama mentereng grup besar ternyata tidak berbanding lurus dengan laku yang mereka praktekkan.

Cash in, yang telah menjadi rahasia umum, merupakan sistem yang dibangun RB untuk mengukuhkan diri di tengah persaingan bisnis media. Dampak praktek ini tidak hanya mengangkangi etika jurnalisme, namun secara sadar atau tidak mereka tengah menggali kuburan bagi masa depan bisnisnya. Manajemen yang sangat bergantung pada hasil “rampok” awaknya akan runtuh ketika iklim persaingan media menjadi lebih kompetitif.

Bisnis “rampok” ini sangat bergantung pada kerjasama dengan institusi-institusi pemerintah di daerah. Dengan kata lain, sumber terbesar lembaga berita lokal, termasuk RB, sebagian besar berasal dari pemasangan iklan dan langganan koran oleh institusi pemerintah. Jika seluruh institusi pemerintah di daerah bertekad mengakhiri kerjasama ini, maka dipastikan banyak lembaga berita lokal yang bakal rontok.

Ada beberapa kemungkinan penyebab pemerintah daerah masih bisa bekerjasama dengan Radar atau lembaga berita lain dengan perilaku serupa. Pertama, pemangku kepentingan di lingkup pemerintahan daerah tidak menyadari betapa daya hidup lembaga berita semacam ini sangat bergantung pada dukungan finansial mereka dengan kerjasama di bidang iklan dan langganan. Kedua, ada kepentingan untuk “merampok” bersama lewat fee bagi pengelola keuangan di kalangan pemerintah dari setiap pemasangan iklan dan kerjasama berlangganan. Ketiga, pihak media merayu ego para pejabat yang terobsesi dengan publisitas. Keempat, pejabat di daerah berupaya melunakkan kontrol media massa agar laku korup mereka tertutupi.

Ketergantungan pada kerjasama dengan pemerintah daerah beserta para pejabatnya yang menyebabkan lembaga berita lokal umumnya menerapkan jurus “pukul-rangkul” dalam kerja-kerja jurnalistik yang mereka lakoni. Dalam arti, mereka senantiasa menebar “ancaman” bagi yang enggan bekerjasama. Bagi pihak-pihak yang tidak mau beriklan dan berlangganan koran, akan dijadikan sasaran pemberitaan negatif.

Saya kira, kebobrokan RB yang diungkap Bang Tamsi mewakili keprihatinan banyak pihak yang peduli dengan kehadiran pers bermutu. Pewartaan yang lebih memperhatikan kepentingan khalayak terhadap informasi dan memposisikan diri sebagai kontrol sosial. Bukan lembaga berita yang menghamba semata pada bisnis dan melayani kepentingan pihak-pihak yang menyodorkan keuntungan pada mereka.***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

bbi: Berita Berbayar Iklan; bbk: Berita Berbayar Koran; BBM: BlackBerry Messenger; BMR: Bolaang Mongondow Raya; RB: Radar Bolmong; dan SMS: Short Message.