Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Tuesday, October 1, 2013

Pssstttt, Musdalub di PG KK?


INSIDEN direbutnya mike dari tangan Ny Marlina Moha-Siahaan oleh Ny Muslimah Mayulu-Mongilong, Sabtu, 28 September 2013, yang kemudian saya tulis (Skor 0-12 Untuk Mama Ven Lawan Mama Didi) mencuatkan istilah ‘’politainment’’. Tercetus di grup diskusi Institut Bakid (lembaga yang bertahun lalu didirikan sejumlah anak muda Mongondow), kata yang pengertiannya kurang lebih sejalan dengan ‘’infotainment’’ ini datang dari Loho Mokoagow.

Dua jempol untuk Loho. Dia dengan tepat menangkap dan mengekspresikan dinamika politik dan para pelakunya di Mongondow dan Indonesia umumnya dengan satu kata yang ‘’rasanya’’ familiar, sekaligus (sepengetahuan saya) sangat jarang digunakan di negeri ini.

Dari penelisikan cepat saya menemukan infotainment berarti ‘’a film or TV program presenting the fact about a person or event.’’ Sedangkan politainment, merujuk pada tulisan dua pakar dari University of Fribourg-Freiburg, Louis Bosshart dan Lea Hellmüller, Pervasive Entertainment, Ubiquitous Entertainment, yang dipublikasi di Communication Research Trends, Volume 28 (2009) No. 2, terbitan Centre for the Study of Communication and Culture, disebut sebagai ‘’the term refers to the symbiosis between politics and entertainment.’’

Sebagaimana biasa, definisi-definisi yang bermuatan serius itu di Indonesia diterjemahkan dan diimplementasi sesukanya hingga kalau bukan kurang, maka menjadi berlebih-lebihan. Tayangan infotainment di teve-teve kita, misalnya, kemudian melulu tentang artis, mulai dari yang benar-benar top dan bermutu hingga yang sekadar merasa artis dan mengira dirinya populer. Sudah begitu, isu-isu yang diangkat pun mudah membuat perut mulas: tak jauh dari pertengkaran, gosip kawin-cerai dan selingkuh, narkoba, serta gaya hidup hedonis para pesohor. Karya, capaian artistik, masterpiece, dan monumental nyaris tak mendapat (atau diberi) ruang.

Demikian pula dengan politainment. Alih-alih politikus yang ditampilkan di layar-layar televisi membawa kebaharuan, entah dari latar belakang, gaya hidup,  ide-ide, atau perilaku; yang mengedepan justru kelakuan yang tak beda dengan ulah dan bual-bual kapiran artis-artis di tayangan infotainment. Politikus kita benar-benar memperlihatkan wajah buruk politik negeri ini: umumnya cuma bisa petantang-petenteng, bodoh, tidak bermutu, payah dari sisi etika, jauh dari profesional, rakus, dan korup.

Apakah insiden mike di hajatan pernikahan yang melibatkan dua perempuan, tokoh publik dan politik yang juga Caleg Pemilu 2014 dari Dapil Bomong untuk DPR Provinsi Sulut, itu adalah peristiwa sosial biasa atau masuk kategori politainment? Pembaca, saya yakin kearifan Anda mampu menempatkan konteks peristiwanya sesuai dengan konvensi bermasyarakat yang kita anut.

Yang jelas, bagi saya pribadi, peristiwa politik serius dan yang kelas politainment sangat mudah dideteksi dari bagaimana peristiwa itu terjadi; atau dengan cara seperti apa isunya disampaikan. Peristiwa politik atau yang melibatkan politikus, yang terjadi dengan alasan sepele, memalukan, tidak substansial dan fundamental, kita kategorikan sebagai konsumsi politainment. Dari caranya, bila penyampaian isunya dilakukan dengan model kasak-kusuk semacam, ‘’Psssttt, so tahu ngana...?”; ‘’Dengar-dengar....”; dan bahasa sejenis yang biasanya mengawali pergosipan, apapun itu pastilah harus dikonsumsi dalam kerangka politainment.

Politainment (tidak usah repot-repot menelusuri kata ini di kamus karena secara resmi memang belum tercatat) pula yang segera memenuhi benak saya, Senin (30 September 2013) ketika mendapat kisikan yang disampaikan setengah berbisik, ‘’Psssttt, so tahu kalu PG KK mo bekeng Musdalub?’’ Saya tidak dapat berpura-pura tidak tahu. Beberapa hari sebelumnya info Musdalub ini telah saya terima dari seorang kawan politikus di KK, lengkap dengan nama-nama fungsionaris PG yang menginisiasi serta kandidat yang bakal diusung.

Saya agak meragukan informasi itu. Rekam-jejak PG yang sukses bertahan melintasi turbulence politik Indonesia lebih 40 tahun terakhir, menempatkan Parpol ini sebagai hampir satu-satunya partai yang mapan dalam segala hal, terutama sistem dan mekanisme organisasi. Menggantikan ketua saat ini, mantan Walikota KK 2009-2013, DjM, yang masa kepengurusannya baru berakhir 2015, harus dengan alasan yang sangat fundamental. Tidaklah cukup semata karena dia dianggap tidak mampu menggendalikan roda organisasi atau gagal mencapai sejumlah target politik, khususnya menempatkan kembali kader PG di kursi Walikota KK 2013-2018. DjM baru boleh diganti bila dia melanggar aspek paling tidak dapat ditolerir sebagaimana diatur di dalam konstitusi partai.

Apa pelanggaran tak termaafkan itu? Sekalipun cukup khusyuk mengikuti perkembangan politik di KK, saya kebingungan ketika mencoba menjawab pertanyaan sederhana ini. Benar bahwa PG yang mengusung DjM-Rustam Simbala (RS) kalah di Pilwako KK; menggugat di MK dan kembali kalah; lalu DjM terdaftar di DCT Pemilu 2014 sebagai Caleg DPR KK Dapil Kotamobagu Barat, yang kini sedang di proses di DKPP karena ada keberatan dari PAN. Selebihnya, PG KK adem-ayem saja.

Tapi begitulah politik dengan segala intriknya. Tenang di permukaan belum tentu demikian adanya di ‘’arus bawah’’. Apalagi warga Mongondow umumnya tahu persis, pengaruh Ketua PG Bolmong, Ny Marlina Moha-Siahaan (tokoh yang hubungan politik, sosial, dan pribadinya dengan DjM kerap ‘’demam tinggi’’), masih sangat kuat. DjM memang memimpin PG KK, tetapi fungsionaris-fungsionaris utama di bawahnya praktis berasal dari kader-kader yang dibesarkan Ketua PG Bolmong.

Dengan peta pengaruh seperti itu, bagi analis politik amatiran, rumor Musdalub PG KK barangkali segera dimaknai sebagai tindakan mengeliminasi kekuatan DjM dan pendukungnya di Pemilu 2014. Tanpa kekuatan politik signifkan, peluang DjM menjadi anggota DPR KK (bila DKPP mengabsahkan peng-DCT-annya), putra, putri, dan kerabat yang dicalonkan di DPR Kabupaten/Kota dan Provinsi, bakal penuh aral melintang. Dengan begitu kesempatan bagi kelompok yang berseberangan dengan DjM di tubuh PG KK khususnya dan seluruh Bolmong umumnya, menjadi terbuka lebar.

Begitu sederhananyakah dinamika politik di PG KK? Karena tetap tidak menemukan alasan fundamental bisik-bisik Musdalub, saya akhirnya meng-amin-kan apapun informasi yang berhembus dan dihembuskan seputar isu ini. Anggap saja kita sedang menikmati babak baru politainment di Mongondow. Toh keramaian yang bakal tumpah akhirnya cuma berkisar pada mereka-mereka yang bermain atau dipermainkan.

Sedapnya duduk (atau berdiri) di posisi penonton bersama khalayak lain, kita bebas mencaci, mencibir, memuji, dan bertepuk tangan.***