Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Sunday, October 20, 2013

Korlip MP, Garong, dan Seterusnya hingga Tukang Ngutil


ADA satu masa saya membenci BC atau BBM yang diteruskan jadi pesan berantai. Apalagi kalau isinya tidak karuan, hoax, spekulatif, atau sekadar provokasi. Rumor bentrok SARA di Basaan, Kecamatan Ratatotok, Mitra, yang menjalar cepat di Sulut, Jumat (18 Oktober 2013) adalah contoh aktual BC provokasi yang mengada-ada. Seolah silang-selisih segelintir orang di desa itu sudah jadi perang habis-habisan antar dua kelompok pemeluk agama berbeda.

Gencar dan massif-nya BC isu Basaan bahkan membuat Kapolda Sulut, Brigjen (Pol) Robby Kaligis, buru-buru mendatangi TKP. Bentrok SARA sungguh merindingkan kuduk dan kesingapan Kapolda, sekali pun infonya ternyata berlebih-lebihan hingga meruah kemana-mana, patut diapresiasi.

BC dan BBM hoax, spekulatif, atau provokatif memang menjengkelkan. Tapi banyak pula yang benar-benar membawa informasi berguna, misalnya peristiwa yang harus diketahui dan memerlukan kontrol publik. Gempa yang mengguncang Filipina, Selasa, 15 Oktober 2013, dan berpotensi tsunami di perairan sekitarnya (termasuk Sulut), segera diketahui orang banyak karena dikabarkan berantai oleh pengguna telepon selular. Atau penangkapan Ketua MK, Akil Mochtar, langsung jadi perhatian publik karena pikuk dipertukarkan lewat SMS, BC, dan media-media sosial.

Mengemukanya isu cash in di Harian Radar Bolmong (juga Grup MP) yang mengundang atensi di Mongondow (belakangan menyusul Sulut), sangat banyak disumbang oleh demam BC dan facebook. Sebagai pengguna BB dengan ratusan kontak di BMR khususnya dan Sulut umumnya, saya tercengang-cengang menerima aneka BC yang menyiarkan unggahan terbaru di Kronik Mongondow. Tautannya sama, tetapi pengantarnya aneka rupa, sangat kreatif, beberapa lucu dan menggelitik, bahkan satu-dua ditulis dengan kecemerlangan bahasa yang layak diacungi dua jempol.

Dari BC (dan forward capture facebook) pula saya mengetahui reaksi positif dan negatif dari masyarakat penikmat dan pengkhimat blog ini, termasuk sejumlah wartawan dari Grup MP, khususnya Korlip Harian MP, Idham Malewa. Secara pribadi saya mengagumi kegigihan Idham membela kelompok media dan koran tempatnya bekerja. Kekeras-hatiannya benar-benar mengundang haru dan iba. Saya tahu kok, Idham, Anda juga kan wajib memasok cash in tak kurang dari Rp 50 juta per bulan. Walau hati saya bergetar dengan beratnya kewajiban itu (sebagai wartawan Idham tahu dia telah melacurkan profesinya dengan cara sangat murah), kritik dan kritisasi tidak akan berhenti.

Para penghobi (apa saja, dari memancing, main catur, mengumpulkan perangko, sampai mencicip kopi) paham betul: Menghentikan seseorang berkhusyuk dengan hobinya sama dengan menantang tengkar beruang lapar. Kebetulan, hobi saya adalah mengejek dan menganiaya ketidak beresan, segala yang bengkok, dan para pelakunya. Namun saya juga menghormati siapa pun yang tidak bersetuju dengan menganjurkan jangan membaca Kronik Mongondow atau menyampaikan keberatan dengan cara yang masuk akal. Sekadar BC atau BBM yang diteruskan penerima pertamanya, tentu cuma akan jadi obyek olok-olok.

BBM mengundang diolok itu pula yang saya terima, Sabtu, 19 Oktober 2013, usai mengunggah Anatomi ‘’Cash In Radar Bolmong’’: Manajemen Setan Oleh Iblis. Penerus BBM itu secara khusus memberi penjelasan, yang dia kirimkan berasal dari (sekali lagi) Idham Malewa. Saya tak urung mesti memuji Idham. Terima kasih, Anda membuat akhir pekan saya menjadi lebih berwarna. BBM Anda juga akan dikutip karena secara eksplisit meminta si penerima menyampaikan apa yang ditulis ke saya.

Empat hal dikemukakan Korlip MP di BBM-nya. Pertama, sorotan saya terhadap Radar Bolmong dan Grup MP tidak fairness (salah lagi, karena yang dia maksud adalah ‘’tidak fair’’). Kedua, perbanyak investigasi untuk mendapatkan fakta publik. Ketiga, ‘’jurnalisme damai’’ ala Grup MP sudah diadopsi media lain di Sulut. Dan keempat, saya menulis dengan memakai kacamata kuda.

Izinkan saya mengekspresikan simpati, empati, haru, dan iba pada Idham Malewa serta para jurnalis di Grup MP dengan menanggapi satu per satu apa yang disampaikan itu. Pertama, fairness seperti apa yang diharapkan? Bantahan terhadap fakta, tafsir, dan simpulan yang saya tulis berkenaan dengan kebijakan dan praktek jurnalistik di Radar Bolmong dan Grup MP? Gampang, tulis dalam bahasa Indonesia yang tertata dengan argumen yang benar, runut, dilengkapi fakta dan bukti, saya jamin pasti dipublikasi di blog ini apa adanya.

Saya juga menjamin tidak akan ada tagihan apapun yang dilayangkan ke penulisnya. Blog ini tidak mengenal kewajiban cash in dan sejenisnya. Bahkan, saya tidak berkeberatan menyediakan ‘’uang lelah’’ dan ‘’pengganti kopi’’ pada penulis yang artikelnya berkualitas prima.

Kedua, Korlip MP sedang demam tinggi hingga dia menyarankan agar saya memperbanyak investigasi demi mendapatkan fakta publik isu cash in? Kemana aja ente, Idham? Tidak diinvestigasi pun fakta-fakta dan bukti sudah berdatangan. Lagipula saya bukan wartawan yang punya tanggungjawab profesional menginvestigasi isu-isu yang ditulis atau publikasi. Saya justru ingin bertanya, memangnya dengan mempraktekkan jual-beli berita Grup MP masih mengenal jurnalisme investigasi?

Ketiga, media lain di Sulut sudah mengadopsi ‘’jurnalisme ‘bbi’, ‘bbk’, dan advertorial’’ Grup MP (bukan jurnalisme damai yang memang ada definisi resminya tersendiri). Ini bukan hal baru dan sudah menjadi pengetahuan umum; sama dengan pemahfuman publik di BMR bahwa Radar Bolmong-lah yang menjadi gerbong utama upaya terstruktur merusak krebilitas profesi wartawan di wilayah ini. Dan saya memang berurusan dengan Radar Bolmong, yang kemudian dengan sukarela diseret melebar ke Grup MP oleh Idham Malewa sendiri, belum dengan media-media lain yang kini dia serempet-serempet pula.

Cara Idham menunjuk-nunjuk dan mengait-ngairkan media lain ke isu kebobrokan Grup MP tak lebih dari kelakuan garong yang tertangkap basah lalu bernyanyi menyebut pencuri, pencoleng, pencopet, dan tukang ngutil, supaya punya teman sepenanggung-sependeritaan. Lebay dan cengeng.

Dan keempat, adakah larangan saya tidak boleh menggunakan kacamata kuda menyoroti kebijakan dan praktek jurnalisme cash in di Radar Bolmong dan Grup MP? Media dan kelompok penerbitan ini boleh menggunakan cash in sebagai modus, yang dalam prakteknya bahkan dapat dibuktikan kriminil dan mengangkangi UU No 40/1999 Tentang Pers dan KEJ; masak saya yang tidak melanggar apapun (kecuali menyebabkan ketersinggungan dan sakit hati sejumlah orang di Grup MP) mesti diatur-atur.

Mengherankan, bahkan kuda berkacamata di seantero BMR barangkali mampu melihat rusaknya kebijakan dan praktek jurnalistik di redaksi Radar Totabuan; pula bagaimana sistem yang dibanggakan telah diadopsi media lain di Sulut itu, adalah tindak pemerasan berkedok institusi penerbitan. Cuma Idham Malewa dan segelintir wartawan di Grup MP yang tampaknya masih masyuk dengan imajinasi dan halusinasi bahwa mereka tetap mengkhimati jurnalisme yang semestinya. Jadi, mau pakai kacamata kuda kek, kacamata hitam kek, atau kacamata selam kek, sepanjang yang ditulis berdasar fakta dan bukti, yang keberatan silahkan membantah dengan fakta dan bukti yang lebih sahih.

Bantahan dengan fakta-fakta dan bukti kokoh itu yang justru saya nanti-nantikan. Walau, saya tahu persis, penantian itu bagai ‘’menunggu Godot’’ yang tak pernah tiba.***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

BB: BlakcBerry; BBM: BlackBerry Messenger; BC: Broadcast; bbi: Berita Berbayar Iklan; bbk: Berita Berbayar Koran; BMR: Bolaang Mongondow Raya; Kapolda: Kepala Kepolisian Daerah; Korlip: Koordinator Liputan; MK: Mahkamah Konstitusi; MP: Manado Post; SARA: Suku, Agama, Ras, dan Antar Golongan; SMS: Short Message; Sulut: Sulawesi Utara; dan TKP: Tempat Kejadian Perkara.