Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Tuesday, January 9, 2018

Para Pembual di Sekitar Kita

SENIN selepas magrib, 1 Januari 2018, saya menemani anak-anak yang ingin menonton The Greatest Showman di Premier XXI Mantos. Di bioskop, karena cukup lama menunggu pertunjukan dimulai, kami sekeluarga akhirnya reriungan di lounge.

Meja yang kami tempati berada di tengah, di apit dua meja depan-belakang di sisi jendela dengan pemandangan Teluk Manado dan julangan Manado Tua di kejauhan. Makan dan minuman dipesan dan segera anak-anak tenggelam dengan gadget mereka. Kids zaman now memang bukang gampang, kendati di sekitar suara percakapan berdentang-dentang, terutama dari meja yang tepat berbelakangan dengan anak bungsu saya.

Samar-samar (lagipula untuk apa menguping) saya mendengar enam orang yang menyesaki satu meja itu mempercakapkan sesuatu dengan menyebut-nyebut ‘’Bupati Bolmong’’, ‘’Walikota KK’’, dan ‘’Bupati Boltim’’, lengkap dengan nama depan mereka (Yasti, Tatong, dan Sehan—tanpa didahului ‘’Ibu’’ atau ‘’Bapak’’). Kendati cukup kenal dengan ketiga tokoh publik di BMR itu, saya tak ambil pusing dengan apapun yang terdengar di area publik. Menguping pembicaraan orang, buat saya, tak beda dengan mencopet dompet di angkutan umum.

Tapi, rupanya anak bungsu saya, yang kelihatannya asyik memainkan telepon selularnya, mendengar jelas apa yang dipercakapkan (apalagi dia hanya dipisahkan oleh sandaran kursi dengan majelis yang tengah bercakap). Sebab, setelah beberapa jenak, sambil cengegesan dia mengatakan (dengan menggunakan bahasa Inggris), ‘’Mereka mempercakapkan proyek yang katanya sudah dibicarakan dengan Tante Yasti dan Tante Tatong disaksikan oleh Om Sehan.’’

Apa yang disampaikan anak bungsu saya itu, membuat saya melotot dan mengingatkan dia, bahwa menguping percakapan orang bukan hanya tidak sopan, tetapi sesuatu yang tercela. Tapi dia kemudian mendebat, bahwa orang yang menyampaikan pernyataan itu bicara dengan volume tinggi. ‘’Sekalipun saya tidak ingin menguping, tetap saja terdengar jelas.’’

Anak bungsu saya, yang masih duduk di bangku SMA, barangkali hanya bocah umumnya yang tak ambil pusing dengan politik, kekuasaan, apalagi proyek-proyekan. Namun, mendengarkan (dengan tanpa sengaja) percakapan enam orang yang riuh-reda itu, tak urung dia terkekeh dan menyimpulkan, ‘’Orang yang menyatakan sudah bicara dengan Bupati Bolmong, Walikota KK, dan Bupati Boltim soal proyek itu, pasti cuma membual.’’

Menurut dia, yang memang kerap saya ajak sejak masih duduk di bangku SD bertemu tokoh-tokoh seperti Bupati Yasti, Walikota Tatong, atau Bupati Sehan Lanjar, omongan yang didengar itu tak lebih dari jual kecap ala calo pada bohir yang gampang diakali. ‘’Memangnya Tante Yasti, Tante Tatong, dan Om Eyang segampang itu dijual-jual? ’’ Begitu simpulannya.

Saya, setelah mencermati sosok dan wajah orang-orang itu, juga berakhir pada simpulan yang sama. Saya tak berani mengklaim sangat dekat dengan tiga elit BMR itu. Tapi saya kira tidak mengada-ada bila saya mengaku cukup tahu ketiganya dan lingkaran pergaulannya. Dalam hubungan intensif dengan Bupati Boltim, setidaknya dalam enam-tujuh tahun terakhir; serta Bupati Yasti dan Walikota Tatong yang telah berwindu-windu; sejujurnya saya belum pernah melihat enam orang itu di sekitar mereka.

Maka yang paling masuk akal: orang yang tervokal hari itu tak lain hanya pembual; calo kebablasan; atau sekadar orang yang kenal Bupati Yasti, Walikota Tatong, dan Bupati Sehan, lalu coba-coba memanfaatkan nama mereka untuk sesuatu keuntungan. Orang-orang sejenis ini, di isu dan kasus berbeda, mudah ditemui di sekitar elit politik yang memegang kekuasaan (politik dan eksekutif).

Di lain pihak, kalaupun benar orang tersebut  sudah melakukan pertemuan dengan Bupati Yasti dan Walikota Tatong, disaksikan oleh Bupati Sehan, untuk urusan ‘’membereskan proyek’’, mempercakapkan di tempat umum dengan suara keras adalah sikap haram jadah. Dia terang-terangan mengumumkan betapa gampang tiga elit BMR itu diatur-atur, tak lebih dari boneka yang mudah ditertawai di belakang punggung mereka. Bualan, fiksi atau fakta, sungguh virus berbahaya.

Selain urusan proyek yang didanai APBD, yang memang berada di bawah kewenangan Bupati/Walikota, para ‘’pembual pengaku-ngaku’’ itu biasanya sangat aktif beroperasi ketika ada rencana perubahan dan mutasi jabatan. Saya pribadi punya pengalaman beberapa waktu terakhir tatkala isu mutasi jabatan di lingkungan Pemkab Bolmong menjadi wacana hangat. Tiba-tiba telepon saya rajin dihubungi oleh mereka yang bahkan bukan ASN, menyampaikan basa-basi penuh puja-puji, mengangkat-angkat bahwa saya dekat dengan Bupati Yasti, lalu menitipkan nama yang pantas menjabat di posisi-posisi penting.

Waduh! Ini saatnya bagi saya mengklarifikasi banyak duga-duga, bisik-bisik, dan bualan. Pertama, saya pribadi (dan keluarga) diterima baik di lingkungan Bupati Yasti dan keluarga besarnya. Namun sebatas itu. Tidak lebih dan tidak kurang, terlebih dalam soal politik, wewenang, tanggung jawab, dan kebijakannya sebagai Bupati. Tidaklah mungkin saya, yang bukan staf khusus dan sejenisnya; aktivis partai; apalagi penasihat, melanggar kepatutan dengan mencampuri ketatalaksanaan birokrasi yang ingin dia (dan jajarannya) tegakkan di Bolmong.

Kedua, hubungan pribadi dengan Bupati Yasti—demikian juga dengan elit lainnya--yang sudah terjalin bertahun-tahun adalah pertemanan yang saling respek dan menghargai. Kami tahu persis ‘’mana urusan di laut, mana urusan di darat’’, yang keduanya tak boleh dicampur aduk. Dalam hubungan pribadi yang ‘’tahu diri’’ dan ‘’tahu tempat’’ ini, jika ada diskusi, percakapan, atau tukar pikiran di antara kami, sebatas hal-hal yang bersifat normatif.

Dan ketiga, saya sangat menghormati para elit dan pemimpin di BMR. Rasa hormat itu saya ekspresikan dengan sedapat mungkin mendudukkan mereka di posisi sebagaimana mestinya. Dugaan, bisik-bisikan, dan bualan bahwa orang biasa seperti saya mampu mempengaruhi Bupati Yasti, Walikota Tatong, Bupati Sehan, Bupati Herson Mayulu (Bolsel), apalagi Bupati Depri Pontoh (Bolmut), jelas menghina kewarasan mereka dan akal sehat saya. Memangnya mereka sebegitu bodoh dan naïfnya hingga kebijakan dan putusannya gampang saja dipengaruhi?

Jadi, wahai orang-orang yang berakal sehat, berhentilah percaya pada para pembual yang ujung-ujungnya cuma mempraktekkan modus penipuan. Lihatlah mutasi yang dilaksanakan oleh Bupati Yasti, Jumat, 5 Januari 2018, lalu, dan nilai sendiri: adakah di antara perubahan—promosi dan degradasi—yang dia lakukan dapat diindikasi terpengaruh oleh pihak di luar mereka yang memang berwenang dan bertanggung jawab? Menurut hemat saya, sejauh ini (terlebih karena perubahan kabinet Yasti Soepredjo Mokoagow-Yanny Tuuk ditransparansi jauh-jauh hari) yang tampak dan dipraktekkan adalah pendekatan meritokrasi yang mengedepankan profesionalisme birokrasi dan kompetensi ASN.

Bahkan, bila dicermati lebih jauh, Bupati Yasti dan jajarannya melakukan terobosan dibanding daerah lain di BMR. Sebelum mutasi dilaksanakan, Bupati menginstruksi agar kendis ditarik dari seluruh ASN. Hasilnya, setelah mutasi tidak ada isu kendis yang susah payah—hingga bertahun-tahun—dialihkan karena ditahan dan enggan dikembalikan oleh birokrat yang sebenarnya tak berhak lagi karena pindah jabatan (struktural).

Pengalaman mutasi jabatan di Pemkab Bolmong itu dan ‘’kupingan tanpa sengaja’’ bualan di lounge Premiere XXI Mantos mengkongklusi: suka atau tidak, di sekitar kita memang banyak pembual yang doyan menjual-jual kedekatan dengan para elit politik dan pemerintahan. Percayalah, motif mereka hanya satu: penipuan demi keuntungan pribadi.***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

APBD: Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah; ASN: Aparatur Sipil Negara; BMR: Bolaang Mongondow Raya; Bolmong: Bolaang Mongondow; Bolmut: Bolaang Mongondow Utara; Boltim: Bolaang Mongondow Timur; Bolsel: Bolaang Mongondow Selatan; Kendis: Kendaraan Dinas; KK: Kota Kotamobagu; dan SMA: Sekolah Menengah Atas.

Monday, January 8, 2018

Salut untuk Djelantik Mokodompit!

MASYARAKAT Mongondow, khususnya di BMR, tahu persis: dalam soal politik dan—terutama—jabatan publik (terlebih ketika menjadi Walikota KK 2008-2013), Djelantik Mokodompit dan saya bagai musuh bebuyutan. Hampir tak ada tindakan dan kebijakannya yang luput dari kritikan (bahkan sangat pedas dan sarkas) saya.

Begitu kerapnya saya menulis tentang DjM hingga beberapa karib pernah menanyakan, ‘’Yang Anda lakukan memang karena kepentingan umum atau sudah sentiment pribadi.’’ Pertanyaan ini normatif belaka. Dan jikapun harus dijawab, saya yakin tidak ada yang pribadi antara DjM dan saya. Bukan sebab politik perlu drama; melainkan karena setiap pemimpin yang bertanggung jawab terhadap hajat hidup orang banyak memang mutlak harus dikontrol.

Sama dengan kita—bukan hanya saya—, setidaknya di BMR, harus punya kesadaran berpartisipasi mengontrol para Bupati dan Walikota serta jajarannya di daerah ini. Hanya dengan demikian, politik (dan pemerintahan) benar-benar berada di arasnya sebagai pelayan kemaslahatan dan kemakmuran umum.

Saya membuktikan tak ada yang pribadi atau sentimentsubyektif dengan DjM dengan tak lagi mengusik dia paska digantikan Tatong Bara yang memenangi Pilwako 2013. Memang, sejak menjabat sebagai Walikota 2008-2013, kemudian Wakil Ketua DPRD KK 2014-2019, hampir tak ada persuaan fisik antara saya dengan DJM. Sekalipun KK adalah kota yang relatif kecil dan hampir setiap bulan saya ada di rumah orangtua di Mogolaing (kelurahan di mana DjM juga bermukim), saya hanya melihat dia di Idul Fitri atau Idul Adha. Itupun DjM di deretan VIP di shaf depan, saya (biasanya bersama anak-anak) berada tiga-empat shaf di belakang.

Di lain pihak, saya haqul yakin, DjM tahu persis kritik brutal dan kejam yang kerap saya lontarkan terhadap dia. Tapi, seingat saya, kendati DjM pasti sakit hati (sesuatu yang sangat wajar dan manusiawi), tak pernah ada tindakan (baik langsung maupun lewat pihak lain) yang dia lakukan terhadap saya; juga adik-adik yang kebetulan berprofesi sebagai birokrat dan berada di bawah kekuasaannya di KK.

Sebagai politikus yang sadar terhadap risiko politik dan kekuasaan yang ada di genggaman, dalam pandangan saya, DjM mampu dengan baik mengelolah emosinya. Bahwa merespons frontal, apalagi penuh amarah dan amuk, terhadap ordinary people seperti saya, lebih banyak membawa mudharat ketimbang manfaat. Kritik (bahkan umpatan dan caci) boleh disemburkan setiap saat, tetapi Walikota berhak pula untuk tak ambil pusing.

Dalam posisi yang subyektif saya klasifikasikan berseberangan politik, dengan tak terpancing berkeruh-keruh publik, secara pribadi membuat saya menyimpan respek dan hormat tersendiri terhadap DjM. Dia pribadi yang baik, dengan kelemahan-kelemahan politik dan kekuasaan yang tidak harus dicampur-adukkan dengan penilaian terhadap sosok personalnya.

Sekitar dua bulan lampau, secara tidak sengaja saya melihat DjM berjalan sendiri, agak tergesa, di Mantos. Spontan saya menyambangi, menegur, dan bahkan menemani dia ke salah satu optik untuk memperbaiki kacamata yang tampaknya agak tidak nyaman digunakan.

Pertemuan tak sengaja itu berlanjut dengan ngopi bersama sembari mempercakapkan hal-ihwal politik, termasuk Pilwako KK 2018 dan rencananya kembali menguji pengaruh di kontestasi ini. Kepada DjM, saya menyatakan, bila dia—juga Jainuddin Damopolii dan petahana Walikota, Tatong Bara—mendapatkan dukungan menjadi kandidat Walikota di Pilwako 2018, menang atau kalah sangat ditentukan oleh calon wakil yang digandeng.

Saya menegaskan, kurang lebih, ‘’Pilih wakil yang menambah suara. Bukan yang justru menggerus dukungan.’’ Pendapat ini bukan tanpa alasan. Baik DjM, Jainuddin, maupun Tatong, sudah sangat dikenal di KK dan memiliki modal sosial yang melimpah. Andai mereka bertiga menjadi kandidat Walikota KK 2018-2023, saya menyakini dukungan konstituen tidak akan jauh berbeda. Dan kita bahkan bakal melihat bagaimana dinamisnya swing voters terjadi.

Kontestasi yang seru dan dinamis tentu memberikan pendidikan politik yang meruah untuk masyarakat KK. Karenanya, sekali lagi dengan mempertimbangkan keunggulan-keunggulan nama-nama yang sudah mengemuka berkeinginan bertarung di Pilwako KK 2018, saya menyarankan: ada baiknya DjM mempertimbangkan untuk berpasangan dengan Jainuddin Damopolii. DjM sebagai balon Walikota—sebab UU dan turunannya tidak membolehkan lagi dia turun derajat menjadi Wawali— dan Jainuddin sebagai balon Wawali.

Sekadar ide, usulan itu barangkali realistis. Namun bukankah tidak mudah bagi para ‘’jagoan politik’’ yang masing-masing sudah punya nomor punggung untuk saling mengalah?

Hari ini, Senin, 8 Januari 2018, fakta kontestasi politik Pilwako KK adalah: Jainuddin Damopolii-Suharjo Makalalag maju sebagai balon independen; Tatong Bara-Nayodo Kurniawan turun gelanggang dengan didukung 100% parpol peraih kursi di DPRD KK; dan DjM (sebagai Ketua DPD II PG KK) tereliminasi karena tidak mendapatkan dukungan dari partainya sendiri. Apakah ini ironi? Tidak juga. Politik, bagaimanapun adalah tanjakan, turunan, dan kelokan yang tak terduga dan teramalkan. Anda baru tahu apa yang ada di hadapan ketika ‘’sesuatu itu’’ sudah ada di depan mata. Dalam bentuk hitam di atas putih.

DjM pasti menyimpan kecewa yang sangat ketika mengetahui partainya memilih mendukung Tatong-Nayodo. Sebagai Ketua DPD II PG, warga KK akan memahfumi bila dia memilih tak ikut serta mendaftarkan pasangan yang didukung partainya ke KPU. Namun yang dia pertunjukkan hari ini adalah kebesaran hati: DjM hadir, mendampingi, dan menandatangani pendaftaran Tatong-Nayodo. Dia sukses memkompromikan kekalahan dari Tatong Bara di Pilwako 2013, kegagalan mendapatkan mandat partainya di Pilwako 2018 ini, dan—barangkali—patah hati politik dari kader yang semestinya sudah membuktikan dedikasi dan loyalitas total.

Politik ada medan yang kejam dan brutal. Hanya mereka yang memiliki jiwa lapang yang mampu tetap tegak dan tersenyum, kendati berulang kali terpukul (atau dipukul) jatuh. DjM membuktikan dia tak hanya politikus piawai yang kenyang asam gunung dan garam lautan, tetapi juga pribadi yang—dalam konteks Pilwako KK 2018—patut mendapat hormat tinggi.

Maka, izinkan saya menyampaikan: Salut sepenuh hati dan tulus dari saya, untuk Anda, Bung DjM!

Senyampang dengan dua jempol untuk DjM, saya juga menyesali tak hadirnya Ketua DPD PAN KK, Jainuddin Damopolii, bersama petinggi parpol pendukung Tatong Bara-Nayodo Kurniawan di KPU KK. Membaca pemberitaan media, yang mengesankan Tatong-Nayodo sebagai pasangan yang didukung PAN KK sama sekali tak berkomunikasi dengan Ketua DPD-nya, saya dapat memahami mengapa Jainuddin engan menunaikan tugasnya.

Namun, jika dilihat dalam perspektif politik yang lebih subtil, sebagai pesaing independen dari Tatong-Nayodo, jika Jainuddin hadir (tanpa perlu diminta) dan membubuhkan tanda tangannya, dia sesungguhnya mendapatkan keuntungan berlimpah. Publik akan menilai tindakannya lebih dari kebesaran hati. Orang banyak bakal mempersepsi dia bukan hanya pesaing yang gagah dan gentle, tetapi juga orang tua yang lebih matang dan bijaksana dibanding ‘’anak-anak kemarin sore’’ seperti Tatong-Nayodo.

Hadir, mengantar, dan mengabsahkan pendaftaran Tatong-Nayodo menempatkan Jainuddin pada posisi yang mau tak mau mendulang simpati dan empati para pemilih. Politikus yang sadar dan awas tahu persis: tak ada magnet politik yang lebih kuat menarik para pemilih untuk tak ragu menjatuhkan pilihannya kecuali simpati dan empati yang tulus dan tanpa syarat.

Sayang Jainuddin melewatkan momen emas itu. Saya berharap, di saat jeda dan teduh, tatkala merenungkan kembali langkah, strategi, dan, dan taktik politiknya di Pilwako KK 2018 ini, Jainuddin tidak akan menyesali keabaiannya.***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

Balon: Bakal Calon; BMR: Bolaang Mongondow Raya; DPD: Dewan Pimpinan Daerah; DPRD: Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; DjM: Djelantik Mokodompit; KK: Kota Kotamobagu; KPU: Komisi Pemilihan Umum; Mantos: Manado Town Square; PAN: Partai Amanat Nasional; Parpol: Partai Politik; PG: Partai Golkar; Pilwako: Pemilihan Walikota (dan Wakil Walikota); UU: Undang-undang; VIP: Very Important Person; dan Wawali: Wakil Walikota.

Sunday, January 7, 2018

Memborong Dukungan Parpol


SITUS berita kroniktotabuan.com, Sabtu, 6 Januari 2018, memajang unggahan Besok Sembilan Partai Deklarasikan Tatong-Nayodo (https://kroniktotabuan.com/besok-sembilan-partai-deklarasikan-tatong-nayodo/). Sembilan yang dimaksud adalah delapan parpol yang memiliki kursi di DPRD KK (PAN, PG, PDIP, PD, Gerindra, Hanura, PKS, dan PKB) ditambah Nasdem yang pertama kali ikut Pemilu pada 2014 dan belum beroleh kursi di KK.

Dukungan Sembilan partai terhadap Tatong Bara-Nayodo Kurniawan sebagai balon Walikota-Wawali menjadikan mereka satu-satunya pasangan yang sudah pasti bertarung di Pilwako KK 2018. Apalagi proses vermin dan verfak pasangan balon independen, Jainuddin Damopolii-Suharjo Makalalag, yang telah lebih dahulu mendaftar menghasilkan banyak temuan yang mengancam keikutsertaan mereka ke tahap berikut Pilwako.

Mendapatkan dukungan independen di Pilkada (provinsi dan kabupaten/kota) sesungguhnya perkara gampang-gampang sulit. Tergantung pada jumlah penduduk, khususnya pemilih dalam DPT. Semakin besar jumlah pemilih dalam DPT, tingkat kesulitan mengumpulkan dukungan kian tinggi. Di KK, dengan jumlah pemilih (sesuai data terakhir, Pilgub 2015) sebanyak 86.808, diperlukan minimal 8.681 dukungan sah—serta tersebar merata di seluruh daerah pemilihan—untuk balon independen di Pilwako 2018.

Dalam skala politik, 8.681 dukungan relatif kecil. Jika dikonversi ke perolehan kursi di DPRD KK, cukup tiga kursi dengan rata-rata 3.000 suara per kursi. Namun masalahnya menjadi tidak sederhana karena setiap dukungan yang diberikan untuk calon independen harus diperoleh atas kerelaan dan persetujuan individu pendukung.

Kerelaan dan persetujuan inilah yang sedang jadi masalah untuk pasangan Jainuddin-Suharjo, setidaknya demikian fakta-fakta yang mengemuka dalam proses verfak yang dilaksanakan KPU KK. Alhasil, selain secara administratif pasangan ini kekurangan 72 dukungan (dan harus disempurnakan dengan menambah dua kali lipat), faktualnya dukungan yang mereka genggam belum tentu solid.

Itu sebabnya, menurut hemat saya, klaim dan ‘’kampanye’’ (terutama dari para pendukung dan simpatisan) bahwa Jainuddin-Suharjo adalah ‘’pilihan rakyat’’—tinggal lantik jo—hanya bertumpu pada cara pikir ‘’otak dikit’’. Sama dengan menyatakan bahwa parpol pemilik kursi di DPRD KK tidak pilih oleh rakyat (barangkali yang memilih mereka adalah mangkubi dan puntianak); dan bahwa pengurus parpol dan wakil mereka di DPRD bukanlah bagian dari rakyat dan masyarakat KK.

Klaim dan ‘’kampanye’’ yang terlalu pede dan menghina nalar umum itu memang menjengkelkan: kalau Anda goblok dan baru bisa A-B-C-D politik, ya, mohon jangan mengajari publik yang sudah khatam A hingga Z. Tolong tutup mulut rapat-rapat dan ikat jari-jemari saja. Membuat gaduh, khususnya di media sosial, cuma menunjukkan para pelakunya semata sekelas (meminjam istilah yang dipopulerkan seorang kawan, Geiz Chalifah) ‘’kecebong kebun’’.

Salah satu sesumbar, tudingan, dan tuduhan setara pengetahuan ‘’kecebong kebun’’ adalah soal dukungan seluruh parpol pemilik kursi di DPRD KK terhadap pasangan Tatong-Nayodo. Tidak sekali-dua saya membaca komentar—atau tepatnya sinisme dan insinuasi—, bahwa pasangan ini sedang memborong dukungan parpol. Bahwa (dan cara pikir ini yang sangat gawat) dukungan 100% dari parpol pemilik kursi di DPRD KK terhadap pasangan balon Walikota-Wawali di Pilwako 2018 adalah ‘’kematian demokrasi’’ di kota ini.

Orang yang berpikiran demikian, terlebih mengkampanyekannya, jelas sejenis makluk yang bisa baca-tulis dan bersuara tetapi tak cukup bersekolah. Memangnya jika 100% parpol yang punya kursi di DPRD KK mendukung satu pasang balon, lalu ada UU dan turunannya di negeri ini yang dilanggar? Ada praktek politik dan demokrasi yang dikangkangi? Apa bedanya bentuk dukungan itu dengan pemilihan aklamasi yang banyak kita praktekkan? Demokrasi mana yang dilanggar dan dibunuh?

Di atas semua itu, aspek terpenting dari kontestasi politik seperti Pilkada adalah: Apa pra syarat dan syarat yang ditetapkan oleh parpol untuk memberikan dukungannya terhadap individu/pasangan politikus? Apakah pra syarat dan syarat itu sesuai kehendak dan keinginan konstituennya?

Di KK, parpol yang sadar terhadap posisinya sebagai saluran politik orang banyak, tentu tidak akan mengorbankan visi, misi, dan cita-cita jangka panjangnya hanya karena salah pilih balon Walikota-Wawali. Menduga, terlebih menuduh, parpol-parpol pemilik kursi di DPRD KK menetapkan dukungan terhadap Tatong-Nayodo bukan berdasar alasan politik paling rasional, adalah penistaan yang keterlaluan; atau lebih buruk lagi tak lain bentuk penyebaran kebencian yang terencana.

Kontestasi politik semacam Pilwako, bagi masyarakat KK yang relatif cukup maju cara pikir dan praktek berdemokrasinya, selayaknya adalah sebuah pesta yang lebih dari sekadar kuat-kuatan pengaruh. Dia mesti menjadi wacana dan praktek mencerdaskan umum. Bahwa Pilwako bukan terminal akhir pengujian kinerja dan citra; melainkan proses panjang penyiapan generasi ke generasi pemimpin dengan rekam jejak dan reputasi teruji.

Tanpa bermaksud melebih-lebihkan, saya berpendapat, dukungan 100% dari parpol-parpol pemilik kursi di DPRD KK terhadap Tatong-Nayodo di Pilwako 2018, telah mencerminkan keawasan terhadap regenerasi kepemimpinan yang diharapkan di BMR. Tatong, dengan usia di kisaran 50 tahunan dan Nayodo sekitar pertengahan 40 tahunan, menunjukkan adalah regenerasi dan bahwa generasi saat ini cocok dengan tantangan yang dihadapi KK khususnya dan Indonesia umumnya.

Dan memang, sudah waktunya yang tua-tua dan seharusnya telah puas dengan kekuasaan (politik), minggir dari arena. Sebab, sekalipun ambisi boleh saja tak ada batasnya, tapi tahu diri dan tahu era semestinya perlu dipertimbangkan oleh para generasi tua yang masih maniso tertatih-tatih tak berhenti dengan kehausannya terhadap kekuasaan.

Lebih banyak mudaratnya, pribadi dan publik, jika seorang politikus tua kalah di kontestasi politik, apalagi jika di saat yang sama dia masih berada di puncak karir; ketimbang mundur dengan dada dan kepala tegak sembari mempersilahkan generasi lebih muda dan telah siap mengambil alih urusan dan hajat hidup orang banyak. Tersungkur dalam politik di usia muda hanya menunda pesta. Kalah di usia tua, berakhir tak lebih dari tiang bendera yang patah. Sekadar jadi hiasan museum ingatan.***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:
Balon: Bakal Calon; DPRD: Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; DPT: Daftar Pemilih Tetap; Gerindra: Gerakan Indonesia Raya; Hanura: Hati Nurani Rakyat; KK: Kota Kotamobagu; KPU: Komisi Pemilihan Umum; Nasdem: Nasional Demokrat; PAN: Partai Amanat Nasional; Parpol: Partai Politik; PD: Partai Demokrat; Pemilu: Pemilihan Umum; PG: Partai Golkar; Pilgub: Pemilihan Gubernur (dan Wakil Gubernur); Pilkada: Pemilihan Kepala Daerah; Pilwako: Pemilihan Walikota (dan Wakil Walikota); PKB: Partai Kebangkitan Bangsa; PKS: Partai Keadilan Sejahtera: Verfak: Verifikasi Faktual; Vermin: Verifikasi Administrasi; dan Wawali: Wakil Walikota.

Tuesday, January 2, 2018

‘’Babarani Ngoni’’ di Pilkada yang Bermartabat

MENUDUH pihak lawan curang sembari memainkan drama teraniaya masih jadi modus populer kontestasi politik di Indonesia. Calon yang babak-belur dicurangi dan terseok-seok akibat aniaya (politik), memang mudah mengundang iba dan simpati konstituen yang akhirnya tanpa ragu menjatuhkan pilihannya.

Konon, strategi didzolimi itu efektif membawa Susilo Bambang Yudhoyono terpilih sebagai Presiden RI ke-6 di Pemilu 2004. Padahal ketika itu dia berhadapan dengan petahana, Megawati Soekarno Putri, didukung PDIP yang tengah kuat-kuatnya, sementara PD yang mengusung SBY adalah partai ‘’new kids on the block’’.

Saya perhatikan, modus yang sama (lawan curang dan drama didzolimi) juga mengemuka sebagai strategi sejak KPU KK memulai tahapan pendaftaran balon independen di Pilwako 2018, kemudian vermin, dan terakhir verfak. Mula-mula ditiupkan isu ‘’Pilkada yang bermartabat’’, ‘’calon pilihan rakyat’’, dan balon independen sudah mengantongi tak kurang 15 ribu dukungan—hampir dua kali lipat syarat yang ditetapkan KPU.

Pesan yang dikandung tiga isu itu terang-benderang. Balon independen ini adalah politikus hebat sebab berani memainkan ‘’politik bersih’’ sesuai keinginan dan pilihan rakyat, dibuktikan dengan dukungan melimpah. Secara tidak langsung, isu yang diusung juga memberi pesan sebagai antitesa terhadap calon usungan parpol yang patut dicurigai kurang/tidak bermartabat, bukan pilihan (langsung) rakyat, dan hanya mendapat dukungan representasi.

Harus diakui ‘’kampanye’’ awal itu efektif dan menyihir. Terlebih dikipas-kipasi bisik-bisik kencang bahwa ada balon lain yang dengan segala berupaya memborong dukungan parpol (seolah mendapatkan dukungan parpol yang solid ada langkah tercela). Maka, hampir seluruh elemen politik, sosial, dan masyarakat di KK majal kritis dan kritik ketika tiga hari sebelum pendaftaran dilakukan balon independen Walikota ber-zigzag politik mengubah balon Wawalinya. Apalagi kemudian jumlah dukungan yang disetorkan ternyata jauh dari angka 10.000 formulir dan tanda tangan.

Warga KK yang agak sadar situasi paling-paling membathin: oh, yang dikisaran 5.000-an (sebagaimana klaim 15.000 yang lalu lalang di media) barangkali hasil jerih payah balon Wawali—dan timnya—yang batal digandeng. Maka sepantasnyalah angka dukungan berkurang. Hampir tak ada yang mempertanyakan kecepatan kilat mendapatkan 10.000-an formulir dukungan dan KTP sebagai lampirannya dari pasangan balon yang mendadak disandingkan. Nanti yang mempertanyakan bisa-bisa dituding ‘’tidak bermartabat’’, ‘’bukan rakyat’’, atau lebih celaka lagi dicap ‘’antek kekuasan’’ dan ‘’curang’’.

Benar saja. Saat vermin berlangsung, suara-suara bahwa ada ‘’invisible hand’’ yang berupaya menghalangi balon independen mulai digulir. Tuduhan yang cuma klaim dan duga-duga spekulatif ini kian keras digaungkan saat verfak berlangsung.

‘’Katanya’’—saya menyebut ‘’katanya’’ karena klaim dan tuduhan itu lebih banyak dilontar anonim di media sosial—ada upaya menggagalkan balon independen dengan ancaman membatalkan program sosial bagi penerima yang memberikan dukungan; ada ASN yang menekan para pengisi formulir KWK dan penyumbang KTP dengan aneka ancaman; bahkan ada mobilisasi penarikan dukungan yang sudah diberikan.

Kartu terniaya (politik) akibat kedzoliman kekuasaan sudah dimainkan. Pertanyaannya: kekuasaan yang mana? Pihak mana yang berupaya menghalangi balon independen itu? Memangnya di tahap saat ini sudah ada balon yang diusung parpol? Siapa pasangan itu?

Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa setidaknya ada tiga tokoh politik yang secara terbuka menyatakan keinginan menjadi kontestan Pilwako KK 2018: petahana Walikota Tatong Bara; petahana Wawali yang juga Ketua DPD PAN KK, Jainuddin Damopolii, yang berkeinginan naik kelas jadi Walikota; dan mantan Walikota yang kini Wakil Ketua DPRD KK, Djelantik Mokodompit, yang ingin menjajal kembali ‘’kesaktian politiknya’’. Dengan posisi publik yang ada di tangan, ketiganya punya cukup kekuasaan untuk cawe-cawe mempengaruhi konstelasi dan konstituen politik di KK.

Jadi siapa yang dimaksud dengan ‘’invisible hand’’ dan kekuasaan di balik upaya menjegal balon independen? Tatong Bara yang ‘’dengar-dengar’’ sudah mengantongi dukungan cukup dari parpol atau Djelantik Mokodompit yang haqul yakin bakal diusung PG—terlebih dia adalah Ketua DPD II PG KK?

Bagaimana kalau dibalik, tidakkah ada ‘’invisible hand’’ yang mendorong majunya Jainuddin Damopolii dan Suharjo Makalalag? Apakah ‘’tangan-tangan gaib’’ dan ‘’kekuasaan’’ yang menyodorkan mereka tak lain cukong yang konon memberikan jaminan ada Rp 20 miliar (rumor ini sudah menjadi bual-bual santapan setiap hari di banyak kelompok masyarakat KK) yang siap digunakan memenangi Pilwako KK 2018?

Cermati saja: sejak Pilwako KK 2018 mulai diperbincangkan, Suharjo sama sekali tak terdengar geliatnya. Tidak pula ada sedikit aksi yang menunjukkan pendekatan sebagai calon independen, apalagi lewat parpol. Karenanya, jangan salahkan kalau kemudian rumor sokongan cukong senilai Rp 20 miliar itu layak dipercaya. Walau, memang tidak ada yang salah jika ada pihak yang menyokong kandidat di Pilkada, sepanjang itu bukan jual-beli kepentingan publik.

Siapapun pasti bersedia mendadak balon independen Walikota-Wawali jika diberi segepok duit yang siap digunakan. Hepeng sebanyak Rp 20 miliar bisa untuk apa saja, termasuk membuat hijau mata dan hati para pemilih, bahkan tidak tertutup kemungkinan penyelenggara Pilkada yang silau sogokan.

Itu sebabnya, menduga-duga (apalagi menuduh) dua tokoh ini, Tatong dan Djelantik, di belakang kesulitan yang dihadapi balon independen, adalah cari perkara serius. Lagipula, jika klaim dan tuduhan didzolimi itu benar adanya, apa sulitnya mengumpulkan bukti dan melaporkan ke pihak berwajib dan berwenang? Langkah ini bukan hanya membuat Pilwako KK 2018 menjadi sangat bermartabat, tetapi juga kampanye gratis yang sangat menguntungkan balon independen.

Buat saya, kalau 15.000 dukungan (tanda tangan dan KTP) bisa dikumpul, tentu cemen belaka membuktikan memang ada ancaman dan tekanan terhadap para pendukung. Membuat gaduh dengan merengek-rengek seperti kucing terjepit cuma menimbulkan syak: buruk wajah kok cermin yang dibelah.

Faktanya, sebagaimana yang diunggah situs berita kroniktotabuan.com, Kamis, 28 Desember 2017, Ini Temuan Panwascam Selama Proses Verifikasi Faktual (https://kroniktotabuan.com/ini-temuan-panwascam-selama-proses-verifikasi-faktual/), dalam proses verfak ditemukan berbakul-bakul tindakkan tidak bermartabat dari balon independen dan bahkan KPU KK serta organ-organ di bawahnya. Situs ini merinci temuan itu mencakup: pencaplokan KTP warga; penandatanganan dukungan dilakukan satu orang saja dalam satu keluarga; pemalsuan tanda tangan warga; menghilangkan barang bukti dukungan; verifikasi lewat video call tanpa surat keterangan; PPS tidak membawa B1.KWK perseorangan untuk diperlihatkan kepada masyarakat yang dikunjungi; NIK ganda; PNS masuk B1.KWK; PPS tidak menulis data lengkap warga di formulir kunjungan; PPS memasukkan hasil verfikasi faktual melewati batas waktu ditentukan; laporan warga verifikasi tidak dilakukan sesuai aturan; menarik dukungan karena pasangan calon tidak sesuai saat didata; dan warga tidak dikunjungi tetapi dinyatakan memenuhi syarat.

Babarani ngoni bekeng rupa-rupa, kang? Padahal katanya Pilwako 2018 ini bermartabat dengan calon (independen) yang didukung rakyat.

Jadi siapakah yang sebenarnya tidak bermartabat, curang, dan dzolim dalam proses Pilwako KK, setidaknya hingga tahap pleno verfak yang sudah dilaksanakan Jumat, 29 Desember 2017, lalu? Tidak perlu akal dan kewarasan tingkat dewa untuk mengkongklusi jawabannya. Tidak pula perlu hati malaikat untuk tahu bahwa isu teraniaya cuma jualan politik murahan, sebab memang demikianlah adanya.***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

ASN: Aparatur Sipil Negara; Balon: Bakal Calon; DPD: Dewan Pengurus Daerah; DPRD: Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; KK: Kota Kotamobagu; KPU: Komisi Pemilihan Umum; KTP: Kartu Tanda Penduduk; NIK: Nomor Induk Kependudukan; PAN: Partai Amanat Nasional; Panwascam: Panitia Pengawas Kecamatan; Parpol: Partai Politik; PD: Partai Demokrat; PDIP: Partai Demokrasi  Indonesia Perjuangan; Pemilu: Pemilihan Umum; PG: Partai Golkar; Pilkada: Pemilihan Kepala Daerah; Pilwako: Pemilihan Walikota (dan Wakil Walikota); PPS: Panitia Pemugutan Suara; RI: Republik Indonesia; SBY: Susilo Bambang Yudhoyono; Verfak: Verifikasi Faktuan; Vermin: Verifikasi Administrasi; dan Wawali: Wakil Walikota.