Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Wednesday, October 2, 2013

‘’Storit’’, ‘’Storis’’, dan Sebagainya


BAHASA menunjukkan bangsa. Dari bahasa kita menakar siapa, apa, dan bagaimana penggunanya. Di blog Tesamoko (http://blog.tesaurusindonesia.com/2011/03/bahasa-menunjukkan-bangsa/), penulis Tesaurus Bahasa Indonesia (Gramedia Pustaka Utama, 2006), Eko Endarmoko, menulis peribahasa ini ‘’mengandung arti perangai dan tutur kata menunjukkan tabiat seseorang. Tetapi bisa juga berarti baik-buruk kelakuan, menunjukkan tinggi-rendah asal atau keturunan seseorang.’’

Di tulisan ini saya tak akan mengacu pada pengertian seserius yang dikedepankan Eko Endarmoko. Dunia yang telah jadi datar seperti kata Thomas L Friedman (2005), segala yang sebelumnya sederhana dan niscaya dengan cepat berubah menjadi kompleks dan rumit, termasuk penggunaan bahasa yang melintasi sekat bangsa dan negara, etnis, hingga strata sosial.

Menelan mentah-mentah pengandaian yang berakar jauh ke belakang, ke masa ketika ketata-laksanaan bahasa melekat bersama latar belakang, status sosial atau pendidikan, membuat kita ‘’gila’’ (misalnya) ketika mendengar ocehan Vicky Prasetyo yang kodang diolok dengan Vickynisasi. Kita bakal dibingungkan apakah Vicky seorang jenius atau idiot sok tahu; cermin dia berpendidikan tinggi atau justru otaknya tak diasupi apa-apa semasa sekolah; datang dari keluarga high class atau sebaliknya; atau digampangkan dengan simpulan memang demikian bahasa yang umum digunakan di Planet Jupiter.

Media dan ekspresi komunikasi modern melahirkan dan memompa aneka ide (atau kengawuran baru) berbahasa. Ada yang akhirnya memperkaya kosakata resmi kita; sekadar cetusan yang menjadi trend sesaat lalu hilang digulung waktu; atau diperlakukan sebagai lelucon karena sepenuhnya salah konteks. Kata ‘’mantan’’ misalnya, awalnya hanya digunakan oleh kalangan media, yang akhirnya populer dan menjadi bagian dari komunikasi keseharian. Tetapi bagaimana dengan ‘’kece’’ untuk menggabarkan ketampanan atau kecantikan? Masih adakah yang menggunakan?

Akan halnya urusan kengawuran, di beberapa kalangan di Mongondow kata ‘’disnifikan’’ dan ‘’check up’’ sempat populer sebagai lelucon ketika dalam beberapa kesempatan digunakan oleh seorang politisi. Masalahnya, ‘’disnifikan’’ dia ucapkan takkala ingin menegaskan penting dan mustahaknya sesuatu yang sedang dibahas. Dengan kata lain harusnya kata yang tepat adalah ‘’signifikan’’. Pun ‘’check up’’ yang salah guna karena yang bersangkutan ternyata ‘’check in’’ di front desk salah satu maskapai penerbangan di bandara.  Dan misal yang lebih lengkap dan sedang jadi perhatian, ya, apalagi kalau bukan ‘’bahasa luar angkasa’’ dari Vicky Prasetyo.

Tapi akan kemanakah sebenarnya tulisan ini pergi? Saya toh bukan guru bahasa Indonesia (apalagi Inggris dan bahasa asing lain yang rumitnya minta ampun). Tulisan-tulisan saya pun masih kerap terantuk salah kata, utamanya karena proses pengetikan yang terburu-buru dan mata yang kian rabun. Kecuali, di satu artikel di blog ini yang memang dengan sengaja sebuah kata dituliskan tidak sebagaimana mestinya (Nyali Hemaprodit ‘’Daong Lemong’’, Selasa, 29 Mei 2012). Kata yang benar adalah ‘’hermaprodit’’ (sebagai peng-Indonesia-an dari ‘’hermaphrodite’’) dan kesengajaan penggunaan kata yang salah (hemaprodit) ini saya ungkap kemudian di tulisan Bibit Korup Intelektual ‘’Kudul’’ (1), Jumat, 1 Juni 2012.

Dengan memohon maaf pada Harian Radar Bolmong (juga kebanyakan media lain di Sulut), saya yakin berita bertajuk Pentingnya Cool Storit  di halaman Boltim, Selasa, 1 Oktober 2013, bukanlah kekeliruan yang disengaja. Wartawan yang menulis dan menjuduli beritanya dengan ‘’cool storit’’, redaktur yang memeriksa, dan seluruh awak yang mengurusi proses hingga koran siap cetak, memang tidak tahu dan tidak mau mencari tahu apakah kata yang dituliskan sudah benar dan tepat konteks.

Kengawuran bahasa yang berserak di media-media di Sulut, bukan hanya Radar Bolmong, sungguh memprihatinkan. Setelah menyimak beritanya, bahwa demi mencegah kerugian akibat produksi holtikultura yang melimpah, Pemkab Boltim berencana membangun ‘’cool storit’’ di Kecamatan Modayag, saya menyimpulkan bahwa yang dimaksud adalah ‘’cool storage’’ atau ‘’wahana/tempat penyimpanan berpendingin’’. Sekalipun begitu, dengan prasangka baik saya tetap menelisik apakah ada kata ‘’storit’’ yang dikenal dalam perbendaharaan bahasa Inggris (mengingat ‘’cool’’ tentu dirujuk dari bahasa ini). Ternyata ada, tetapi itu nama sebuah perusahaan, Stor-It, yang menjajakan storage unit atau unit penyimpanan (gudang sewaan).

Apakah mungkin ‘’cool storit’’ yang dijadikan judul dan berulangkali dikutip di tubuh berita berarti ‘’cool storage unit’’? Oh, kalau begitu yang dimaksud oleh wartawan yang menulis adalah lemari es atawa kulkas, sebab ‘’unit’’ dalam bahasa Inggris berarti ‘’satuan’’. Jadi, Pemkab Boltim akan membangun pabrik pembuatan lemari es di Kecamatan Modayag?

Andai demikian adanya, kita semua patut bahagia. Namun, bagaimana dengan ‘’cool storis’’, yang juga pernah digunakan harian ini ketika masih bernama Radar Totabuan, 2012 lalu, saat menulis kelebihan produksi perikanan di Bolsel? Hingga pegal mengutak-ngatik kamus, cetak dan elektronik, saya tak menemukan satupun pengertian ‘’storis’’. Yang ada adalah ‘’stories’’, yang bila dipandankan dengan ‘’cool’’ berarti ‘’cerita yang keren’’. Rupanya kelebihan produksi perikanan di Bolsel adalah ‘’cerita yang keren’’.

Bingung-bingung penggunaan bahasa yang sama saya sua di berita lain di Radar Bolmong edisi online, Pendaftaran Student Idol Sampai 5 Oktober (http://www.radarbolmong.com/read/3352/pendaftaran-student-idol-sampai-5-oktober.html), Senin, 30 September 2013. ‘’Student Idol’’ (Idola Pelajar/Mahasiswa) atau ‘’Students Idol’’ (Pelajar/Mahasiswa Idola)? Kita semua tahu pengertian ‘’idola pelajar/mahasiswa’’ dan ‘’pelajar/mahasiswa idola’’ sama sekali berbeda. Sekali lagi, bila dicermati lebih saksama, konteks yang dimaksudkan oleh berita ini tak lain ‘’pelajar/mahasiswa idola’’, bukan ‘’idola pelajar/mahasiswa’’.

Menggunakan bahasa Inggris dalam proses komunikasi, baik tertulis maupun verbal, sepintas sangat keren. Seolah-olah dengan demikian komunikator yang bersangkutan ada di level yang lebih luas dari sekadar wilayah Mongondow, Sulut, bahkan Indonesia. Seolah-olah, merujuk kasus berbahasa yang sedang dibahas, ‘’wahana pendingin’’ sebagai padanan ‘’cool storage’’ dan ‘’pelajar/mahasiswa idola’’ kalah kelas dan tidak gaul dibanding ‘’Students Idol’’.

Nah, sebelum saya ikut-ikutan ngawur, sebaiknya urusan penggunaan kata dan istilah ngawur ini kita sudahi saja. Saya juga tak ingin bermasalah dengan Radar Bolmong. Bersilang-selisih dengan media dan pengelolanya biasanya berdampak buruk. Syukur-syukur hanya di-persona non grata-kan dari pemberitaan, bukan dikorek-korek dan dijadikan obyek publikasi buruk.***