Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Tuesday, May 6, 2014

Satpol PP atau Pasukan Laksamana Jenderal Aladeen?

FOTO yang menyertai berita penangkapan 10 siswa salah satu SMK di KK oleh Satpol PP, yang dirilis Kontra Online (http://kontraonline.com/2014/05/santai-hirup-ehabond-10-siswa-smk-dibekuk-pol-pp/) dan totabuan. co (http://totabuan.co/2014/05/hirup-ehabond-10-pelajar-smk-diamankan-pol-pp/), Senin, 5 Mei 2014,  agak membingungkan saya. Aparat yang disebut Satpol PP KK tampak mengenakan seragam biru gelap, mirip uniform lapangan Brimob atau Dokpol.

Masing-masing ditajuki Santai Hidup Ehabond, 10 Siswa SMK Dibekuk Pol-PP dan Hirup Ehabond, 10 Pelajar SMK Diamankan Pol PP, dua berita ini mengungkap fakta peristiwanya tanpa menyisakan keraguan. Dengan kata lain, aparat berpakaian biru gelap yang memergoki siswa-siswa pembolos dan penghidu bahan perekat itu pasti bukan dari salah satu satuan elit Kepolisian RI. Apa kata dunia bila Brimob ikut-ikut merazia sekadar murid yang ngacir dari sekolahnya?

Tapi kalau Satpol PP, kok seragamnya begitu? Berdasar Permendagri Nomor 19 Tahun 2013, tertanggal 11 Februari 2013, Tentang Pedoman Pakaian Dinas, Perlengkapan dan Peralatan Operasional Satuan Polisi Pamong Praja, ada lima jenis pakaian untuk Satpol PP: PDH, PDL, PDU, PDPP, dan PDTI. Sepesifikasinya disebutkan berwarna khaki tua kehijau-hijauan, jenis bahan driil atau 100% katun (cotton), dengan kode warna EMD-1910 Satuan Polisi Pamong Praja.

Demi menghindari duga-duga yang beranak-pinak keliru, saya mengontak beberapa kawan, termasuk para pewarta yang sehari-hari bertugas di KK. Mereka membenarkan aparat yang mejeng di foto publikasi Kontra Online dan totabuan.co adalah Satpol PP. Salah seorang wartawan, entah sekadar bercanda atau benar-benar serius, menjelaskan seragam biru tua itu dikenakan anggota Satpol PP KK yang  bertugas di bagian operasi. ‘’Dorang itu noh depe pasukan pemukul.’’

Kawan yang lain punya cerita yang lebih lengkap, jauh ke belakang di era kepemimpinan Ny Marlina Moha-Siahaan sebagai Bupati Bolmong. Ketika itu, entah mendapat ilham dan wangsit dari situs wingit mana, Satpol PP mendadak diberi seragam yang identik dengan Brimop serta mengenakan baret biru khas PM. Akibat menggunakan sesuatu yang bukan hak, di salah satu upacara peringatan hari besar nasional, Komandan PM menegur keras dan meminta Satpol PP yang mengenakan segera mencopot baret biru itu.

Lagi-lagi, entah fakta atau cuma bumbu cerita, tercetus saat itu tokoh ajaib per-Satpol PP-an di Bolmong saat ini, Linda Lahamesang, sudah wara-wiri dan punya peran signifikan. Badut ini lagi? Kepala Satpol PP Bolmong yang Jumat, 25 April 2014, saya cemooh (Ironi Don Quixote dan Sancho Panza di Bolmong) karena mengiringi sidak Bupati Salihi Mokodongan dengan mengenakan pakaian lapangan bermotif loreng Kopasus.

Setelah mengunggah tulisan yang menyoroti sepak-terjang dan ‘’keajaiban’’ ulah Linda Lahamesang itu, saya menerima sejumlah komentar dan foto lagak-lakunya sebagai Kepala Satpol PP. Bagaimana dia dengan sesuka hati berdandan mirip sosok tiran dari Republik Wadiya, Laksamana Jenderal Aladeen, yang diperankan komedian Sacha Baron Cohen di film The Dictator (2012). Bahkan, dalam banyak takaran, kadar kegilaan Linda tanpaknya lebih hebat dari Aladeen. Karenanya dia barangkali pantas menyandang Laksamana Komodor Jenderal atau apapun gelar yang tepat menggambarkan skala gangguan kejiwaannya.

Tapi mungkinkah kegilaan menular? Saya tidak punya pengetahuan memadai ihwal ilmu jiwa, tetapi yang saya tahu –di banyak kasus-- histeria mudah menular. Contohnya, kerasukan berombongan yang kerap terjadi di negeri ini, oleh beberapa pakar kejiwaan didiagnosis sebagai histeria massal dan bukan akibat kerasukan setan belang iseng. Tapi demi keamanan lahir-bathin, dalam urusan histeria ini, saya memilih netral. Yang melibatkan psikiater berarti ilmiah dan masuk akal; sedang yang memerlukan campur tangan doa dan jampi-jampi mari kita limpahkan ke tangan Pak Ustadz dan dukun.

Di manakah konteks Satpol PP KK yang berseragam di luar legalitasnya itu diletakkan? Menurut saya perkaranya tidaklah rumit. Para Kepala Daerah di empat Kabupaten/Kota di Bolmong Raya memang belum memberikan perhatian memadai (atau justru mengabaikan) penegakkan aturan dan disiplin di kalangan PNS. Faktornya bisa bermacam-macam. Karena menerima warisan praktek yang sudah berurat-berakar (dugaan saya Satpol PP KK adalah salah satunya); alpa mengikuti UU baru dan turunannya; atau karena bawahan memang sengaja berlaku ‘’semau gue’’ seperti kasus Kepala Satpol PP Bolmong.

Dua faktor pertama mudah diubah. Tidak demikian dengan faktor ketiga yang memerlukan lebih dari sekadar pendisiplinan dalam bentuk peringatan resmi dan evaluasi kondite. PNS di eselon tertentu, yang alih-alih jadi contoh baik justru memelopori pengerusakan aturan dan disiplin, sebaiknya dicopot dan dididik ulang hingga kewarasannya kembali. Bila perlu wajib menjalani terapi di RS Ratumbuysang.

Kembali pada seragam Satpol PP KK, saya berharap Walikota, Tatong Bara, dan Wawali, Jainuddin Damopolii, segera mengambil langkah tegas menertibkan pelanggaran itu. Mumpung pasangan ini baru beberapa bulan menduduki jabatannya. Terlebih Satpol PP adalah garda depan penegakan aturan dan disiplin birokrasi serta aspek-aspek lain yang berada di lingkup Pemkot (termasuk Perda).

Selain seragam sesuka tafsir sendiri, yang cukup mengganggu dari pemberitaan dan foto razia Satpol PP KK di Kontra Online dan totabuan.co adalah ‘’pembinaan’’ (jalan jongkok) terhadap 10 pelajar yang kepergok bolos dan ber-ehabond itu. Batok Kepala Satpol PP dan angota-anggotanya yang melakukan ‘’pembinaan’’ itu pantas di tempeleng. Apa hak mereka? Di manakah terdapat aturan yang membolehkan Satpol PP ‘’membina’’ pelajar yang bolos dan menghirup ehabond dengan cara seperti itu?

‘’Pembinaan’’ itu boleh dibilang bentuk kesewenang-wenangan keterlaluan dari aparat yang merasa dirinya polisi sekaligus jaksa dan hakim. Mengamankan pelajar yang ketahuan berleha-leha di luar sekolah saat jam belajar barangkali diatur di Perda KK. Atau minimal Perda yang mengatur ketertiban dan kenyamanan umum. Tapi melakukan ‘’pembinaan’’, kalau yang terkena razia masyarakat umum, tugasnya –setahu saya—ada di lingkup dinas atau bagian yang mengurusi Kesra. Akan halnya anak sekolah, menjadi yuridiksi institusi tempat mereka belajar atau Dinas Pendidikan.

Dengan tetap menghormati dan mengapresiasi dedikasi Satpol PP KK pada kewajiban dan tugas yang mereka emban, konklusi saya adalah: Satuan ini perlu sungguh-sungguh ditertibkan dan dididik kembali. Setidaknya agar mereka paham Satpol PP bukanlah alat tiran seperti pasukan Laksamana Jenderal Aladeen atau tentara komik Jenderal Naga Bonar (1987) yang boleh berlaku sesukanya, sesuai selera dan menu sarapan komandannya.***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

Bolmong: Bolaang Mongondow; Brimob: Brigade Mobil; Dokpol: kedokteran Kepolisian; Kesra: Kesejahteraan Rakyat; KK: Kota Kotamobagu; Kopasus: Komando Pasukan Khusus; Perda: Peraturan Daerah; PDH: Pakaian Dinas Harian; PDL: Pakaian Dinas Lapangan; PDPP: Pakaian Dinas Petugas Pataka; PDPTI: Pakaian Dinas Petugas Tindak Internal; PDU: Pakaian Dinas Upacara; Permendagri: Peraturan Menteri Dalam Negeri; PM: Polisi Militer; PNS: Pegawai Negeri Sipil; PP: Pamong Praja; RS: Rumah Sakit; Satpol: Satuan Polisi; Sidak: Inspeksi Mendadak; SMK: Sekolah Menengah Kejuruan; PP: Polisi Pamong; dan Wawali: Wakil Walikota.