Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Thursday, May 15, 2014

PG yang Linglung dan KPU Goblok

PLENO Penetapan Caleg Terpilih oleh KPU Kabupaten Bolmong di BPU Lobong, Senin (13 Mei 2014) yang dilanjutkan Selasa (14 Mei 2014), dari kejauhan saya ikuti dengan bingung. Terlebih yang menjadi isu utama (dan membuat pleno berlarut-larut) adalah permintaan PG agar KPU tidak menetapkan dua Calegnya yang meraih suara terbanyak sebagai anggota DPR Bolmong.

PG Bolmong tampaknya ingin mengulang sejarah Pemilu 2009, yang ketika itu sukses menggagalkan pelantikan salah seorang Caleg terpilihnya. Belakangan, Caleg yang dijegal itu justru berkibar di partai lain, bahkan menjadi salah satu politisi yang memegang posisi publik signifikan di Bolmong Raya.

Tapi apa duduk-soal berkaitan dengan permintaan supaya Caleg PG Dapil 5 dan 6, Robbi Giroth dan I Ketut Sukadi, tak ditetapkan sebagai anggota DPR Bolmong 2014-2019? Apakah urusannya semata terkait dengan PD2LT yang sifatnya internal PG atau yang lebih gawat karena dua Caleg ini melakukan pelanggaran UU dan turunannya?

Jauh sebelum pleno KPU, di Kontra Online (http://kontraonline.com/2014/04/caleg-pg-peraih-suara-terbanyak-terancam-tak-dilantik/), Kamis (24 April 2014), saya membaca pernyataan Sekretaris PG Bolmong, Widi Mokoginta, tentang sanksi yang bakal dijatuhkan pada Caleg yang tidak sejalan dengan kebijakan partai. Menurut Widi, indikator yang digunakan adalah PD2LT.

Penggunaan PD2LT itu kian jelas setelah saya menyimak lintasbmr.com (http://lintasbmr.com/kata-widi-mokoginta-soal-caleg-pg-yang-dinilai-bermasalah/), Kamis (15 Mei 2014), yang juga mengutip Widi Mokoginta. Walau, situs berita ini juga tidak secara tegas menyatakan PG menganulir Robbi Giroth dan I Ketut Sukadi karena keduanya melanggar etika internal. Pokoknya, sesuai dengan permintaan PG, lengkap dengan surat resmi partai ke KPU Bolmong, dua Caleg ini tidak boleh ditetapkan sebagai anggota DPR terpilih.

Permintaan PG itu didukung komisioner KPU Bolmong, Isnaidin Mamonto, Lili Mahmuda, dan Deadels Sombowadile, yang sempat menolak menanda-tangani hasil pleno. Mengutip Isnaidin, Rabu (14 Mei 2014), totabuan.co (http://totabuan.co/2014/05/berita-acara-pleno-penetapan-caleg-terpilih-bolmong-pakai-catatan/) menulis, dasar yang digunakan para komisioner yang mengakomodasi permintaan PG adalah pasal 50 dan 53 Peraturan KPU Nomor 29 Tahun 2013 Tentang Penetapan Hasil Pemilian Umum, Perolehan Kursi, Calon Terpilih dan Penggantian Calon Terpilih Dalam Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.

Mengikuti Pemilu, mencalonkan kader sebagai anggota DPR, Bupati, Walikota, Gubernur, bahkan Presiden, adalah hak Parpol. Demikian pula dengan penggantian kader yang terpilih (khususnya) sebagai anggota DPR. Namun penerapan hak ini juga tidak dengan sesuka hati, sebab UU dan turunannya mengatur pula pra syarat, syarat, dan tata caranya. Dengan memahami PG adalah partai tua yang khatam seluk-beluk aturan, etika, dan kepantasan politik, apa yang terjadi selama pleno Penetapan Caleg Terpilih KPU Bolmong adalah pertontonan kelinglungan pengurusnya.

Mari kita gunakan standar yang sama sebagai penakar, yaitu Peraturan KPU No. 29/2013. Pasal 41, Ayat (1) menyatakan:  Penetapan calon terpilih anggota DPRD Kabupaten/Kota didasarkan atas perolehan kursi Partai Politik dan Suara Sah nama calon yang tercantum dalam DCT Anggota DPRD Kabupaten/Kota di setiap daerah pemilihan. Serta Ayat (2), Penetapan calon terpilih Anggota DPRD Kabupaten/Kota di setiap daerah pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), didasarkan atas peringkat Suara Sah terbanyak  pertama, kedua, ketiga dan seterusnya yang diperoleh setiap calon Anggota DPRD Kabupaten/Kota sesuai perolehan kursi Partai Politik pada daerah pemilihan yang bersangkutan.

Sebagai satu kesatuan utuh, Peraturan KPU itu harus rujuk komprehensif. Di Pasal 44, Ayat (1) diatur siapa saja yang hadir di penetapan calon terpilih DPRD Kabupaten/Kota dan Ayat (2) tentang keberatan yang diajukan saksi, Panwaslu Kabupaten/Kota, dan undangan lain, yang harus dilakukan melalui Panwaslu Kabupaten/Kota. Syaratnya, pengajuan keberatan dapat dilakukan bila calon terpilih tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Lebih penting lagi, sebagaimana yang diatur Ayat (4), pernyataan keberatan tak boleh menghalangi proses penetapan calon terpilih.

Apa yang dilakukan PG Bolmong adalah menghalangi proses yang seharusnya dilaksanakan oleh KPU, yang sesungguhnya tergolong tindak pidana Pemilu. Terlebih bukti-bukti yang diajukan sama sekali tidak relevan dengan syarat sebagaimana yang dicantumkan di Peraturan KPU No 29/2013. Informasi valid yang saya terima menunjukkan, permintaan PG didasarkan pada surat kesediaan PAW dari dua Caleg yang dipersoalkan itu.

Tak mengada-ada bila kita patut menduga, tiga anggota KPU yang mati-matian mengakomodasi permintaan tidak menetapkan dua Caleg terpilih itu, tak netral dan ‘’main mata’’ dengan PG Bolmong. Janji apa yang mereka terima? Berapa harga ketidak-netralan itu? Paling buruk lagi, pantaskah mereka menjadi anggota KPU sementara aturan yang terang-benderang, tak perlu penjelasan dan tafsir, dengan sengaja tampak diupayakan ditelikung?

Pasal 50 yang dijadikan alasan, setidaknya dari pernyataan anggota KPU, Isnaidin Mamonto, terdiri dari dua ayat. Masing-masing, Ayat (1), Penggantian calon terpilih Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota dilakukan, apabila calon terpilih: a. meninggal dunia; b. mengundurkan diri; c. tidak lagi memenuhi syarat untuk menjadi Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota; d. terbukti melakukan tindak pidana Pemilu berupa politik uang atau pemalsuan dokumen berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; dan Ayat (2), Penggantian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disertai dengan bukti surat keterangan.

Sedang Pasal 53, yang juga terdiri dari dua ayat, menyebutkan: Ayat (1)Bagi calon terpilih anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota yang telah ditetapkan dengan Keputusan KPU, KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) huruf b, maka keputusan penetapan yang bersangkutan batal demi hukum; serta Ayat (2), KPU, KPU Provinsi, atau KPU Kabupaten/Kota menetapkan calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota sebagai pengganti calon terpilih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan Keputusan KPU, KPU Provinsi, atau KPU Kabupaten/Kota.

Mengedepankan Pasal 50 dan 53 saja tanpa merujuk Pasal 51 dan 52 adalah perbuatan semena-mena dan jahat. Pasal 51 yang terdiri dari lima ayat mengatur dengan tegas syarat-syarat seorang Caleg terpilih tak dapat ditetapkan menjadi Anggora DPR; dan karenanya boleh diganti. Akan halnya Pasal 52 yang terdiri dari enam ayat, menjelaskan batas waktu, proses, dan tata cara penggantian Caleg terpilih.

Di bagian manakah pasal demi pasal, ayat ke ayat di Peraturan KPU No 29/2013 yang sulit dimengerti tiga anggota KPU yang sempat membuat pleno penetapan Caleg terpilih DPR Bolmong molor hingga dua hari? Apapun alasannya, sebab ada agenda bengkok tersembunyi atau semata memang terlampau goblok memahami hal sederhana, KPU Sulut wajib memeriksa tiga anggota KPU Bolmong itu. Lebih baik lagi bila ketiganya dicopot dan diganti dengan orang lain yang lebih kompeten serta –terutama— independen dan netral.

Kekonyolan selama pleno penetapan Caleg terpilih yang dipertontonkan, diliput dan ditulis media, sudah cukup membuat kita patut was-was terhadap komitmen mereka menjadi penyelenggara demokrasi yang adil dan bermartabat. Terlebih KPU Bolmong saat ini masih akan mengurusi Pilpres dan Pilkada 2016 mendatang.***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

Bolmong: Bolaang Mongondow; BPU: Balai Pertemuan Umum; Caleg: Calon Legislatif; DCT: Daftar Calon Tetap; DPR: Dewan Perwakilan Rakyat; DPRD: Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; KPU: Komisi Pemilihan Umum; Parpol: Partai Politik; PAW: Pergantian Antar Waktu; PD2LT: Profesional, Dedikasi, Disiplin, Loyalitas, dan Tidak Tercela; Pemilu: Pemilihan Umum; PG: Partai Golkar; Pilkada: Pemilihan Kepala Daerah; dan Pilpres: Pemilihan Presiden.