Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Monday, April 1, 2013

‘’Yey Ganggu, Eyke Pletuk”


MEMBELA Ayu Basalamah yang dianiaya oknum-oknum over acting di sekitar Bupati Bolaang Mongondow Timur (Boltim), Sehan Lanjar, mulanya saya duga bakal menimbulkan antipati. Namun yang terjadi justru sebaliknya. Banyak orang, dari berbagai latar dan usia (juga orientasi seksual), belakangan secara terbuka turut serta menyampaikan dukungan agar Ayu pantang surut menuntut keadilan.

Saya berkeyakinan Bupati Boltim (karib yang saya sapa penuh akrab dengan ‘’Eyang’’) sama sekali tak terlibat, apalagi memerintahkan penganiayaan yang membuat ayu termehek-mehek itu. Satu-satunya dugaan yang dapat dikenakan pada Eyang adalah ‘’pembiaran’’ terjadinya tindak pidana di depan mata. Lainnya, hukum sosial dan budaya Mongondow karena sebagai tuan rumah dia tak mampu menjamin kenyamanan dan keselamatan tamu.

Bagaimana pun penganiyaan yang dialami Ayu terjadi setelah dia bertamu (lepas dari posisinya yang terpaksa) ke kediaman Eyang. Pelakunya pun terbeber dan diketahui orang banyak sebagai orang-orang yang berada di bawah kekuasaan, pengaruh, bahkan dekat secara kekerabatan dengan Eyang.

Tidak ada alasan bagi Eyang, tokoh yang kini menjadi salah satu bright star di Mongondow, membiarkan dan menganggap mala yang menimpa Ayu sebagai ‘’satu peristiwa di antara banyak kejadian’’ yang setiap hari berkelindang di sekitarnya. Yang akan lalu bersama angin.

Tuntutan yang sama juga dialamatkan ke Kapolres Bolaang Mongondow (Bolmong), AKBP Hisar Siallagan, dan jajarannya (bahkan ke Kapolda Sulut), mengingat salah satu terduga pelaku utama kebiadaban itu adalah anggota polisi aktif. Citra polisi di Indonesia sudah compang-camping tak karuan. Saya tahu, Kapolres lebih dari khatam memahami situasi ini dan tak berkeinginan menambah panjang daftar cemooh untuk korps-nya.

Langkah penyelesaian yang mengedepankan keadilan yang dikontribusikan Eyang (selain karena dia ikut terseret, juga tersebab locus delicti peristiwa ada di bawah juridiksinya) dan Kapolres, akan membantu warga Mongondow menjaga kepercayaan terhadap kebijaksanaan para pemimpin dan konsistennya penegakan hukum. Orang banyak, khususnya komunitas yang kini gigih berempati terhadap Ayu, pasti menghadiahkan ‘’cubitan paling sayang’’ pada dua tokoh ini.

Pada Ayu pribadi, yang kini ketakutan, bingung, hilang akal dihantui bakal terjadi lagi peristiwa yang sama, pengobatan fisik (termasuk memeriksakan kesehatan kepala dan isinya yang boleh jadi bergoyang parah karena hantaman pukulan)  tidaklah cukup. Dia perlu jaminan psikis bahwa pihak-pihak yang bertanggungjawab dan berwenang tak lepas tangan.

Jangan dilupakan, dari aspek moral Eyang memikul tanggungjawab memastikan fisik dan psikis Ayu kembali seperti sedia kala sebelum nahas itu ditimpahkan padanya. Terhadap pengungsi banjir Manado pada Februari 2013 lalu saja Eyang berinisiatif mengirim Mobile Medical Centre (MMC), ikhlas menyingsingkan lengan baju, hadir di tengah mereka, masak sih dia mengabaikan kemasalahatan Ayu (yang warga Mongondow) di jangka panjang. Membawa Ayu ke fasilitas kesehatan modern, di Jakarta sekali pun, menurut hemat saya akan dilakukan Eyang. Dalam waktu dekat begitu dia berkesempatan.

***

Solidaritas terhadap Ayu telah menjalar, tak terhentikan. Akhir pekan lalu saya mendengar sejumlah pengacara di Kotamobagu mempersiapkan diri mendampingi bila tuntutan keadilan dari Ayu disandung pengaruh kekuasaan; atau terindikasi polisi tak serius menindak-lanjuti.

Beberapa tokoh lain (ada yang bahkan secara pribadi dekat dengan Eyang), bersetuju mendukung proses penyelesaian kasus penganiayaan itu, termasuk dengan mengkontribusikan biaya kalau-kalau diperlukan ahli hukum yang dianggap sangat handal dari Manado atau Jakarta. Tidak demi menyerang atau menciderai reputasi Eyang, tetapi justru untuk mendukung agar dia tetap menjadi tokoh yang diharapkan warga Mongondow kini dan nanti.

Setiap kerikil dalam sepatu mesti segera disingkirkan. Kasus Ayu tak hanya kerikil, tetapi sudah menjadi duri di jempol kaki Eyang. Saya pribadi tak ingin masalah (yang tak kecil) ini akhirnya menjadi ganjalan yang berulang-ulang dibangkitkan setiap kali Eyang tampil dengan ide atau prestasi jempolan.

Demonstrasi yang dilakukan komunitas wanita-pria(waria) di Kotamobagu hari ini (Senin, 1 April 2013) bukanlah April mop. Dari gambar-gambar yang saya terima, mereka menuntut kasus Ayu ditindak-janjuti sesegera mungkin dan seadil-adilnya. Aksi ini tak boleh dipandang sebelah mata, sebab mereka tidak akan berhenti. Komunitas ini, yang biasanya diam dan hanya bertekun dengan kepiawaian mereka (utamanya di sektor kecantikan dan makanan), amat sohor kegigihannya. Mereka dikenal pantang mundur dalam memperjuangkan sesuatu, terlebih itu terkait dengan nasibnya.

Berkaca dari negara semaju Amerika Serikat (AS), komunitas ini bukan hanya menjadi penentu trend mode atau beberapa perilaku sosial, tetapi juga politik dalam konteks yang luas. Ini dibuktikan dengan lobi komunitas waria, lesbian, dan gay yang membuat semua kandidat Presiden di Pemilu AS harus cermat memperhitungkan pendekatan yang tepat terhadap mereka

Saya belum mampu mengukur seberapa besar pengaruh sosial dan politik Ayu dan komunitasnya di Mongondow. Yang dapat saya konklusi adalah, demo yang mereka gelar baru pemanasan. Terbuka kemungkinan seratusan pendemo yang ambil bagian hari ini bakal menjadi beratus-ratus di demo berikutnya dan ribuan di demo selanjutnya.

Pembaca, Anda tentu dapat membayangkan bila Ayu dan seluruh anggota komunitasnya merasa tidak ditanggapi dan diakomodasi aspirasi mereka, turun ke jalan ternyata tidak efektif, lalu mereka ramai-ramai berhenti bergiat di bidang yang digeluti. Kemana Ibu Bupati Boltim, Umi Siwin, Ibu Kapolres, dan ibu-ibu pejabat lainnya cream bath, menata rambut, manicure, pedicure, dan sebagainya?

Celutukan salah satu pendemo yang tiba di telepon genggam saya, yang mengatakan ‘’Yey ganggu, eyke pletuk’’ bukanlah ancaman kosong. Semut pun akan menggigit kalau diperlakukan semena-mena, apalagi komunitas yang umumnya secara ekonomi (salah satu aspek paling fundamental manusia modern) tergolong kaum mandiri.

Eyang, Kapolres Bolmong, dan kita semua tentu tak ingin Ayu dan komunitasnya mengubah demo jadi mogok kerja massal, lalu ibu, istri-istri, adik dan kakak, serta sahabat perempuan kita tampak kumal karena terpaksa setiap hari cuma berdandan seadanya. Kalau ini sampai terjadi, pasti polisi bakal menerima banyak pengaduan dari kaum pria karena jadi korban penganiayaan para wanita; dan Eyang serta Kapolres mungkin bakal menghadapi pula aksi mogok dari istri mereka.***