Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Friday, December 23, 2016

Kasus Cabul di Polres Bolmong: Ulur-ulur dan Akhirnya Kurang Bukti?

HEBAT benar jajaran Reskrim Polres Bolmong. Jumat, 23 Desember 2016, dugaan pencabulan dengan kekerasan yang dilakukan Kabid di Dinas PU dan Ketua KNPI KK yang telah dimantankan oleh Pemkot dan organisasinya, telah menginjak hari ke 25 sejak kejadiannya berlangsung dan dilaporkan. Hasil penyidikan polisi sejauh ini konsisten: tidak jelas!

Kabar terakhir sebagaimana dilansir totabuanews.com (https://totabuanews.com/2016/12/perkara-kasus-asoi-bakal-digelar-di-polda-sulut), gelar perkara keduanya (yang pertama sudah dilaksanakan sebelum penyidikan dimulai) akan dilaksanakan di Polda Sulut. Kapan waktunya? ''Tinggal menunggu waktu,'' tulis situs berita ini mengutip Kasat Reskrim, AKP Anak Agung Gede Wibowo Sitepu.

Sembari menunggu waktu yang tak pasti kapan itu (padahal tak kurang Presiden Joko Widodo sendiri menegaskan kasus yang korbannya anak-anak adalah kejahatan luar biasa, karenanya mesti ditangani dengan cara luar biasa pula), publik yang dijamin haknya oleh Peraturan Kapolri No. 14/2012 Tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana, berhak tahu perkembangannya. Kilahan Kasat Reskrim yang itu-itu juga, ''Kasus ini sementara diproses'', lama-kelamaan terasa seperti mantra palsu tukang jual obat di tengah keramaian pasar.

Pergaulan bertahun-tahun di macam-macam tempat dan strata masyarakat, dari zaman sekolah, jadi jurnalis, lalu ganti profesi ke sektor bisnis, membawa saya terbiasa dengan orang-orang dari aneka pekerjaan. Termasuk para polisi. Ada teman polisi yang dekat sejak masa SD dan SMP, salah satunya seorang perwira menengah di Polres Bolmong yang sebenarnya lucunya minta ampun (makanya, ketika dia jadi polisi, saya terheran-heran: rupanya bisa tegas juga kawan satu ini? Dan ternyata memang demikian). Ada pula kawan yang hubungannya terjalin sebab hobi, kawan dari kawan, pula sebab hubungan pekerjaan. Mereka mulai dari bintara lulusan baru hingga yang bintang di pundaknya cukup bikin kelilipan.

Berkarib dengan polisi membawa pencerahan buat saya: sungguh takut melanggar hukum, bahkan sekadar tak mematuhi marka jalan dan lampu lalu lintas. Bukankah sungguh memalukan jika kawan sendiri yang terpaksa menulis surat tilang atau lebih sial jadi pemeriksa dan menatap dengan tak mengerti bercampur iba, ''Kok Anda sih?''

Tapi banyak pula berkah punya segudang karib polisi. Salah satunya konsultasi gratis kasus dan tindak pidana, termasuk ketika mengemukanya dugaan cabul dengan kekerasan (oleh oknum ASN elite KK yang juga tokoh organisasi kepemudaan dengan korban siswi PSG) yang kini jadi sorotan umum di BMR. Sewaktu peristiwanya dilaporkan ke Polres Bolmong, tanpa menyebut siapa terduga pelaku, korban, maupun tempat kejadiannya, saya sempat bertanya pada seorang kawan polisi: apakah dengan bukti-bukti yang ada kasusnya cukup kuat? Sebab saya bertanya pada polisi yang makan asam garam Reskrim, jawabannya tak perlu ditebak. Pendek saja dia menegaskan, ''Ya!''

Memang. Apa susahnya menyidik sebuah kasus yang terang-benderang. Kejadiannya di jam kantor, melibatkan oknum ASN dengan korban siswi PSG yang ditempatkan di kantornya. Ada saksi, ada visum et repertum, ada petunjuk dan bukti lain, termasuk uang yang diberikan paksa oleh terduga pelaku. Bahkan bila penyidik dan atasannya (dalam hal ini Kasat Reskrim) cukup ilmu, mereka tentu tak pura-pura meluputkan ada barang bukti lain seperti mobil yang digunakan dan petunjuk semacam: usai menurunkan terduga korban di salah satu ruas jalan di kelurahan tempat tinggalnya, berada di manakah oknum (mantan) Kabid najis itu? Dengan siapa dia ketika itu? Apa yang dilakukan dan dibicarakan?

Kasat Reskrim dan penyidik PPA di Polres Bolmong barangkali terlampau menyepelekan pengetahuan orang banyak (khususnya) di KK terhadap kasus itu. Asal tahu saja, belum sepekan setelah dilaporkan ke polisi, detil-detil perkara ini sudah lalu-lalang dan dibicarakan secara terbuka. Termasuk bagaimana mobil yang digunakan membawa siswi berusia 16 tahun itu ''dibersihkan'' dengan mengelupas kaca film yang sebelumnya gelap, pula bagaimana oknum mesum itu bersembunyi di rumah salah seorang aktivis politik KK hingga malam tiba. Menghilangnya terduga pelaku antara sekitar pukul 14.00 hingga 20.00 Wita adalah ''golden period'' yang seolah-olah diluputkan oleh polisi.

Periksa saja tuan rumah yang tak pernah berpikir kediamannya bakal jadi tempat ngumpet terduga cabul. Saya yakin, sebagai petunjuk, polisi bakal mendapatkan cerita yang mengkonfirmasi kebenaran terjadinya peristiwa tak senonoh itu. Sebab sedikit-banyak saya tahu profil penyidik yang menangani kasusnya, saya berkeyakinan ilmu menyidik tingkat dasar ini khatam mereka kuasai. Tapi mengapa kasusnya malah terulur-ulur dan meleber kemana-mana?

Di atas penyidik Unit PPA ada Kasat Reskrim. Dengan berhati-hati dan takut jadi fitnah atau pencemaran nama baik, barangkali ada baiknya saya menginformasikan pada AKP Anak Agung Gede Wibowo Sitepu, di setiap percakapan tentang dugaan pencabulan dengan kekerasan oleh oknum (mantan) Kabid itu, namanya selalu disebut dengan sinisme. Orang-orang yang dengan cermat mengikuti proses penyidikan kasus ini, bahkan tidak segan lagi mengatakan, ''Kasat pasti main mata dengan terduga.''

Demi nama baik Satuan Reskrim Polres Bolmong dan terutama Kasat AKP Anak Agung Gede Wibowo Sitepu, selayaknya polisi menyeriusi bisik-bisik semacam itu. Sebab, tak ada asap tanpa api. Tidak pula mungkin polisi melarang publik menafsir perkembangan bakal dilakukannya gelar perkara kasus dugaan pencabulan itu di Polda Sulut. Bahwa, sebagai sebuah proses, omong kosong belaka gelar perkara (khusus) ini dilaksanakan karena Polres Bolmong ingin memastikan kelayakan dan keabsahan penyidikan, saksi, dan bukti-buktinya.

Dari pengalaman panjang, baik sebagai terperiksa (untunglah kasus-kasus yang melibatkan saya, dulu, umumnya cuma karena kenakalan mengorganisasi massa dan unjuk rasa) maupun sebab bergaul dekat dengan kalangan polisi, gelar perkara (khusus) untuk kasus yang tergolong mudah, biasanya dilaksanakan karena para ''dewa di tingkat lebih tinggi'' melihat, mendengar, atau mengetahui ada kejanggalan yang terjadi. Dengan kata lain, ada seseorang dengan wewenang lebih tinggi yang sebenarnya memerintahkan jajaran Polres Bolmong untuk melaksanakan gelar perkara di Polda Sulut.

Dugaan terbaik saya, jika tak ada gelar perkara (khusus) itu, skenario yang paling mungkin adalah: tampaknya setelah penyidikannya diulur-ulur, terduga pelaku diberi privilege seolah sulit disentuh tangan hukum, langkah berikut Reskrim Polres Bolmong adalah mengumumkan penyidikan perkaranya dihentikan karena kurang bukti. Atau, penyidikannya dibuat terus-menerus berputar-putar dan akhirnya masyarakat lupa, media bosan, korban dan keluarganya juga capek lalu ujung-ujungnya cuma bisa pasrah bongkokan.

Kurang bukti? Jelas tidak! Diulur-ulur? Pasti. Dengan efektif dan efisien pula, sampai-sampai di hari ke 25 sejak dilaporkan ke Polres Bolmong perkembangan penyidikannya hampir sesenyap kuburan di malam Jumat.

Modus ulur-ulur lalu kurang bukti atau dibiarkan hingga semua orang (termasuk korban) bosan menindaklanjuti, bukan hal baru di lingkungan Polres Bolmong. Salah satu kasus, berkaitan dengan KDRT (psikologis), yang setahu saya tak jelas ujung-pangkal penyidikannya adalah yang melibatkan Sekretaris KNPI KK (ketika itu menduduki jabatan Sekretaris Panwas KK) saat ini. Benarkah info ini? Kasat AKP Anak Agung Gede Wibowo Sitepu tentu bisa membenarkan atau sebaliknya membantah tegas dengan bukti perkembangan hasil penyidikannya, termasuk membeber berapa lama prosesnya berlangsung.

Masyarakat KK dan BMR umumnya, lebih khusus lagi kaum perempuan di bawah umur, menaruh harapan besar pada gelar perkara (khusus) kasus dugaan pencabulan oleh terduga (mantan) Kabid ''gabet'' yang akan dilaksanakan di Polda Sulut. Mudah-mudahan, karena kasusnya seterang siang bolong di musim kemarau, harapan ini tidak dikempiskan dengan aneka alasan tak masuk akal. Kecuali jika polisi lebih suka orang banyak mulai memilih hukum rimba ketimbang hukum formal.***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

AKP: Ajun Komisaris Polisi; ASN: Aparatur Sipil Negara; BMR: Bolaang Mongondow Raya; Bolmong: Bolaang Mongondow; Kabid: Kepala Bidang; Kapolri: Kepala Kepolisian Republik Indonesia; Kasat: Kepala Satuan; KDRT: Kekerasan Dalam Rumah Tangga; KK: Kota Kotamobagu; KNPI: Komite Nasional Pemuda Indonesia; Panwas: Panitia Pengawas (Pemilihan Umum); Pemkot: Pemerintah Kota; Polda: Kepolisian Daerah; Polres: Kepolisian Resor; PPA: Perlindungan Perempuan dan Anak; PSG: Praktik Sistem Ganda; PU: Pekerjaan Umum; Reskrim: Reserse Kriminal; SD: Sekolah Dasar; SMP: Sekolah Menengah Pertama; Sulut: Sulawesi Utara; dan Wita: Waktu Indonesia Tengah

Wednesday, December 21, 2016

Tersangka yang Entah di Polres Bolmong dan Sigapnya Polsek Urban Bolaang Uki Menyingkap Kasus Cabul

MENJELANG tengah malam, Selasa, 20 Desember 2016, saya mendapat informasi situs berita mongondow.co baru mengunggah perkembangan terkini penyidikan kasus dugaan pencabulan dengan kekerasan oleh oknum (mantan) Kabid di Dinas PU dan (mantan) Ketua KNPI KK. Sumber yang dikutip adalah Kasat Reskrim Polres Bolmong, AKP Anak Agung Gede Wibowo Sitepu.

Setelah belakangan sulit ditemui dan dimintai konfirmasi oleh para pewarta, akhirnya Kasat Reskrim kembali bersuara. Sayangnya mudah diduga dan normatif belaka, sebab substansinya masih sama: penyidikan kasus dengan korban seorang siswi PSG yang baru berusia 16 tahun itu boleh dibilang jalan di tempat. ''Kasus  ini dalam proses. Kita akan gelarkan perkaranya di Polda,'' kutip mongondow.co.

Dalam pemberitaan Kasat Reskrim juga mengemukakan, ''Biar saja Polres terkesan lambat. Yang penting penangananya sesuai dengan aturan.'' Dia juga mengungkap, isu yang melibatkan terduga seorang ASN dengan jabatan ''cukup stratagis''(sebelum dicopot) serta tokoh organisasi kepemudaan ini, sudah jadi ''kasus atensi''. Menjadi perhatian umum dan menyangkut anak-anak.

Untunglah polisi punya Peraturan Kapolri No. 14/2012 Tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana yang menjamin hak orang banyak mengetahui perkembangan penyidikan sebuah perkara. Pasal 3 peraturan ini antara lain menegaskan prinsip-prinsip: (e) transparan, yaitu proses penyelidikan dan penyidikan dilakukan secara terbuka yang dapat diketahui perkembangan penanganannya oleh masyarakat; 
(f) akuntabel, yaitu proses penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan dapat dipertanggungjawabkan; dan 
(g) efektif dan efisien, yaitu penyidikan dilakukan secara cepat, tepat, murah, dan tuntas. 


Sejauh ini, kasus dugaan pencabulan dengan kekerasan yang telah dilaporkan ke Polres Bolmong pada Selasa, 29 November 2016, itu tetap jadi sorotan publik di BMR. Jika mulanya karena terduga yang terlibat adalah ''tokoh'', setidaknya dalam pekan terakhir isunya bergeser pada lambatnya penanganan aparat di Polres Bolmong. Padahal, sebagaimana Pasal 17, ayat (4), Peraturan Kapolri, dalam melaksanakan penyidikan polisi membagi perkara menjadi empat tingkat kesulitan berdasar kriteria: perkara mudah; perkara sedang; perkara sulit; dan perkara sangat sulit.

Pertanyaannya, berdasar fakta-fakta yang kini diketahui publik, masuk kriteria manakah kasus dugaan pencabulan itu? Pasal 18, ayat (1) peraturan yang sama menyebutkan, kriteria sebuah perkara masuk kategori mudah antaranya: saksi cukup; alat bukti cukup; tersangka sudah diketahui atau ditangkap; dan proses penanganan relatif cepat. Sedang ayat (2) menjelaskan kriteria perkara sedang antaranya: saksi cukup; terdapat barang bukti petunjuk yang mengarah keterlibatan tersangka; 
identitas dan keberadaan tersangka sudah diketahui dan mudah ditangkap; tersangka tidak merupakan bagian dari pelaku kejahatan terorganisir; 
tersangka tidak terganggu kondisi kesehatannya; dan 
tidak diperlukan keterangan ahli, namun apabila diperlukan ahli mudah didapatkan.

Merujuk Pasal 18 Peraturan Kapolri No. 14/2012, dengan bukti-bukti yang sudah terbeber, dugaan pencabulan dengan kekerasan itu sebenarnya masuk kategori ''perkara mudah''. Atau, dengan memahami kebanyakan terduga bakal mati-matian berkilah (apalagi kalau yang bersangkutan punya jabatan, uang, dan gerombolan pendukung die hard), dengan baik sangka kita upgrade dan klasifikasikan kasusnya menjadi ''perkara sedang''.

Namun, tetap dengan berpedoman pada Peraturan Kapolri, Pasal 19 menyatakan penanganan perkara sesuai kriteria Ayat 4, Pasal 17 ditentukan sebagai berikut: a. tingkat Mabes Polri dan Polda menangani perkara sulit dan sangat sulit; b. tingkat Polres menangani perkara mudah, sedang dan sulit; dan c. tingkat Polsek menangani perkara mudah dan sedang. Tahulah kita, bahkan jika dugaan pencabulan dengan terduga oknum (mantan) Kabid di Dinas PU dan (mantan) Ketua KNPI KK masuk kategori ''perkara sulit'', wewenangnya masih tetap berada di bawah tanggung jawab tingkat polres.

Bagaimana dengan gelar perkara? Pasal 15 Peraturan Kapolri itu menyebutkan, gelar perkara adalah salah satu tahap dari proses penyidikan. Pelaksanaannya, menurut Pasal 69, dengan cara: a. gelar perkara biasa; dan b. gelar perkara khusus.; kemudian Pasal 70, Ayat (1), Gelar perkara biasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 huruf a, dilaksanakan pada tahap: a. awal proses penyidikan; b. pertengahan proses penyidikan; dan c. akhir proses penyidikan.

Dari pernyataan Kasat Reskrim Polres Bolmong (''menjadi perhatian umum dan menyangkut anak-anak''), gelar perkara kasus dugaan pencabulan dengan kekerasan yang kini ditangani pihaknya dan akan dilaksanakan di Polda Sulut, semestinya masuk kategori khusus. Kekhususan ini paling tidak sesuai Poin a, Ayat (1), Pasal 71 Peraturan Kapolri, yang menyebutkan, (Gelar perkara khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 huruf b, bertujuan untuk:) ''merespons laporan/pengaduan atau komplain dari pihak yang berperkara atau penasihat hukumnya setelah ada perintah dari atasan penyidik selaku penyidik''; serta Poin b, Ayat (2), (Gelar perkara khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan terhadap kasus-kasus tertentu dengan pertimbangan:) ''menjadi perhatian publik secara luas.''

Bila sebab kasusnya ''menjadi perhatian publik secara luas'', maka siapakah yang semestinya bertanggung jawab? Menurut hemat saya, seluruh jajaran Polres Bolmong, khususnya Satuan Reskrim, dan lebih khususnya lagi Unit PPA. Orang banyak, saya haqul yakin, terlebih media, tidak akan berulang membeber dan mendeder kasusnya jika penanganan polisi dilakukan sebagaimana prinsip-prinsip penyidikan perkara sesuai Peraturan Kapolri: transparan; akuntabel; serta efektif dan efisien.

Di lain pihak, di tengah mengarusutamanya dugaan pencabulan dengan kekerasan oknum ASN yang juga tokoh organisasi kepemudaan itu, di bagian lain BMR ada kasus sejenis yang ternyata ditangani dengan amat cepat. Adalah Koran Sindo Manado, Sabtu, 10 Desember 2015, yang mewartakan kasusnya dengan tajuk Petani Tabilaa 'Garap' Anak Tiri Sejak Kelas 3 SD. Hanya dalam waktu sepekan sejak kasusnya dilaporkan, tulis koran ini, Polsek Urban Bolaang Uki sudah ''mengamankan'' pelaku. Bahkan sebelum polisi mengantongi visum et repertum, yang sejatinya telah mengkonfirmasi ada pencabulan terhadap korban yang kini berusia 14 tahun dan diam-diam disenonohi ayah tirinya sejak masih duduk di bangku SD.

Sigapnya Polsek Urban Bolaang Uki menyidik perkara itu patut diacungi jempol. Padahal buktinya bahkan lebih sedikit dari dugaan pencabulan dengan kekerasan oleh oknum (mantan) Kabid dan (mantan) Ketua KNPI KK yang per Rabu, 21 Desember 2016, ini sudah 23 hari disidik Polres Bolmong. Hebatnya lagi, Kapolsek Kompol Baharudin Samin juga tak perlu melakukan gelar perkara di Polres Bolmong, terlebih Polda Sulut, untuk dengan segera bersiap melimpahkan kasusnya ke kejaksaan.

Berkaca dari Peraturan Kapolri dan kinerja Polsek Urban Bolaang Uki, tak urung saya bersyak, jika gelar perkara di Polda Sulut itu dilakukan atas permintaan Reskrim Polres Bolmong, memangnya kasusnya masuk kategori sulit dan sangat sulit? Masak cuma karena ''menjadi perhatian publik secara luas'' lalu penyidik PPA keder dan tumpul ilmu? Sebaliknya, bila dilaksanakan atas permintaan Polda, bukankah itu mengindikasikan ada sesuatu yang tak beres dan tak pada tempatnya yang terjadi selama proses penyidikan?

Padahal kasusnya tergolong mudah. Jika pun diklasifikasi sedang, masak iya setelah 23 hari tersangkanya masih entah? ***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

AKP: Ajun Komisaris Polisi; ASN: Aparatur Sipil Negara; BMR: Bolaang Mongondow Raya; Bolmong: Bolaang Mongondow; Kabid: Kepala Bidang; Kapolri: Kepala Kepolisian Republik Indonesia; Kasat: Kepala Satuan; KK: Kota Kotamobagu; KNPI: Komite Nasional Pemuda Indonesia; Kompol: Komisaris Polisi; Mabes: Markas Besar; Polda: Kepolisian Daerah; Polres: Kepolisian Resor; Polsek: Kepolisian Sektor; PPA: Perlindungan Perempuan dan Anak; PSG: Praktik Sistem Ganda; PU: Pekerjaan Umum; Reskrim: Reserse Kriminal; SD: Sekolah Dasar; dan Sulut: Sulawesi Utara.

Monday, December 19, 2016

Polres Bolmong, Belajarlah ke Polres Pulau Ambon

SENIN, 19 Desember 2016. Dugaan pencabulan dengan kekerasan terhadap pelajar berusia 16 yang dilakukan oknum yang sudah dimantankan sebagai Kabid di Dinas PU dan (juga dimantankan) Ketua KNPI KK telah 21 hari berlalu. Kabar dari Polres Bolmong yang menangani kasus ini kian hebat: tak jelas ujung-pangkalnya. Media, terutama situs-situs berita, juga pelan-pelan meredupkan tensi pemberitaannya.

Hampir tak adanya pembaharuan isunya bukan berarti media dan wartawannya so ta smer lei, sebagaimana bakusedu yang kerap saya dipertukarkan dengan (khususnya) beberapa Pemred dan wartawan situs berita di BMR. Walau cukup banyak media yang sejak mula diam sebab disemir rupiah agar bungkam memberitakan ihwal najis terduga cabul itu, harus diakui beberapa situs berita dan koran tak surut mengawal peristiwa ini dan proses penyidikannya.

Meredanya pemberitaan dugaan cabul itu dalam beberapa hari terakhir sepenuhnya dapat dimengerti. Memang, untuk apa media menulis pernyataan dari polisi yang selain itu-itu saja (''masih ada pemeriksaan saksi tambahan'', ''perlu keterangan tambahan dari terduga korban'', atau ''masih akan meminta keterangan ahli''), tampak jelas berusaha berkelit dari menyentuh langsung tersangka. Misalnya, kapan tersangka akan diperiksa kembali (jika pun akan diperiksa), kelihatannya bakal jadi tebak-tebakan suara tokek. Satu-satunya yang diketahui publik, beberapa hari lampau polisi menginformasikan tersangka batal diperiksa karena sakit.

Saya sesungguhnya tidak heran dengan alasan klasik yang biasanya dijadikan senjata oleh tersangka tindak pidana: tiba-tiba jatuh sakit. Dalam kasus oknum ASN yang diduga mencabuli siswi PSG itu, tatkala otaknya sudah kembali ke kepala, wajar jika seluruh jasmani dan rohaninya merana. Siapa yang tak gemetar menyadari bahwa ancaman hukuman perbuatannya bertumpuk-tumpuk: pencopotan dari jabatan Kabid dan Ketua KNPI baru preambul. Begitu kasusnya dilimpahkan ke pengadilan dan putusan hukum jatuh, selain bui bertahun-tahun, dia pasti akan dipecat sebagai ASN.

Itu ancaman sesuai hukum formal di negeri ini. Di tingkat sosial-kemasyarakatan, sanksi orang banyak sudah dijatuhkan sejak kejadiannya menjadi isu yang dengan cepat disebar dari mulut ke mulut. Diamnya yang bersangkutan, ditambah aktif dan gigihnya para penyokongnya mendekati keluarga terduga korban demi menawarkan penyelesaian damai, seperti memaklumat dan mengaminkan benar belaka dugaan yang kini mencekik lehernya.

Dalam kondisi seperti itu, orangtua mana di KK (bahkan BMR) yang sudi melihat terduga di jarak kurang satu meter dari putri mereka? Siapa yang tidak was-was anak mereka juga mendadak dirogoh atau dikekep? Ibu-ibu mana yang tidak memonyongkan mulutnya dan berbisik, ''Itu dang itu pencabul'', begitu melihat terduga berkeliaran di ruang publik?

Berlarut-larutnya penyidikan kasus itu cuma memperpanjang penyiksaan. Percuma mengharap umum perlahan-lahan lupa sebab kasus ini sudah terpapar dan terinternalisasi, yang bahkan telah mulai mengundang pula cibiran terhadap Polres Bolmong dan kinerjanya. Apalagi, sulit menggelakkan fakta bahwa polisi memang jauh dari memihak korban. Padahal, untuk yang kesekian kalinya saya menukil Presiden Joko Widodo, tindak pidana terhadap anak-anak adalah kejahatan luar biasa yang memerlukan penanganan yang luar biasa pula.

Untuk kasus dugaan pencabulan dengan kekerasan oleh oknum mantan Kabid dan Ketua KNPI KK itu, di hari ke 21 sejak dilaporkan oleh terduga korban dan orangtuanya, harus diakui Polres Bolmong telah menunjukkan cara penanganan yang berbanding terbalik dengan pernyataan Presiden: luar biasa lambat dan luar biasa amatirnya. Melihat kinerja polisi yang seperti ini, saya tidak tahu mesti terbahak-bahak atau tersedu-sedu. Beginikah cara institusi penegak hukum, yang secara nasional bertekad menjadi lebih baik, lebih profesional, menjalankan kewajiban dan tanggung jawabnya?

Kasus itu, buat saya pribadi, sungguh menggerus kepercayaan (yang memang sangat tipis) terhadap Polres Bolmong. Saya bahkan mulai bersiap-siap tak terkejut bila pada hari ke 42 sejak dilaporkan ternyata kasusnya masih tetap menggantung.

Ironisnya, di bagian lain negeri ini, polisi bisa dengan cepat menangani kasus dugaan pencabulan terhadap anak-anak. Bahkan kurang dari 36 jam sejak peristiwanya terjadi, polisi sudah mencokot terduga pelaku, menetapkan sebagai tersangka, dan melemparkan ke dalam tahanan.

Kerja cepat polisi itu saya baca di kompas.com, Senin, 19 Desember 2016, Pulang Bermain dari Rumah Teman, Siswi SD Dicabuli Tetangganya (http://regional.kompas.com/read/2016/12/19/14391051/pulang.bermain.dari.rumah.teman.siswi.sd.dicabuli.tetangganya). Kasus di wilayah hukum Polres Pulau Ambon ini melibatkan pelaku, Agus Ruhulesin (kompas.com dan polisi bahkan tidak menyatakan pelaku dengan inisial), yang mencabuli seorang siswi SD pada Sabtu, 17 Desember 2016.

Menurut penuturan Ibu korban, pada hari kejadian sang putri bermain ke rumah temannya. Saat pulang, korban dipanggil oleh pelaku ke rumahnya, diajak ke kamar, dan dicabuli. Kelakuan bejad pelaku yang tak lain tetangga korban dan keluarganya ini, terbongkar karena korban kemudian menceritakan pencabulan yang dialaminya. Mendengar penuturan putri mereka, orangtua korban segera melapor ke Polres Pulau Ambon, yang langsung bertindak dan kini menyidik pelaku dengan UU Perlindungan Anak.

Kompas.com tak menulis bukti-bukti apa yang digunakan Polres Pulau Ambon hingga langsung mentersangkakan pelaku. Yang pasti, kelihatannya polisi tidak perlu meminta keterangan saksi ahli dan memeriksa banyak saksi, sebab mereka mampu bertindak dengan cepat. Atau barangkali polisi di Polres Pulau Ambon sangat gesit sebab tersangka bukan ASN yang Kabid di dinas ''basah'' dan Ketua KNPI?

Tak urung, berita kompas.com mengundang banyak tanya di kepala saya. Apakah pendidikan kepolisian penyidik PPA dan atasan mereka di Polres Pulau Ambon berbeda dengan aparat di Polres Bolmong, hingga tak sama pula luarannya? Apakah bukti-bukti kasus pencabulan siswi SD itu berkali-kali lebih solid dibanding yang dialami siswi PSG di KK, dan karenanya polisi dengan cepat bisa menetapkan tersangka? Atau, mungkinkah sebab aparat di Polres Pulau Ambon lebih mengerti UU Perlindungan Anak?

Kabar dari Polres Pulau Ambon itu, di hari ke 21 dan masih menggantungnya penyidikan dugaan pelecehan dengan kekerasan oleh terduga mantan Kabid dan Ketua KNPI KK, adalah ironi menyesakkan. Barangkali tak salah jika sudah waktunya warga KK yang masih memelihara kesadaran dan kewarasan melindungi perempuan dan anak-anak dari ulah cabul, mulai mengumpulkan koin, sumbangan supaya aparat Polres Bolmong boleh studi banding ke Polres Pulau Ambon. Kalau ada yang bersedia, saya menyatakan memulai dengan mendonasikan seluruh koin yang sudah dikumpulkan setidaknya dalam 10 tahun terakhir.***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

ASN: Aparatur Sipil Negara; BMR: Bolaang Mongondow Raya; Bolmong: Bolaang Mongondow; Kabid: Kepala Bidang; KK: Kota Kotamobagu; KNPI: Komite Nasional Pemuda Indonesia; Polres: Kepolisian Resor; PPA: Perlindungan Perempuan dan Anak; PSG: Praktik Sistem Ganda; PU: Pekerjaan Umum; SD: Sekolah Dasar; dan UU: Undang-undang.

Saturday, December 17, 2016

''Lendir'' Cabul Memercik Hingga Walikota dan Kasat Reskrim

TELAH 19 hari, terhitung sejak Selasa, 29 November 2016, kasus dugaan pencabulan oleh oknum (mantan) Kabid di Dinas PU dan (mantan) Ketua KNPI KK ada di tangan Polres Bolmong. Di media massa, kendati sepotong-sepotong dan tak sinkron antar satu aparat dengan lainnya, orang banyak rutin beroleh info perkembangannya. Hasilnya, selamat untuk polisi, sejauh ini kinerja mereka tetap selambat siput pilek dengan capaian sebundar dan sehijau telur bebek.

Tidak setiap hari ada kasus seterang dan sejernih dugaan cabul oknum ASN Pemkot KK yang oleh MKE sudah dicopot dari jabatannya, yang ditangani PPA Polres Bolmong. Yang proses penyidikannya telah memanggil lebih dari 10 saksi, hatta pula termasuk ahli pidana (luar biasa! Di bagian mana kasus ini yang tidak dipahami penyidik dan atasannya? Sebab mahasiswa hukum semester empat saja sudah bisa mengkonklusi dengan mudah). Namun, alih-alih tindak pidananya kian terang, yang bersiliweran justru gosip-gosip bau amis kongkalingkong terduga-aparat dan cara kerja ecek-ecek polisi.

Dengan sedikit lebih cermat dan sabar mengumpulkan fakta (juga bukti-bukti), busuk yang meruyak itu tampaknya lebih dari sekadar gosip. Toh selidik-menyelidik dan investigasi bukan ilmu yang cuma dikuasai kepolisian. Dalam banyak kasus, ahli dan pakarnya bahkan bergiat di luar urusan penengakan hukum.

Supaya tak jadi fitnah dan spekulasi yang berujung dugaan tindak pidana baru, mari kita selisik (lagi) faktanya dengan hati-hati. Pada Selasa, 29 November 2016, oknum Kabid di Dinas PU KK mengajak seorang siswi PSG yang baru berusia 16 tahun meninjau proyek jalan di wilayah Moyag. Ketika itu hujan deras, lokasi dan jalan yang mereka lalui tergolong sepi. Lalu ada tindakan tak senonoh yang dilakukan oknum bejad ini. Apa bentuknya, tentu tak perlu dibeber detail sebab tulisan ini bukan artikel porno. Lagi pula, setiap tindak pidana yang melibatkan perempuan, terlebih berusia di bawah umur, mutlak mesti mengindahkan perlindungan terhadap korban.

Yang jelas ada pemaksaan dan kekerasan fisik yang dibuktikan dengan visum et repertum. Ada upaya pembungkaman terhadap korban dengan duit senilai lebih Rp 700 ribu (Kabid kok doyan recehan?). Ada pula pelecehan dengan menurunkan terduga korban di salah satu ruas jalan di kelurahan tempatnya bermukim (akal sehat bilang, jika semuanya normal belaka, orang yang bertanggung jawab semestinya mengantarkan seorang anak perumpuan di bawah umur, minimal hingga ke depan kediamannya). Tak kurang penting, kejadiannya berlangsung pada jam kerja ASN dan waktu praktik siswi PSG yang jadi terduga korban.

Ada laki-laki dewasa (seusia ayah terduga korban) yang punya kuasa dan pengaruh (serta, tentu saja, uang); ada terduga korban, remaja perempuan yang masih sekolah, yang diajak (bukan turut dengan sukarela, terlebih menawarkan diri); di tempat sepi dan jauh dari pantauan umum; dan ada kejadian tak senonoh. Pencabulan. Tidak perlu punya ilmu kepolisian kelas wahid untuk menyimpulkan: terdapat dominasi dalam kasus ini. Oleh om-om (gatal) kepada anak perempuan. Dari yang punya kekuasaan dan kuat (termasuk kuasa uang) terhadap yang dianggap have no power dan lemah.

Tapi, itulah, setelah 19 hari berlalu dengan sejumlah saksi dan temuan, Polres Bolmong masih tertingkah bagai kucing berputar-putar mengejar ekor. Padahal bukti-bukti sudah melimpah. Ada korban, visum et repertum, uang yang dipaksa diberikan, bahkan juga keputusan MKE yang mencopot oknum terduga pelaku dari jabatannya. Bukti apa lagi yang diperlukan, kecuali alasan yang diada-adakan dan manipulatif entah untuk meringankan terduga atau--lebih gila lagi--supaya dia lolos dari jerat hukum.

Penyidikan polisi yang dapat diikuti publik di media, hanyalah puncak gunung es kasus ini. Di bawahnya ada tali-temali kusut yang saling bersinggungan dan membelit. Cuma sekadar gosip dan mulu-mulu? Tunggu dulu, bagi yang paham ''kebudayaan orang Kota'', mulu-mulu justru kerap adalah kebenaran umum yang tidak diformalkan. Fakta yang pengetahuan yang diperlakukan sebagai tahu-sama tahu sajalah.

''Lendir'' kasus dugaan cabul itu memang sudah memercik ke mana-mana. Kata mulu-mulu, misalnya, terduga masih ongkang-ongkang kaki karena dia sebenarnya mendapat ''perlindungan'' Walikota Tatong Bara. Proteksi ini bagai ruas ketemu buku karena Kasat Reskrim Polres Bolmong juga tak kurang gigih melindungi yang bersangkutan. Kepentingan Walikota terhadap oknum ASN itu berkaitan dengan kemungkinan buka mulutnya dia soal permainan proyek di PU KK, yang ''konon'' terkait langsung dengan orang nomor satu Pemkot ini. Demikian pula Kasat Reskrim yang jauh sebelum kasus ini ''katanya'' sudah menikmati berkah keuntungan dari hubungannya dengan terduga, yang terjalin lewat seorang polisi yang jadi anggotanya.

Yang sedap dari mulu-mulu ''orang Kota'', para pengantar ceritanya tak sekadar bicara. Mereka suka menganjurkan bukti-bukti, mulai dari sekadar rekaman capture WA dan BBM, rekaman suara yang diambil diam-diam, hingga dokumen yang terkait dengan kisah yang diantarkan.

Dalam soal mulu-mulu dan gosip itu, saya memilih netral dan menunggu orang-orang yang disebut membuktikan sendiri kebenaran atau ketidakbenarannya. Terutama Kasat Reskrim Polres Bolmong, yang--sekali lagi ''katanya''--mati-matian mencoba meringankan posisi terduga, dari mengulur-ngulur proses penahanan hingga mencari-cari alasan agar alih-alih dijerat dengan UU No. 23/2002 yang kemudian diubah dengan UU. No. 35/2014 dan terakhir disempurnakan dengan Perppu No. 1/2016, tindak pidananya justru dikenai KUHP.

Masak iya polisi, terlebih di jabatan Kasat Reskrim, tak cermat membaca UU dan Perppu itu, serta KUHP, lalu pura-pura meluputkan bahwa definisi hukum anak di Indonesia adalah mereka yang berusia di bawah 18 tahun? 

Di sisi berlawanan, ''lendir'' oknum terduga cabul itu menyasar pula orang-orang yang sama sekali tidak punya kaitan dan kepentingan. Maka muncullah tuduhan aneh seperti ada Wawali KK, Djainuddin Damopolii, di balik aksi mendukung tuntutan hukuman terhadap terduga, termasuk demonstrasi yang digelar sejumlah orang, karena rivalitas politiknya dengan Walikota. Nama lain yang dikait-kaitkan adalah anggota DPRD KK, Begie Ch. Gobel, hanya karena dia menerima aspirasi para pengunjuk rasa pada Senin, 5 Desember 2016.

Namun, di antara semua mulu-mulu yang sampai di kuping saya, yang paling menggelikan adalah pernyataan ASN yang kini berdiri sebagai salah satu pembela gigih terduga cabul itu. Begitu bernafsunya, ASN ini bahkan tak henti bersafari menemui pihak-pihak yang dianggap dapat dia lunakkan, khususnya keluarga terduga korban. Pernyataannya, kurang lebih, bahwa mengedepannya kasus cabul ini di KK tak lepas dari peran saya (melalui sekelompok orang dekat) tersebab rivalitas dengan dia yang berakar sejak zaman mahasiswa.

Saya terbahak-bahak begitu diberitahu siapa ASN dimaksud. Ada persaingan apa dengan si megalomania narsis itu? Saya tidak pernah ingat ada persentuhan kepentingan dengannya sejak masa mahasiswa, apalagi kemudian setelah saya meninggalkan kampus dan sepenuhnya bekerja di luar BMR. Tak pula saya tahu ketika itu dia tergolong orang penting di kampus dan perlu saya saingi.

Ai, betapa menggelikannya. Boleh-boleh saja Anda merasa punya rivalitas dengan saya, Bung. Tapi jika itu seperti cinta, Anda bertepuk sebelah tangan. Soalnya, jangankan merasa bersaing, menganggap penting Anda saja sama sekali tak terlintas di benak saya. Memangnya siapa Anda?

Pencabulan dan kekerasan terhadap perempuan di bawah umur yang kini jadi isu panas di KK adalah fakta tak tertolak dan hampir mustahil dimanipulasi. Bagi para pembela terduga pelaku, terima saja kenyataan ini. Bahwa kemudian dia mesti dijerat dengan UU Perlindungan Anak yang telah disempurnakan dengan Perppu No. 1/2016, satu-satunya penyelamat yang mungkin adalah sesegera mungkin menjalani persidangan. Memperpanjang-panjang urusan dengan mengulur-ngulur waktu cuma menarik kesengsaraan menjadi lebih lama. Siapa suruh tak kuat menahan gatal karena terujung kronis.***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

ASN: Aparatur Sipil Negara; BBM: BlackBerry Messenger; BMR: Bolaang Mongondow Raya; Bolmong: Bolaang Mongondow; DPRD: Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; Kabid: Kepala Bidang; Kasat: kepala Satuan; KK: Kota Kotamobagu; KNPI: Komite Nasional Pemuda Indonesia; KUHP: Kitab Undang-undang Hukum Pidana; MKE: Majelis Kode Etik; Pemkot: Pemerintah Kota; Perppu: Peraturan Presiden Pengganti UU; Polres: Kepolisian Resor; PPA: Perlindungan Perempuan dan Anak; PSG: Praktik Sistem Ganda; PU: Pekerjaan Umum; Reskrim: Reserse Kriminal; UU: Undang-undang; WA: WhatsApp; dan Wawali: Wakil Walikota.