Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Wednesday, April 30, 2014

Terpujilah Lagak Bajingan Oknum-oknum Polisi!

CERITA ini bukan rekaan. Peristiwanya masih berlangsung, melibatkan seorang guru (pria), murid (wanita) dan keluarganya, serta segelintir aparat di Reskrim Polres Bolmong.

Tersebutlah saat praktek mata pelajaran KKPI di kelas XI Jurusan Perbankan SMK Negeri 1 Kotamobagu, Sabtu, 26 April 2014, siswi bernama Febri Pandeirot justru asyik memainkan telepon selularnya. Febri kemudian ditegur guru yang bertanggungjawab, Kuswindra Kadayow, bahkan hingga tujuh kali. Sebab tak mengindahkan peringatan, Kuswindra akhirnya mengambil telepon milik Febri dan diletakkan di meja guru.

Febri ternyata bukan satu-satunya murid yang berulah. Ada Meilan Kantohe yang mendapat hukuman sama: telepon selularnya diambil dan ‘’diamankan’’.

Tindakkan Pak Guru tidak keliru. Selain mengganggu proses belajar-mengajar, dua siswi itu sesungguhnya terbukti menerabas aturan sekolah. Menurut informasi yang saya terima (semoga ini tidak keliru), SMK Negeri 1 Kotamobagu punya aturan melarang murid-muridnya membawa telepon selular ke sekolah. Aturan ini, sepengalaman saya, hampir berlaku di mana-mana; sekaligus dengan segala daya dilanggar (bahkan dengan sepengetahuan para orangtua) di mana-mana.

Urusan yang semestinya berakhir di sekolah dengan menyerahkan dua murid itu ke bagian yang menangani kesiswaan, berbelok tak karuan. Berbeda dengan Meilan yang langsung mengambil telepon selularnya setelah praktek selesai; milik Febri (sengaja atau tidak) ikut masuk tas kerja Kuswindra.

Pihak yang mengaku keluarga Febri pun melibatkan diri. Dimulai dari komunikasi antara Kuswindra dan perempuan yang mengaku Tante dari Febri, yang mengirimkan SMS ‘’ancaman (termasuk menyebut ayah Fabri pengusaha kaya di Poigar) hingga orang yang mengklaim Paman dan anggota Reskrim Polres Bolmong. Saling sahut antara Pak Guru dan ‘’Paman anggota Reskrim’’ ini berakhir dengan ‘’perintah’’ bertemu di ruang Reskrim Polres Bolmong.

Minggu petang, 27 April 2014, Kuswindra hadir di ruang Reskrim Polres Bolmong. Tak lama kemudian Febri dan Tantenya tiba. Debat di antara para pihak terjadi, terutama karena Pak Guru ini mempertahankan sikapnya bahwa peristiwa di sekolah selayaknya diselesaikan di internal sekolah. Lagipula telepon selular yang dipersoalkan ada dan dapat diambil oleh Febri ditemani orangtua di bagian kesiswaan, Senin, 28 April 2014.

Dari kronologi peristiwa yang saya terima (tentu dari versi Kuswindra), salah seorang polisi mengkonklusi memang selayaknya masalah ‘’penyitaan’’ telepon selular itu diselesaikan di sekolah. Selesaikah masalahnya? Tidak juga, sebab mendadak seorang polisi masuk dan tanpa ba-bi-bu mempotret Kuswindra. Tak terima dengan perlakukan itu, Pak Guru mendorong sang polisi sembari beranjak keluar ruangan.

Di gang di luar ruangan Reskrim tiba-tiba bogem melayang di pelipis Kuswindra. Selain tonjokan, dia juga menerima toyoran di belakang kepala. Akibat perlakuan polisi yang berlagak preman kampung itu, sebagaimana yang ditulis totabuan.co (http://totabuan.co/2014/04/pelipis-kiri-guru-smk-bengkak-diduga-dipukul-oknum-anggota-polisi/), Rabu, 30 April 2014, pelipis kiri pengajar KKPI ini bengkak.

Keberatan dengan tindak pidana yang terjadi di tempat di mana hukum mestinya ditegakkan dengan adil, Kuswindra melapor Propam Polres Bolmong. Di saat pengaduannya masih dalam proses, Selasa, 29 April 2014, dia mendapat Surat Panggilan Nomor S.Pgl/566/IV/2014/Reskrim dengan status sebagai tersangka penggelapan.

Terpujilah lagak bajingan oknum-oknum polisi itu! Luar biasa perilaku, pengetahuan hukum, dan gerak cepat mereka mengada-adakan celah mempersulit warga yang dianggap berada di posisi lemah. Berapa harga polisi-polisi keparat itu? Saya bersedia turut menanggung sogokan untuk mereka, yang menggunakan kewenangannya seolah-olah kehormatan seragam yang dikenakan hanya melindungi yang berduit, punya ‘’kekuatan’’, dan pengaruh.

Pertama, hanya dengan ‘’perintah’’ SMS Kuswindra bersedia menyambangi Reskrim Polres Bolmong. Bagi saya pribadi, ini bukan tindakan bijaksana. Ada hak apa polisi memanggil seseorang (di hari libur pula), terlebih hanya karena ada anak manja yang tidak tahu diri mengadu ke Pamannya yang ‘’konon’’ anggota Reskrim?

Paman yang polisi, yang tahu aturan dan hukum, semestinya menelisik dengan hati-hatinya masalahnya, menangani dengan kepala dingin, dan bila perlu menegur keponakan yang jelas-jelas melanggar aturan paling normatif di sekolahnya. Kalau kemudian yang dilakukan Kuswindra dianggap perbuatan melawan hukum; selayaknya dia dipanggil sesuai dengan tata cara yang menjunjung hukum.

Saya percaya masih sangat banyak polisi baik yang pantas jadi teladan di negeri ini. Tapi tentu tidak termasuk oknum yang menyalahgunakan kekuasaan dan wewenangnya serta para bajingan yang meninju dan menoyor kepala Kuswindra, di kantor polisi pula.

Sepengetahuan saya Kapolres dan Wakapolres Bolmong, AKBP Hisar Siallagan dan Kompol Daru Tyas Wibawa, adalah generasi polisi yang khatam dan serius menegakkan kewajiban korpsnya melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat, tanpa memandang pangkat, kedudukan, dan kekayaannya. Adakah kasus ini (utamanya perlakuan tak senonoh terhadap Pak Guru Kuswindra) akan ditangani dengan semestinya, seadil-adilnya, dan seproposionalnya, dengan mengindahkan semua kepatutan aturan dan hukum?

Dua, penyitaan telepon selular muridnya yang dilakukan Pak Guru Kuswindra sangat beralasan. Febri bukan hanya dua kali melanggar aturan sekolah (membawa gadget ke sekolah dan menggunakan saat belajar-mengajar berlangsung), tetapi juga terang-terangan menunjukkan sikap tak hormat. Bahwa dia keberatan karena telepon selular itu dibawa (atau terbawa) guru yang melakukan penyitaan, ajukan keberatan ke pihak sekolah dengan didampingi oleh orangtua atau walinya.

Sukar dibayangkan dampak pembiaran kelakuan bengkok murid-murid yang mengaku anak orang kaya atau putra-putri pejabat dan orang penting. Besok-lusa guru menjadi pihak yang paling tak berdaya dan profesi yang gampang dihinakan dan dikriminalisasi. Febri cuma ‘’katanya’’ anak orang kaya dan keponakan oknum anggota Reskrim. Bagaimana andai dia anak jutawan yang Gubernur dan keponakan Kapolres atau Kapolda? Boleh jadi dua tempurung lutut Guru Kuswindra bolong diterjang timah panas hanya karena menyita telepon selular.

Ketiga, mentersangkakan Kuswindra menunjukkan segelintir oknum di Polres Bolmong memang secara terencana berniat menyalahgunakan kewenangan hukum mereka. Apa alasannya? Begitu tidak adanyakah kesibukan di Reskrim Polres Bolmong hingga mereka mengambil alih masalah yang pertama-tama dan utama semestinya diselesaikan di tingkat SMK Negeri 1 Kotamobagu. Kalau Febri dinilai melanggar aturan dan disiplin sekolah, dia layak menerima sanksi. Demikian pula, bila sebagai guru Kuswindra melenceng dari tugasnya, dia pun harus menanggung hukuman.

Dan keempat, dengan perilaku Febri, keluarganya, dan oknum-oknum di Polres Bolmong, SMK Negeri 1 Kotamobagu berhak mengembalikan dia ke keluarganya untuk dididik di tempat lain yang lebih baik dan sesuai selera mereka: ‘’orang kaya yang juga punya pengaruh’’. Bahkan barangkali dia lebih tepat disekolahkan di Reskrim Polres Bolmong, yang tentu tak mengharamkan murid bermain telepon selular sesukanya di saat belajar-mengajar sedang berlangsung.***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

AKBP: Ajun Komisaris Besar Polisi; Bolmong: Bolaang Mongondow; Kapolres: Kepala Kepolisian Resor; KKPI: Keterampilan Komputer Pengelola Informasi; Kompol: Komisaris Polisi; Polres: Kepolisian Resor; Propam: Profesi dan Pengamanan; Reskrim: Reserse Kriminal; SMK: Sekolah Menengah Kejuruan; SMS: Short Message/Pesan Pendek; dan Wakapolres: Wakil Kepala Kepolisian Resor.