Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Monday, April 7, 2014

Oh PLN, Oh Biadabnya Layanan Umum

SERAPAH terhadap PLN, Minggu malam (6 April 2014), menjejali status BBM kawan dan kerabat yang bermukim di Kotamobagu. Pemadaman listrik memang memuakkan, terlebih bila dilakukan tak kenal waktu, mirip datang dan perginya diare. Lebih celaka lagi, layanan yang kian kerap bikin mulas ini juga monopolistik.

Berurusan dengan BUMN yang oleh PP No 17/1972 ditetapkan sebagai PKUK ini tidak pernah menjadi pengalaman manis. Hampir 10 tahun silam, saat membangun rumah di Manado, kendati jaraknya hanya beberapa puluh meter dari jaringan distribusi terdekat, saya harus menyediakan tiang sendiri. Baiklah, demi kebutuhan, tiang listrik dibeli dan ditegakkan. Demikian pula kabel jaringannya. Rumah saya, tetangga depan dan samping, bersama-sama menggunakan tiang dan jaringan itu.

Selang beberapa waktu, saya merasa cahaya lampu-lampu yang dipasang tidak secerah biasanya. Ternyata, jaringan yang sedianya hanya untuk beberapa rumah, sudah diteruskan ke seberang dan beranak-pinak. Beban kabel menjadi lebih berat dan akhirnya di satu hari (kebetulan saya sedang berada di Manado), api berkobar di ujung tiang. Kabel yang kelelahan terbakar. Daya listrik putus dan saya terpaksa dengan sabar menunggu petugas datang memperbaiki.

Tersebab pernah duduk di bangku FT, saya tahu bahayanya kabel yang dibebani berlebihan. Alternatif terbaik, juga demi harmonisnya hubungan sosial dengan sekeliling, saya membayar lagi satu tarikan kabel tersendiri. Hasilnya, beberapa saat lampu-lampu di rumah saya di Manado lebih cerah, sebelum akhirnya kusam lagi karena petugas bedebah lainnya menggunakan jaringan itu dan menganak-pinakkan lagi ke bagian pemukiman yang lain.

Terkutuklah PLN dengan sagala ulahnya. Dan saya, sebagaimana kebanyakan khalayak pengguna fasilitas publik yang dimonopoli negara, hanya bisa berdoa: Semoga Yang Maha Esa memaafkan mulut yang tak kuat menahan derasan caci-maki ini.

Ihwal pemadaman, jangan ditanya lagi. Tidak di rumah orangtua di KK, di kediaman sendiri di Manado, pindah ke Balikpapan, kemudian Jakarta, listrik padam adalah hal biasa. Di saat-saat tertentu, bulan Ramadhan atau Desember (khususnya menjelang Natal dan Tahun Baru) misalnya, justru mengundang heran bila pasokan listrik PLN sehat wal-afiat. Sama menakjubkannya dengan membaca maklumat pemadaman listrik di media cetak. Biasanya, PLN melakukan aksinya tanpa ba-bi-bu. Kalau tiba-tiba didahului pengumuman, patut diduga pimpinannya mungkin sedang demam tinggi.

Pelanggan adalah obyek empuk buat PLN. Anda terlambat membayar kewajiban, apalagi menunggak, pinalti siaga menanti. Bila petugas sudah berada di depan pintu, silahkan pontang-panting melunasi kewajiban seketika. Jika tidak, bukan hanya layanan daya listrik yang dipotong, bahkan meterannya pun dibongkar dan diangkut.

Dalam hal menuntut hak, PLN memang tiada duanya. Perusahaan yang semestinya berusia lebih tua (diurut dari zaman Belanda) dari Republik Indonesia ini, tampaknya cuma khatam soal hak dan sebaliknya tak pernah sungguh menyeriusi pelaksanaan kewajibannya.

Degradasi layanan PLN konsisten menurun lebih 20 tahun terakhir. Banyak alasan yang dikemukakan. Tingginya permintaan ketimbangan ketersediaan pasokan daya; sulitnya modernisasi dan penambahan pembangkit; seretnya suplai energi untuk pembangkit (gas, batubara, dan sebagainya), hingga inkompetensi dan korupsi pada pengurusnya.

Ditunjuknya Dahlan Iskan sebagai Dirut PLN (sebelum dipromosi menjadi Menteri BUMN) sempat membawa harapan. Didukung pemberitaan massif kelompok media miliknya, PLN dicitrakan bersigegas mengejar aneka ketinggalan. Macam-macam inisiatif ambisius ditiupkan ke tengah publik, termasuk membangun pembangkit-pembangkit baru dengan mesin –nah, ini dia—yang didatangkan dari Cina. Seingat saya, alasan penggunaan mesin dari Cina ini antaranya karena dianggap cocok dengan kebutuhan Indonesia, murah, dan pengerjaan secepat kilat.

Sudah sampai di mana ambisi menyediakan listrik bebas pemadaman itu? Warga KK khususnya dan Bolmong Raya umumnya, mari sama-sama tersenyum. Aliran listrik tetap ‘’mati-mati ayam’’; Dahlan Iskan sudah jadi Menteri BUMN (yang kekuasaannya termasuk mengurusi PLN); mesin-mesin pembangkit dari Cina ‘’konon’’ kerap bermasalah; PLN ditelisik dugaan korupsi oleh KPK (salah satu kasusnya melibatkan anggota DPR RI dari PDIP yang kini dalam proses sidang Tipikor); dan segala yang menyebalkan yang mampu Anda temukan tiap hari di media massa.

Kabar baiknya, PLN bukan satu-satunya layanan umum (monopoli negara pula) yang brengseknya minta ampun. Telepon, transportasi, air bersih, sampah, dan sebutkan semua yang terlintas di kepala; maka daftar panjang kutukan tak cukup mengakomodasi akumulasi keluh-kesah. Coba saja ajukan keberatan lewat layanan online, Anda pasti tersesat ke belantara birokrasi dan diping-pong hingga capek dan merana. Menyambangi loket keluhan, yang umumnya dijaga petugas sinis, mahal senyum, dan lebih cocok jadi pawang buaya atau macan, lebih menjadi provokasi emosi ketimbang solusi.

Layanan Telkom yang dianggap lebih baik dibanding yang lain, misalnya, masih sebatas iklan dan pencitraan. Di rumah saya (lagi-lagi) di Manado, selain digunakan sebagai alat komunikasi konvensional, telepon tetap (fixed line) dari Telkom juga dilengkapi layanan Speedy. Sejak terpasang hingga tulisan ini dibuat, layanan koneksi ke dunia maya ini bekerja sempurna sebagai aksesoris ruangan: Betul-betul sangat ‘’maya’’.

Keluhan dan komplein? Sudah dilakukan dengan berbagai cara. Yang belum tinggal membawa preman dan parang untuk mengobrat-abrik Kantor Telkom; atau membakar sesaji, mengundang jin dan hantu belau turun tangan. Siapa tahu ada di antara makluk tak kasat mata ini yang punya keterampilan teknik dan sudi urun-rembuk menyelesaikan kerja acak-acak dan tak profesional Telkom.

Pembaca, demi kenyamanan bathin dan menghindari tuduhan mengobarkan kebencian, kita sudahi urusan kebiadaban layanan umum ini. Toh, seperti yang kerap jadi pelipur lara, dibanding negara-negara yang tidak punya listrik, kita masih beruntung sekalipun layanannya byar-pet. Ketimbang tak punya telepon, air bersih, atau layanan sampah; kita patut beryukur kendati setiap hari mesti rajin mengurut dada.***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

BBM: BlackBerry Messenger; Bolmong: Bolaang Mongondow; BUMN: Badan Usaha Milik Negara; DPR: Dewan perwakilan Rakyat; FT: Fakultas Teknik; KK: Kota Kotamobagu; KPK: Komisi Pemberantasan Korupsi; PDIP: Parati Demokrasi Indonesia Perjuangan; PKUK: Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan; PLN: Perusahaan Listrik Negara; PP: Peraturan Pemerintah; RI: Republik Indonesia; Sulut: Sulawesi Utara; dan Tipikor: Tindak Pidana Korupsi.