Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Thursday, April 3, 2014

Begie

DI MANAKAH tempat anak-anak muda (usia dan pengalaman) di peta politik Bolmong Raya? Hari-hari terakhir ini, ketika Pemilu 2014 tinggal menghitung hari, saya mendadak menyadari sosok-sosok belia bertaburan di daftar Caleg di wilayah Mongondow. Mereka datang dari aneka latar: Putra-putri politisi; birokrat teras; mantan atau masih mengklaim diri aktivis; hingga yang sekadar mencoba-coba peruntungan, siapa tahu nasib baik berpihak dan kursi DPR jatuh tepat di hadapan.

Politisi-politisi muda itu adalah kabar baik bagi regenerasi kepemimpinan politik, sosial, dan kemasyarakatan di Mongondow; sekaligus keprihatinan karena –sejujurnya—sebagian besar mereka adalah produk karbitan bermodal proteksi orangtua, jauh dari berpengetahuan, apalagi kematangan perilaku dan emosi. Lagak-lakunya, setidaknya yang tercermin dari kampanye Pemilu 2014, mengindikasikan betapa generasi kini miskin visi, kreativitas, apalagi pemihakan.

Atau mungkin media, sebagai wadah, saluran, dan sumber publik utama, memang lebih suka menampilkan politisi-politisi usia muda (khususnya) di Bolmong Raya dengan mengesankan mereka tak lebih dari bebek, beo, dan boneka? Yang mengandalkan daya pukau dan atensinya terhadap konstituen pada marga, nama besar orangtua, atau patron politik yang dijadikan tempat bergantung?

Kita, para konstituen, beberapa pekan terakhir tak pelak mesti melapangan dada dibanjiri suguhan omong kosong jargon ‘’mengabdi dan berjuang’’, ‘’yang muda yang berkarya’’, dan sejenisnya, yang lama-kelamaan terasa tak beda dengan gelegar musik dari gerobak penjaja ice cream. Pula, wajah-wajah berhias jambul tegak mengkilap, imbas wabah pop star Korea yang menjalar di negeri ini bagai flu di musim penghujan.

Pertanyaannya: Tidakkah kita belajar dan kapok bagaimana sebagian besar politisi berusia muda –utamanya—di DPR Kota/Kabupaten dan Provinsi yang terpilih pada Pemilu 2009 ternyata lebih banyak membadut ketimbang merepresentasikan konstituennya? Kita tidak perlu pura-pura lupa dan memaafkan, misalnya, dengan kedunguan anggota DPR Sulut, Raski Mokodompit, yang mempermalukan masyarakat Bolmong Raya dengan interupsi tidak bermutu di Sidang Paripurna HUT Sulut ke-47, Jumat (23 September 2012) silam. Politisi seperti inikah yang kita inginkan sebagai etalase wilayah dan orang Mongondow di DPR Provinsi?

Saya bisa merunut dan membeberkan banyak fakta tentang politisi usia muda asal atau berlatar Mogondow, mulai dari DPR Kabupaten/Kota hingga DPR RI, yang hampir lima tahun terakhir hanya memamerkan kepongahan dan otak kosongnya. Sekadar contoh yang lain, tidakkah kita jengah menonton tayangan teve yang menunjukkan seorang anggota DPR RI masyuk bergoyang kepala menikmati musik dari gadget-nya, di tengah gentingnya lalu-lintas Sidang Paripurna DPR RI?

Tapi mewacanakan kabar buruk dan pasimisme hanya mematahkan hati; menguras keyakinan terhadap masa depan yang lebih baik. Sebab, kendati tak banyak, selalu ada politisi muda dari dan berlatar Mongondow yang menunjukkan kinerja minimal memuaskan. Kalau pun prestasi mereka tidak sangat mencorong dipercakapkan, dugaan saya ada faktor perilaku dan bias jurnalistik jual-beli (belakangan populer disebut ‘’cash in’’) yang dipelopori salah satu grup media arus utama di daerah ini. No money, no coverage.

Optimisme politik itu pada akhirnya mesti kita kais sendiri dengan mengabaikan iklan dan advertorial politik di media cetak dan digital yang dipublikasi dari Manado dan Kotamobagu. Sungguh, bagi saya pribadi, tidak ada yang menarik dari politisi muda yang lahir dengan silver spoon dan naik panggung dengan bertumpu pada gendongan orangtuanya.

Berbeda dengan beberapa politisi usia muda yang susah payah memanjat tangga politik, jatuh-bangun meraih kesempatan –termasuk menjadi Ketua DPD atau DPC partainya--, yang kemudian terdaftar sebagai Caleg Pemilu 2014. Politisi jenis ini adalah kabar baik dan optimisme yang mesti disampaikan ke banyak pihak. Memang tak ada jaminan mereka pasti lebih baik dari pengalaman buruk yang telah kita lalui. Tapi setidaknya kita punya alternatif dan wajah segar yang terbebas dari sekadar prestasi warisan.

Anugerah Begie Chandra Gobel adalah salah satu politisi usia muda yang membuat saya tak kehilangan selera terhadap dinamika politik di Bolmong Raya. Penilaian terhadap Begie (demikian kami akrab menyapa dia) mungkin tidak sepenuhnya obyektif, mengingat dia dikenal sebagai salah seorang di antara sedikit anak muda Mongondow yang berada di lingkaran terdekat saya, setidaknya 20 tahun terakhir. Namun, karena subyektivitas itu pula saya berani menjamin, kepercayaan terhadap dia, ideologi, pemihakan, dan lagak-lakunya, telah diuji di tahun-tahun yang tidak melulu penuh kembang dan bunga-bunga.

Berkarir sebagai jurnalis di paruh akhir masa kuliahnya, saat bekerja di Tabloid KABAR, Begie adalah reporter yang tekun dan penulis berbakat yang dengan cepat mencapai keterampilan di atas rata-rata angkatannya. Dari KABAR dia mampir ke Harian Gorontalo Post (kalau tak salah ingat di posisi Redaktur Pelaksana), kemudian Tabloid DeTAK (pengganti almarhum DeTik), Totabuan, dan akhirnya ke dunia politik dengan bergabung di PBR.

PBR tampaknya bukan wahana yang memuaskan kegelisahan politiknya. Begie lalu pindah ke PAN, kemudian mampir ke PG, dan akhirnya kembali ke PAN dan bahkan terpilih sebagai Ketua DPD KK. PAN rupanya menjadi ‘’rumah’’ yang cocok dengan gaya politik Begie yang low tone, low profile. Dia tipe politisi pemikir dan pekerja, bukan yang meledak-ledak, apalagi grasa-grusu. Pilwako KK 2013 menjadi pembuktian, bagaimana dia terlibat sebagai salah satu pilar yang menggerakkan mesin PAN mendukung pasangan Tatong Bara-Jainuddin Damopolii, tanpa tergoda (dalam posisi Ketua DPD KK) tampil sejajar dengan kandidat yang diusung.

Dia memahami kapan harus mengambil peran di depan dan di saat mana mesti memposisikan diri tetap di belakang layar dengan disiplin.

Di tengah brutalitas politik lokal Mongondow, mengedepankan visi, ide, dan hubungan yang dilandasi kepercayaan, sungguh mencemaskan. Dan saya kian cemas tatkala Begie terdaftar di Nomor Urut 9 Caleg PAN Dapil Kotamobagu Barat untuk DPR KK di Pemilu 2014. Saya menguatirkan gaya berpolitiknya terlampau canggih untuk konstituen yang terlanjur silau pada kemasan dan –terlebih—iming-iming transaksional untuk setiap pilihan yang mereka ambil.

10 tahun terakhir, baik di Pilkada, Pilwako, dan Pileg di Bolmong Raya, harga per suara telah dengan konstan mengalami penyesuaian. Menurut bisik-bisik yang mampir ke kuping saya, per suara di Pemilu 2014 ini, untuk DPR KK setidaknya mencapai kisaran Rp 300 – Rp 400 ribu. Begie, yang sekali pun lahir dari lingkungan keluarga yang punya keterikatan kuat dengan politik (ibunya adalah mantan politisi PG dan anggota DPR Sulut), sepengetahuan saya tidak punya modal memadai bila dipaksa turut mempraktekkan politik transaksional itu.

Namun, saya cemas bukan karena buaian mimpi menyaksikan Begie dilantik sebagai anggota DPR 2014-2019. Melainkan, bila konstituen di Kotamobagu Barat gagal melihat potensi besarnya, maka apa lagi yang kita harap dari politik yang dipraktekkan di KK? Tidak ada derita lebih memiriskan dari DPR yang melulu berisi orang-orang tua yang kian karatan dan miskin kreativitas; serta anak-anak muda tong kosong yang cuma pamer gaya dan keriuhan ala boys and girls band.***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

Bolmong: Bolaang Mongondow; Caleg: Calon Legislatif; Dapil: Daerah Pemilihan; DPC: Dewan Pimpinan Cabang; DPD: Dewan Pimpinan Daerah; DPR: Dewan Perwakilan Rakyat; HUT: Hari Ulang Tahun; KK: Kota Kotamobagu; PAN: Partai Amanat Nasional; Pemilu: Pemilihan Umum; PBR: Partai Bintang Reformasi; PG: Partai Golkar; Pilbup: Pemilihan Bupati (dan Wakil Bupati); Pileg: Pemilihan Legislatif; Pilwako: Pemilihan Walikota (dan Wakil Walikota); RI: Republik Indonesia; dan Sulut: Sulawesi Utara.