Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Friday, April 18, 2014

Gelar Pahlawan untuk Tukang Tipu, Maling, Copet, dan Garong

HASIL PSU di TPS V Kelurahan Mongkonai, KK, Sabtu (12 April 2014), saya ketahui  di hari yang sama dari kabar yang tiba saat menghidupkan telepon di Bandara Soekarno-Hatta. Kendati turut bersuka sebab Caleg Nomor 9 PAN Dapil Kotamobagu Barat untuk DPR KK (yang memang secara pribadi dekat dengan saya), Anugrah Begie Chandra Gobel, meraih suara signifikan di TPS ini, saya tak langsung merespons informasi itu.

Lelah yang menggayuti punggung, berlanjutnya diskusi beberapa detil pekerjaan dengan Direktur Bisnis dan Administrasi A+ CSR Indonesia, Reza Ramayana (yang semobil dengan saya dari bandara ke rumah di Jakarta Selatan), ditambah menyempatkan diri mengunggah tulisan di blog ini, membuat saya baru mengontak adik-adik pada Minggu pagi (13 April 2014). Itu pun tidak spesifik tentang PSU, melainkan perkiraan hasil Pemilu di Dapil Kotamobagu Barat berdasar catatan yang  mereka himpun dari para relawan yang memantau perhitungan suara di TPS-TPS.

Kamis, 17 April 2014, di tengah perjalanan antara Balikpapan-Samarinda, BBM saya menerima protes dari seorang kawan jurnalis karena pekan lalu berada di Kotamobagu tapi menyembunyikan diri. Salah satu adik kandung saya bahkan bertanya, ‘’Ada di Mongkonai katu’ waktu PSU?’’ Mengingat saya bukan anggota komunitas hantu, jin, atau demit yang punya kemampuan berpindah tempat hanya sekejap mata, kebingunganlah yang menggantung di kepala.

Saya baru mengerti konteks protes dan pertanyaan itu setelah beberapa menit kemudian menerima pesan berisi tulisan Pitres Sombowadile, Hantu Sok Tahu Katamsi, yang tampaknya merespons Tragedi Kilah Akalbusyukus (Sabtu, 12 April 2014) dan Ideologi ‘’Salesman’’ Obat Cacing (Minggu, 13 April 2014) yang berturut saya unggah. Dengan tetap menjaga niat tak lagi memperpanjang debat tak bermutu dengan Pitres, saya menyimak tulisannya dan berhenti di bagian tuduhan pekan lalu saya (seolah-olah) berada di Kotamobagu dan sibuk dengan PSU di TPS V Kelurahan Mongkonai.

Saya sungguh iba dengan Pitres. Dia gelap mata dan tak mampu membungkus nafsu membabi-buta meruntuhkan kredibilitas saya, hingga memamah-biak informasi apa saja yang sekiranya dapat dijadikan senjata menyudutkan. Pit, sebagai orang yang pernah dianggap kawan (saya sendiri tetap menempatkan Pitres sebagaimana karib yang lain), saya sekadar mengingatkan: Tolong jangan persamakan saya dengan Anda yang terbiasa berdusta, manipulatif, senang mengklaim dan mengaku-ngaku, serta syur dengan duga-duga dan spekulasi.

Beberapa hari sebelum Pemilu hingga tulisan ini dibuat, hanya sesekali saya menengok urusan politik praktis. Saya tenggelam dengan pekerjaan yang mengharuskan menempuh perjalanan panjang dan menyita waktu, berpindah-pindah tempat dengan aneka moda transportasi. Dengan rendah hati saya mengakui, saya sedang disibukkan urusan perut, supaya tidak menadahkan tangan dan bergantung pada ‘’kebaikan hati’’ tuan dan puan politisi yang mesti di-services bahkan dengan menggadaikan harga diri dan ideologi.

Tak lama setelah BBM berisi tulisan Pitres, dua nomor telepon saya dibanjiri informasi yang sama, lengkap dengan dukungan agar bereaksi sama kerasnya. Tak hanya BBM dan SMS, beberapa kawan menelepon, termasuk yang pernah terlibat di Tabloid KABAR, menyampaikan pendapat dan komentar berkaitan dengan ‘’kekalapan’’ Pitres. Tanggapan saya pendek saja: ‘’Biar jo. Kita toh nyanda rugi apa-apa. Kalu karna Pitres pe tulisan lalu orang so nimau’ bergaul deng kita, trus apa depe masalah? Dia katu’ lagi cari makang.’’

Lagipula kalau mendiskreditkan saya membantu kawan mendapatkan gantungan hidup atau tetap dipekerjakan; tidak kehilangan ego dan kesombongan; tegak harga diri dan perasaan superior-nya, saya benar-benar telah mengikhlaskan. Saya sudah membuktikan Pitres memerlukan ‘’tanah air’’ di Mongondow dan dukungan orang-orang yang masih dapat dia kais simpati dan kekagumannya demi urusan asap dapur dan perut. Termasuk dengan berganti-ganti ‘’kulit’’ bagai bunglon. Selebihnya, tidak ada yang personal. Kalau dia kehilangan fokus lalu sibuk menyerang saya pribadi, orang boleh mengecek siapa yang punya teman abadi dan siapa yang tidak.

Percakapan via telepon dengan (saya terpaksa menyebut nama) Iverdixon Tinungki dan Reiner Ointoe, menyadarkan saya agar sekali lagi menulis ihwal polemik yang sudah jauh melenceng dengan Pitres. Namun, tulisan ini tidak ditujukan pada Pitres Sombowadile, melainkan sejumlah orang yang tahu duduk-soal yang dipercakapkan, yang dengan baik hati menyampaikan simpati terhadap saya.

Pertama, tentang penggunaan kata ‘’tragika’’. Tulisan yang menjadi isu bukanlah puisi atau sejenisnya. Pembaca yang paham berbahasa Indonesia yang baik dan benar, apalagi ahli bahasa (setidaknya mereka yang lulusan jurusan Bahasa Indonesia), tahu persis kebenaran koreksi saya. Bahwa ada pihak yang memaknai berbeda, urusan yang bersangkutanlah. Yang terang-benderang saja dikabur-kabur dan dibelit-belitkan, apalagi yang abu-abu dan samar.

Kedua, data, latar dan motif Pitres menulis PAN dan Tragika Yasti. Hasil survei yang dirilis lembaga-lembaga sigi (politik) sepanjang Januari hingga Maret 2014 sangat dinamis, berbeda, bahkan membingungkan kalangan awam. Tetapi seorang analis atau konsultan politik tentu punya pengetahuan dan kehati-hatian dalam mengkonklusi hasil survei. Lain soal kalau yang mengaku-ngaku itu ternyata sekadar keripik kentang.

LSI, misalnya, sebagaimana dikutip merdeka.com, Rabu (2 April 2014), berdasar survei 26-26 Maret 2014 di 33 provinsi menggunakan multistage random sampling dengan 1.200 responden, meramalkan PAN hanya mendapatkan 3,0 persen suara. Namun, 3,0 persen tidaklah benar tanpa mengindahkan ‘’peringatan’’ bahwa margin of error surveinya berada di kisaran 2,9. Artinya, 3,0 persen bisa berarti hanya 0,1 persen (yang jelas tidak masuk akal) atau justru 5,9 persen.

Pitres boleh berkelit dan berkilah dengan merujuk angka-angka lembaga survei mana pun. Tapi tak jujur mengemukakan margin of error, dia hanya menyampaikan sebagian kebenaran; sekaligus menyembunyikan kebenaran lain yang lebih mustahak dan penting bagi kesadaran politik khalayak. Dengan begitu analisisnya tentu cuma konsumsi tipu-tipu.

Sama dengan kepengecutan mengakui dia adalah tokoh utama tim pendukung Didi Moha saat menulis artikel ‘’mengecilkan’’ Yasti Soepredjo Mokoagow. Harus dinilai apakah perilaku seperti ini? Tokoh dengan kredibilitas dan integritas yang layak diberi dua jempol? Bila demikian adanya, sekalian saja kita beri gelar pahlawan pada para tukang tipu, maling, copet, dan garong.

Ketiga, saya baru tahu beberapa hal yang selama ini samar-samar tentang Tabloid KABAR. Tampaknya memang ada perbedaan ingatan antara fakta masa lalu dan apa yang dipercayai hari ini oleh satu orang. Ingatan saya –juga teman-teman lain yang berkontak dua hari terakhir—tidak ada yang berbeda. Contohnya, hanya ada tiga nama yang disepakati di akte institusi yang menerbitkan KABAR karena (sebagaimana alasan utama yang dikemukakan Pitres waktu itu) yayasan di mana tabloid ini berinduk ‘’terafiliasi’’ dengan gerakan gereja. Hal lain, mundurnya Reiner Ointoe (bersama Soewiryo Ismail) bukan karena saya; tetapi karena ada kutu busuk dalam pengelolaan manajemen dan keuangan.

Demi menghindari kesilapan, Jumat pagi (18 April 2014) saya sempat bertanya pada Reiner, apakah benar penyebab dia meninggalkan KABAR karena perbedaan pendapat teknis (keredaksian) dengan saya? Jawabannya, diiringi tawa lebar, ‘’Sapa yang bilang itu? Torang memang banyak berbeda pendapat. Bakalae lei. Tapi bukang itu depe soal.’’ Reiner juga mengkonfirmasi peristiwa di LBH Manado, di mana saya pernah dipersoalkan oleh sejumlah aktivis, bahwa memang semata karena kedekatan dengan seorang tokoh yang dianggap mengancam ‘’perjuangan’’ kelompok.

Selebihnya, saya enggan menggali-gali jasad dan hantu masa lalu. Bila orang-orang yang dulu pernah seiringan, berkarib dengan segala perbedaan pendapat dan laku didudukkan bersama-sama dan semua iblis-iblis yang dianggap sebagai ganjalan dibeber, saya yakin bukan saya yang malu dan kehilangan harga diri. Orang-orang yang disebut-sebut Pitres di seluruh tulisannya masih hidup, mudah dihubungi, dan tak akan menjadi pembela bila saya memang manipulator dan pembohong tak berintegritas.

Dan keempat, saya tak berminat berlebar-lebar ke urusan dengan pihak yang tak relevan seperti Bupati Bolmong Salihi Mokodongan atau institusi lain di mana saya dikait-kaitkan dan diulas oleh Pitres seolah-olah dia lebih tahu dan terlibat langsung (sebagaimana halusinasi saya terlibat mengurusi PSU di TPS V Mongkonai). Sikap saya sebagai orang Mongondow tegas dan diupayakan konsisten: Mengkritik yang pantas dicela, mengapresiasi yang layak diakui. Demikian pula, sebagai pribadi saya tak henti berikhtiar dengan kepala dingin dan akal sehat, sekali pun itu bertentangan dengan pendapat kawan seiring. Putusan pribadi ini tak akan dibuka di khalayak yang lebih luas kecuali orang per orang yang terkait langsung mengundang umum terlibat.

Saya merespek setiap orang, hubungan-hubungan dari masa lalu dan kini, dengan membedakan mana yang publik dan private. Mana yang layak diumbar dan mana yang sebaiknya ditutupi. Sebab itu, sekali pun mudah mengisahkan sisi-sisi gelap Pitres, saya membatasi hanya sampai di urusan yang terukur dan terkait dengan sepak terjang publiknya. Semoga saya tidak pernah tergelincir menjadi kalap, merongrong kredibilitasnya semata karena rivalitas yang tak perlu. Semata demi mempertahankan kepentingan sesaat, sesuatu yang rapuh, dan sumir.***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

BBM: BlackBerry Messenger; Bolmong: Bolaang Mongondow; Caleg: Calon Legislatif; DPR: Dewan Perwakilan Rakyat; KK: Kota Kotamobagu; LBH: Lembaga Bantuan Hukum; LSI: Lingkaran Survei Indonesia; PAN: Partai Amanat Nasional; PSU: Pemungutan Suara Ulang; SMS: Short Message/Pesan Pendek; dan TPS: Tempat Pemugutan Suara.