DI MONGONDOW ekspresi
yang diwakili bahasa tertentu sangat bergantung pada konteks penggunaannya. Di
kelompok yang tahu sama tahu, di suasana dan saat yang tepat, yang berarti makian justru menunjukkan
keakraban.
Tumbuh besar di Mogolaing, saya familiar dengan (maaf) kata bure yaya’, yang bila digunakan di
sembarang tempat gampang memicu pertengkaran, bahkan adu fisik. Tapi bure yaya’ dapat pula menjadi ekspresi
keterkejutan; menunjukkan keakraban di antara satu atau dua sahabat kental;
sekaligus pelampiasan amarah.
Di masa kuliah saya pernah memelihara seekor anjing hasil
persilangan ras Jerman dan anjing kampung. Anjing lucu ini (persis Herder
tetapi bertubuh lebih kecil) diberi nama ‘’Bure’’. Setiap kali Ibu saya ke
Manado menegok anak-anaknya, kupingnya selalu gatal mendengar kami memanggil
‘’Bure’’.
Selain bure yaya’,
saya juga khatam dengan walio (dengan
sentuhan ‘’r’’ pada huruf ‘’l’’) yang umum digunakan terutama oleh warga
Lolayan yang bermukim di Kopandakan dan sekitarnya. Namun dibanding bure yaya’, kata walio lebih multi dimensi. Dia mewakili suasana apa saja: Terkejut,
takjub, sedih, marah, juga gembira.
Di Kopandakan, situasi apapun bisa ditambahi dengan walio. ‘’Walio, na’anta iko in no sarjana bidong’’; walio, ta no dia’ bidon na’anta in ki utat naton’’; walio, kana-ko’ mai punsiana bi’ in notarap
magi’; walio, aka kalakuang-mu in
na’ni’on-bi’, yo iko in butukon-ku bi’; walio,
na’-anta iko in ko ompu bidon.’’
Belakangan, serapan bahasa Indonesia atau Melayu Manado kian
memperkaya ekspresi berbahasa orang Mongondow. Salah satu kata yang menarik
perhatian saya –dan kerap pula saya gunakan di aneka suasana— adalah
‘’biongo’’. Secara harfiah kata ini (dari konsultasi sepintas dengan Uncle Google) bisa berarti ‘’bodoh’’
atau ‘’gila’’. Penggunaannya, kurang lebih sama dengan walio.
Tidak salah bila bersua pengendara sepeda motor atau mobil
ugal-ugalan, saya menyerapahkan ‘’biongo’’ sekuat-kuatnya. Demikian pula,
ketika melihat atau mendengar seseorang yang saya kenal melakukan tindakan tak
semestinya, tak salah kalau tercetus ‘’biongo’’. Atau, dalam percakapan akrab
dengan karib dan keluarga di garasi rumah di Malalayang, lalu ada kisah lucu
yang ditutur, saya kerap tak dapat menahan diri untuk menyeburkan ‘’biongo’’.
Karena itu saya menganggap normal (bahkan kocak) mengetahui
istri salah seorang elit Mongondow spontan mengucapkan ‘’Astaga, Biongo!’’
sebagai ekspresi kaget atau geli terhadap sesuatu. Menurut kawan-kawan yang
kerap diterima di ruang makan rumahnya dengan tangan terbuka, sekadar bertukar
cerita dengan perempuan ceria ini, suasana hatinya dapat ditakar dari apa yang
diucapkan. Kalau ‘’Astaga, Biongo!’’ keluar, artinya hati sedang senang, langit
pun cerah.
***
Hati saya sedang sesegar pagi di Jalan Amal selepas hujan saat
membaca Panwas Kotamobagu Tegur PNS Ikut
Road Show Incumbent (http://idmanado.com/panwas-kotamobagu-tegur-pns-ikut-road-show-incumbent/)
di Idmanado.Com, Senin (4 Maret 2013).
Dua jempol untuk Panitia Pengawas (Panwas) Pemilihan Walikota Kota Kotamobagu
(Pilwako KK. Mereka serius menegakkan aturan, kelihatannya tanpa pandang bulu.
Kelakuan pegawai negeri sipil (PNS) di Mongondow, khususnya
berkaitan dengan Pilwako KK 2013 ini, memang kian menjadi-jadi. Konvoi
Djelantik Mokodompit (DjM)-Rustam Simbala (RS) yang diusung sebagai bakal calon
Walikota-Wakil Walikota (Wawali) oleh Partai Golkar (PG) dan PDI Perjuangan, Kamis
(28 Februari 2013), tak hanya ditaburi PNS tapi bahkan secara terang-terangan
mengerahkan abdi negara ini agar terlibat aktif.
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 53 Tahun 2010 Tentang
Disiplin Pegawai Negeri Sipil sudah menjelaskan dengan rinci apa yang boleh dan
tidak dilakukan seorang PNS. Pasal 4 Ayat 15 menegaskan larangan, bahwa:
‘’(PNS) dilarang memberikan dukungan kepada calon Kepala Daerah/Wakil Kepala
Daerah, dengan cara: a) terlibat dalam kampanye mendukung calon Kepala
Daerah/Wakil Kepala Daerah; b) menggunakan fasilitas yang terkait dengan
jabatan dalam kampanye; c) membuat keputusan dan/atau tindakan yang
menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon selama masa kampanye;
dan/atau; d) mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap
pasangan calon yang menjadi peserta pemilu sebelum, selama, dan sesudah masa
kampanye meliputi pertemuan, ajakan, himbauan, seruan, atau pemberian barang
kepada PNS dalam lingkungan unit kerjanya, anggota keluarga, dan masyarakat.
Panwas KK pasti hafal seluruh isi PP Nomor 53/2010 itu dan
telah pula dengan cermat mengawasi ‘’ulah’’ para bakal calon Walikota-Wawali
KK. Namun, entah mengapa, sebagaimana yang dikutip Idmanado.Com, titik-berat cermatan Panwas KK kelihatannya cuma konvoi
yang digelar bakal calon Walikota-Wawali dari Partai Amanat Nasional (PAN),
Tatong Bara (TB)-Jainudin Damopolii (JD), yang berlangsung Jumat, 1 Maret 2013.
Menurut Ketua Panwas, Agus Irianto Paputungan, saat
pasangan TB-JD melakukan konvoi, pihaknya menemukan keikusertaan sejumlah PNS
dari Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bolaang Mongondow (Bolmong) Induk. Untuk
itu, Panwas KK akan mengirimkan surat ke Pemkab Bolmong sebagai institusi
yang membawahi para PNS tersebut.
Bagaimana dengan PNS di lingkungan Pemerintah Kota
(Pemkot) KK? Apa langkah yang akan diambil Panwas? Mudah-mudahan ada pernyataan
dari Agus Irianto Paputungan, namun tercecer dari tubuh berita karena kealpaan
wartawan yang menulis. Sebab kalau ‘’semut pelanggaran’’ PNS Pemkab Bolmong
tampak di pelupuk mata Panwas, masak iya gajah pengerahan PNS Pemkot KK di
konvoi DjM-RS lewat begitu saja?
Tak elok kalau akhirnya warga KK menyimpulkan: Panwas
hanya punya satu mata dan telingga. Cuma bisa melihat dan mendengar di satu sisi,
tapi buta-tuli di sisi lainnya.
***
Akan halnya PNS, baik dari Pemkab Bolmong –juga Pemkab
lain di Mongondow-- atau Pemkot KK yang turut serta di dua konvoi bakal calon
Walikota-Wawali itu, saya tak punya komentar banyak. Yakinlah mereka adalah
orang-orang yang sama, yang selama ini diuntungkan karena meletakkan lidah
(sekali lagi maaf) di bokong politikus yang duduk di jabatan publik tertinggi.
Percuma mengingatkan mereka bahwa ada etika dan
profesionalisme birokrat, PP Nomor 53/2013, bahkan harga diri. Karena tak
memiliki kapasitas dan kapabilitas memadai, satu-satunya yang mampu dilakukan
hanya menghamba, termasuk dengan cara-cara menjijikkan.
Sudah benar komentar (mengutip istri salah seorang elit
Mongondow) yang menunjukkan kekagetan atas ulah para PNS yang genit politik
praktis itu, ‘’Eh, PNS iko konvoi?
Astaga, Biongo!’’ Ini ‘’biongo’’ sebenar-benar biongo.***