Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Saturday, March 16, 2013

''Paka-Paka Nyamuk''


PEMILIHAN Walikota (Pilwako) Kota Kotamobagu 2013 benar-benar jadi pesta rakyat. Tiga hari terakhir, Kamis-Sabtu (14-16 Maret 2013), tahap pendaftaran bakal calon Walikota-Wakil Walikota (Wawali) sudah diiringi keriuhan dan keriaan yang melibatkan ribuan orang. Jalanan macet disesaki manusia dan aneka jenis kendaraan yang meraungkan bising; juga diterabasnya aturan-aturan lalu lintas sesukanya.

Demokrasi sebagai salah satu produk luhur peradaban manusia memang menyenangkan, sekaligus membingungkan. Di Pilwako KK, demokrasi yang seharusnya dimaknai dan diterapkan sebagai salah satu pendekatan ideal bertata negara dan bertata laksana, dijungkir-balikkan, terutama oleh aktor-aktornya utamanya sendiri.

Tatkala kandidat usungan Partai Amanat Nasional (PAN), Tatong Bara (TB)-Jainudin Damopoli (JD), didaftarkan ke Komisi Pemilihan Umum (KPU), saya berdecak melihat foto-foto massa yang mengiringi keduanya. Sekali lagi pasangan ini unjuk kekuatan, bahwa mereka adalah pemain utama yang masuk gelanggang dengan keyakinan keluar sebagai pemenang.

Saya memang mendesiskan kekaguman. Baik pada prosesi yang digelar; hadirnya banyak pegawai negeri sipil (PNS) Kabupaten Bolaang Mongondow (Bolmong) Induk (yang memang masih tercatat sebagai warga KK), lengkap dengan uniform ‘’Kota Untuk Semua’’; maupun pengabaian Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya. Yang paling nampak dari pelanggaran yang terakhir ini adalah para pesepeda motor yang turut berkonvoi tak menggunakan helm.

Pesaing TB-JD yang diusung koalisi Partai Golkar (PD) dan PDI Perjuangan, Djelantik Mokodompit (DjM)-Rustam Simbala (RS), tak mau kalah. Jumat (15 Maret 2013), mereka juga mendaftar diiringi ‘’gelar pasukan’’ besar-besaran. Lengkap dengan PNS (kali ini mayoritas dari KK), termasuk pula kendaraan dinasnya; dan tak ketinggalan melepeh UU Nomor 22/2009.

Salah satu gambar yang saya sukai adalah pengendara sepeda motor berpelat dinas, dengan pakaian bertulis Golkar Family, yang turut di konvoi DjM-RS. Di beberapa forum sosial, foto ini dipertukarkan dengan dilekati slogan pasangan ini bersama aneka imbuhan: ‘’Djelas pelanggaran’’ atau ‘’Djelas tidak tahu diri’’.

Media-media arus utama mungkin tak banyak menulis peristiwa dan perilaku di balik dinamika Pilwako KK, entah karena itu dianggap kurang penting atau justru karena mereka tahu para pelaku utama gegar politik ini sudah buta-tuli. Tapi di media sosial isu-isu pelanggaran seperti itu menjadi topik sangat seksi. Sama dengan banjirnya komentar (kebanyakan adalah kekaguman dan apresiasi) terhadap poster ‘’Brenti Jo Badusta’’ (dengan tambahan ‘’Basis hp’’) yang tiba-tiba berdiri di salah satu sudut Kelurahan Pobundayan, di hari DJM-RS didaftarkan.

Di tengah kegilaan Pilwako, masih banyak akal sehat yang diam namun menyuarakan konsern-nya dengan cara sendiri.

Selain TB-JD dan DjM-RS, kandidat lain yang juga berupaya menunjukkan kekuatan pendukungnya adalah Muhamad Salim Lanjar (MSL)-Ishak R Sugeha (IRS) yang diusung koalisi Partai Demokrat (PD), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Partai Barisan Nasional (Barnas). Kendati tak sedasyat konvoi kandidat dua kandidat sebelumnya, pendukung MSL-IRS tetap signifikan. Terlebih di antara pesepeda motor yang mengiringi pedaftaran keduanya terdapat Bupati Bolaang Mongondow Timur (Boltim), Sehan Lanjar, yang menunggang Harley Davidson (HD) –ini yang terpenting— tanpa helm pengaman.

Hingga Sabtu malam (16 Maret 2013), dari lima pasang bakal calon Walikota-Wawali Pilwako 2013, hanya Nurdin Makalalag (NM)-Sahat Robert Siagian (SRS) yang merupakan hasil kolaborasi Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Demokrasi Pembaruan (PDP), dan Partai Peduli Rakyat Nasional (PPRN); serta kandidat dari parti politik (Parpol) non seat, Toan Tongkasi (TT)-Lucky Mangkey (LM), yang didaftarkan tanpa gelegar berlebihan.

***

Di kerumunan ribuan orang yang ‘’terujung’’ gairah politik, kita gagap berpaling menegok aturan dan para penjaganya. Menyaksikan gerombolan PNS di konvoi para kandidat, saya bertanya-tanya: Kemanakah Penitia Pengawas Pemilu (Panwaslu KK)? Apa karena mereka sibuk dengan studi banding dan bimbingan teknis (demikian yang saya baca selintas di satu situs berita) hingga pelanggaran-pelanggaran telanjang yang dilakukan hampir semua kandidat hanya berlalu bagai asap ditiup angin?

Kemanakah pula polisi lalu lintas yang biasanya garang terhadap pelanggar aturan di jalan raya? Jerikah mereka melihat ribuan orang terang-terangan mengentuti UU dan turunannya yang selama ini susah-payah ditegakkan, tak peduli dipanggang terik matahari atau dikuyupi hujan?

Apakah Panwaslu dan aparat kepolisian (juga institusi berwenang lainnya) cuma ‘’paka-paka nyamuk’’? UU dan turunan tak beda dengan resep kue yang biasanya dicantumkan di kaleng margarine?

Saya tak habis pikir, para kandidat yang berbusa-busa meneriakkan ide menjadikan KK lebih baik lewat visi dan misi berbunga-bunga, di momen penting justru terang-terangan mempraktekkan (atau membiarkan) tindakan yang berkebalikan. Apa boleh buat, dengan hati yang tawar oleh kecewa, saya menyimpulkan demokrasi yang kini dipraktekkan di KK masih sekadar ‘’demokrasi konvoi’’. Persetan dengan visi dan misi; prek dengan hari-hari ke depan yang lebih baik. Sebab yang penting bukanlah kemaslahatan besok; melainkan aksi apa yang dapat diekspresikan hari ini. Mumpung kita semua sedang berada di tengah pesta.

Namun, di antara semua pelanggar dan pelanggaran yang meruyak tiga hari terakhir terkait pendaftaran kandidat Pilwako KK, yang harus sangat disorot adalah aksi ber-HD Bupati Boltim. Eyang –sapaan akrabnya—yang turut mengantar pendaftaran MSL-IRS dengan menunggang sepeda motor tanpa mengenakan helm, menurut saya adalah pejabat publik yang ceroboh dan mentang-mentang. Dengan rasa sayang dan hormat, (sekali lagi) saya ingin mengingatkan dia.

Kebiasaan Eyang bersepeda-motor tanpa helm sudah menjadi pengetahuan dan pemahfuman umum, utamanya ketika dia berkeliling di wilayah kekuasaannya. Polisi di Boltim tentu tak berani mencegat Bupati dan menyodorkan surat tilang. Tapi ini ketidak-adilan yang menjengkelkan karena polisi pasti tidak segan menyemprit orang biasa yang berlaku sama, yang dipergoki atau tepergok di lain kesempatan.

Eyang sendiri, sebagai pejabat publik yang menjadi panutan, semestinya juga menyadari perilaku itu tak hanya memberikan contoh buruk, tetapi juga menginjak-nginjak aturan formal yang seharusnya turut dia tegakkan dengan konsisten. Saya yakin bila Eyang mengenakan helm (tidak perlu yang menutup seluruh kepala dan wajah), kegantengan dan pesonanya tidak akan luntur.

Lagipula apa hebatnya bersepeda motor tanpa helm? Geng sepeda motor sekelas Hells Angels pun sekarang menggunakan helm. Mereka telah lama menanggalkan kelakuan yang hanya menunjukkan ketololan di jalan raya. Bukan semata karena mematuhi aturan, tetapi bahkan anggota Hells Angels yang berbadan bak banteng pun menyadari, aspal jalanan lebih keras dibanding batok kepala manusia.

Masak Eyang, Bupati yang kini jadi kebanggaan di seantero Bolmong Raya, lebih rendah adabnya dibanding anggota Hells Angels?***