Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Sunday, March 24, 2013

Sedekah Politik, Tunjangan Politik


PERTANYAAN itu sederhana dan tanpa basa-basi. Beberapa menit sebelum lewat tengah malam, Minggu (17 Maret 2013), saya menerima telepon dari salah seorang tokoh di Kota Kotamobagu (KK), yang langsung mengatakan, ‘’Ada lima pasang kandidat bakal calon Walikota-Wakil Walikota (Wawali), yang mana yang harus didukung?’’

Pertanyaan itu sangat serius. Sang penelepon pun, sepengetahuan saya, bukan orang yang senang tunjung jago mengklaim punya pengikut. Kendati ada barisan panjang di belakang yang terbukti setia, mendengarkan, dan (umumnya) mengikuti instruksinya. Andai pemilihan walikota (Pilwako) KK di Senin, 24 Juni 2013 mendatang adalah pemilihan legislatif (Pileg), tanpa berlebih saya berani mengatakan pengaruh tokoh kita ini mampu mendudukkan tak kurang empat anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Setelah beberapa detik mencernah, saya balik bertanya, ‘’Mengapa saya yang dijadikan referensi?’’ Ini bukan pertanyaan pura-pura gila dan pura-pura bodoh, tetapi karena kesadaran di Mongondow (untuk yang kesekian kali) saya bukanlah siapa-siapa. Bukan tokoh masyarakat, tidak pula tokoh politik, apalagi tokoh budaya. Saya cuma anak Mogolaing yang gemar menuliskan sinisme, kritik, dan serapah terhadap pejabat publik lancung, yang jauh dari ilmiah.

Jawaban datang segera, bahkan sebelum saya menarik nafas. Tokoh yang menelepon itu bilang, ‘’Saya menghargai akal sehat Anda. Memang kadang-kadang membuat marah, tetapi akal sehat tetaplah penting supaya torang samua nyanda mengulang kesalahan yang sama, setiap kali memutuskan memilih pemimpin.’’

Terima kasih. Paling tidak di tengah ghirah politik Pilwako KK dengan aneka kelucuan dan ketidak-mengertiannya, masih ada satu-dua orang yang tidak terseret arus dan ombak dukung-mendukung irasional.

***

Sesungguhnya, hingga tulisan ini dibuat saya bersikap netral terhadap lima kandidat bakal calon Walikota-Wawali KK 2013-2018. Ada sejumlah alasan yang mendasari pilihan itu.

Pertama, sejauh ini saya tidak melihat ada satu pun calon yang memenuhi syarat minimal. Rekam jejak mereka biasa-biasa saja, sebagian bahkan di bawah standar. Patahana, Walikota Djelantik Mokodompit (DjM) dan Wawali Tatong Bara (TB) yang dipersepsikan sebagai dua kandidat utama, beserta para pendukung dan penyokongnya, lebih asyik adu sentiment pro-kontra ketimbang merumuskan dan memperlihatkan pada konstituen apa yang semestinya dilakukan untuk KK selama lima tahun ke depan.

Kandidat lain pun berupaya merespons dengan cara yang sama. Contoh paling sederhana, karena TB-Jainudin Damopolii (JD) didaftarkan menunggang Jeep terbuka, lengkap dengan konvoi, kandidat lain juga mati-matian mengerahkan massa agar tampak punya kekuatan setanding. Politik dan demokrasi apa yang dapat dipelajari dari praktek semacam ini?

Kedua, kualitas kepemimpinan seseorang ditakar dari bagaimana dia merumuskan, mempersiapkan, dan mengimplementasikan apa yang direncanakan. Dari proses memasangkan lima kandidat yang kita terdaftar, warga KK dapat menilai bahwa semua pasangan tidak punya cetak biru yang dapat dipercaya. DjM dan TB yang siap dengan partai penyokong (Partai Golkar –PG—dan Partai Amanat Nasional –PAN) merendahkan diri mengikuti fit and proper test dan psikotes yang dilaksanakan PDI Perjuangan. Konyolnya lagi, TB bahkan tiba-tiba memaklumatkan pasangannya sebelum PDI Perjuangan mengumumkan hasil seleksi mereka.

Tidak lebih baik dari DjM dan TB, tiga pasang kandidat lain diputuskan menjelang batas akhir waktu yang ditetapkan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Mereka dipasang-pasangan bukan berdasar pertimbangan fundamental (kesamaan ideologi atau visi), tetapi sekadar supaya bakal calon Walikota punya bakal calon Wawali, dan sebaliknya; juga karena peluang koalisi dengan partai politik (Parpol) mainstream sudah tertutup. Faktor lain, ego Parpol dan elitnya yang masih mengedepankan kepentingan kelompok dan golongannya saja; ketimbangan kemaslahatan politik dan masyarakat KK di jangka panjang.

Ketiga, warga KK harus didorong memahami bahwa politik adalah proses yang semestinya masuk akal, fair, dan dua arah. Parpol, para elitnya, pendukung dan simpatan, serta bakal calon Walikota-Wawali tidak lebih tinggi posisinya dibanding warga yang memiliki hak pilih. Bahkan, konstituenlah yang berada di strata lebih tinggi.

Di Pilwako, Pileg, atau kompetisi politik umum lainnya, setiap politikus mengharap kesediaan konstituen menjatuhkan pilihan padanya, dengan berbagai cara. Sederhananya, mereka mengharapkan ‘’sedekah politik’’ yang hasilnya adalah kekuasaan, tetapi dengan imbang balik yang paradoksal buat warga: kemaslahatan bila politikus yang dipilih amanah dan kesengsaraan lima tahun kalau sedekah itu jatuh ke tangan yang salah.

Warga kebanyakan bukanlah elit atau pengurus Parpol yang memang diwajibkan terus-menerus melakukan segala upaya untuk institusi politik tempat bernaung; dan demi kepentingan karir politiknya sendiri. Kewajiban ini tak beda dengan tunjangan yang menuntut dipenuhi, tanpa peduli kondisi dan situasi.

Sepengetahuan saya mayoritas warga adalah ‘’massa mengambang’’ dengan keleluasaan memilih akan menyedekahkan suara ke Parpol, politikus, atau kandidat pejabat publik yang dianggap paling merepresentasi pemenuhan kebutuhan KK dan masyarakatnya. Lima pasang kandidat yang kini bertarung memperebutkan kursi Walikota-Wawali 2013-2018 harus mampu meyakinkan mereka layak menerima sedekah politik dari konstituen; dan tunjangan politik dari Parpol tempat bernaung serta anggotanya.

Sayangnya, setelah proses pendaftaran berlangsung, sejauh ini saya tidak melihat satu pasang kandidat pun yang layak  menerima sedekah politik itu; apalagi tunjangan.

***

Tabiat paling buruk dari para politikus (atau umumnya elit kita) adalah dengan sengaja memelihara lupa. Ingatan mereka hanya tajam menjelang Pemilu, Pilkada, atau di saat ada peristiwa perebutan kursi dan jabatan. Tiba-tiba semua orang, terlebih yang menganggap (atau dianggap) tokoh, disambangi, diakui sebagai kenalan baik, kawan dekat, bahkan keluarga –tak peduli kekeluargaan itu jaraknya sudah tujuh generasi.

Ingatan itu dibarengi keramahan dan aneka janji didukung pernyataan tertulis dan sumpah. Di event politik orang-orang yang sehari-hari bangsat besar tiba-tiba berwajah dan berkelakuan malaikat. Setelah itu, berhasil atau tidak kursi yang disasar diduduki, hanya perlu sedikit tempo mayoritas politikus sudah kembali ke laku lama.

Penggetahuan dari pengalaman panjang berurusan dengan politikus di Mongondow cukup jadi pelajaran. Karenanya saya bersikap netral di Pilwako KK 2013. Tidak ada kandidat yang layak dipercaya menerima sedekah politik yang mereka harapkan; apalagi tunjangan yang sifatnya di atas kesuka-relaan.

Toh pasangan mana pun yang terpilih, hasilnya tetap sama: Praktek politik dan pemerintahan seperti yang sudah kita kenal dan rasakan.***