Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Monday, March 25, 2013

Bukan Adat Para Biadab


AYU BASALAMAH telah dilepas dari kerangkeng sel Polsek Urban Kotabunan. Senin pagi (25 Maret 2013) saya menerima kabar itu disertai foto terbaru Ayu. Dia tak kurang apapun. Malah ada yang bertambah, yakni benjolan besar berwarna biru-ungu yang menutup mata kanannya.

Memandangi foto Ayu, ingatan saya melayang pada ajaran orang-orang tua Mongondow yang hingga kini masih dihormati masyarakat sebagai takaran keterdidikan, keberadaban, dan keberadatan kita. Tamu, kata para leluhur cerdik bijaksana, bukan hanya dihormati dengan bahasa sesantun-santun yang kita mampu, melainkan juga dijamu, diperlakukan sebagai raja, dan dijamin ketenangan lahir-bathinnya.

Di hari Novia Bachmid tersingkir dari Pentas Idola Cilik, Ayu dijemput oleh beberapa orang dan dibawa ke kediaman Bupati Bolaang Mongondow Timur (Boltim), Sehan Lanjar. Kita tahu bersama, musababnya adalah BlackBerry Messenger (BBM) Ayu yang ‘’dianggap’’ menista Bupati yang akrab disapa Eyang ini.

Pertemuan antara Eyang dan Ayu bukanlah persamuhan seimbang. Di foto yang saya terima tampak Eyang duduk sebagai tuan rumah yang percaya diri, sedang Ayu bak pesakitan dengan dua tangan dikepit di antara paha. Gambar ini memberi tahu kita mana pihak dominan dan siapa yang tersungkur bagai petinju KO di detik pertama, ronde pertama.

Semestinya dugaan penistaan Ayu terhadap Eyang selesai sampai disitu. Sebab menjemput Ayu ke kediaman Eyang pun sudah sebuah pelanggaran serius. Tugas polisi mengusut setiap dugaan tindak pidana; bukan Sehan Lanjar (sebagai Bupati dan pribadi), ajudan, apalagi hanya orang dekat. Namun kita maknai saja pertemuan Eyang-Ayu itu sebagai ikhtiar menyelesaikan masalah dengan cara kekeluarga. Sesuatu yang khas Timur dan efektif menjembatani silang-selisih tanpa menciptakan pemenang dan pecundang.

Usai pertemuan, Ayu yang kemudian digiring keluar, belum lagi 100 langkah lalui, bogem berdatangan menghantam dia. Saya yang tidak pernah siap mendifinisikan sosok Ayu, kecuali dengan sopan menuliskan dia lelaki yang cukup feminis, diperlakukan bagai samsak. Apa dayanya? Yang dia hadapi bukan pertandingan menata rambut, memasak cake, atau kompetisi cubit-cubitan. Ayu tumbang dan ‘’diamankan’’ ke sel Polsek Urban Kotabunan.

Polisi wajib mengusut penistaan oleh Ayu, kalau Eyang sebagai yang terduga menjadi subyek BBM berkeberatan. Namun, polisi juga mutlak menelisik dan menangkap pelaku penganiayaan terhadap Ayu, ada atau tidak laporan dari korban, karena kejadian ini berlangsung di hadapan mereka. Polisi tidak perlu pura-pura gila dengan alasan menunggu laporan dari Ayu; karena ini sama artinya dengan ada dua orang bandit saling bunuh di depan kantor polisi, sedang gerombolan aparat berwenang ini cuma menonton sembari menunggu ada laporan masyarakat yang terganggu, atau setelah salah satu tewas digorok dan yang lain sukarela menyerahkan diri ke tangan hukum.

Akan halnya Eyang, saya ingin mengisahkan bagaimana di satu hari awal Januari 2013 lalu kami menghabiskan setengah hari di Kopi Jarod Kotamobagu, bertukar cerita dan bual-bual. Saat itu Eyang menuturkan betapa dia menghargai dan menjunjung adat Mongondow. Penghormatan terhadap adat itu pula yang membuat dia bertekad menggelar pernikahan anak pertamanya, Fuad Lanjar, akhir Maret 2013 ini, dengan prosesi adat selengkap-lengkapnya.

Setiap tekad yang membawa kemaslahatan terhadap Mongondow saya dukung sepenuh hati; sebagaimana rencana Eyang mengadat-lengkapkan pernikahan putranya. Tetapi apakah adat Mongondow hanya soal nikah, khitanan, pemakaman, pembagian warisan, dan hal-hal formal populis lainnya? Bukankah keseharian yang sepele tetapi substansial dipayungi dan dilingkupi pula oleh tradisi, adat, dan budaya?

Dalam soal adat dan budaya Mongondow, penganiayaan terhadap Ayu Basalamah seusai dia dibawa bertemu Eyang adalah pelanggaran adat tak termaafkan. Orang-orang yang melakukan pemukulan bukan hanya telah mencemarkan nama baik Sehan Lanjar sebagai Bupati dan pribadi beserta keluarganya, secara tersirat tidak mengakui kepemimpinan Eyang, tetapi sesungguhnya juga mencemari keberadaban masyarakat Boltim umumnya.

Saya yakin seyakin-yakinnya, masyarakat Boltim yang tak makan bangku sekolah formal pun tahu, seorang tamu yang datang dengan sopan dan terjaga perilakunya lalu dianiaya usai bertandang ke rumahnya atau terlebih di halamannya sendiri, harus dibela bahkan dengan nyawa sekali pun. Pembelaan yang dilakukan bukan lagi sekadar kewajiban menghindarkan terjadinya kesewenang-wenangnya atau tindak-pidana, tetapi sudah menjadi perkara harga diri dan kehormatan.

Kehadiran Ayu, suka atau tidak, dengan sukarela atau paksaan, menempatkan dia sebagai tamu di kediaman Eyang. Ketidak-mampuan Eyang menjamin ketenangan dan keselamatan Ayu adalah bukti dia tuan rumah yang buruk. Maafkan saya, Eyang. Besok lusa, bahkan saya dengan nyali yang lumayan besar, akan berpikir dua kali bertandang ke kediaman Bupati (baik dinas maupun pribadi), terlebih karena saya masuk golongan yang suka mengkritik Anda. Saya kuatir kritik yang terlampau keras dimaknai sebagai penistaan oleh orang-orang di sekeliling, lalu akhirnya ada pembogeman atau sejenisnya yang saya terima.

Beda dengan Ayu yang hanya mampu menangisi nasib buruk yang mendadak menimpa kepalanya, saya takut karena kalau ada perlakuan fisik sewenang-wenang, saya tak akan diam. Mungkin malah bakal ada nyawa yang melayang. Setidak-tidaknya Eyang punya pengikut dan penurut fanatik, sama halnya dengan orang lain, termasuk saya.

Adat yang Anda hormati dan junjung tinggi itu, Saudaraku Eyang, diinjak-injak dan dikencingi di depan mata. Apa yang akan Anda lakukan demi membersihkan aib itu? Nista yang bukan hanya sahih dari aspek budaya Mongondow; tetapi juga tuntunan agama yang kita berdua anut dan tegakkan semampu yang kita dapat lakukan. Kalau melarang kemungkaran halaman rumah sendiri dengan mulut dan tangan saja Anda tidak mampu, padahal Bupati adalah pemimpin politik, pemerintahan, sosial, dan budaya tertinggi di Kabupaten Boltim, mestikah kami yang warga biasa melapor langsung pada Tuhan Yang Masa Esa?

Pelajaran adat lain yang saya terima sejak masa kanak menyatakan, di Mongondow seorang pemimpin bukan hanya jernih dan bijaksana dalam pikiran, fasih dan terampil mengolah lidah, perkasa dan kuat secara fisik, tetapi juga adil lahir-bathin. Ayu, tamu yang dianiaya usai menyambangi kediaman Anda, kini butuh wujud keadilan seperti apa yang dipraktekkan pemimpinnya.

Jajaran kepolisian di Mongondow mungkin segan mengusut perkara ini, lalu akhirnya derita Ayu hanya menjadi salah satu ‘’dark number’’ di antara kebiadaban kriminal yang terlupakan di tumpukan kasus berdebu file-file Polsek Urban Kotabunan. Tapi apakah dengan demikian Eyang masih dapat tidur nyenyak atau bangga mengaku dirinya sebagai pemimpin yang bersikap adil; juga warga negara dan warga adat Mongondow yang menghormati dan menjunjungi tinggi semua aturan dan norma, tertulis atau tidak?

Eyang boleh memilih hukum formal atau hukum adat untuk menyelesaikan penistaan terhadap dia dan keluarga, akibat laku lancung gerombolan biadab yang menganiaya Ayu. Namun menurut hemat saya, hukum formallah yang lebih tepat, dengan menyerahkan dan meminta polisi melakukan tugas mereka sesegera mungkin.

Menerapkan hukum adat terhadap pelaku penganiayaan, terlebih agar nama baik Eyang sebagai Bupati dan pribadi, seluruh keluarganya, juga masyarakat Boltim umumnya, bersih dari aib sebagai tuan rumah yang gagal, berkonsekwensi terlampau berat. Kecuali bila Eyang bersedia menerima siapa pun yang jadi pelaku diusir keluar dari Boltim. Adat Mongondow sungguh luhur, tetapi juga kejam dan dingin.***