Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Tuesday, March 26, 2013

HUT Bolmong: Parade Nista Kaum Dungu


PELECEHAN terhadap anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), Aditya Moha, di upacara peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) Kabupaten Bolaang Mongondow (Bolmong) ke-59, Senin (25 Maret 2013), tepat seperti yang saya duga: Ditanggapi dengan kilah, pemelintiran, bahkan dusta. Orang-orang yang terlibat dan bertanggungjawab, beserta pendukung dan penyokong mereka, berupaya mengalihkan isu dari laku nista sejumlah pejabat di jajaran Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bolmong, menjadi sabotase politis.

Lihat saja bagaimana di media-media utama terbitan Sulut, Selasa (26 Maret 2013), kasus memalukan itu terpolarisasi dalam dua cara pandang. Sebagian besar menilai batalnya Sidang Peripurna Istimewa HUT Bolmong karena Ketua DPR, Abdul Kadir Mangkat, dan anggota Fraksi Partai Golkar (FG) lebih mengedepankan kepentingan kelompok dibanding kemaslahatan orang banyak. Hanya sedikit media yang setia menyajikan fakta, bahwa boikot Ketua DPR dan Fraksi PG dilatari peristiwa yang mendorong mereka mengambil sikap tegas.

Sekali lagi, sebagai bagian dari masyarakat Mongondow, saya mendukung penuh sikap Abdul Kadir Mangkat dan anggota Fraksi PG. Dukungan ini disertai pernyataan, siapa pun yang menyayangkan, mengecam, atau mengkritik apa yang lakukan sebagian anggota DPR Bolmong itu, otaknya tidak lebih baik dari keledai. Dungu, sok tahu, tidak mengenal etika, jauh dari beradab, dan asal bunyi.

***

Tahukah Anda, wahai para komentator (dari birokrat elit, anggota DPR, politikus, hingga tikus yang mengaku aktivis –celakanya media pun suka rela mengutip mereka), diam-diam hari ini berlangsung rapat sangat tertutup yang membahas menghilangnya penyerahan Mobil Reaksi Cepat Penanggulangan Kecelakaan Kerja bantuan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Depnakertrans) ke Pemkab Bolmong dari daftar acara?

Begitu tertutupnya rapat tersebut, bahkan tidak membolehkan wakil yang dikirim Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang berhalangan, ikut serta. Dari dalam ruang rapat saya mendapat laporan rinci, salah satu aktor utama konspirasi busuk dan memuakkan itu ngalor-ngidul tak karuan, (persis seperti yang sudah pula saya tuliskan) bagai orang mabuk cap tikus. Tanpa malu-malu dia mengkambing-hitamkan jajaran Hubungan Masyarakat (Humas) yang memang menjadi penanggungjawab seluruh rangkaian acara upacara peringatan HUT Bolmong.

Pejabat pongah itu lupa mengecek, Humas Pemkab punya sejumlah bukti mereka sudah melaksanakan tugas dengan maksimal. Penyerahan fasilitas kesehatan bergerak untuk para pekerja yang akan dilakukan anggota Komisi IX DPR RI, Didi Moha, yang juga mengemban mandat sebagai wakil Pemerintah Pusat, tercantum dalam susunan acara. Ini diperkuat naskah pidato Bupati Salihi Mokodongan yang juga menyinggung penerimaan bantuan tersebut. Termasuk ucapan terima kasih Bupati pada Depnakertrans.

Bukti lain, di gladi resik yang dilaksanakan satu hari sebelum puncak acara, penyerahan bantuan Depnakertrans masuk dalam simulasi seluruh rangkaian kegiatan. Dengan kata lain, mempersalahkan Humas menunjukkan mentalitas oknum-oknum birokrat yang duduk di jajaran elit Pemkab Bolmong telah sedemikian luar biasa bobroknya. Mereka seperti maling yang tertangkap tangan lalu mengamuk membabi-buta.

Tak dapat disangkal, menghilangnya penyerahan bantuan tersebut dilakukan di menit-menit saat upacara peringatan berlangsung. Aktor yang menjadi operator lapangan adalah Kepala Bagian Tata Usaha Pimpinan (Kabag TUP) Pemkab Bolmong, Teguh Krisjati, yang bagai lintah menempeli master of ceremony (MC) demi memastikan pembatalan itu berlangsung mulus.

Kalau Teguh Krisjati merasa nama baiknya dicemarkan, dia boleh menggugat saya! Tapi ingat, upacara peringatan HUT Bolmong diliput media, direkam, disaksikan ratusan kepala. Posisinya adalah tikus yang terperangkap, terlebih apa urusannya Kabag TUP yang tugas pokok dan fungsinya adalah mengurusi administrasi terkait dengan Bupati, Wakil Bupati, dan Sekretaris Daerah (Sekda) dengan suksesnya tugas MC? Memangnya dia suami atau pacar si MC, yang demi ketenangan hati dan perasaan, harus menjaga kekasih tercinta dari godaan dan tatapan mesum hidung belang yang kebetulan terselip di antara hadirin?

Skenario pembatalan penyerahan bantuan oleh Didi Moha adalah konspirasi terencana. Tidak perlu otak dan tangan dingin seorang pakar untuk membedah siapa inisiator, pelaku, dan apa motif hingga pelecehan terhadap institusi negara (yang diwakili Didi) dan pejabat negara (Didi sebagai anggota DPR RI) terjadi. Cukup Teguh Krisjati kita tempeleng beramai-ramai (seperti yang dilakukan gerombolan biadab di sekitar Bupati Bolaang Mongondow Timur –Boltim—terhadap Ayu Basalamah beberapa hari lalu), dia pasti segera menyanyikan siapa dalang dan oknum-oknum bejat di baliknya.

***

Langkah menunda (kemudian dituduh sebagai ‘’sabotase’’ dan ‘’boikot’’ oleh sejumlah mulut asal bunyi) yang diambil Ketua DPR Bolmong dan anggota Fraksi PG, sesungguhnya adalah penyelamatan harga diri masyarakat Bolmong. Bagaimana orang Mongondow, khususnya yang tercatat sebagai penduduk Bolmong (Induk), lega beriaan di HUT kabupatennya sementara anggota DPR RI asal daerah ini yang hadir pula sebagai wakil Pemerintah Pusat dinista semata karena sentimen dan dendam pribadi seseorang di elit Pemkab?

Pernahkah, sejak Bolmong resmi berdiri sebagai kabupaten puluhan tahun silam, secara komunal kita bersepakat pelecehan atas nama sentimen dan dendam pribadi absah bila itu dilakukan oleh mereka yang berpangkat dan punya jabatan? Kalau tokoh sekelas Didi Moha (usianya memang muda, tetapi dia adalah anggota DPR RI) boleh dilecehkan, besok-lusa meludahi Bupati, Wabup, Sekda, atau Kepala SKPD kita nyatakan dan sepakati saja sebagai bagian dari budaya luhur orang Mongondow.

Ketimbang mencela dan mencerca Ketua DPR dan Fraksi PG, para pengkritik itu sebaiknya langsung pada sumber mala yang tepat terpacak di depan mata mereka. Bupati yang kepemimpinannya bagai kapal patah layar di tengah deraan ombak; para pejabat yang sikut-sikutan, asyik menjilat, dengan agenda pribadi masing-masing; serta pendukung dan penyokong pemerintahan Bupati-Wabup 2011-2016 yang kian lama suaranya makin mendekati bunyi radio rusak.

Berkilah, memelintir, apalagi mengarang-ngarang dusta demi membela para peleceh di HUT Bolmong ke-59, sama artinya dengan mendorong kabupaten ini lebih cepat karam.***