Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Monday, March 18, 2013

Mendadak ''Mei-Mei''


INI kenangan dari masa kanak. Karena ‘’belajar’’ sekolah di usia belum genap (sudah begitu tak pernah pula mencicip bangku Taman Kanak-Kanak), saya tergolong bocah yang serba kikuk: Bergaul dengan teman sekelas dianggap kecilan, bermain dengan sebaya ditolak sebab sudah Sekolah Dasar (SD).

Cara paling aman adalah menempel dengan kakak-kakak kelas yang lebih tua. Mengekor ke mana mereka bermain. Kalau yang dimainkan sepakbola, saya bersukarela jadi penonton merangkap pemungut bola out yang sangat aktif. Peran penting ini kurang lebih sama di permainan lain, entah itu bulu tangkis, kasti, atau pingpong.

Lama-kelamaan ada di antara mereka yang –saya yakin-- jatuh iba. Di permainan sepakbola saya diikutkan, walau lebih banyak lari dan jatuhnya ketimbang menendang bola. Main bulu tangkis dijadikan lawan tanding untuk pemanasan. Kasti, jadi pelengkap tim. Kakak-kakak sepermainan menyebut posisi yang saya tempati sebagai ‘’mei-mei’’. Sekadar pelengkap atau lebih halus lagi ‘’yang masih belajar’’.

Di masa dewasa, bahkan kini, ketika berhubungan dengan kalangan yang jauh lebih belia, saya kerap menengok kembali memori kanak-kanak dengan penuh syukur. Menjadi ‘’mei-mei’’ tidak pernah menciptakan perasaan direndahkan. Saya justru memaknai kesediaan membagi kesempatan dari kawan-kawan yang berusia lebih tua itu sebagai penghargaan.

Bedanya, pengalaman menjadi ‘’mei-mei’’ membuat saya selalu meletakkan yang berusia belasan pun, untuk konteks-konteks tertentu, di anak tangga dan derajat yang sama. Soal tulis-menulis, misalnya, saya bersedia berdebat dengan yang paling amatir sekali pun. Kerap dengan sadis dan menyakitkan. Tetapi itu karena saya menganggap yang dihadapi setanding dan harus diperlakukan dengan serius.

***

Sabtu malam (16 Maret 2013) tatkala bakal calon Walikota-Wakil Walikota (Wawali) Kota Kotamobagu (KK) 2013-2018, Toan Tongkasi-Lucky Mangkey (TT-LM)yang diusung partai politik (Parpol) non seat usai didaftar, saya menerima beberapa pesan pendek yang menulis pasangan ini sebagai ‘’kandidat mei-mei’’. Penilaian ini sahih dan masuk akal. Selain diusung Parpol yang nir kursi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), TT-LM tampaknya dipersatukan di menit-menit terakhir sebelum KPU resmi menutup proses pendaftaran.

Secara pribadi, sebagai bagian dari warga yang lahir dan tumbuh di KK (juga aktif mengikuti dinamika sosial-politiknya), dua nama ini tidaklah familiar di kuping saya. Tapi Pilwako bukanlah kontes popularitas semata. Saya yakin bila TT-LM punya ‘’sesuatu’’ yang layak ‘’dijual’’ ke konstiuen, dilakukan dengan cara yang tepat dan efektif, bukan tidak mungkin satu-dua pekan ke depan mereka berdua akan sangat populer di mata masyarakat KK.

Sama halnya dengan dua pasang kandidat lain, Nurdin Makalalag-Sahat Robert Siagian (NM-SRS) dan Muhamad Salin Lanjar-Ishak R Sugeha (MSL-IRS), yang ditetapkan oleh Parpol pengusung di kondisi kepepet. Mengikuti proses penetapan tiga pasang kandidat itu, kesan ‘’apa boleh buat, buat apa yang boleh’’, memang tak dapat dielakkan. Terlebih bila cara pikir yang digunakan adalah opini yang sudah terbentuk selama ini, bahwa Pilwako KK adalah arena pertarungan dua jagoan utama, Djelantik Mokodompit (DjM) dan Tatong Bara (TB); sedang sisanya sekadar pelengkap kompetisi.

Dengan cermatan yang dingin dan rasional, pilihan TB terhadap Jainudin Damopolii (JD) juga bukanlah berdasar pertimbangan rasional. Setali tiga uang dengan DjM memilih Rustam Simbala (RS), yang tampaknya diletakkan pada kepercayaan bahwa konstituen Partai Golkar (PG) dan PDI Perjuangan seluruhnya juga bersepakat dengan elit-elit partainya. Padahal pengambilan keputusan yang meremehkan konstituen seperti inilah yang membuat partai-partai mayoritas justru kalah di banyak pemilihan kepala daerah (Pilkada) dalam lima tahun terakhir.

Belajar dari Pilkada di Bolaang Mongondow Timur (Boltim) dan Bolaang Mongondow (Bolmong) Induk, ribuan massa yang menyertai pendaftaran TB-JD, juga DjM-RS, adalah indikator yang terlampau dini. Berapa banyak massa yang dikerahkan Sehan Lanjar, yang kemudian terpilih menjadi Bupti Boltim, saat mendaftar dibanding pesaingnya –ketika itu diusung PG—Sehan Mokoagow? Sama halnya dengan massa yang mengusung Didi Moha yang hanya finis di urutan ketiga, dikomparasi dengan pendukung Salihi Mokodongan yang akhirnya dilantik sebagai Bupati Bolmong?

Konstituen KK adalah warga perkotaan yang semestinya lebih rasional dan sadar politik. DjM dan TB yang kini masih menjabat Walikota dan Wawali KK, diuntungkan opini publik yang sudah bergulir lama. Telah pula terbentuk kelompok-kelompok yang menyatakan diri sebagai penyokong salah satu di antara keduanya. Tetapi seberapa ideologiskah kelompok-kelompok itu? Apalagi sampai tulisan ini dibuat kohesi di antara para pendukung DjM-RS dan TB-JD masih sebatas pada atribut, pengaruh afiliasi partai, juga sentimen sosial; bukan pada ide, visi, dan tawaran terobosan-terobosan signifikan menyentuh kepentingan dan kebutuhan warga KK.

Tanpa mengesampingnya apa yang dicapai dua pasang kandidat utama itu dan tim di belakang mereka, kecuali keuntungan satu langkah di depan tiga pasangan yang lain, sesungguhnya mereka semua tak kurang dan lebih ‘’sama-sama mei-mei’’. Pasangan mana yang lebih dominan dibanding lainnya, tergantung pada multi aspek: Strategi dan taktik yang dirumuskan, tim yang mendukung, kreativitas mengelolah pilihan konstituen, dan (yang utama) tawaran yang kongkrit menjawab kebutuhan KK dan warganya.

Kalau pada akhirnya semua pasangan kandidat terjebak pada copy paste mentah pendekatan politik yang dipraktekkan di Pilkada lain (misalnya latah berkemeja kotak-kotak), pekan ini saja pengamat politik paling amatir pun sudah dapat mengkonklusi hasil akhir Pilwako KK. Urutannya tak jauh dari TB-JD, MSL-IRS, DjM-RS, NM-SRS, dan yang paling buncit TT-LM.

Bagaimana mengubah prediksi itu? Karena berpikir butuh energi dan perangkat pendukung (riset, bacaan, dan sebagainya), saya tentu tak akan mengobral kiat-kiat dan trik memenangkan kursi Walikota-Wawali KK 2013-2018. Lagipula, siapa saya? Lebih penting lagi, memangnya ada pasangan kandidat yang sedang masyuk dibuai elu-elu syawat politik yang bersedia merendahkan hati menerima nasehat, sekali pun itu sedekah nasehat?***