Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Wednesday, March 6, 2013

Eyang: Bukan Roman Picisan


BUPATI Bolaang Mongondow Timur (Boltim), Sehan Lanjar, sekali lagi mengundang decak warga dan membuat sejumlah birokrat bawahannya pontang-panting terpiuh-piuh. Selasa, 5 Maret 2013, mendadak Eyang –sapaan akrabnya—berkeliling, masuk-keluar pemukiman, menunggang sepeda motor ber-CC besar.

Sebagian orang menyebutkan yang ditungganggi Eyang adalah BMW, ada pula yang menyebut Harley Devidson (HD). Menurut Tribun Manado yang mempublikasi kunjungan mendadak (Kundak –sebagai versi tidak resmi inspeksi mendadak atau Sidak) Eyang, Sehan Menitikkan Air Mata Lihat Warganya (http://manado.tribunnews.com/2013/03/06/sehan-menitikkan-air-mata-lihat-warganya), yang dia gunakan adalah HD.

Buat saya, Eyang mau menunggang HD, kuda, atau meminjam sapi Bali yang sedang digembalakan di Togid, tidaklah penting. Kebiasaannya yang kerap menerabas protokoler, membuat pening ajudan, sekretaris pribadi (Sespri), dan birokrat Boltim umumnya, patut diberi empat jempol (dua jempol tangan dan dua jempol kaki).

Saya tidak bosan menuliskan bahwa mengenal –dan berkawan— dengan Eyang adalah kebanggaan. Dia tidak berubah, dari seorang calon Bupati yang hanya memajang beberapa baliho berukuran sedang, menjadi Bupati dengan popularitas meng-Indonesia, Eyang tetaplah sosok yang tak banyak berubah. Satu-satunya perubahan yang menonjol, barangkali, adalah dengan percaya diri dia kini berucap, ‘’Jang bagitu, Bupati ini….’’ Tentu sembari cengar-cengir dan memasang wajah tak berdosa.

Jauh sebelum Joko Widodo (Jokowi) terpilih sebagai Gubernur Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta dan membudayakan blusukan (masuk-keluar pemukiman dan kawasan lain yang berada di bawah wewenangnya), Eyang sudah mempraktekkan tanpa banyak publikasi. Menurut saya, Eyang bahkan boleh dibilang satu-satunya Bupati di Mongondow yang tidak sungkan ngelayap di bawah pohon kelapa, meniti litir, dan nongkrong reriuangan di leput.

Dia tetap orang kampung seperti yang selalu diakui tanpa malu-malu. Dia juga tidak berusaha memaksakan diri bergaya pejabat agar dihormati dan disegani, sebagaimana kebanyakan elit politik dan birokrasi di Mongondow. Kediamannya (baik rumah jabatan maupun pribadi) terbuka setiap saat. Begitu bebasnya berhubungan dengan Eyang, salah seorang wartawan pernah menulis di status Blackberry (BB)-nya: Gampang skali maso kaluar di rumah jabatan Bupati Boltim, maar Bupati Boltim susah skali mo kaluar dari rumah.

***

Eyang memang ‘’ajaib’’. Ketika melakukan Kundak dan menemukan masalah, terutama yang berkaitan dengan nasib ‘’orang kecil’’, dia bisa sangat mudah tersentuh dan implusit. Terlebih bila warga yang ditemuinya bukan hanya dalam kesulitan, tetapi kondisinya benar-benar merana bagai pepatah ‘’sudah jatuh tertimpa tangga’’ pula.

Tangisan Eyang tatkala menemukan warganya, Mashita Piri yang telah 13 tahun sakit –bahkan tiga tahun terakhir kedua kakinya lumpuh--, bukanlah akting seorang politikus. Tidak pula ditujukan untuk konsumsi media demi pecitraan sebagai orang baik. Eyang yang saya kenal benar-benar ditonjok hati kecilnya oleh derita yang dipikul Mashita.

Hati manusia adalah samudera penuh misteri. Siapa yang mampu mengukur? Kita hanya mampu menakar sincerity (ketulusan) seseorang, bahkan bukan dengan akal, melainkan ‘’rasa’’. Ketika Eyang menitikkan air mata, menanyakan apakah gubuk yang didiami Mashita milik sendiri atau bukan, dia sedang mengalirkan ketulusan. Saya tidak heran bila pemilik tanah di mana gubuk itu berdiri spontan –dan sukarela—menghibahkan tanahnya untuk Mashita. Saya tak pula kaget kalau tindakan itu diikuti beberapa orang berpunya lain yang ada bersama Eyang saat itu. Saya tak pula takjub besok menyua gubuk milik Mashita Piri telah berubah jadi rumah sehat layak huni.

Ketulusan Eyang terhadap orang-orang kecil dibarengi bakat alamiahnya mempengaruhi orang banyak. Ditambah tindakan spontan lain, seperti mengancam akan mencopot para birokrat yang mempersulit pelayanan kesehatan untuk warga kurang berdaya, memperkuat resapan pengaruh tindakannya terhadap orang banyak.

Tulus, secara alamiah berhati baik, spontan, dan satu lagi: Eyang tidak pernah melupakan kebaikan orang, sekecil apapun itu. Saya yakin kerelaaan Abdullah Gaffar Ligawa yang menghibahkan tanahnya pada Mashita Piri dan Ko’ Inyo dari Kayumuy yang mengikhlaskan dua kavlin tanahnya untuk warga tak mampu (sebagaimana yang ditulis Tribun Manado), bakal melekat dalam ingatan Eyang.

Perilaku Eyang itu bukan tanpa cacat. Kebiasaan mudah jatuh iba dan impulsifnya membuka celah dimanfaatkan oknum-oknum yang pintar mendekat dan mengambil hati. Maka dia memang harus dipagari oleh orang-orang yang berpikir lebih tenang, strategis, taktis, dan jangka panjang. Mencopot seorang pejabat hanya karena satu informasi in situ misalnya, adalah sikap sewenang-wenang dan tidak fair. Sebaliknya, mempertahankan seseorang karena dia memboyong anak-istri dan melelehkan air mata di hadapan Eyang, juga kelemahan yang tidak boleh ditolerir.

***

Di balik sukses tiap laki-laki hebat selalu ada seorang perempuan luar biasa. Yang jadi penopang, pemberi semangat, bahkan menyediakan shoulder to cry on. ‘’…. inilah tempat yang damai/di mana gelora dosa diredakan/tempat membasuh kaki yang payah/yang telah berjalan dengan resah/menempuh kekosongan dan kebimbangan/’’ tulis WS Rendra dalam Sawojajar 5 Jogya.

Eyang tergolong laki-laki beruntung karena didampingi Ny Nursiwin Lanjar-Dunggio yang tampaknya memberikan dukungan tanpa reserve terhadap segala tindakannya, termasuk yang ‘’gila’’ sekali pun. Pada istrinya, sebagaimana yang saya amati dari perkawanan dengan Eyang selama ini, dia menemukan oase, kawan –termasuk dalam senda gurau--, lawan tanding, dan juga tempat bersandar.

Di percakapan-percakapan pribadi kami, Eyang suka membanggakan bagaimana istrinya berperan besar membuat dia tetap optimis di saat paling sulit dan menjaga kewarasannya ketika nasib baik sedang membuai-buai. Tanpa bermaksud menyanjung, Ny Nursiwin yang akrab dikenal sebagai Umi Siwin juga memainkan peran dengan apik di belakang panggung (publik) Eyang.

Dia mendukung Eyang tanpa keinginan tampil melangkahi sang suami. Padahal aktivitas sosialnya, sebagaimana yang ditulis Tribun Manado, Ketua PKK Boltim Janji Tindaklanjuti Kasus Gizi Buruk (http://manado.tribunnews.com/2013/03/06/ketua-pkk-boltim-janji-tindaklanjuti-kasus-gisi-buruk), layak mendapat sorotan setara dengan Eyang.

Di atas semua itu, yang amat saya kagumi dari pasangan Bupati dan Ibu Bupati Boltim ini, adalah rileksnya mereka dalam segala hal. Kisah bagaimana Eyang mengajak Umi Siwin menonton film Habibie & Ainuna adalah salah contoh bagaimana mereka saling menerima dan memaknai satu sama lain dengan keluasan yang nyaris tanpa batas.

Tersebutlah, popularitas Habibie & Ainun menggoda Eyang untuk mengajak Umi Siwin menonton. Usai diharu-biru kisah cinta mantan Presiden BJ Habibie dan Hasri Ainun Habibie, Eyang tak kuasa menahan diri tak berkomentar. Dengan cengar-cengir khasnya, Eyang menyelutuk pada Umi Siwin, "Ngana nimbole jadi Ainun, karna gampang orang sogok."

Umi Siwin yang selalu tak kurang jurus, mengeluarkan langkah skak mati, "Ti Aba juga tidak sama dengan Habibie, karna pang ba akal...."

Sehebat apapun Bupati Boltim, Umi Siwin memang selalu punya senjata pamungkas. Dia adalah rem, penyeimbang, serta alarm akal sehat dan perilaku Eyang sebagai pribadi maupun pejabat publik.***