Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Monday, March 25, 2013

Wabah Lupa Daratan di Bolmong


HARI Ulang Tahun (HUT) Kabupaten Bolaang Mongondow (Bolmong) ke-59, Sabtu (23 Maret 2013), jatuh bersamaan dengan libur akhir pekan hingga baru diperingati Senin (25 Maret 2013). Galibnya HUT, serangkaian acara pun dihelat yang puncaknya adalah upacara peringatan dipimpin Bupati Salihi Mokodongan serta Sidang Paripurna Istimewa Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Bolmong.

Kemeriahan HUT yang dipusatkan di Ibukota Bolmong, Lolak, itu dilengkapi kehadiran sejumlah tokoh dan orang penting, antaranya anggota Komisi IX DPR RI asal Mongondow, Aditya Moha. Sejatinya politikus muda yang akrab disapa Didi ini tidak sekadar diundang, tetapi dia mewakili DPR RI dan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Depnakertrans) menyerahkan bantuan Mobil Reaksi Cepat Penanggulangan Kecelakaan Kerja.

Bolmong adalah satu-satunya daerah di Sulut yang menerima bantuan fasilitas bergerak untuk para pekerja ini. Tidak salah kalau mobil dan peralatan pendukungnya itu diserahkan secara resmi bersamaan dengan upacara peringatan HUT Kabupaten.

Namun, mendadak serah terima yang direncanakan itu menghilang dari susunan acara yang sebelumnya sudah diinformasikan, termasuk ke Didi Moha yang juga telah hadir di tempat upacara berlangsung. Kabar yang saya terima menyebutkan, akhirnya penyerahan bantuan tetap dilaksanakan di akhir acara, tetapi setelah Ketua DPR Bolmong, Abdul Kadir Mangkat, meradang karena menganggap jajaran Pemerintah Kabupaten (Pemkab) melecehkan Didi dan mandat yang dibawanya.

Tak hanya Ketua DPR yang tak dapat menerima penghinaan yang sengaja dilakukan jajaran Pemkab itu. Sejumlah anggota DPR, terutama dari Fraksi Partai Golkar (PG), bereaksi tak kalah kerasnya. Mereka kemudian memilih balik kanan, meninggalkan Sidang paripurna Istimewa yang semestinya berlangsung setelah upacara peringatan selesai.

Tanpa Ketua DPR dan sejumlah anggotanya, sidang batal dilaksanakan. Dan untuk pertama kalinya, sejak mengenal institusi DPR, saya menyatakan mendukung langkah mereka. Bahkan jangan berhenti hanya menunda Sidang Parupurna Istimewa HUT Bolmong, tetapi juga memanggil Bupati mempertanggungjawabkan pelecehan terhadap Didi Moha (dalam kedudukannya sebagai pengemban mandat Komisi IX DPR RI dan Depnakertrans), bila perlu membentuk Panitia Khusus (Pansus) yang target akhirnya memakzulkan Salihi Mokodongan.

***

Masyarakat Mongondow umumnya cepat bereaksi terhadap peristiwa yang dianggap tak biasa. Memang, gosip dan bisik-bisik segera  menyebar, mengabarkan bahwa Didi Moha dengan sengaja dilecehkan karena ada persoalan pribadi yang belum selesai antara dia dengan salah seorang pejabat teras di jajaran Pemkab Bolmong, yang kebetulan pula menjadi lingkaran dekat Bupati. Kata kabar yang saya terima, kisikan maut sang pejabat ini juga didukung dua birokrat lain yang dikenal sebagai orang dekat Bupati.

Oh, rupanya dagelan tak sedap yang ditonton pula oleh undangan dan tamu dari luar Mongondow itu adalah pelampiasan dendam pribadi? Sebagai warga Mongondow saya tidak ambil pusing siapa yang benar dan salah di antara keduanya; tetapi ulah mensabotase penyerahan bantuan dari Depnakertrans yang akhirnya melecehkan Didi Moha dan mandat yang dia emban, pantas diganjar dengan pencopotan si pejabat dari jabatannya.

Seingat saya, di bawah pemerintahan rezim sebelumnya, ketika Bupati Marlina Moha-Siahaan (yang juga Ibunda Didi Moha) berkuasa, belum pernah terjadi pelampiasan kemarahan dan dendam pribadi di tengah berlangsungnya event resmi pemerintah. Mantan Bupati Marlina bukan tak pernah berselisih paham, bertabrakan, konflik dengan lawan politik, bersetru dengan sesama pejabat di dalam dan di luar Sulut, atau dengan ‘’perang’’ dengan birokrat di jajarannya. Namun semuanya, sepengetahuan saya, di lakukan diam-diam dan di luar arean publik.

Benarkah sabotase terhadap Didi Moha dan penyerahan bantuan fasilitas bergerak untuk para pekerja itu semata didasari sentimen dan persoalan pribadi? Kalau bukan, lalu apa? Belum selesainya rivalitas antara Didi Moha dan Salihi Mokodongan karena kompetisi mereka di Pemilihan Bupati (Pilbub) Bolmong 2011 lalu? Atau justru ulah itu ditujukan terhadap mantan Bupati Marlina Moha-Siahaan, yang alasannya juga patut diduga kurang lebih sentimen dan balas dendam? Sebab meniadakan salah satu acara dari rangkaian peringatan HUT Bolmong ke-59 bukanlah khilaf, apalagi terkait dengan pemberian bantuan fasilitas yang wujudnya tepat terpantek di depan para hadirin.

Hanya Bupati Salihi Mokodongan dan para konspirator di sekitarnya yang punya jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu.

Dan kilahan apapun yang bersiliweran dari jajaran Pemkab Bolmong, tak dapat menghadang fakta bahwa pemerintahan di kabupaten ini dalam dua terakhir terakhir dijalankan bagai kapal dengan penggendali kapten yang sedang mabuk. Pada seorang kawan yang iseng bertanya, saya mengatakan Bupati memerintah bagai ‘’lupa daratan’’. Mungkin karena dia memang hanya terbiasa main di laut. Dan lupa daratan itu juga penyakit yang sangat menular, terutama ke para elit dan pejabat di sekitarnya.

Wabah itu mengerikan. Bupati yang dengan segala hormat saya sebut naif (tersebab saya bosan selalu menuliskan dia tak tahu apa-apa dan tak mau diberitahu), dengan sengaja membiarkan jajaran di bawahnya berulah hingga taraf menghina dan melecehkan dia; lalu berkembang ke penghinaan dan pelecehan terhadap tokoh dan lembaga lain yang bahkan berada di derajat yang lebih tinggi. Pemerintah dan pemerintahan macam apa ini?

***

Lalu apa gunanya saya menuliskan kepedulian, karena pasti tak bakal diindahkan juga? Bupati Bolmong dan jajarannya tak perlu merasa sedang dikritisi dan dikritik. Catatan ini adalah rekaman dan renungan untuk generasi kini dan nanti di Mongondow, bahwa rezim yang dipimpin orang pintar, seberapa busuk pun, selalu lebih baik daripada pemerintahan yang dikuasai orang-orang dengan pikiran dan logika hanya setara biji kacang.

Sialnya lagi, sudah di bawah standar, mereka juga terus-menerus dibuai mabuk.***