Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Thursday, March 28, 2013

Solilokui untuk Ayu Basalamah


ANGGAP saja apa yang dituliskan ini sekadar sesuatu yang ingin dikatakan. Mumbling atau gumaman samar-samar di keriuhan, yang lebih ditujukan untuk diri sendiri. Bukan agar sesiapa di sekitar memberi atensi, melainkan semata karena ada yang mendesak dinyatakan. Hanya dinyatakan, lalu biarkan dia terbang bersama angin atau luruh dalam pikuk.

Ayu Basalamah, gumam itu bukan tentangmu, tetapi ihwal ketidak-berdayaan manusia, entah karena alasan manusiawi, zalimnya kekuasaan, atau tersebab kita makin individualis dan tak peduli. Semua boleh disimpulkan dalam satu kata yang semestinya netral: tega.

Ya, ketika orang yang kemudian disebut-sebut sebagai ajudan Bupati Bolaang Mongondow Timur (Boltim), Sehan Lanjar, dan seseorang lain yang patut diduga sebagai kerabat dekat keluarganya menjemputmu di Kotamobagu, saya tahu ‘’tega’’ adalah kata yang dapat berarti pula sebagai pelanggaran hukum, sewenang-wenang, mentang-mentang, dan mungkin biadab. Terlebih terduga utama penjemput itu ternyata bukan ajudan. Dia hanya salah satu oknum yang ditugaskan menjamin keamanan kediaman Bupati --yang kita sapa dengan akrab dengan Eyang— dan keluarganya.

Menjaga keamanan rumah Bupati, juga seisinya, tentu tak disertai tiket menggunakan kendaraan dinas (resmi) salah seorang pejabat di jajaran Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Boltim, menjemput seseorang yang akhirnya lantak dianiaya. Ayu Basalamah, saya tidak tahu apakah pejabat yang mobilnya dipakai menjemputmu itu tahu kepercayaannya telah disalah gunakan. Sama tidak tahunya dengan apakah Eyang merestui tindakan itu atau tidak.

Yang saya tahu, ketika ada tangan mendarat di tubuhmu yang tidak setangguh badan kurus kami, sebagaimana kesaksian yang diabasahkan banyak orang, Eyang berseru (kurang lebih), ‘’Jangan pukul pa dia. Dia kita pe sudara.’’ Dia yang dimaksud Eyang adalah engkau yang bersimpuh menundukkan muka, mengekspresikan salah dan penyerahan diri. Yang mengaku takluk, meminta maaf, dan memohon keridaan Eyang.

Mencaci Eyang, seorang Bupati dan panutan, memang mengundang amarah. Terlebih bila serapah itu tersebab engkau tak tahu, bahwa dengan segala upaya, Eyang telah berikhtiar agar Novia Bachmid (bintang yang juga kau dukung) mampu mengukir prestasi tertinggi di Pentas Idola Cilik RCTI 2013. Ayu Basalamah, engkau tergelincir karena mulut memang lebih licin dari lantai marmer basah; pun ucapan lebih tajam dari tombak; serta sebuah kata yang salah tempat, salah waktu, dan diucapkan orang tanpa ‘’nomor punggung’’, tak beda dengan gong harakiri.

Kini, setelah wajah porak diterjang tinju dan tempeleng, badan payah diremuk tendangan dan pitingan, engkau belajar salah satu hal terpenting dalam peradaban panjang manusia: Jaga tutur dan tingkah. Yang tak perlu jangan diucap dan dilaku. Apalagi di hadapan kekuasaan yang tak punya akal sehat orang kecil dimangsa bagai tikus dipermainkan kucing. Tapi akankah engkau membiarkan takdir tikus memang adalah makanan kucing, atau membuktikan kemungkinan lain yang dipercayai sebagai ultimate situation dari sikap mengalah: Tikus pun akan balik menggigit kucing bila terpojok dan harus mempertahankan diri?

Apakah derita di hari nahas itu, ketika usai bermaafan dengan Eyang dan engkau tak dipulangkan ke Kotamobagu tetapi ke sebuah tempat dimana tangan-tangan dan kaki bertemperasan mendera, kita anggap selesai saja? Sebagai laki-laki yang tumbuh di era berkelahi adalah olahraga tradisional di Mogolaing, di setiap pertarungan sedapatnya aku menghitung berapa bogem, tempeleng, sikut, dan tendangan yang mampir ke tubuh. Tiap hutang mesti dibayar, bila perlu dengan bunga dan bonus.

Engkau bukan kepala batu yang doyang adu otot seperti anak-anak Jalan Amal di zaman kami remaja. Kepal oknum yang mengaku-ngaku ajudan saja pasti langsung melengkingkan ampun, apalagi ditambah hingga 11 pasang tinju dan kaki lain. Mereka juga terlatih dan ‘’haus’’ melampiaskan naluri binatangnya.

Lagipula sampai kapan pun menata rambut, mempercantik wajah, mengkilap-muluskan kulit bukanlah ketrampilan membela diri di tengah bentrok fisik. Walau, kebisaan ini dapat menjadi pembawa pesan damai bahkan di tengah perang seperti yang dilakukan Deborah Rodriques. Ayu Basalamah, engkau dan kaummu mungkin tak pernah mendengar, apalagi membaca, Kabul Beauty School (Random House, 2007) yang berkisah tentang tentang seorang penata rambut dan kecantikan yang jadi kabar suka untuk para wanita di tengah muramnya perang di Afganistan.

Kabul Beauty School adalah perlawanan di tengah ketak-berdayaan. Bahwa akhirnya kekuasaan yang zalim dan tanpa nurani tetap memakan korban, kian mempertegas pentingnya kita terus-menerus mesti menolak laku barbar dan anarkis. Menutup mata, berpasrah menyesali diri, lalu berserah pada nasib hanya membuka pintu jatuhnya korban Ayu-Ayu Basalamah lain di masa datang. Yang tak hanya menanggung lebam dan satu mata tertutup bengkak biru-ungu, tapi mungkin sesosok tubuh kaku dan dingin yang disua di selokan atau di balik rimbun sesemakan.

Melawanlah. Jangan berhenti meminta polisi mengusut, menangkap, dan menyeret gerombolan yang  petantang-petenteng karena merasa bakal mendapat perlindungan. Yang menganiaya karena tahu persis satu-satunya daya yang kau punya adalah melolongkan ampun. Tak usah peduli yang dihadapi tembok dan karang. Tak ada lagi padas yang terlampau kokoh di zaman ini. Generasi kita tidak sedang menunggu tetesan air melobangi batu. Kita punya palu, bahkan dinamit.

Seperti yang sudah aku tuliskan, engkau tak sendiri. Lukamu adalah tikaman yang melelehkan darah di banyak nurani orang Mongondow. Simpati dan empati orang banyak ini  adalah harapan yang tak boleh disia-siakan. Kendati dalam banyak hal tindakan polisi mengundang skeptis dan patah hati, kali ini kita menyisahkan sedikit percaya bahwa mereka tak akan membiarkan dukamu menjadi salah satu nomor gelap tumpukan arsip terlupa.

Bila pun tidak, artinya Eyang, Kapolres, dan semua otoritas berwenang membiarkan hukum rimba dipratekkan, maka ingatkan: Saya akan datang bersama sejumlah orang, menyambangi Eyang dan Kapolres, memohon penuh hormat untuk menyelesaikan dengan cara kuno. Bukan demi kau, Ayu Basalamah, tetapi agar kami tetap tidur nyenyak dan punya percaya, bahwa Mongondow adalah tempat di mana beradab masih di terus diikhtiarkan di tengah kian gilanya jagad manusia.***