Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Sunday, March 3, 2013

800 Kotak ‘’Tissue’’, 200 Batang Sapu


AGAK sulit buat saya, kendati terbiasa dengan proyeksi tiga dimensi (sisa peninggalan pendidikan teknik sipil bertahun-tahun lampau), membayangkan ruang penyimpanan 800 kotak tissue dan 200 batang sapu. Katakan saja tissue yang dipilih merek bagus yang berisi 280 sheets (lembar), maka hanya 12 kotak yang masuk di boks dokumen standar.

Diperlukan tak kurang dari 67 boks dokumen untuk menyimpan 800 kotak tissue itu. Boks dokumen sebanyak ini menyita ruangan cukup besar, sekali pun setiap tumpukan disusun 8 boks vertikal. Tambahkan pula 200 batang sapu, pasti harus disediakan gudang penyimpan khusus.

Hitung-hitungan iseng itu kita lanjutkan dengan berapa lembar tissue yang ada di 800 kotak? Tak kurang dari 224.000 lembar. Tissue sebanyak ini, dibagikan ke 20 orang, setiap kepala berhak terhadap 11.200 lembar atau sejumlah 40 kotak. Kalau para penerima mesti menghabiskan jatah tissue-nya dalam setahun (365 hari tanpa jeda libur), maka per hari minimal dia harus menggunakan 31 lembar tissue.

Tissue selesai, sekarang 200 batang sapu. Terus-terang, saya kesulitan melakukan perhitungan di bagian ini. Baik di rumah di Jakarta maupun di Manado, dua batang sapu untuk lantai rumah dan dua batang sapu lidi untuk halaman, sudah hampir dua tahun bentuknya masih tak jauh beda dengan pertama kali dibeli.

Mungkin karena sapu di rumah saya benar-benar digunakan untuk menyingkirkan debu dan remah-remah di lantai; sama halnya dengan sapu lidi yang digunakan ‘’membereskan’’ dedaunan dan sampah sejenis di halaman. Kami serumah tidak memiliki keahlian ‘’makan sapu’’ atau menyulap sapu menjadi barang lain tetapi tetap bernama sapu.

Pembaca, Anda akan bertanya-tanya kegilaan apa yang mampir di kepala hingga di Minggu (3 Maret 2013) yang sebenarnya cukup cerah ini, saya merepot-repotkan diri menghitung tissue dan sapu? Justru karena merasa masih waras, saya tak habis pikir mengetahui Rencana Kerja dan Anggaran (RKA) Dewan Perwakilan Rakyat Bolaang Mongondow Timur (DPR Boltim) 2012 ternyata mencantumkan pembelian 800 kotak tissue dan 200 batang sapu.

Tugas anggota DPR Boltim tampaknya amat sangat berat. Mereka harus memeras keringat (terlebih listrik yang dipasok Perusahaan Listrik Negara –PLN—datang dan pergi mirip kunang-kunang), sering-sering membuang ingus, serta tidak tertutup kemungkinan melelehkan airmata, untuk itu tissue mesti melimpah. Demikian pula dengan sapu. DPR sebagai lembaga yang mengawasi Pemerintah Kabupaten (Pemkab) tidak boleh kotor, pun siap membantu birokrasi membersihkan diri.

Maka tepat adanya 20 anggota DPR Boltim masing-masing dipersenjatai 10 batang sapu. Bila perlu lima batang sapu lantai, lima sisanya sapu lidi. Lantai beton, ubin, atau marmer Itali dicemari kotor, bisa disapu sebersih-bersihnya. Sampah berserak di pelataran, jalan, bahkan got, ada sapu lidi yang membereskan.

Sebagai modal kerja, andai anggaran tissue dan sapu itu disediakan lima tahun sesuai masa jabatan anggota DPR Boltim, setiap orang berhak atas 200 kotak tissue dan 50 batang sapu. Dengan berhemat-hemat sedikit, di akhir masa jabatan boleh jadi para mantan anggota DPR Boltim bisa berkongsi membuka toko khusus tissue dan sapu.

***

Situs berita Kontra Online, Kamis (28 Februari 2013), mengunggah SM Jadi Tersangka Kasus Ma-Mi Boltim (http://kontraonline.com/11493/sm-jadi-tersangka-kasus-ma-mi-boltim/). Dalam berita disebutkan bahwa setelah kurang lebih dua tahun lamanya dugaan penyelewengan anggaran makan-minum (Ma-Mi) di DPR Boltim di telisik, akhirnya Polres Bolmong mencatat kemajuan dengan menetapkan seorang tersangka. Inisialnya SM.

Dugaan tindak pidana yang diancam Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 jo Pasal 9, Pasal 11 huruf a, b dan UU Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ini, menurut Kontra Online, telah pula memeriksa 12 saksi, masing-masing DD, SU, SM, JG, MB, GM, DM, NM, FP, RI, SG, dan OM. Akan halnya kerugian negara yang diakibatkan oleh kelancungan Ma-Mi ini, ditaksir tak kurang Rp 600 juta.

Dari sejumlah informasi, tersangka yang sudah ditetapkan Polres Bolmong adalah pegawai negeri sipil (PNS) yang bertugas di Sekretariat Dewan (Setwan) DPR Boltim. Saksi-saksi yang diperiksa idem ditto, semuanya PNS.

Mengikuti logika anggaran, polisi tidak salah. Kuasa Pengguna Anggaran di DPR Bolmong adalah Sekretaris Dewan (Sekwan) –--seorang PNS-- yang dalam melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya dibantu jajaran staf yang semuanya juga PNS. Namun, bagi yang memahami sistem administrasi pemerintahan, khususnya berkaitan dengan Setwan, tahu persis bahwa penggunaan anggaran DPR harus atas persetujuan Pimpinan DPR.

Hanya Sekwan sinting yang mengeluarkan dan memanfaatkan anggaran sesuka budel neneknya sendiri, tanpa persetujuan dari jajaran Pimpinan DPR. Juga, hanya Pimpinan DPR tolol yang membiarkan wewenangnya dilanggar di depan mata, tanpa melakukan apa pun. Sepengetahuan saya, diusutnya dugaan penyalah-gunaan anggaran Ma-Mi di DPR Boltim bukanlah atas aduan Pimpinan DPR.

Saya mendukung Polres Bolmong mengungkap tuntas dugaan penyelewengan anggaran Ma-Mi di DPR Boltim; sekaligus juga meragukan polisi benar-benar melaksanakan tugasnya tanpa pandang bulu. Dalam catatan saya, setidaknya lima tahun terakhir, polisi di Mongondow lebih mahir bersilat alasan dibanding mengungkap kasus.

Beberapa kasus menonjol, misalnya penerimaan calon pegawai negeri sipil (CPNS) Kota Kotamobagu (KK) 2009, yang sudah menjerat beberapa elit Pemerintah Kota (Pemkot), masih menggantung karena polisi pura-pura bego menindak-lanjuti perintah Pengadilan Negeri untuk memeriksa Walikota KK. Selama persidangan, para terdakwa skandal CPNS memang berulang-kali menyebutkan nama Walikota KK, Djelantik Mokodompit. Atau barangkali tak ada satu pun polisi di Mongondow yang berlangganan dan membaca koran.

Kasus lain, Tunjangan Penghasilan Aparat Pemerintahan Desa (TPAPD) yang sudah menjerat beberapa birokrat papan atas Kabupaten Bolaang Mongondow (Bolmong) Induk, kini sunyi senyap setelah Polres Bolmong mengumumkan sejumlah tokoh (mantan Bupati Bolmong, mantan Sekretaris Daerah (Sekda), dan Sekda saat ini) diduga terlibat. Harus berapa lama orang banyak menunggu tindakan selanjutnya dari polisi?

Sama halnya dengan dugaan ijazah palsu Bupati Bolmong, Salihi Mokodongan, yang timbul-tenggelam sejak 2010 lalu. Apa maunya polisi dengan mengulur-ngulur kepastian status Bupati Bolmong, apakah bersih atau memang memalsukan ijazahnya? Untuk jadi ‘’celengan babi’’ seperti gossip yang beredar setiap kali ada kabar polisi melakukan pemeriksaan terhadap saksi dugaan ijazah palsu Salihi Mokodongan?

Jadi, kita tunggu saja kemana skandal Ma-Mi DPR Boltim mengarah. Hanya jajaran PNS yang salah satu di antaranya kini sudah ditetapkan sebagai tersangka? Ataukah menjerat tokoh-tokoh lain (yang sebenarnya berperan utama) tapi pontensial lolos karena polisi di Mongondow jerih tersebab mereka juga terlanjur turut menikmati bagian dari hasil ‘’jarahan’’ itu?***