Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Saturday, March 2, 2013

‘’Baku Feyem Sampe Baku Tiop’’


SINISME saya terhadap konvoi politik yang digelar bakal calon Walikota-Wakil Walikota (Wawali) Kota Kotamobagu (KK), Kamis (28 Februari 2013) dan Jumat (1 Maret 2013), direspons aneka tanggapan. Kebanyakan lucu, beberapa lagi mengformasikan fakta-fakta yang tak banyak ditemukan di media arus utama.

Konvoi menyambut Surat Keputusan (SK) ditetapkannya pasangan Djelantik Mokodompit (DjM)-Rustam Simbala (RS) hasil koalisi Partai Golkar (PG) dan PDI Perjuangan (mokolabot, partai manakah yang SK-nya diusung-usung saat konvoi berlangsung?), rupanya sudah jadi obsesi DjM. Informasi ini bahkan diperkuat oleh salah seorang pelaku utama yang turut dalam seleksi bakal calon Wawali pendamping DjM.

Begini kisahnya: Belum lagi fit and proper test (FPT) dan psikotes PDI Perjuangan selesai, DjM sudah kasak-kusuk ke beberapa kandidat yang dia sasar. Pada kandidat-kandidat ini, dengan bahasa janji dibungkus pertanyaan, DjM mengatakan –saya kutipkan kurang-lebihnya: ‘’Kalu torang dua pe SK kaluar, kira-kira brapa motor deng oto mo ba jemput?’’

Menurut ahlul cerita yang Sabtu pagi (2 Maret 2013) penuh semangat bertutur ke saya, DjM bahkan berkeinginan memacetkan sepanjang ruas jalan utama KK dengan iring-iringan sepeda motor dan mobil.

Ada kandidat yang cukup bernyali mengoreksi, bahwa rencana show of force yang diimpi-impikan DjM masih terlalu prematur. Hanya menciptakan kemacetan dan kebisingan, apalagi kampanye resmi belum dimulai. Lain soal kalau Komisi Pemilihan Umum (KK) telah mempersilahkan semua kandidat memeragakan dukungan yang digalang, bantahnya, ‘’Memang musti baku abis!’’

Mana bisa DjM didebat dan dikoreksi? Sejak terpilih sebagai anggota DPR RI, tanpa ketahuan apa yang pernah dia lakukan untuk Sulawesi Utara (Sulut) dan Mogondow khusus, DjM dikenal ponggah dan makang puji. Yang tak mengenakkan, petantang-petentengnya tidak diimbangi isi kepala yang memadai, justru sebaliknya diperparah kesukaannya terhadap uang.

Sebagai bagian dari warga Mongondow, saya pernah malu dan kehilangan kata-kata ketika satu saat terlibat percakapan dengan beberapa tokoh politik nasional, lalu salah seorang (pimpinan salah satu organisasi besar yang pernah sefraksi dengan DjM) berkomentar, ‘’Sebagai orang Sulut, Anda pasti kenal Djelantik Mukadompet dong?’’ Dua kali saya harus mengoreksi dan memastikan kawan ini tak salah sebut. Selain malu, saya juga marah karena salah satu marga besar Mongondow dipelesetkan sesuka-suka hati.

Tapi saya harus menelan lagi kejengkelan yang siap dimuntahkan setelah disodori fakta-fakta yang hampir mustahil didebat. Lagipula, kalau pun olok-olok itu spekulasi dan tuduhan semata, fakta apa yang saya miliki untuk melakukan pembelaan? Kenyataannya sebagai anggota DPR RI DjM memang nir-prestasi.

Ketika DjM terpilih sebagai Walikota KK (berpasangan dengan Tatong Bara –TB), saya berusaha keras bersikap fair bahwa dia mampu mengubah diri. Reputasi tak sedap yang bersiliweran di sekitarnya, cuma buatan oknum-oknum tak bertanggungjawab.

Namun rentetan skandal yang meruyak, mulai dari penerimaan calon pegawai negeri sipil (CPNS) 2009, relokasi Pasar Serasi ke Genggulang dan Poyowa Kecil, dan yang terkini korupsi pembangunan kembali Mesjid Raya Baitul Makmur (MRBM), membuktikan apa yang dikatakan banyak orang punya kesahihan. Show of force dan makang puji sudah sifat bawaan DjM, seperti kilahannya yang dikutip kandidat bakal calon Wawali yang mendebat, ‘’Ngana musti blajar bagimana cara shock terapi lawan dengan massa.’’

Selain bahlul, dia juga alpa belajar. Bila benar frasa yang dikutip (shock terapi) datang dari mulutnya, penyakit dungu DjM sudah di taraf kronis. Saya yakin yang dimaksud bukan shock therapy, melainkan psychological warfare (psywar).

***

Eit, tunggu dulu, entah karena terprovokasi –artinya psywar DjM membuahkan hasil—atau karena makang puji dan dungu tergolong mudah menular, bakal calon Walikota-Wawali yang diusung Partai Amanat Nasional (PAN) ikut-ikutan pula menggelar konvoi. Dengan alasan apa? Konvoi DJM dengan kilah merayakan SK koalisi PG-PDI Perjuangan dan penetapan RS sebagai bakal calon Wawali-nya, tetap lebay tapi setidaknya lebih masuk akal.

Ketiadaan alasan yang logis aksi konvoi TB-Jainudin Damopolii (JD), PAN, dan massa yang diklaim sebagai pendukung, tak terelakkan melahirkan dugaan dan tuduhan. ‘’Ah, sebagian besar kendaraan, terutama Bentor, ikut konvoi karena dibayar Tim Sukses TB-JD,’’ tulis salah seorang penanggap lewat BlackBerry Messenger (BBM). Nilainya, Rp 50.000 per Bentor.

Jemari saya gatal ingin membalas dengan informasi yang lebih syur dan seksi berkaitan dengan pasangan TB-JD. Informasi jenis ini, apalagi ditunjang bukti tak terbantah, pasti bakal dimamah-biak konstituen yang tengah esktasi gegar Pilwako. Putusan menyandingkan TB-JD masih tetap tanda-tanya bagi sebagian besar warga KK yang mengantongi hak pilih; yang tak pernah dijawab dengan tuntas dan memuaskan, baik oleh kandidat maupun partai pengusungnya.

Apa itu? Tersebab tulisan ini bukanlah bab tentang TB-JD, melainkan DjM dan ‘’demam’’ makang puji kosong yang dia tularkan, baiknya kita tabung dulu hal-ihwal yang bikin penasaran para gossiper politik itu.

***

Saya akan menutup tulisan ini dengan analisis dari para penanggap yang berkomentar terhadap rivalitas DjM dan TB di Pilwako KK. Salah satu cermatan asal-asalan tapi tak amatir mengkonklusi: Politik dan pribadi, DjM dan TB tak akan pernah sejalan lagi. Mereka akan berusaha keras saling mengalahkan satu sama lain, dengan berbagai cara. Telahaan ini sejalan dengan apa yang sudah lebih setahun berulang kali saya tulis di blog ini.

Padahal, jelas si penanggap kita, pertentangan dua bakal calon Walikota yang disebut-sebut terkuat di Pilwako KK itu, hanya dimulai dari ‘’baku feyem’’ gara-gara pembagian ‘’pampasan perang’’. Nah, megingat keduanya sama-sama bermutu rendah, konvoi adu banyak massa cuma bumbu penyedap. Di balik itu, tidakan-tindakan lebih irasional potensial dilakukan, termasuk ‘’baku tiop’’.

Saya menyukai bagian ‘’baku tiop’’ itu. Kendati DjM dan TB sama-sama bergelar ‘’haji’’ dan ‘’hajjah’’, kompetisi mereka yang telah mencapai taraf saling menghabisi, membuka kemungkinan dipraktekkannya cara-cara paling primitif sekali pun. Tidak sulit menemukan dukun sakti di Mongondow yang mampu membuat ‘’dot’’ seseorang hanya berbekal kemenyan, ayam hitam, dan komat-kamit mantera.

Benar atau tidak, urban legend yang saya dengar sejak masa Sekolah Dasar (SD) mengungkap, hasil kerja ‘’tukang tiop’’ termanifestasi lewat berbagai cara. Sekadar baku sedu, korbannya paling-paling mendadak ditumbuhi bisul sebesar bola tenis di bokong. Yang agak serius, pengkor atau meriang, yang membuat bingung dokter saat melakukan diagnosa. Yang serius, korban buang air dan mutah darah, lalu perlahan-lahan kuncup, dan selamat tinggal!

Seberapa akurat cerita dari mulut ke mulut itu, yang menurut saya cuma gossip orang kurang kerjaan, hanya para dukunlah yang tahu. Saya lebih percaya bahwa para politikus potensial buang air dan muntah darah karena maag bleeding. Penelitian membuktikan, kegalauan berlebihan dapat mengakibatkan gangguan pencernaan. Dan gangguan pencernaan akut biasanya berujung maag bleeding.***