Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Friday, November 27, 2015

Orang-orang Gagal di Pilkada Boltim

PILKADA Boltim 2015 praktis terkonsentrasi pada pertarungan—sekaligus perseturuan—antara pasangan Cabup-Cawabup Sachrul Mamonto-Medi Lensun dan Sehan Landjar-Rusdi Gumalangit serta para pendukung masing-masing. Calon lain, Candra Modeong-Supratman Datunsolang, mohon maaf sebesar-besarnya, tanpa bermaksud meremehkan, boleh dikata sekadar mei-mei periuh kompetisi.

Tapi saya harus memuji—khususnya—Candra, yang belakangan dengan cerdas memanfaatkan celah sempit politis dengan mempersoalkan Kapolres Bolmong yang dinilai menghambat kampanyenya. Isu yang segera ditangkap media massa ini memang seksi, apalagi kemudian berkembang menjadi dugaan adanya ‘’permainan’’ dalam distribusi dana pengamanan Pilkada di Boltim.

Langkah kuda cantik itu digosok-gosok lagi dengan gertakan dia akan ke Jakarta mengadukan praktek sumir penggunaan dana pengamanan itu ke Kapolri sebagaimana yang saya baca di situs berita totabuan.co, Kamis, 26 November 2015 (https://totabuan.co/2015/11/candra-saya-ke-jakarta-untuk-laporkan-kapolres-bolmong-ke-mabes-polri/).

Di usia muda, Candra sudah menunjukkan kepiawaian bersilat politik. Sekalipun, keriuhan di media yang dia ciptakan sekadar alasan yang sangat mudah dibaca: supaya dia juga mencicipi sedikit kue perhatian konstituen dari gegar Pilkada. Sebab kalau mau jalan-jalan—untuk memperhalus ‘’melarikan diri’’—ke Jakarta karena sejak awal memang ditempatkan sekadar agar ada lebih dari satu pasang Cabup-Cawabup di Boltim; dan karena tahu persis peluang untuk mendulang suara siginifikan dari para pemilih sangat rendah; lakukan saja tanpa berisik. Tidak pula ada yang akan menahan, apalagi melarang.

Kapolri terlalu sibuk mengurusi Pilkada serentak di seluruh Indonesia. Lagipula, begitu mengetahui ada isu dugaan praktek bengkok polisi itu, Kapolda Sulut, Brigjen Pol Wilmar Marpaung, bahkan meminta jika memang ada bukti awal, maka penduga langsung ketemu dia atau membuat laporan resmi (totabuan.co, Rabu, 25 November 2015, https://totabuan.co/2015/11/soal-pembagian-dana-pam-pilkada-kapolda-segera-buat-laporan-tertulis/).

Namun, tulisan ini bukanlah tentang Candra Modeong—juga manuver-manuver belutnya—dan pasangannya di Pilkada Boltim. Bukan pula soal duo Sachrul-Medi dan Sehan-Rusdi. Melainkan tentang  fenomena kompleksitas umum Pilkada Boltim serta tokoh-tokoh dan ujung tombak pendukung kandidat yang tengah bertarung, khususnya para jurkam yang diboyong untuk menyakinkan orang banyak. Dan mengingat ‘’perseteruan’’ Sachrul-Medi dan Sehan-Rusdi adalah yang paling keras dan ketat, saya memfokuskan cermatan siapa dan bagaimana ‘’tulang belakang’’ yang menopang dua pasang calon ini.

Pertama, Cabup-Cawabup Sachrul-Medi. Diusung PDIP dan Nasdem, pasangan ini sejak mula diuntungkan konteks politik regional karena Pilkada Boltim dilaksanakan bersamaan dengan Pilkada Sulut. Di Pilgub, dari tiga pasang kandidat Cagub-Cawagub, calon yang didukung PDIP, Olly Dondokambey-Steven Kandow, di atas kertas jauh mengungguli lawan-lawannya. Keuntungan persepsi publik terhadap Olly-Steven ini turut dinikmati Sachrul-Medi yang menjadi bagian dari paket calon kepala daerah PDIP di Sulut.

Kelemahan karena Sachrul Mamonto yang tak lain Ketua DPD PAN Boltim tidak didukung partainya sendiri, dalam perkembangan terakhir justru berubah menjadi keunggulan. Ini karena sikap mendua PAN yang akhirnya mengecewakan kader-kader militannya serta—yang paling krusial—dukungan dari para politikus PAN yang sebelumnya berhasil meraih sukses di Pilkada di BMR dan Pemilu 2014, seperti anggota DPR RI, Yasti Mokoagow, dan Ketua DPW PAN Sulut yang juga Walikota KK, Tatong Bara.

Jika dikonklusi, secara umum kelemahan-kelemahan Sachrul-Medi berhasil dieliminasi perkembangan terkini politik di Sulut serta dukungan penuh para politikus yang sedang mendapat atraksi positif publik, termasuk Olly Dondokambey, Steven Kandow, petahana Bupati Bolsel (yang pengaruhnya melintasbatas hingga Boltim) Herson Mayulu, Yasti Mokoagow, dan Tatong Bara. Di balik panggung, Sachrul-Medi juga didukung tim yang sukses memenangkan Pilkada di hampir semua kota/kabupaten di Sulut, karena mengolah seluruh proses menuju hari ‘’H’’, 9 Desember 2015 mendatang, dengan pendekatan berbasis data dan analisis faktual.

Karena mengenal dekat beberapa ‘’pemain kunci’’ di tim yang mendukung Sachrul-Medi, saya percaya, misalnya, mereka tidak mengarang-ngarang angka dukungan. Terlebih datanya bukan dalam bentuk prosentase, tetapi orang per orang pemilih.

Kedua, pasangan Sehan-Rusdi. Keunggulan terbesar pasangan ini adalah kontradiksi, karena sekaligus menjadi kelemahan fundamentalnya. Dengan dukungan utama dari PAN (yang punya satu fraksi utuh di DPRD Boltim)—ditopang PKB, Gerindra, dan Partai Demokrat—, sejak menerima mandat, (utama Sehan Landjar) disibukkan upaya menyakinkan publik bahwa mereka ‘’tidak merampok’’ hak politik Sachrul Mamonto—yang justru diabaikan partainya walau sudah membuktikan prestasi politik di DPD yang dipimpinnya.

Keteralihan itu berdampak sangat buruk sebab lebih menampakkan sisi irasional dan emosi pribadi Sehan, ketimbang pencapaian kualitas politik dan kepemimpinannya sebagai petahana. Situasinya kian tidak menguntungkan karena tokoh-tokoh PAN—terutama dari DPP—yang dijadikan ‘’bala bantuan’’ politik, cuma masyuk menyerang kader-kadernya sendiri yang lebih memilih mendukung Sachrul-Medi. 

Padahal, fokus pada aspek paling fundamental dari sebuah isu, peristiwa, atau kompetisi adalah faktor paling utama pencapaian keberhasilan. Mengabaikan magic point yang belakangan dikupas tuntas psikolog yang juga wartawan, Daniel Goleman (Focus: The Hidden Driver of Excellence, HarperCollins, 2013) ini, mendorong Sehan-Rusdi pada posisi cuma ‘’berkelahi dengan bayangan sendiri’’.

Kampanye terbuka Sehan-Rusdi, Rabu (24 November 2015), yang dihadiri sejumlah elit DPP PAN adalah contoh terkini cerai-berainya strategi pemenangan pasangan ini. Alih-alih menjual ide, capaian, dan rencana ke depan Sehan-Rusdi, mereka justru masih bersikutat dengan isu basi semacam ‘’dukungan partai yang sah’’ (totabuan.co, Kamis, 26 November 2015, https://totabuan.co/2015/11/waketum-dpp-pan-dukungan-pan-yang-sah-ada-pada-pasangan-seru/), ‘’sanksi untuk kader PAN yang berseberangan’’, dan tetek-bengek sejenis yang sejatinya adalah urusan sangat internal partai.

Dan celakanya, tanpa disadari ‘’serangan’’ itu justru membuka lebar kelemahan para peyokong utama dan jurkam Sehan-Rusdi. Publik yang sudah terpapar informasi lengkap dan mau sedikit berpikir langsung menyadari, kualitas orang-orang yang disodorkan pasangan ini ke depan umum justru menggelikan, dibanding dengan tokoh-tokoh yang mereka serang.

Kita terang-terangan saja. Warga Boltim tentu lebih percaya pada Yasti Mokoagow yang mereka pilih ke DPR RI pada Pemilu 2014 ketimbang Caleg konsisten (telah empat kali mencalonkan diri) seperti Bara Hasibuan. Mereka setidaknya lebih nyaman mendengar Tatong Bara yang Walikota KK ketimbang calon gagal DPRD Provinsi seperti Dedi Dolot. Pula, mereka pasti tidak serta-merta memamah-biak pernyataan-pernyataan Sekjen PAN, Eddy Soeparno, yang mendadak kader paska Kongres Bali 2015 atau Wakil Ketua DPP, Hanafi Rais—walau dia adalah putra ‘’mogul’’ PAN, Amien Rais—yang terbukti gagal meraih kursi Walikota Yogyakarta pada 2011.

Kehadiran dan pernyataan-pernyataan tokoh-tokoh DPP PAN di kampanye yang mestinya menjadi salah satu ultimate moment Sehan-Rusdi (sebab Pilkada tinggal menghitung hari yang pendek) itu, menurut hemat saya, membuat pasangan ini gagal total ditampilkan di arus utama isu politik Boltim. Yang mencolok justru para jurkam dan aneka intrik internal PAN.

Apa artinya situasi itu terhadap sukses Sehan-Rusdi pada 9 Desember mendatang? Saya tak berani menyimpulkan. Mungkin ada baiknya saya kutipkan saja komentar yang barangkali dapat mewakili pikiran sejumlah kecil konstituen di Boltim, bahwa, ‘’Sedang kon tampat monia in no-kalah-bi’, yo mamangoi bi’ ko-na’a bo molimbu-limbung kon ubol ko’i-nami.’’***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

BMR: Bolaang Mongondow Raya; Bolmong: Bolaang Mongondow; Bolsel: Bolaang Mongondow Selatan; Boltim: Bolaang Mongondow Timur; Brigjen: Brigadir Jenderal; Cabup: Calon Bupati; Cawabup: Calon Wakil Bupati; DPD: Dewan Pimpinan Daerah; DPP: Dewan Pengurus Pusat; DPR: Dewan Perwakilan Rakyat; DPRD: Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; Gerindra: Gerakan Indonesia Raya; Jurkam: Juru Kampanye; Kapolda: Kepala Kepolisian Daerah; Kapolres: kepala Kepolisian Resor; Kapolri: Kepala Kepolisian Republik Indonesia; KK: Kota Kotamobagu; Nasdem: Nasional Demokratik; PAN: Partai Amanat Nasional; PDIP: Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan; Pilgup: Pemilihan Gubernur (dan Wakil Gubernur); Pilkada: Pemilihan Kepala Daerah; PKB: Partai Kebangkitan Bangsa; Pol: Polisi; RI: Republik Indonesia; Sekjen: Sekretaris Jenderla; dan Sulut: Sulawesi Utara.

Wednesday, November 25, 2015

Gelar Adat: ‘’(Maaf) Cari Muka, Dapa Panta’’

HINGGA Selasa, 24 November 2015, saya tak henti menerima SMS, BBM, dan telepon ihwal anugerah ‘’Punu’ Molantud’’ untuk Pejabat Gubernur Sulut, Soni Sumarsono. Musababnya adalah tulisan Gelar Odong-odong Organisasi ‘’Tarepak’’ untuk Pejabat Gubernur Sulut yang saya unggah di blog ini.

Karena gelar adat Mongondow yang disematkan Amabom (atas nama masyarakat Bolmong) tak lebih dari tipu-tipu dan lelucon, mulanya saya tidak terlampau serius menanggapi berbagai ‘’curahan hati’’ yang berdatangan itu. Bukan sekali-dua apa yang saya tulis, sekalipun kebenarannya 100% tak terbantahkan, menjadi sekadar perhatian dan keprihatinan pribadi sebab tak banyak orang Mongondow yang menunjukkan kepedulian.

Pada salah seorang kawan dekat yang mengontak, saya menyampaikan, demi kewarasan dan tidur nyenyak kita semua, anggap saja prosesi anugerah gelar adat Mongondow dari Amabom itu tak lebih dari pertunjukan ketoprak. Pejabat Gubernur Sulut, Soni Sumarsono, yang kebetulan berasal dari Tulungagung, Jawa Timur, pasti tahu persis apa itu ketoprak. Walau, sejatinya ‘’ketoprak’’ punya arti ganda: sejenis makanan dengan komponen utama tahu, bihun, mentimun, taoge, emping, dan ketupat; dan seni pentas khas Jawa—yang lagi-lagi kebetulan—sangat digemari di Jawa Timur.

Pentas ketoprak yang biasanya diangkat dari legenda atau sejarah Jawa, belakangan melahirkan varian ‘’ketoprak humor’’. Di pertunjukan ketoprak humor (yang galib tampil di layar-layar teve kita), logika boleh jungkir-balik, termasuk raja pun boleh dipermain-mainkan. Amabom cuma LSM (yang sangat saya ragukan punya akte notaris sebagai dokumen legal paling dasar), bukan lembaga atau representasi budaya, adat, dan tradisi Mongondow; Pejabat Gubernur Sulut baru menduduki kursinya berbilang hari dan karenanya tak heran kalau dia  belum menyumbang apa-apa terhadap masyarakat daerah ini; serta yang paling menggelikan, gelar ‘’Punu’ Molantud’’ yang entah dipungut dari kearifan budaya, adat, dan tradisi Mongondow yang mana.

Orang gila urusan dengan mulut beracun dan gemar dikutip media semacam Muliadi Mokodompit tentu punya kilahan bahwa Amabom adalah bagian dari jaringan AMAN (di mana dia dicantumkan sebagai Pd AMAN Bolaang Mongondow Tengah—kapankah Bolaang Mongondow Tengah ini diresmikan?). Pembaca, luangkan waktu untuk menegok situs AMAN (http://aman.or.id/) dan Anda tidak akan tersesat lagi di tengah abab dan liur orang-orang yang tidak tahu diri dan tidak tahu malu.

AMAN adalah Ormas. Tidak beda dengan organisasi sejenis yang jumlahnya puluhan ribu di Indonesia. Walau punya pengurus daerah di BMR, organisasi ini tidak punya hak sebiji sawi pun mengatasnamakan masyarakat Bolmong dan kemudian memberikan gelar adat Mongondow pada seseorang. Memangnya komunitas mana yang memberikan mandat pada Muliadi Mokodompit, Jemmy Lantong, dan beberapa orang yang disebut sebagai ‘’Pd AMAN’’ di BMR hingga berani-beraninya mereka mengklaim sebagai respresentasi adat Mongondow?

Dengan mengetahui duduk-soal dan hal ihwal yang biasanya dijadikan senjata oleh (terutama) Jemmy Lantong dan (kini ditambah) Muliadi Mokodompit menjual-jual adat Mongondow, saya meredakan kejengkelan karena anugerah gelar untuk Pejabat Gubernur Sulut memang cuma lakon. ‘’Punu’ Molantud’’ itu boleh diterjemahkan sebagai Raja Agung dalam lakon ketoprak yang disutradarai Jemmy Lantong dengan penulis skenario Muliadi Mokodompit dan diperanutamai Pejabat Gubernur Sulut, Soni Sumarsono.

Namun, urusan memang menjadi serius. Saya mencatat, secara umum komentar, pendapat, bahkan cemohan terhadap keriuhan gelar adat untuk Pejabat Gubernur Sulut ini melahirkan dua isu utama.

Pertama, kalangan yang menganggap Amabom adalah lembaga representasi adat Mongondow menyoal, mengapa tokoh-tokoh (paling tidak) yang pernah memimpin Sulut dan punya perhatian terhadap Bolmong seperti E. E. Mangindaan atau Sinyo Sarundajang tak ‘’dianggap’’ oleh orang Mongondow, setidak dengan penghormatan gelar adat?

Bahkan, yang lebih dekat lagi, sesungguhnya ada sentimen apa hingga tokoh yang jelas-jelas anak-temurun Mongondow seperti mantan Wagub Sulut, Abdullah Mokoginta, juga tidak ‘’direken’’ dengan gelar—minimal lebih rendah—seperti yang diberikan pada Pejabat Gubernur. Kurang apa ketokohan dan sumbangsih Om Dula’—demikian dia dikenal akrab di kalangan dekatnya—setidaknya terhadap kebanggaan masyarakat Bolmong?

Sebab itu, sungguh aneh tanpa mendung dan angin, Pejabat Gubernur Sulut yang masa berkuasanya baru berbilang hari, tiba-tiba dianugerahi gelar adat sangat tinggi oleh orang segerombolan orang atas nama Mongondow. Pasti ada sesuatu yang amis dan menjijikkan dari yang tontonan ‘’mendadak gelar adat Mongondow’’ dari Amabom itu.

Dan kedua, mereka yang lebih paham tata-aturan dan seluk-beluk berorganisasi memperkuat kejengkelan (yang sudah saya tuliskan) terhadap tabiat bengkok segelintir orang yang menjual-jual budaya, adat, dan tradisi Mongondow. Penganugerahan gelar dari satu entitas masyarakat, terlebih berlabel adat, semestinya adalah peristiwa budaya yang khimat. Kecuali kalau anugerah itu sekadar tontonan hiburan atau konsumsi pariwisata demi memuaskan keingintahuan turis asing terhadap eksotisme Indonesia, khususnya Mongondow.

Pendek kata, gerundelan terhadap anugerah ‘’Punu’ Molantud’’ atas nama adat Mongondow itu hingga menyerempet aspek yang agak segan saya ungkap lebih jauh, terlebih anak-temurun (langsung) pewaris darah biru Kerajaan Bolmong masih dengan mudah bisa kita temui. Lagipula, harus diakui pertanyaan semacam ‘’Siapa itu Jemmy Lantong? Siapa Muliadi Mokodompit? Anak-cucu raja yang mana? Siapa yang memberikan hak pada mereka mempermain-mainkan adat Mongondow?’’ tidaklah mengada-ada dilontarkan orang banyak yang masih punya kewarasan.

Tapi kita memang tidak sedang bicara kewarasan. Melihat rekam jejak beberapa nama yang terlibat di pusaran anugerah gelar adat itu, semestinya mereka sudah berakhir di RS Ratumbuysan atau kantor polisi. Dan kalau cecuguk macam Muliadi Mokodompit—yang tampaknya kian tidak punya tempat di luar Mongondow—tersinggung dengan yang saya tuliskan ini, mari kita berperkara. Inta! Sin tua bi’ in ta inolatku.

Agar tak mengulang-ngulang lagu yang sama, isu kedua tentu tak perlu dibahas lagi.

Akan halnya isu pertama, jika pun diperbincangkan pasti berakhir sebagai spekulasi dan duga-duga. Apalagi anugerah adat semestinya bukan sekadar ‘’penghargaan’’, terlebih cuma upaya politik murahan. Dia adalah simbol penerimaan sebuah entitas terhadap seseorang, baik sebagai tokoh maupun pribadi, yang memberikan lebih dari sekadar pelaksanaan tugas karena tuntutan kewajiban.

Anugerah adat bicara tentang rasa dan penerimaan, hormat yang tulus, yang sesungguhnya dapat ditakar di keseharian masyarakat Bolmong. Siapakah yang akan mendebat jika E. E. Mangindaan dan Sinyo Sarundajang (yang orangtuanya bahkan cukup lama bermukim di Mongondow) telah dengan konsisten menunjukkan penghormatan, penghargaan, dan sumbangsih untuk Mongondow. Juga Om Dula’ yang bahkan masih harus menunda bersenang-senang dengan cucu karena di usia senjanya tetap didaulat memimpin P3BMR.

Atau barangkali mereka memang tidak perlu diberi gelar adat Mongondow yang oleh Amabom diperlakukan tidak lagi dengan dengan kontes kecantikan produk pupur.  Toh masyarakat Mongondow sudah menerima mereka dengan penghormatan tulus dan tinggi.

Maka tak terelakkan, syak yang paling mungkin adalah anugerah gelar adat itu cuma didasari motif ‘’dagang politis atas nama orang ramai di Bolmong’’. Pengakuan Muliadi Mokodompit adanya permintaan dan rapat di Kantor Gubernur Sulut di Harian Sindo Manado, Selasa, 24 November 2015 (Gelar Adat Gubernur Dipolemikkan), menunjukkan mentalitas calo dan tukang jual apa saja yang sudah lama saya tahu menjadi tabiat khas orang-orang sejenis.

Pembaca, Anda yang mengikuti dinamika politik Sulut umumnya dan BMR khususnya, tak perlu pura-pura kaget. Ada seseorang di Kantor Gubernur yang tengah mempermainkan orang Mongondow, bersekongkol dengan Jemmy Lantong, Muliadi Mokodompit, dan kawan-kawan, menipu Pejabat Gubernur dengan gelar pepesan kosong. Targetnya? Apalagi kalau bukan kursi Pejabat Gubernur BMR—jika Insya Allah provinsi ini terwujud. Akan halnya Jemmy Lantong, (terutama) Muliadi Mokodompit yang beberapa waktu tertangkap tangan mengeruk keuntungan pribadi dari P3BMR, dan kawan-kawan, punya celah turut menepuk dada sebagai pahlawan pemekaran.

Melihat kegigihan banyak orang yang bekerja tanpa pamrih dan berisik ,serta janji Pejabat Gubernur yang juga Dirjen Otda, ada atau tidak ada ‘’gelar ketoprak
 ‘’Punu’ Molantud’’, PBMR tinggal menunggu waktu direlisasi. Karenanya, sungguh hanya para bedebah dia’ ko opoyu yang punya nyali mengail keuntungan untuk pribadi dan kelompoknya. Dengan menjual-jual adat Mongondow pula.

Dengan riuhnya tanggapan negatif orang banyak, dari awam yang bingung hingga tokoh-tokoh yang khatam budaya, adat, dan tradisi Mongondow—termasuk di Harian Radar Bolmong yang sebelumnya ‘’memuji’’ tinggi ‘’Punu’ (keptoprak Amabom) Malantud’’ untuk Pejabat Gubernur (Rabu, 25 November 2015, https://radarbolmongonline.com/polemik-gelar-adat-punu-molantub-hanya-untuk-raja/13541/) saya kira pentas Jemmy Lantong, Muliadi Mokodompit, dan kawan-kawan, serta dalang di balik mereka justru baru dimulai. Akal bulus dan pencatutan terhadap adat Mongondow pasti telah tiba di meja Pejabat Gubernur Sulut.

Sungguh terlalu jika Soni Sumarsono tidak mengambil tindakan apapun terhadap penipuan yang dilakukan terhadap dia. Sekalipun dengan cara yang santun, halus, dan diam-diam mengingat latar budaya Jawa-nya; tetapi sekaligus kerap lebih perih dibanding kemarahan yang dinyatakan terbuka.

Kita boleh bertaruh, sembari—jika perlu—mengambil tindakan hukum dan adat terhadap Jemmy Lantong, Muliadi Mokodompit, and the gank. Yang jelas, nujuman saya pasti: apa yang dilakukan Amabom akan berlabuh sebagaimana sinisme ‘’mo cari muka, eh, ternyata cuma dapa panta’’. ***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

Amabom: Aliansi Masyarakat Adat  Bolaang Mongondow; AMAN: Aliansi Masyarakat Adat Nusantara; BBM: BlackBerry Messenger; BMR: Bolaang Mongondow Raya; Bolmong: Bolaang Mongondow; LSM: Lembaga Swadaya Masyarakat; Ormas: Organisasi Kemasyarakatan; P3BMR: Presidium Panitia Pemekaran Provinsi Bolaang Mongondow; PBMR: Provinsi Bolaang Mongondow Raya; SMS: Short Message; Sulut: Sulawesi Utara; dan Wagub: Wakil Gubernur.

Monday, November 23, 2015

Gelar Odong-odong Organisasi ‘’Tarepak’’ untuk Pejabat Gubernur Sulut

SEMESTINYA para pemimpin politik dan birokrasi di KK terdidik dan berpendidikan, setidaknya dari gelar yang mereka letakkan di depan atau belakang nama; serta—yang paling penting—pencapaian jabatan publik yang diemban. Semestinya, karena mereka adalah ‘’pemerintah’’, pengemban amanat orang banyak, yang dijalankan adalah kepentingan yang lebih luas, strategis, dan jangka panjang.

Pemimpin politik dan birokrasi yang sebenar-benarnya pelayan publik semestinya bukan antek segolongan orang, terlebih dari para calo yang memanfaatkan setiap kesempatan dan kesempitan untuk kepentingan diri sendiri atau kelompoknya. Dan semestinya pula, sebelum mengambil tindakan atas nama publik, mereka menaati aturan yang dibuat secara struktural dari Pusat hingga Daerah. Negeri ini sebuah Republik (dengan ‘’R’’), yang punya norma, etika, hukum, tata, dan aturan. Sebagaimana Mongondow (dengan ‘’M’’ pula) punya pranata yang sama.

Karena itu, saya benar-benar terperanjat mengetahui Pejabat Gubernur Sulut, Soni Sumarsono, tiba-tiba diberi gelar adat (yang diklaim sebagai gelar adat Mongondow) dalam kunjungan resminya, Sabtu, 21 November 2015. Yang kian membuat saya tidak mengerti, mengapa Pemkot KK terlibat dalam penganugerahan gelar ini, mengingat yang memberikan adalah Amabom—setidaknya demikian yang saya baca di situs Radar Bolmong, Minggu, 22 November 2015, ‘Dega Nion Don Punu Molantud’: Pj Gubernur Bahas PBMR dan Terima Gelar Adat (https://radarbolmongonline.com/dega-nion-don-ima-gelar-adat/13429/).

Pembaca, Amabom bukanlah institusi yang mewakili budaya, adat, dan tradisi Mongondow. Lembaga ini cuma LSM, yang pengurusnya pun sesuka-sukanya mengangkat dan mengklaim representasi untuk dirinya sendiri. Memangnya siapa saja masyarakat Mongondow yang mengangkat Jemmy Lantong, Muliadi Mokodompit, atau orang-orang petantang-petenteng mengaku Amabom sebagai representasi adat Mongondow? Dengan cara apa mereka diangkat dan diakui?

Sepanjang mereka tidak melakukan tindakan kriminil, pelanggaran etika atau norma, dan lebih khusus lagi budaya, adat, dan tradisi Mongondow; sikap saya: sesuka-suka kalianlah! Tapi tidak untuk menjual Mongondow dengan harga murah seperti penganugerahan gelaradat  yang kian seenaknya dilakukan oleh lembaga ini, apalagi—belakangan dalam kasus Pejabat Gubernur Sulut—atas dukungan Pemda.

Pembaca, Kerajaan Bolmong dan satelit-satelitnya sudah lama berakhir. Ini fakta sejarah yang tak perlu diperdebatkan. Dengan berakhirnya kerajaan, maka berakhir pula segala hal-ihwal pewarisan kekuasaan, struktur pemerintahan, dan atribut-atribut yang melekat bersamanya. Jika pun masih ada penghormatan terhadap masa lalu, termasuk untuk anak-temurun para pemimpin Kerajaan Mongondow dari masa nostalgi itu, semata sekadar tradisi yang kian lama kian meredup.

Mau Anda berdarah biru kek, biru tua kek, keturunan Tuang Raja kek, atau sekadar ‘’tukang nae kalapa’’, harus diakui tidak lagi penting di kekinian Mongondow. Sepanjang Anda tidak kompeten dan hanya mengandalkan ‘’kisah jaya masa lalu’’, hari ini Anda bukan siapa-siapa.

Tapi orang Mongondow bukan ‘’bangsa yang tidak berbudaya dan nir-adab’’. Masa lalu dihormati, dan karena itu sejumlah budaya, adat, dan tradisi tinggi tetap dipelihara. Ada atau tidak Amabom atau aku-mengaku dari mereka yang masih mimpi era kerjaan dan merasa berdarah biru. Sebab itu, setiap tindakan melecehkan budaya, adat, dan tradisi itu semestinya dilawan dengan sungguh-sungguh.

Apalagi, kali ini Amabom sudah keterlaluan. Pejabat Gubernur diberi gelar ‘’Punu’ Molantud’’—menurut Sekretaris Amabom, Muliadi Mokodompit (tampaknya di setiap peristiwa yang bengkok di Mongondow nama ini selalu ada di depan, termasuk dalam kisruh UDK terakhir ini), diberikan untuk pemimpin tertinggi atau Raja Agung. Barangkali kita tinggal menunggu waktu nanti pejabat setara menteri akan diberi gelar (lucu-lucuan) ‘’Punu’ Totok Molantud’’, lalu Presiden RI disemati gelar entah apalagi di atas itu.

Berdasar Permendagri No 52/2014 Tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat, ada tata cara yang harus ditempuh agar masyarakat (hukum) adat di satu daerah di wilayah RI diakui. Masyarakat (hukum) adat mana yang diklaim oleh Amabom? Dan bagaimana pengakuannya didapat, terutama dari otoritas berbangsa dan bernegara tertinggi di negeri ini, yaitu Pemerintah Indonesia?

Hingga tulisan ini dibuat, sepengetahuan saya belum ada satu pun pengakuan terhadap masyarakat (hukum) adat di wilayah Mongondow yang diproses. Lain soal kalau dilakukan diam-diam; tetapi dengan demikian ada hak orang banyak yang ditelikung oleh segelintir maling dan manipulator di Bolmong.

Konsekwensi dari posisi Amabom yang sedemikian itu, membuat hubungannya dengan Pemkot KK tidak memiliki payung hukum formal. Sederhananya: Dukungan Pemkot KK terhadap aktivitas Amabom tidak berbeda dengan dukungan terhadap KNPI, LSM, Ormas, atau organisasi mahasiswa. Ada proposal yang disampaikan, ada persetujuan dan alokasi anggarannya. Atau, dalam hal-hal yang lebih strategis semacam kerja sama untuk peristiwa yang berkaitan dengan kepentingan Pemkot, ada kesepakatan yang dituangkan dalam perjanjian yang dapat dipertanggungjawabkan. Terlebih jika kerja sama itu menggunakan APBD atau yang membawa-bawa nama Pemkot.

Tanpa dasar hukum yang jelas, dari aspek formal, tindakan Pemkot KK turut serta dalam penganugerahan gelar dari Amabom untuk Pejabat Gubernur Sulut adalah penyalahgunaan. Bahkan jika menggunakan APBD, keikutsertaan itu adalah korupsi. Sedang dari aspek budaya, adat, dan tradisi Mongondow, tak diragukan lagi, kehadiran jajaran Pemkot dalam anugerah gelar bodong oleh Amabom untuk Pejabat Gubernur Sulut adalah permufakatan dan persekongkolan jahat meredahkan harkat seluruh orang Mongondow.

Melihat sepak terjang Amabom, saya kira organisasi ini tak beda dengan komplotan ‘’mama minta pulsa’’. Saya meragukan pula dari aspek legalitas apakah organisasi ini memiliki kelangkapan  AD/ART dan kewajiban formal organisasi lainnya di negeri ini. Itu sebabnya, karena cuma LSM yang mengaku-ngaku, sebaiknya Jemmy Lantong dan seluruh pengurus Amabom harap tahu diri. Anda boleh memberikan gelar apapun, termasuk Kaisar untuk diri Anda sendiri, Sultan untuk Muliadi Mokompit, atau Paduka yang Mulia untuk siapa saja yang Anda sukai atas nama Amabom. Terserah. Tapi jangan atas nama budaya, adat, dan tradisi Mongondow.

Ingat, Amabom cuma LSM. Bukan pranata dan insitusi budaya, adat, dan tradisi Mongondow. Bahwa satu saat, di kesempatan lain ada yang akan menyampaikan pada Pejabat Gubernur Sulut, Soni Sumarsono, dia telah ditipu dengan gelar odong-odong dan dari organisasi tarepak, saya pastikan: Sayalah yang memberi tahu!***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

AD/ART: Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga; Amabom: Aliansi Masyarakat Adat Bolaang Mongondow; Bolmong: Bolaang Mongondow; KK: Kota Kotamobagu; KNPI: Komite Nasional Pemuda Indonesia; LSM: Lembaga Swadaya Masyarakat; Ormas: Organisasi Masyarakat; Pemda: Pemerintah Daerah; Pemkot: Pemerintah Kota; Permendagri: Peraturan Menteri Dalam Negeri; RI: Republik Indonesia; dan Sulut: Sulawesi Utara.