Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Tuesday, October 29, 2013

Seorang Perempuan di Halaman Depan Sebuah Koran


PEREMPUAN itu berinisial WG. Begitu nama yang disemat situs Totabuan.Co, Kamis, 24 Oktober 2013, Pelaku Foto Syur Melapor ke Polres (http://totabuan.co/2013/10/24/pelaku-foto-syur-melapor-ke-polres/), menyebut wanita yang pose-pose tanpa busananya dipajang di halaman depan Harian Radar Bolmong edisi Selasa, 22 Oktober 2013.

Dikawani orangtuanya, dua sosok yang fotonya (kemudian diganti dengan ilustrasi) berulang kali saya cermati di berita unggahan Lintasbmr.Com, Penyebar Foto Syur Dilapor (http://lintasbmr.com/penyebar-foto-syur-dipolisikan/), perempuan berusia 31 tahun itu menyambangi Mapolres Bolmong. Melihat gambar mereka yang duduk pasrah dan pariah, dada saya bagai ditindih berbalok-balok es. Dingin, kebas, dan nyeri. Orang kecil dan papah selalu mudah jadi korban, bahkan oleh jurnalis yang semestinya menjadikan hati nuraninya kompas; dan media yang selayaknya memihak yang lemah dan korban.

Saya memang patah hati terhadap praktek jurnalistik koran yang mengklaim ‘’No. 1 di Bolmong Raya’’ itu. Dan patah hati itu paripurna jadi remuk menyimak Totabuanews.Com, Adegan Foto Syur di Kotamobagu Ditangani Polres Bolmong (http://totabuanews.com/2013/10/25/adegan-foto-syur-di-kotamobagu-ditangani-polres-bolmong/), tentang bagaimana derita WG setelah peristiwa di ruang pribadi dan tertutupnya dipampang jadi lahapan orang banyak.

Perempuan itu, ibu rumah tangga biasa, dan kedua orangtuanya, saya yakini telah mengumpulkan seluruh keberanian yang tersisa sebelum menyeret kaki, badan, dan pikiran berkabut malu ke Mapolres Bolmong. Aib yang sebelumnya bertebaran kemudian dikumpul, dirajut, dan dipakukan Radar Bolmong, bahkan bagi seorang serdadu paling berani pun, sungguh menciutkan nyali. Tak ada lagi yang mampu menghapus foto seronoknya dari ingatan para penyaksinya. Tidak juga permintaan maaf dari koran yang jadi bagian dari raksasa penerbitan negeri ini, yang memang tak bakal dengan rela dinyatakan.

Sungguh mengerikan kesombongan pewarta dan media yang tak lagi memandu prakteknya dengan aturan, standar, norma, dan etika jurnalistik. Mereka mampu dan berhak seolah-olah berada di atas semua yang semestinya di hormati. Tak ada yang keliru, sebab merekalah yang mengatur apa yang jadi pikiran dan persepsi orang banyak. Dan bahwa yang terdampak, pelaku atau sekadar korban, dianggap risiko individu masyarakat modern yang mudah berjaya dan jatuh hanya oleh 60 detik gambar atau berita di televisi dan radio; atau sekolom-dua rangkaian kalimat di majalah, koran, situs berita, dan media sosial.

Ya, Radar Bolmong adalah media yang seperti itu. Yang telah memalu dan menyempurnakan kehancuran perempuan berinisial WG, orangtua, anak-anak, dan keluarganya.

Bagaimanakah kita merekonstruksi badai yang menggelora di jantung dan pikiran anak-beranak itu di hadapan penyidik Polres Bolmong tatkala mereka menutur laranya? Seperti apakah luka hati orangtua yang disayat kenyataan putrinya dikembalikan sang suami karena meloloskan busana di hadapan lelaki lain; yang dimamah-biak pula oleh para pembaca koran? Cucu dan anak mereka tak lagi punya muka dan nyali menginjakkan kaki di sekolah sebab wajah terujung ibunya sudah jadi konsumsi cibir dan bisik-bisik.

Di tiap perbenturan peradaban, perang, dan peristiwa, korban pertama yang jatuh selalu perempuan dan anak-anak. Televisi, radio, surat kabar, dan situs berita merajam kita dengan duka mereka. Gambar-gambar perempuan dan anak-anak sekurus lidi yang merenggang nyawa disapu kelaparan di ceruk sebuah negara di Afrika. Perempuan dan anak-anak yang dianiaya dan dirajam di tengah konflik perang Afganistan atau Palestina. Pula perempuan dan anak-anak yang terlunta-lunta dari kampung yang dihantam bencana, ghetto kumuh, hingga jalanan gemerlap neon metropolis.

Perempuan berinisial WG, yang foto-foto syur-nya disiarkan vulgar di halaman depan sebuah koran yang merasa lebih terhormat dan pantas angkuh, adalah korban. Anak-anak dan keluarganya adalah korban ikutan sebab media tak lagi memilihan mana yang publik dan private. Yang mana demi pengetahuan dan pembelajaran umum dan sekadar syahwat sensasional.

Ketika satu bangunan keluarga runtuh dengan alasan apapun --cinta terlampau cepat berganti benci atau sebab ‘’rumput tetangga lebih hijau dari halaman sendiri’’, siar media, ada masa depan lain yang dipertaruhkan. Orang-orang pintar, pakar, dan para bijak angkat suara. Bicara tentang akar-soal, musabab, resep menangkal, atau menyembuhkan yang memar, bengkok, luka, retak, dan patah. Kata mereka: Masa depan itu, anak-anak yang diimaji dan doanya tak terpinta berkayuh di biduk retak, jangan pernah dibiarkan tenggelam. Sebab peradaban sesungguhnya dibangun di atas reruntuhan demi reruntuhan oleh mereka yang bernurani setelah yang barbar tersungkur dan dikubur.

Di manakah peradaban itu di Mongondow ketika anak-anak yang semestinya ceria menyongsong pagi, bunggah berlarian ke sekolah, menyerukkan wajah dan tubuh ke sudut tergelap dan sepi? Di sesemakan yang sempurna menolak hingga hanya selarik cahaya, di mana telinga tak lagi menangkap sesuara pun kata-kata, ‘’Ibumukah perempuan yang dibakar nafsu di halaman depan koran yang aku lihat?’’

Suara itu adalah iblis yang menghantui seumur hidup, bahkan sekali pun dia tumbuh dewasa dan mengasingkan diri ke belantara terjauh tanpa jejak dan bau makluk berjalan. Waktu memang menyembuhkan borok yang membusuk di otak dan hatinya. Tapi ada parut membekas, yang tak sesiapa pun (tidak juga LSM perempuan dan anak, Komnas, atau orang-orang ber-uniform penuh tanda dan lambang) kuasa menghapus.

Perempuan itu, yang diinisiali WG dan orangtuanya adalah sampan retak yang mendampar di Mapolres Bolmong. Mereka tak datang demi menegakkan harga diri. Dari lalu-lalang kabar yang saya baca, ketiganya hadir karena kesah dan putus asa. Pada siapa lagi remah-remah modal sosial yang tersisa diminta perlindungan, kecuali otoritas yang wajib menjaga harkat setiap warga negara, sekali pun itu puing-puing aib dan malu?

Hari-hari ini saya kerap merenungi dan merindukan Mongondow yang bertahun-tahun lampau saya kenal dan mesrai. Mongondow dengan masyarakat yang mototompia’an. Tempat di mana ‘’memanusiakan manusia lain’’ mengaliri nadi dan jantung orang-orangnya, tanpa pamflet dan poster kampanye. Mongondow yang menutup rapat aib di ruang pribadi sembari menghardik mereka yang masyuk menggunjingkan sensasi. Mongondow yang adatnya tanpa pandang bulu adil menimbang siapa korban dan pelaku yang mencoreng-coreng nilai-nilai luhurnya.

Saya kangen pada Mongondow yang tak membuta-tuli bahwa ada yang sakit dan kronis di tengah mereka.***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:
LSM: Lembaga Swadaya Masyarakat; Komnas: Komisi Nasional; Bolmong: Bolaang Mongondow; dan Mapolres: Markas Kepolisian Resort. 

Monday, October 28, 2013

Amuk Poigar: Begitulah Tambang Diurus Cara Warung Kelontong


POIGAR rusuh. Status BBM salah seorang jurnalis di Kotamobagu itu saya baca Sabtu siang, 26 Oktober 2013. Wah, ada apa di Poigar? Masyarakat minta jadi kabupaten baru lalu ketularan aksi menutup jalan dan merusak Mobdin ala warga Dumoga saat menuntut pembentukan Bolteng? Tanya-tanya di kepala kian mengelembung karena kabar susulan menginformasi ruas jalan di kawasan itu diblokir dan warga menyalakan unggun bakaran ban bekas.

Membaca atau mendengar ada rusuh di wilayah Mongondow, asosiasi kita biasanya tak jauh dari bentrok atau hadang-hadangan yang kerap meletus di Dumoga. Saking seringnya, lama-lama kita mahfum dan menganggap  kejadiannya tak beda dengan olahraga tradisional masyarakat setempat. Dan karna sifat setempatnya, orang banyak yang tak punya kaitan dan urusan, sebaiknya minggir sejauh mungkin. Panah wayer dan batu yang beterbangan tak punya mata dan petunjuk arah ke sesiapa mesti mendarat.

Menjelang sore mulai jelas musabab meradangnya warga tiga desa di Poigar hingga mereka berdondong turun ke jalan menggelar aksi. Di berita Protes Aktivitas PT Malta, Warga Tiga Desa Blokade Jalan (http://totabuan.co/2013/10/26/protes-aktivitas-pt-malta-warga-tiga-desa-blokade-jalan/), Totabuan.Co, Sabtu, 26 Oktober 2013, menulis masyarakat yang keberatan dengan beroperasinya tambang biji besi di wilayahnya, unjuk kebolehan karena marah mengetahui tiga tronton membawa masuk peti kemas berisi peralatan penyedot pasir ke area konsesi PT Malta. Publikasi yang sama juga ditemukan di Lintasbmr.Com, Tolak Tambang Pasir Besi, Warga Poigar Blokir Trans Sulawesi (http://lintasbmr.com/poigar-kembali-memanas-ribuan-warga-tolak-tambang-pasir-besi/).

Media lain, Harian Tribun Manado, Minggu, 27 Oktober 2017, lebih rinci mengambarkan akibat kemarahan warga arus lalu lintas yang melalui kawasan itu terhenti. Sonny Terjebak Selama 4 Jam dalam Antrean Kendaraan (http://manado.tribunnews.com/2013/10/27/sony-terjebak-selama-4-jam-dalam-antrean-kendaraan) tulis koran ini, melengkapi konstruksi situasi untuk mereka yang tidak mengalami langsung peristiwanya di Poigar.

Tambang sebagai salah satu industri yang ‘’meledak’’ di negeri ini setelah 1998 menjadi isu panas tersendiri, terutama relasi antara perusahaan dan para pemangku kepentingannya. Operasi tambang sendiri, khususnya di Indonesia, sejak KK pertama diberikan pada Freeport di Papua, memang tak henti diwarnai ketidak-sepahaman khususnya antara perusahaan dan masyarakat sekitar.

Khusus tambang pasir besi, yang biasanya dioperasikan di pesisir pantai, beberapa tahun terakhir diketahui kerap memicu bentrok. Jenis tambang ini, terutama di persepsi penggiat lingkungan dan masyarakat sekitar, dianggap paling merusak dibanding pengerukan metal dan mineral jenis lain. Khusus di Sulut, selain PT Malta, huru-hara penolakan tambang pasir besi tercatat terjadi di Pulau Bangka (Minut) dan pesisir Desa Paret (Boltim). Bahkan tambang pasir besi di Desa Paret yang dioperasikan PT MPU dua kali digeruduk dan dibakar massa.

Bertahun bekerja di perusahaan tambang membuat saya cukup memahami masalah-masalah yang dihadapi industri ini dan para pemainnya. Di Indonesia, pebisnis tambang sendiri setidaknya dibagi dalam tiga kategori. Pertama, perusahaan tambang yang memang mengkhususkan diri di sektor ini dan punya track record panjang. Perusahaan jenis ini sudah makan asam-garam, kenyang masalah, dan menyadari, kendala terbesar yang dihadapi bisnis ini bukanlah aspek teknis, melainkan non teknis, terutama ‘’izin sosial’’ dari para pemangku kepentingan.

Kedua, perusahaan investasi yang menanamkan uang dan menguasai perusahaan tambang. Kepentingan utamanya adalah menjaga agar investasinya mendatangkan keuntungan maksimal. Untuk itu perusahaan yang dimiliki, terlebih bila itu entitas yang terdaftar di bursa saham, harus menunjukkan performance tinggi, teknis dan non teknis. Biasanya jenis perusahaan seperti ini sangat sensitif terhadap gejolak sosial di sekitar operasinya. Sebagai catatan, sebagian besar jenis perusahaan pertama juga masuk kategori jenis kedua karena mereka terdaftar di bursa saham, dalam maupun luar negeri.

Dan ketiga, perusahaan tambang yang dimiliki dan dioperasikan oleh para pemain baru di sektor ini atau mereka yang memiliki dana dan punya koneksi politik kuat. Berakhirnya rezim KK dan PKP2B setelah keluarnya UU No 4 Tahun 2009 Tentang Minerba membuat Kepala Daerah punya kewenangan besar mengeluarkan IUP, IUPK, dan IPWR. Berbondonglah pengusaha kelontong, pemilik pabrik sandal, bahkan artis yang kelebihan uang, menanamkan duit di operasi tambang. Kepemilikan izin tambang itu kian mudah apalagi bila jenis pengusaha ini dekat dengan penguasa daerah.

Karena tujuan utama kalangan usaha jenis ketiga itu semata menciptakan mesin uang, titik berat operasi tambangnya adalah mengeruk sebanyak-banyaknya dan menjual sesegera-segeranya. Pendekatan yang sangat teknis ini biasanya mengabaikan aspek-aspek lain yang justru amat sangat penting bagi industri tambang: Keseimbangan dan keberlanjutan lingkungan; serta stabilitas dan  keberlanjutan dinamika dinamika sosial, ekonomi, budaya, dan keamanan sekitar operasinya.

Bagi pengusaha jenis ketiga ini (dan saya berkeyakinan PT Malta juga masih startup di bisnis tambang), cukup dengan mengantongi izin mereka berhak men-deploy peralatan dan mulai menggaruk bahan tambang di areal yang dikuasai. Toh izin yang dikantongi sudah dilengkapi berbagai syarat dan pra syarat, terutama Amdal. Ada keberatan dari masyarakat sekitar yang terkaget-kaget karena lahan miliknya disodori dokumen pembebasan, jalan dan areal pemukimannya mendadak dipenuhi lalu lalang kendaraan operasi dan alat berat tambang, bahkan protes dan demo, adalah urusan aparat berwenang.

Polisilah yang kemudian menjadi garda depan dan kambing hitam, berhadap-hadapan dengan massa yang muak dan meluapkan amarahnya. Bupati-Wabup atau Gubernur-Wabup, instansi dan badan yang berwenang pun biasanya cari aman dengan aneka kilah. Alasan paling klasik yang kerap dinyatakan adalah demi ekonomi daerah; daerah memerlukan investasi; perusahaan sudah menempuh cara legal dan berhak menjalankan operasi berdasar izin yang dikantongi; dan bahwa masyarakat bakal turut menikmati berkahnya lewat program Comdev, sponsorship, dan donasi .

Padahal bisnis tambang modern yang profesional tidak lagi menumpuhkan operasinya semata pada aspek legal dan teknis. Manajemen pemangku kepentinglah yang kini menjadi panglima sukses-tidaknya eksplorasi dan eksploitasi satu perusahaan tambang.

Tidak mengindahkan manajemen pemangku kepentingan sama artinya dengan bunuh diri terstruktur. Dan untuk amuk penolakan terhadap operasi PT Malta oleh warga Poigar, sepanjang perusahaan bersikukuh hanya dengan pendekatan legal dan teknis, saya berani menyatakan tinggal menunggu waktu lalu nasibnya bakal berakhir sama seperti PT MPU di Desa Paret.***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

BBM: BlackBerry Messenger; Boltim: Bolaang Mongondow Timur; Comdev: Community Development; IUP: Izin Usaha Pertambangan; IUPK: Izin Usaha Pertambangan Khusus; IPR: Izin Pertambangan Rakyat; KK: Kontrak Karya; Minut: Minahasa Utara; Mobdin: Mobil Dinas; PKP2B: Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara; PT MPU: Perseroan Terbatas Meitha Perkasa Utama; Wabup: Wakil Bupati; dan Wagub: Wakil Gubernur.

Sunday, October 27, 2013

Sengkarut Warisan di Pasar Serasi


TIGA situs berita menurunkan berita gonjang-ganjing Pasar Serasi. Lintasbmr.Com, Sabtu, 26 Oktober 2013 menulis ‘’Ahli Waris Pasar’’ Bongkar Lapak Pedagang (http://lintasbmr.com/ahli-waris-pasar-bongkar-lapak-pedagang-demo-minta-aparat-kepolisian-segera-bertindak/), Harian Komentar mempublikasi Sengketa Pasar Serasi Masuki Babak Baru (http://www.harian-komentar.com/berita-daerah/totabuan/11500-sengketa-pasar-serasi-masuki-babak-baru.html), dan Okemanado.Com memberitakan Sengketa Pasar Serasi Berlanjut (http://www.okemanado.com/baca/sengketa-pasar-serasi-berlanjut/).

Keriuhan sengkarut Pasar Serasi adalah salah satu warisan pemerintahan mantan Walikota KK, Djelantik Mokodompit, yang diawali ide pemindahan para pedagang ke Pasar Genggulang dan Poyowa Kecil demi rencana pendirian Pusat Belanja Modern. Isu yang mengemuka di 2011 ini jadi bola liar karena penolakan para pedagang; keberatan orang banyak terhadap rencana mendadak Walikota membangun Pusat Belanja Modern; serta ada pula gugatan sejumlah orang yang mengaku pewaris lahan Pasar Serasi.

Di blog itu, terutama sepanjang 2011, beberapa kali saya menggelar pendapat terkait kebijakan Pemkot KK terhadap Pasar Serasi. Dua aspek utama yang menjadi sorotan saya. pertama, kelayakan Pasar Genggulang dan Poyowa Kacil sebagai tempat relokasi pedagang dari Pasar Serasi; dan kedua, rencana pendirian Pusat Belanja Modern bekerjasama dengan investor, selain tidak pernah diketahui DPR, juga belum masuk dalam RTRW KK.

Mana bisa Pemkot dan Walikota (ketika itu) dikritik? Pasar Genggulang dan Poyowa Kecil yang dibangun seadanya, asal-asalan, dan tidak dilengkapi infrastruktur memadai tetap dipaksa dioperasikan. Pemindahan pedagang dilaksanakan dengan digegap-gempitai tarik-ulur dan bentrok massa dengan Satpol PP. Akan halnya pembangunan Pusat Belanja Modern, DPR buru-buru dilibatkan dan RTRW konon sudah memasukkan rencananya.

Kritik dan kritisasi saya terhadap isu Pasar Serasi memang tidak pernah menyentuh turun gelanggannya orang-orang yang mengaku ahli waris pemilik tanah. Isu penguasaan dan kepemilikan tanah, apalagi menyangkut hak milik para pendahulu, tergolong sangat sensitif di Mongondow. Salah berkomentar atau berpendapat, boleh jadi bukan hanya menyinggung orang-orang yang kini menyebut dirinya ahli waris, tetapi berpotensi menyerempet ketenangan istirah orang-orangtua yang telah berpulang. Ujung-ujungnya cuma meletupkan ketersinggungan tak perlu yang menambah keruh permasalahan.

Tapi tampaknya benang kusut Pasar Serasi kini tak dapat dilepaskan dari peran orang-orang yang mengaku ahli waris. Pemberitaan Lintasbmr.Com bahwa lapak para pedagang yang tak mau membayar ‘’retribusi’’ Rp 6.000 pada ‘’para ahli waris’’ diobrak-abrik, memaksa semua orang Mongondow waras dan peduli terhadap KK memberikan atensi. Bukankah kota ini masih memiliki pemerintahan yang sah? Membiarkan aksi melawan hukum di depan mata sama dengan mendudukkan sejumlah orang berada ‘’di atas hukum’’.

Di sisi lain, pembaca Harian Komentar juga dapat menyimak MA sudah menurunkan putusan atas perkara No 478/K/PDT/2012, tertanggal 21 Maret 2013, yang diklain oleh orang-orang yang mengaku ahli waris pemilik tanah di mana Pasar Serasi berdiri, Almarhum Balangket Mokodompit, sebagai bukti Pemkot KK bukanlah pemilik sah lahan yang jadi sengketa. Saya tidak tahu persis isi putusan MA, tetapi pernyataan Kabag Hukum dan Organisasi Pemkot KK, Haris Podomi, SH, di dalam berita yang sama, menunjukkan tafsir orang-orang yang mengaku sebagai ahli waris tidaklah tepat.

Menurut Podomi, gugatan kepemilikan dan penguasaan lahan Pasar Serasi oleh mereka yang mengaku ahli waris dilakukan lewat dua cara, yakni perdata (terkait kepemilikan) dan Tata Usaha Negara (terkait proses administratif sertifikat tanah). Di PN Kotamobagu dan PT Manado, gugatan perdata ditolak. Sedang putusan yang dikantongi orang-orang yang mengaku ahli waris, jelas Haris sebagaimana dikutip Harian Komentar, hanya soal administratif dikeluarkanya sertikat. “Jadi tidak ada hubungannya dengan status kepemilikan, karena dalam hal itu mereka tidak bisa menunjukan bukti lengkap,” tegasnya.


Mungkin karena tiga media yang mempublikasi isunya tak jernih memapar pokok-soal gugat-menggugat lahan Pasar Serasi, saya agak pening menyimpulkan subtansi yang dipertengkarkan antara yang mengaku ahli waris dan Pemkot KK. Apakah yang disoal oleh mereka yang mengaku ahli waris adalah peruntukan lahannya, sebagaimana yang diketahui umum ketika isu Pasar Serasi mengemuka? Atau kepemilikan, yakni siapa pemilik sesungguhnya tanah tersebut, Pemkot KK atau orang-orang yang mengaku ahli waris?

Agar tak memelihara pening, urusan kerumitan hukum kita serahkan pada para ahlinya. Sebagai orang Mongondow yang warga KK, tanpa bermaksud mengusik mereka yang mengaku ahli waris, saya ingin bertanya: Benarkah kepemilikan dan penguasaan lahan Pasar Serasi itu memang masih menjadi hak Almarhum Balangket Mokodompit, yang kemudian diwariskan pada anak-anaknya, lalu oleh anak-anaknya diwariskan pada para cucu? Tidak pernahkah terjadi pengalihan penguasaan dan kepemilikan antara Almarhum dengan (ketika itu) Pemkab Bolmong, baik dalam bentuk hibah maupun jual beli?

Dua pertanyaan itu saling tarkait, sebab sepengetahuan saya, sejak masa kanak Pasar Serasi sudah berdiri tanpa ada gugatan dan silang-selisih. Masuk akalkah bila Pemkab Bolmong menguasai lahan tersebut tanpa perjanjian dan kompensasi apa-apa lalu Almarhum Balangket dan anak-anaknya tidak bereaksi keras? Yang lebih mengherankan, mengapa baru generasi yang mengaku cucu-cucunya yang mengajukan gugatan, itu pun setelah ada pemindahan para pedagang dan rencana pembangunan Pusat Belanja Modern di lahan yang kini jadi sengketa?

Bila pertanyaan itu diperluas, apakah pengakuan sebagai ahli waris didasarkan semata pada klaim karena hubungan darah (anak dari anaknya Almarhum Balangket Mokodompit), atau sebab orang-orang yang kini mengajukan gugatan memiliki bukti pewarisan? Kalau bukan surat waris, maka minimal kesaksian yang dapat diuji kebenarannya, bahwa Almarhum mewariskan lahan tersebut pada anak-anaknya, dan kemudian anak-anaknya mewariskan lagi pada para cucu.

Sebagai orang Mongondow saya mengajukan pertanyaan-pertanyaan itu dengan kesadaran: Milik orang-orang tua yang tidak diwariskan secara langsung (sekadar penunjukkan lisan maupun dibuktikan dengan dokumen), tidaklah menjadi hak anak-anak dan temurunnya. Diakui atau tidak, generasi Mongondow masa kini masih tetap menjunjung dan menghormati rasa malu mempertengkarkan milik orang-orangtua, terlebih bila mereka telah berpulang, bila derajat keabsahan klaimnya meragukan.

Dengan niat baik saya ingin mengingatkan mereka yang kini mengaku ahli waris lahan Pasar Serasi. Bahwa, tidak ada salahnya mengkaji dan memikirkan kembali silang-sengkarut yang mereka picu, sebab bila akhirnya terbukti lahan tersebut ternyata telah dihibahkan atau dijual oleh Almarhum pada Pemkab Bolmong (dan kemudian dikuasai Pemkot KK), faktanya bakal jadi aib yang mencoreng nama baik keluarga dan Almarhum Balangket Mokodompit.***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

DPR: Dewan Perwakilan Rakyat; KK: Kota Kotamobagu; MA: Mahkamah Agung; Pemkab: Pemerintah Kabupaten; Pemkot: Pemerintah Kota; PN: Pengadilan Negeri; PT: Pengadilan Tinggi; PTUN: Pengadilan Tata Usaha Negara; RTRW: Rencana Tata Ruang Wilayah; dan Satpol PP: Satuan Polisi Pamong Praja.

Provinsi BMR, Lalu Apa?


SIDANG Paripurna DPR RI, Kamis, 24 Oktober 2013, menyetujui pembentukan 65 DOB, salah satunya adalah Provinsi BMR. Menurut Ketua Komisi II, Agun Gunandjar Sudarsa, sebagaimana dikutip Jurnal Parlemen (http://www.jurnalparlemen.com/view/6606/inilah-65-calon-daerah-otonomi-baru.html), ‘’Jika pemerintah menyetujui usulan itu, maka Presiden akan menerbitkan Kepres menunjuk menteri mewakili pemerintah membahas DOB bersama DPR.’’

Persetujuan DPR RI yang dihadiri Bupati-Wabup dan Walikota-Wawali se BMR itu, anehnya disambut nyaris sangat biasa di Mongondow. Tidak ada kemeriahan seperti ketika masyarakat bersuka di pemekaran KK, Bolmut, Boltim, dan Bolsel. Media (termasuk digital), terutama yang terbit di Kotamobagu, juga memberitakan seadanya. Mungkin karena selama ini isu Provinsi BMR telah berulang kali ditulis dari berbagai angle, hingga di momen puncaknya justru tak ada lagi sisi yang dianggap sangat menarik.

Kemungkinan lain sepinya pemberitaan Provinsi BMR karena media, juga elit-elit dan tokoh yang hadir di Sidang Paripurna, menyadari persetujuan DPR RI barulah langkah membuka pintu. Proses yang bakal dilalui calon provinsi yang melepaskan diri dari Sulut ini masih panjang. Halangan berikut yang menunggu adalah persetujuan pemerintah, yang pasti dilakukan setelah kajian matang dan boleh jadi menggugurkan sejumlah DOB di antara 65 yang diusulkan sebagai hak inisiatif DPR. Lalu ada pembahasan di antara DPR RI dan pemerintah yang pasti memakan waktu sebelum akhirnya dibawa ke Presiden untuk ditanda-tangani sebagai UU.

Masyarakat BMR masih harus bersabar sembari mendorong lima kabupaten dan kota bakal provinsi ini berbenah, menyiapkan diri agar tak gagap dan terantuk-antuk. Sebab kendati gembira terhadap perkembangan bakal terwujudnya Provinsi BMR, warga Mongondow sesungguhnya tahu persis, seluruh elemen yang akan terlibat mengurus bila DOB ini jadi kenyataan, bakal kerepotan.

Sejujurnya, BMR memang memiliki potensi sangat besar yang siap dieksploitasi demi kemakmuran masyarakatnya. Tak ada yang mendebat bahwa dibanding daerah lain di Sulut, BMR-lah yang paling lengkap dan prima potensi SDA-nya. Tetapi tidak dengan SDM, khususnya di sektor birokrasi yang justru jadi jantung dan mesin utama penggerak seluruh sumber daya yang ada. Ringkasnya: Tersediakah cukup SDM birokrasi handal yang mengurus Provinsi BMR kelak ketika cita-cita ini ada di genggaman?

Faktanya, hari-hari ini kita tahu tiap kali diperhadapkan dengan kebutuhan SDM birokrasi siap pakai, lima pasang Bupati-Bawup dan Walikota-Wawali dan jajarannya di BMR mesti rajin mengkonsumsi obat sakit kepala. Para elit pening menimbang-nimbang siapa-siapa yang dipilih sebagai pembantu utama hingga yang terbawa; sedang jajarannya berdebar-debar menanti apakah tetap terpakai atau diparkir sebab dinilai masih memerlukan peningkatan kompetensi. Yang terjadi kemudian adalah bongkar-pasang posisi yang lama-kelamaan menjadi hantu tersendiri bernama ‘’isu rolling’’.

Para kepala daerah se BMR pun menerapkan macam-macam strategi demi menemukan SDM handal yang cocok dengan visi, misi, dan gaya kepemimpinannya. Mulai dari impor birokrat hingga tukar-menukar antar daerah. Hasilnya, jauh dari menggembirakan. Bahkan bagi birokrat yang agak cerdas dan sudah menyandang golongkan di atas IIID, isu rolling adalah jalur cepat mencapai posisi impian. Tak laku di satu daerah, tinggal mengajukan diri ke daerah lain. Sekian dan terima kasih.

Terobosan yang dilakukan Bupati Boltim, Sehan Lanjar, dengan menguji coba hampir seluruh pimpinan SKPD, Badan, serta Lembaga di jajarannya dengan Plt dan Plh, adalah ikhtiar mempromosikan mereka yang dianggap mampu tetapi mesti terlebih dahulu membuktikan kompetensinya. Masalahnya, dengan pendekatan seperti itu Eyang tetap tak bisa mengelak dari problem laten kurangnya SDM. Pimpinan SKPD berstatus Plt atau Plh pada akhirnya sulit digeser karena siapa lagi yang dapat menggantikan?

Di lain pihak, saya mengamati para kepala daerah se BMR yang asyik dengan pendekatan-pendekatan populis dan politis juga abai terhadap peningkatan profesionalisme, kapasitas, dan kapabilitas SDM birokrasinya. Selang tiga tahun terakhir berapa banyak birokrat yang disekolahkan, dikursuskan, atau mengikuti pendidikan penjenjangan? Pertanyaan yang lebih sarkas: Berapa banyak birokrat di BMR yang diberi kesempatan atau didorong melanjutkan pendidikan minimal setingkat master di PT terkemuka di dalam dan luar negeri?

Setiap kali berada di beberapa kota utama di Asia, Australia, dan Eropa, di mana banyak warga Indonesia menempuh pendidikan master atau doktoral, saya kerap bersua dengan birokrat peraih beasiswa dari kabupaten dan kota Sulut, kecuali dari BMR. Ini fakta menyedihkan yang menunjukkan visi profesionalisme umumnya kepala daerah di BMR memang tidak lebih tinggi dari pagar Kantor Pemkab atau Pemkot.

BMR menjadi provinsi sendiri adalah keniscayaan dari harapan warga Mongondow. Mengurusnya dengan benar dan demi kemaslahatan Mongondow dan wilayahnya adalah soal lain yang tidak boleh tidak mesti jadi konsern mendesak. Bila tidak, tata-menata Provinsi BMR bakal tak beda dengan menyelesaikan satu masalah dengan banyak persoalan.

Tentang SDM pula, isu Provinsi BMR membeber fakta lain yang layak jadi catatan kritis warga Mongondow, yaitu lemahnya para politikus dari daerah ini mempersuasi media agar suara dan pemihakan mereka mengaung. Saya mengamati, di pekan-pekan menjelang Sidang Paripurna DPR RI dilangsungkan, politikus yang kerap dikutip menyatakan komitmennya justru Paula Sinjal dari FPD; bukan dua legislator berlatar Mongondow, Didi Moha (FPG) dan Yasti Mokoagow (FPAN).

Saya prihatin dengan ketidak-piawaian dua legislator berlatar Mongondow itu, yang menyia-nyiakan kesempatan politik besar menjaga dan menaikkan performance mereka di tengah persepsi publik BMR. Sama dengan keprihatinan terhadap sejumlah anak muda yang memimpin organisasi kepemudaan (resmi), ‘’bersumbu’’ dan berlangit pendek yang menuding-nuding pihak lain, utamanya Gubernur Sulut, sebagai sandungan aspirasi Provinsi BMR. Dibahas dan disetujui BMR sebagai salah satu di antara 65 DOB mestinya menjadi noda di jidat mereka.

Tentu saya tak perlu mengajari perlunya oknum-oknum itu meminta maaf terbuka pada Gubernur Sulut, sebagaimana tudingan mereka yang juga dipublikasi di ruang publik. Sadar sendiri dan tahu malulah. Demikian pula terhadap sejumlah orang yang di belakang punggung yang mencaci saya di media sosial karena keberatan dengan unggahan di blog ini, Kamis, 17 Oktober 2012 (Para Pencari Panggung di Isu BMR). Bukankah hanya dalam waktu singkat terbukti siapa yang sungguh mendukung pewujudan Provinsi BMR dan siapa-siapa yang cuma jadi sandunga; siapa pula yang punya panggung dan siapa yang memang mencari-cari panggung, bahkan dengan melawan fakta, akal sehat, dan sekadar tuding-menuding gagah-gagahan?***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

BMR: Bolaang Mongondow Raya; Bolmong: Bolaang Mongondow; Bolmut: Bolaang Mongondow Utara; Bolsel: Bolaang Mongondow Selatan; Boltim: Bolaang Mongondow Timur; DOB: Daerah Otonomi Baru; DPR: Dewan Perwakilan Rakyat; Eyang: Sapaan Akrab Bupati Boltim; FPAN: Fraksi Partai Amanat Nasional; FPD: Fraksi Partai Demokrat; FPG: Fraksi Partai Golkar; KK: Kota Kotamobagu; Plh: Pelaksana Harian; Plt: Pelaksana Tugas; PT: Perguruan Tinggi; RI: Republik Indonesia; SDA: Sumber Daya Alam; SDM: Sumber Daya Manusia; SKPD: Satuan Kerja Perangkat Daerah; Sulut: Sulawesi Utara; Wabup: Wakil Bupati; dan Wawali: Wakil Walikota.