Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Sunday, March 24, 2013

Ayu, Kau Tidak Sendiri!


HANYA beberapa menit setelah mengunggah Gegar dan Geger Idola Cilik, nurani saya terluka. Informasi lebih lengkap tentang Ayu Basalamah (yang bersangkutan sendiri menuliskan namanya dengan ‘’Ayhu’’) dan derita yang dia pikul berdatangan. Hanya satu kata mengekspresikan simpati dan empati saya terhadap Ayu: Terkutuk!

Ada beberapa versi peristiwa yang berawal dari cacian Ayu ke Bupati Bolaang Mongondow Timur (Boltim), Sehan Lanjar, yang membuat dia berakhir di sel Polsek Urban Kotabunan dengan kondisi babak-belur. Namun bila diurut perbedaan di antara cerita yang lalu-lalang itu semata pada detil tambahan, selebihnya sama.

Ayu mencaci Eyang (sapaan akrab Sehan Lanjar) lewat percakapan BlackBerry Messenger (BBM) dengan seseorang terkait gagalnya Novia Bachmid lolos ke tiga besar Idola Cilik 2013; BBM itu kemudian di-capture dan menyebar cepat; Ayu dijemput untuk meminta maaf pada Eyang di Rumah Dinas (Rudis) Bupati Boltim; Ayu dibogem hingga babak-belur; dan akhirnya diserahkan ke Polsek Urban Kotabunan. Ketidak-sesuaian di antara urutan itu, bahkan sekadar karang-karangan yang tercampur-aduk, tugas polisi mengusut tuntas versi mana yang paling benar.

Namun rumor dan bisik-bisik, juga foto Ayu di tahanan Polsek Urban, terlanjur menjadi konsumsi publik. Polisi, dengan alasan apapun, tak dapat lagi menutup-nutupi dan me-86-an kejadian ini.

Agar tak terjebak turut menjadi tukang gosip, dengan terlebih dahulu meminta maaf pada Eyang dan pihak-pihak terkait, BBM Ayu yang patut diduga lancang itu adalah: Luji dgn lanjar/Da bajanji mo bantu plsa ternyata ptarbale/Dsar bayaki manta/Da janji mo sbar pulsa pa rakyat boltim ternyata nihil. Sedemikian menggunungnyakah dosa yang telah diperbuat Ayu hingga dia harus diperlakukan dengan biadab dan semena-mena?

Pertama, percakapan BBM yang di-capture itu tampaknya dilakukan hanya oleh Ayu dan seseorang. Bukan broadcast atau pernyataan di group BBM yang biasanya beranggota lebih dua orang. Dengan kata lain, komentar Ayu bersifat pribadi dan hanya untuk konsumsi seseorang yang sedang berkomunikasi dengan dia lewat BBM.

Kalau kemudian pernyataan itu menyebar dan Ayu ‘’dianggap’’ melakukan tindak-pidana terhadap Eyang, maka semestinya orang pertama yang ditangkap polisi adalah seseorang yang BlackBerry-nya menerima pesan tersebut, meng-capture, dan menyebarkan kemana-mana. Seseorang ini dapat dijerat dengan macam-macam tuduhan, mulai dari provokasi hingga Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronika.

Kedua, kalau Lanjar dalam BBM itu adalah Eyang, apa buktinya? Ayu tidak menyebutkan Sehan Lanjar atau Eyang Lanjar, tetapi hanya ‘’lanjar’’. Bila pun yang dimaksud Eyang dan merasa keberatan (terhina, dicemarkan, atau sekadar tersinggung), tindakan yang patut adalah melapor ke pihak berwenang. Laporan ini harus datang dari yang merasa dituding, yang dapat diwakilkan dengan surat kuasa, dan tidak oleh pihak lain terlebih yang sekadar merasa sebagai orang dekat Eyang.

Tiga, merasa terhina, dicemarkan, atau tersinggung harus dilandasi fakta bahwa yang bersangkutan (dalam kasus Ayu adalah tudingan janji memberikan pulsa) tidak pernah menjanjikan apa yang kemudian dicaci sebagai kebohongan. Andai ternyata ‘’Lanjar’’ yang dimaksudkan oleh Ayu pernah menjanjikan, keberatan apapun gugur dengan sendirinya.

Keempat, membawa Ayu menghadap Eyang untuk meminta maaf adalah tindakan yang jauh dari bijaksana. Saya berkeyakinan,Eyang tidak pernah menginstruksikan orang-orang di sekitarnya melakukan tindakan ala mafia itu. Walau, kita semua tahu, kelakuan tercela ini adalah perilaku khas yang sejak lama menjadi praktek umum di kalangan tukang jilat di Mongondow: Berinisiatif berlebihan demi pujian atau agar kursi yang dia dapatkan dari pejabat publik yang sedang berkuasa makin empuk.

Kelima, menganiaya Ayu setelah pertemuan dengan Eyang (versi lain menyebutkan sebelumnya) lalu menyerahkan ke Polsek Urban benar-benar perilaku tak terdidik. Barbar dan biadab, terlebih bila Eyang mengetahui peristiwa itu dan tidak melakukan tindakan pencegahan. Mafia Italia, Triad Cina, atau Yakuza Jepang yang kejamnya tak terperih sudah lama meninggalkan cara-cara bodoh semacam ini. Masak sih Sehan Lanjar yang menitikkan airmata melihat rakyatnya sakit atau berdiam di rumah tak layak huni berperan ganda pula sebagai kepala gerombolan tukang pukul?

Yang mendidihkan darah, andai benar, konon yang melakukan penganiayaan adalah ajudan Eyang. Sepengetahuan saya umumnya ajudan Kepala Daerah berasal dari jajaran kepolisian. Ini satu lagi contoh perilaku mentang-mentang yang ganjarannya semestinya pemecatan. Polisi goblok seperti ini tidak layak dipertahankan bukan hanya di sekitar pejabat publik, tetapi dari Kepolisian Republik Indonesia.

Mari kita tunggu dan lihat apa tindak-lanjut Kapolres Bolaang Mongondow (Bolmong) dan Kapolda Sulwawesi Utara (Sulut). Apakah mereka akan memberikan ketenteraman terhadap warga kebanyakan atau justru meng-amin-kan perilaku tercela anggotanya; yang pada akhirnya memicu rakyat main hakim sendiri.

Keenam, tindakan Polsek Urban Kotabunan menjembloskan Ayu Basalamah ke dalam tahanan juga sama sekali tak masuk akal. Atas laporan siapa dan pelanggaran pasal apa dari Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)? Bagaimana dengan penganiaya Ayu? Mereka melenggang begitu saja atas nama membela nama baik ‘’Lanjar’’ yang disebut dalam BBM; atau karena pelakunya sesama aparat; atau tersebab para bagundal itu adalah kaki-tangan Bupati?

Yang benar saja? Apakah seluruh jajaran kepolisian di Mongondow sedang menantang rakyat di wilayah ini angkat parang dan tombak karena kesewenang-wenangan yang mereka pertontonkan sudah melampaui akal sehat dan toleransi kita semua? Polisi tampaknya ingin menguji nyali dan solidaritas orang banyak yang kian hari kian merasa hukum tajam ke bawah tetapi majal ke atas?

Ayu Basalamah mencaci seseorang bernama ‘’Lanjar’’ mungkin perbuatan pidana; boleh jadi tidak karena dia hanya menuntut janji yang diabaikan. Dia bersalah atau tidak, harus terlebih dahulu dibuktikan dengan saksama dan sesuai prosedur (prosedur ini pula yang jadi kilahan utama setiap kali aparat berwenang dipertanyakan kinerjanya), lalu akhirnya diputuskan di pengadilan.

Merunut kembali nahas yang menimpa Ayu, bila sebelumnya menurut hemat saya dia berhutang maaf dan ampunan pada Eyang; dengan makin terangnya duduk-soal, justru Eyanglah yang mesti memohon pemaafan dari Ayu Basalamah. Bahkan bukan hanya Eyang, melainkan juga Kapolres Bolmong yang lengah mengontrol sepak-terjang jajaran di bawahnya.

Kalau Eyang dan Kapolres tak mengambil langkah apapun, saya tidak akan menyesalkan atau mengutuk. Saya menghimbau orang Mongondow, di seluruh daratan Mongondow, kali ini mari buktikan apa benar kita adalah anak-temurun Bogani atau cuma kucing basah yang gemetar ditakuti sapu lidi. Keberanian tertinggi yang diajarkan para leluhur adalah mengangkat apapun, walau hanya pisau dapur pemotong bawang, membela ketidak adilan di depan mata.

Kita, orang Mongondow, mungkin adalah etnis yang santun dan pemalu. Tetapi bukan penakut, apalagi menggigil hanya karena pangkat dan seragam.***