Namun saya harus menyampaikan kekaguman pada Fahri
Damopolii. Urat bodoh dan malunya sungguh tebal. Sudah tertangkap tangan,
diperingatkan dengan halus, ditegur dengan brutal, masih juga berusaha
menyelamatkan harga dirinya dengan berkelit-kelit tidak karuan.
Begini saja. Pertama,
Anda memang penulis artikel tersebut. Kalau tidak terima apa yang saya sampaikan,
apa argumen kokohnya? Sebagaimana tulisan atas nama A. R. Thomas, apa yang
disampaikan di Terantuk Bongkahan
Congkak! (Radar Totabuan, Senin,
28 Mei 2012) juga bukan argumen kecuali permainan kata (saya yakin yang menulis
sendiri pening membaca betapa jelimet dan percumanya kata-kata yang digunakan).
Kalau tidak mampu berargumen, gugat pidana dan perdata.
Menulis serangan dan caci-maki terhadap seseorang dengan
menggunakan nama alias, jelas pekerjaan pengecut dengan niat yang hanya tepat
dikategorikan culas dan jauh dari terhormat. Kalau masih tidak paham apa itu
‘’pengecut’’, ‘’culas’’, dan ‘’tidak terhormat’’, ke dokterlah dan periksa
kewarasan serta jenis kelamin Anda.
Saya menjelaskan dengan runut mengapa Anda pantas disebut
culas dan sebagainya. Sebaliknya, apa argumen terhadap caci maki pribadi
terhadap saya, baik di tulisan atas nama A. R. Thomas maupun Fahri Damopolii
sendiri? Yang membedakan antara debat dan caci maki, sekali lagi: ide dan
pikiran, bukan fisik. Menyebut saya berkali-kali sebagai si ceking jelek dalam tulisan (apa
hubungannya antara bentuk tubuh dengan isi kepala), membuat saya ragu apakah
Anda benar-benar lulus Perguruan Tinggi (PT) atau hanya membeli ijazah. Mari
disanding sebaik-baiknya, saya yakin masih lebih tampan dan gaya dibanding
Fahri Damopolii.
Atau Anda memang berniat dan sungguh-sungguh menjadikan
urusan ini pribadi?
Kedua, secara
tidak resmi saya sudah mendapat konfirmasi bahwa tulisan dari A. R. Thomas
dikirim menggunakan email Anda, fahri.damopolii@gmail.com
(bahkan berbohong pun Anda gagal di tingkat paling basic). Tentu Anda sedang
bersiap-siap beralasan bahwa email tersebut dibajak, digunakan orang yang tidak
bertanggungjawab, dan alasan klasik lainnya.
Sesekali jadilah laki-laki. Stilistika tulisan atas nama A.
R. Thomas identik 100 persen dengan Anda; demikian pula dengan email yang
digunakan. Caci-maki kelas bawah di Terantuk
Bongkahan Congkak! tak lebih dari kekalapan orang tak berdaya. Atau
barangkali entry ‘’malu’’ dan
‘’beradab’’ sobek di halaman kamus yang Anda punya?
Ketiga, sebenarnya
apa poin yang ingin Anda sampaikan? Mencaci saya pribadi atau mengkritik ide-ide
yang saya tuliskan. Kalau mengkritik ide-ide saya, di manakah itu? Sedang
cacian yang sudah bersifat pribadi dan fisik, ya, tampaknya karena iri dan
dengki, kalah kelas, lalu menggunakan cara lama: Ingin diakui besar, lawanlah
singa. Jurus ini tidak akan mempan sebab kelas kita memang beda.
Sebagai anak kampung yang dibesarkan di Jalan Amal,
bersekolah di Sekolah Dasar (SD) hingga Sekolah Menengah Atas (SMA) kota kecil
di udik, lalu ke Perguruan Tinggi (PT) yang paling dekat dari kediaman orangtua
(hanya itu yang kami mampu), saya pantas congkak. Memangnya congkak melanggar
hukum? Belum ada anak Mongondow yang bisa menyamai prestasi pribadi saya, dari drop out memanjat ke posisi signifikan
di perusahaan multi nasional terbesar di bidangnya. Tanpa korupsi, kolusi dan
nepotisme (KKN).
Dari yang belajar menulis di mesin ketik tua ayah, menjadi
salah satu penulis yang direken di negeri ini. Adakah yang setanding dan
selevel di Mongondow, mohon maaf, saya yakin tidak. Congkak? Iya, dong, anak kemarin sore yang baru
belajar menulis saja boleh pongah, masak saya dilarang besar kepala?
Anda yang haram hukumnya congkak. PNS bow, yang sekarang maksimalnya membebek Raski Mokodompit
kemana-mana supaya dapat perhatian, termasuk capek-capek jadi panitia ini-itu
yang tidak ada relevansinya dengan kerja birokrasi. Saya dan Anda berkaca di
mana saja, penggorengan, belanga, atau ujung sendok, hasilnya sama: Saya orang
merdeka, Anda tidak.
Daftar yang bikin sirik makin panjang kalau saya cantumkan
siapa teman-teman reriuangan sehari-hari, yang namanya hanya mampu Anda kagumi
dari kejauhan. Saya bukan penggemar, pendukung, atau orang suruhan, karena
mereka adalah teman yang duduk dan berdirinya sama tinggi. Posisi saya bukan
seperti Anda, di mana yang satu ‘’Abo’’ dan yang lain ‘’Ata’’. O, beberapa di
antara orang-orang yang sekadar berjabat tangan dengan mereka mungkin Anda
impi-impikan, dengan hormat memanggil saya ‘’Abang’’.
Nah, Fahri Damopolii, Anda siapa? Mau menyombongkan apa?
Saya maklumi saja kalau Anda merasa terintimidasi dengan kecongkakan saya.
Kasihan Anda, --yang pada akhirnya kalah di pasar nasional, apalagi
internasional— harus puas berakhir sebagai pegawai negeri sipil (PNS) di KK.
Dengan karakter yang ditunjukkan sekarang, hingga pensiun pilihan yang ada cuma
berjibaku sikut-sikutan dan jilat-jilatan untuk mendapatkan jabatan; atau bekerja
profesional dan makan hati karena digencet birokrat yang gemar politicking –ya, contohnya Anda sendiri.
Saya menonton orang-orang seperti Anda dengan iba sembari menikmati penerbangan
kelas satu, hotel bintang lima, buku-buku bagus, dan wisata ke kota-kota dunia.
Jadi, saya memang berhak congkak. Kalau keberatan, ya,
‘’derita elu’’ sendiri. Silahkan kulum jempol dengan perasaan merana. Lagipula
menanggapi amatir sekualitas Anda, cemen
belaka. Cukup beberapa menit di jeda makan siang atau sembari menyeruput kopi
sore menjelang waktu pulang.
Keempat, salah
satu jenis pembohong yang buruk adalah tidak ingat terhadap kebohongannya
sendiri. Fahri Damopolii adalah jenis yang terburuk dari para pembohong.
Kata-katanya diingkari (cek lagi BlackBerry
Messenger –BBM—Anda, termasuk permintaan maaf ke saya), bahkan sebelum
tinta dan ludah di mulut kering. Ingat-ingat pula kalimat saya yang dikutip
dengan pelintiran, apakah memang itu yang tersurat dan tersirat. Ke polisi
berurusan dengan tokoh publik populer saja saya tidak takut, apalagi cuma
dengan cacing pita.
Lupa dengan kebohongan sendiri menunjuk jelas ke problem
kejiwaan. Saya kutipkan contoh pernyataan Fahri Damopolii (yang memang sudah
dalam bentuk kutipan, lengkap dengan kesalahan tanda bacanya): ‘’Anda
rakyat Bolmong harus bersabar diri dan dalam batas tertentu memaklumi segala
yang Anda jumpai dari istri Salihi, sebab ibu bupati Anda memang orang bodoh
yang tak paham keprotokoleran pejabat, dan teramat tolol hingga urusan pakaian
yang dikenakan’’.
Kelima, penulis
yang buruk selalu memproduksi tulisan berkualitas rendah. Idenya
compang-camping, alur seperti menunggang kuda mabuk, dengan argumen yang memerlukan
satu botol Viagra agar tegak dan lurus. Penulis-penulis yang mengaku berteman
dengan saya tentu tak sudi dikait-kaitkan dengan tulisan buruk dan bermutu
rendah.
Menulis adalah paduan antara apa yang ‘’masuk’’ (dari
bacaan, pengalaman, renungan) serta yang dikandung di batok kepala penulisnya. Garbage in, garbage out. Sampah yang
masuk, ditambah mentalitas busuk, hasilnya adalah limbah beracun.
Maka, saya tidak perlu membayangkan siapa-siapa. Saya
menunjuk hidung bahwa penulis culas dengan motif dengki dan politicking di balik nama alias A. R.
Thomas adalah Fahri Damopolii. Keberatan? Saya akan layani sampai ke mana
pun.***