Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Wednesday, May 30, 2012

Sarkasme ‘’Kasian Deh, Lu….’’

DI USIA lewat 40 tahun mengantar saya mengalami banyak hal. Sejumlah hal bahkan sungguh bodoh, picik, dan memalukan.

Namun saya harus menyampaikan kekaguman pada Fahri Damopolii. Urat bodoh dan malunya sungguh tebal. Sudah tertangkap tangan, diperingatkan dengan halus, ditegur dengan brutal, masih juga berusaha menyelamatkan harga dirinya dengan berkelit-kelit tidak karuan.

Begini saja. Pertama, Anda memang penulis artikel tersebut. Kalau tidak terima apa yang saya sampaikan, apa argumen kokohnya? Sebagaimana tulisan atas nama A. R. Thomas, apa yang disampaikan di Terantuk Bongkahan Congkak! (Radar Totabuan, Senin, 28 Mei 2012) juga bukan argumen kecuali permainan kata (saya yakin yang menulis sendiri pening membaca betapa jelimet dan percumanya kata-kata yang digunakan). Kalau tidak mampu berargumen, gugat pidana dan perdata.

Menulis serangan dan caci-maki terhadap seseorang dengan menggunakan nama alias, jelas pekerjaan pengecut dengan niat yang hanya tepat dikategorikan culas dan jauh dari terhormat. Kalau masih tidak paham apa itu ‘’pengecut’’, ‘’culas’’, dan ‘’tidak terhormat’’, ke dokterlah dan periksa kewarasan serta jenis kelamin Anda.

Saya menjelaskan dengan runut mengapa Anda pantas disebut culas dan sebagainya. Sebaliknya, apa argumen terhadap caci maki pribadi terhadap saya, baik di tulisan atas nama A. R. Thomas maupun Fahri Damopolii sendiri? Yang membedakan antara debat dan caci maki, sekali lagi: ide dan pikiran, bukan fisik. Menyebut saya berkali-kali sebagai si ceking jelek dalam tulisan (apa hubungannya antara bentuk tubuh dengan isi kepala), membuat saya ragu apakah Anda benar-benar lulus Perguruan Tinggi (PT) atau hanya membeli ijazah. Mari disanding sebaik-baiknya, saya yakin masih lebih tampan dan gaya dibanding Fahri Damopolii.

Atau Anda memang berniat dan sungguh-sungguh menjadikan urusan ini pribadi?

Kedua, secara tidak resmi saya sudah mendapat konfirmasi bahwa tulisan dari A. R. Thomas dikirim menggunakan email Anda, fahri.damopolii@gmail.com (bahkan berbohong pun Anda gagal di tingkat paling basic).  Tentu Anda sedang bersiap-siap beralasan bahwa email tersebut dibajak, digunakan orang yang tidak bertanggungjawab, dan alasan klasik lainnya.

Sesekali jadilah laki-laki. Stilistika tulisan atas nama A. R. Thomas identik 100 persen dengan Anda; demikian pula dengan email yang digunakan. Caci-maki kelas bawah di Terantuk Bongkahan Congkak! tak lebih dari kekalapan orang tak berdaya. Atau barangkali entry ‘’malu’’ dan ‘’beradab’’ sobek di halaman kamus yang Anda punya?

Ketiga, sebenarnya apa poin yang ingin Anda sampaikan? Mencaci saya pribadi atau mengkritik ide-ide yang saya tuliskan. Kalau mengkritik ide-ide saya, di manakah itu? Sedang cacian yang sudah bersifat pribadi dan fisik, ya, tampaknya karena iri dan dengki, kalah kelas, lalu menggunakan cara lama: Ingin diakui besar, lawanlah singa. Jurus ini tidak akan mempan sebab kelas kita memang beda.

Sebagai anak kampung yang dibesarkan di Jalan Amal, bersekolah di Sekolah Dasar (SD) hingga Sekolah Menengah Atas (SMA) kota kecil di udik, lalu ke Perguruan Tinggi (PT) yang paling dekat dari kediaman orangtua (hanya itu yang kami mampu), saya pantas congkak. Memangnya congkak melanggar hukum? Belum ada anak Mongondow yang bisa menyamai prestasi pribadi saya, dari drop out memanjat ke posisi signifikan di perusahaan multi nasional terbesar di bidangnya. Tanpa korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).

Dari yang belajar menulis di mesin ketik tua ayah, menjadi salah satu penulis yang direken di negeri ini. Adakah yang setanding dan selevel di Mongondow, mohon maaf, saya yakin tidak. Congkak? Iya, dong, anak kemarin sore yang baru belajar menulis saja boleh pongah, masak saya dilarang besar kepala?

Anda yang haram hukumnya congkak. PNS bow, yang sekarang maksimalnya membebek Raski Mokodompit kemana-mana supaya dapat perhatian, termasuk capek-capek jadi panitia ini-itu yang tidak ada relevansinya dengan kerja birokrasi. Saya dan Anda berkaca di mana saja, penggorengan, belanga, atau ujung sendok, hasilnya sama: Saya orang merdeka, Anda tidak.

Daftar yang bikin sirik makin panjang kalau saya cantumkan siapa teman-teman reriuangan sehari-hari, yang namanya hanya mampu Anda kagumi dari kejauhan. Saya bukan penggemar, pendukung, atau orang suruhan, karena mereka adalah teman yang duduk dan berdirinya sama tinggi. Posisi saya bukan seperti Anda, di mana yang satu ‘’Abo’’ dan yang lain ‘’Ata’’. O, beberapa di antara orang-orang yang sekadar berjabat tangan dengan mereka mungkin Anda impi-impikan, dengan hormat memanggil saya ‘’Abang’’.

Nah, Fahri Damopolii, Anda siapa? Mau menyombongkan apa? Saya maklumi saja kalau Anda merasa terintimidasi dengan kecongkakan saya. Kasihan Anda, --yang pada akhirnya kalah di pasar nasional, apalagi internasional— harus puas berakhir sebagai pegawai negeri sipil (PNS) di KK. Dengan karakter yang ditunjukkan sekarang, hingga pensiun pilihan yang ada cuma berjibaku sikut-sikutan dan jilat-jilatan untuk mendapatkan jabatan; atau bekerja profesional dan makan hati karena digencet birokrat yang gemar politicking –ya, contohnya Anda sendiri. Saya menonton orang-orang seperti Anda dengan iba sembari menikmati penerbangan kelas satu, hotel bintang lima, buku-buku bagus, dan wisata ke kota-kota dunia.

Jadi, saya memang berhak congkak. Kalau keberatan, ya, ‘’derita elu’’ sendiri. Silahkan kulum jempol dengan perasaan merana. Lagipula menanggapi amatir sekualitas Anda, cemen belaka. Cukup beberapa menit di jeda makan siang atau sembari menyeruput kopi sore menjelang waktu pulang.

Keempat, salah satu jenis pembohong yang buruk adalah tidak ingat terhadap kebohongannya sendiri. Fahri Damopolii adalah jenis yang terburuk dari para pembohong. Kata-katanya diingkari (cek lagi BlackBerry Messenger –BBM—Anda, termasuk permintaan maaf ke saya), bahkan sebelum tinta dan ludah di mulut kering. Ingat-ingat pula kalimat saya yang dikutip dengan pelintiran, apakah memang itu yang tersurat dan tersirat. Ke polisi berurusan dengan tokoh publik populer saja saya tidak takut, apalagi cuma dengan cacing pita.

Lupa dengan kebohongan sendiri menunjuk jelas ke problem kejiwaan. Saya kutipkan contoh pernyataan Fahri Damopolii (yang memang sudah dalam bentuk kutipan, lengkap dengan kesalahan tanda bacanya): ‘’Anda rakyat Bolmong harus bersabar diri dan dalam batas tertentu memaklumi segala yang Anda jumpai dari istri Salihi, sebab ibu bupati Anda memang orang bodoh yang tak paham keprotokoleran pejabat, dan teramat tolol hingga urusan pakaian yang dikenakan’’.

Kelima, penulis yang buruk selalu memproduksi tulisan berkualitas rendah. Idenya compang-camping, alur seperti menunggang kuda mabuk, dengan argumen yang memerlukan satu botol Viagra agar tegak dan lurus. Penulis-penulis yang mengaku berteman dengan saya tentu tak sudi dikait-kaitkan dengan tulisan buruk dan bermutu rendah.

Menulis adalah paduan antara apa yang ‘’masuk’’ (dari bacaan, pengalaman, renungan) serta yang dikandung di batok kepala penulisnya. Garbage in, garbage out. Sampah yang masuk, ditambah mentalitas busuk, hasilnya adalah limbah beracun.

Maka, saya tidak perlu membayangkan siapa-siapa. Saya menunjuk hidung bahwa penulis culas dengan motif dengki dan politicking di balik nama alias A. R. Thomas adalah Fahri Damopolii. Keberatan? Saya akan layani sampai ke mana pun.***

Tuesday, May 29, 2012

Nyali Hemaprodit ‘’Daong Lemong’’

DAGELAN yang dipicu tulisan atas nama A. R. Thomas, Metamorfosis Katamsi ke Wujud ‘’Makin Lucu!’’ (1 dan 2) yang dipublikasi Harian Radar Totabuan, Senin (14 Mei 2012) dan Selasa (15 Mei 2012), ternyata tak surut. Fahri Damopolii yang saya tangkap tangan sebagai penulis sesungguhnya artikel tersebut, tak kurang kilahan.

Terantuk Bongkahan Congkak! oleh Fahri Damopolii yang disiarkan di harian yang sama, Senin (28 Mei 2012), tetap setia dengan kekacauan subtansi. Sekadar mencakar-cakar ke segala arah, menghina-hina dan melecehkan saya pribadi (benar-benar pribadi), tetapi dengan dasar yang selembut pasir hisap. Kian banyak yang dia tulis, makin dalamlah yang bersangkutan terperosok.

Peribahasa Indonesia selalu mengutip keledai sebagai binatang bodoh dan suka terantuk kedua kali di lobang yang sama. Sayang hanya sampai di situ, karena belum ada pengandaian untuk makluk hidup yang bukan hanya terantuk tetapi menceburkan diri berkali-kali ke satu ceruk yang sama.

Apa yang ditulis Fahri Damopolii sementara saya ‘’aminkan’’ dulu dan akan direspons khusus di tulisan lain. Kali ini saya akan menegaskan (setegas tulisan-tulisan sebelumnya) bahwa kualitasnya, baik sebagai pribadi maupun pegawai negeri sipil (PNS) di Pemerintah Kota Kotamobagu (Pemkot KK), memang cuma setara daong lemong (kreatif betul orang yang memulai olok-olok ini).

Kalau sebelumnya saya membuktikan dia pengecut, recehan, tidak tahu diri (betapa banyak waktu luangnya sebagai PNS KK hingga leluasa mengurusi hingga rumah tangga daerah lain), dan culas. Kini terpaksa harus menambah lagi dengan sebutan hemaprodit dengan kecenderungan lebih ke arah bukan laki-laki tulen.

***

Di penerimaan calon PNS KK 2008, Fahri Damopolii tercatat sebagai salah seorang yang lulus tes. Setahun kemudian, di bawah kepemimpinan Walikota Djelantik Mokodompit-Wakil Walikota (Wawali) Tatong Bara, dilakukan lagi tes yang sama, yang berujung kisruh karena dugaan kongkalingkong dan manipulasi.

Tiga tahun kemudian skandal CPNS itu menyeret sejumlah birokrat elit KK ke meja hijau. Secara mengejutkan, di depan persidangan hidung Walikota dan Wawali ditujuk sebagai dua orang di balik ‘’hompimpa’’ yang mendudukkan  mereka di kursi pesakitan. Dengan kata lain, seharusnya pasangan pimpinan pemerintahan KK itu turut diseret ke depan hukum.

Khusus Walikota KK, kita semua belum lupa bagaimana mulut besarnya menjamin tak ada skandal dalam penerimaan CPNS 2009. Semua akan beres dan kalau tidak, jabatannya yang dipertaruhkan. Skandal terbukti ada, tapi Walikota pura-pura lupa pada omongannya dan terus bertahta dengan nyaman.

Kemana Fahri Damopolii dengan energi luar biasa kritisnya, yang berani memaki-maki dan menyerang saya pribadi? Apa sikap dan kritiknya terhadap isu manipulasi tes CPNS dan kebohongan Walikota itu?

Di tengah guliran masalah CPNS, isu relokasi Pasar Serasi (yang bakal diganti dengan pusat belanja modern) meruyak dengan aktor utama –sekali lagi—Walikota KK. Tanpa sepengetahuan DPR KK, tanpa Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW), tiba-dia dia memaklumatkan adanya kesepakatan dengan pihak swasta. Di lain pihak, pedagang yang akan direlokasi ke tempat baru, Pasar Genggulang dan Pasar Poyowa Besar, disodori fasilitas dengan kondisi merana.

Anggaran pembangunan Pasar Genggulang dan Pasar Poyowa Besar tanpa segan saya tuduh sudah jadi bulan-bulanan korupsi.

Relokasi Pasar Serasi yang sangat dipaksakan oleh Walikota KK beranak-pinak perkara lain, dari gugatan mereka yang mengaku ahli waris sebagian lahannya hingga perseturuan Djelantik Mokodompit pribadi dan anggota DPR RI asal Sulut, Yasti Mokoagow. Kisruh dua orang ini bahkan menyeret-nyeret sekelompok orang atas nama Lembaga Adat, yang bersidang dan memutuskan dijatuhkannya sanksi terhadap Yasti Mokoagow. Hari ini sanksi itu tak ketahuan lagi sudah berlabuh di laut mana.

Di mana Fahri Damopolii berada dan apa suaranya merespons isu Pasar Serasi dan turunannya? Mana yang lebih penting, mengejek-ngejek saya agar dia tampak sungguh dungu atau mengurusi kepentingan orang banyak dengan mengontrol sepak-terjang pemimpin seperti Djelantik Mokodompit?

Pasar Serasi masih bergolak, Walikota KK yang entah mendapat wangsit dari langit mana, memprogramkan pembongkaran Mesjid (Jami’) Baithul Makmur. Janjinya akan diganti dengan yang lebih baik, bukan sekadar masjid, tetapi pusat peradaban Islam di KK. Mengingat perilaku Djelantik Mokodompit selama ini, saya tidak heran kalau rayapan siput lebih cepat dari pembangunan masjid pengganti Baithul Makmur dan fasilitas pendukungnya.

Eh, apa yang diperbuat Fahri Damopolii melihat apa yang dilakukan Pemkot dan Walikota KK terhadap Mesjid Baithul Makmur? Ada dia membuka mulutnya sedikit saja atau menuliskan dua-tiga patah kata di media?

Sekarang tibalah kita di Hari Ulang Tahun (HUT) KK ke-5 yang dirayakan Rabu, 23 Mei 2012, dimana Walikota merekahkan senyum bangga disujudi ribuan siswa Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) serta suguhan kampanye narsis kain rentang ‘’Lanjutkan’’. Keterlaluan, koreografer dan panitia yang mengatur sujud massal dan orang-orang yang disujudi harus disebut ‘’biadab’’. Sedangkan kampanye kain rentang mendukung Walikota di Pemilihan Walikota (Pilwako) yang baru dilaksanakan 2013 mendatang, adalah fakta betapa mengerikannya rajalela penyakit ‘’tidak tahu diri’’ di KK.

Si hebat Fahri Damopolii pasti diam saja melihat pertunjukan tak beradab itu, kan? Selain karena ilmu nalar, logika dan kepekaannya belum memadai, dia juga tak cukup punya nyali.

***

Mencaci-maki, menghina, dan melecehkan saya pribadi atas nama keseimbangan perasaan (sebagai balasan kemarahan banyak orang karena kritik saya), bagi orang seperti Fahri Damopolii tampaknya dimaknai sebagai tindakan heroik. Keheranan saya adalah, siapa saja yang memberi kuasa padanya? Tidak ada, sebab sebagai PNS dengan ambisi mengangkasa, dia suka rela ditulari penyakit tidak tahu diri kronis yang umum diidap tokoh-tokoh publik di KK.

Bukankah lebih gagah, sebagai PNS dan penduduk KK, dia menggunakan daya yang dikira sebagai kehebatan untuk mengoreksi, mengkritik, dan bila perlu mencaci politikus dan birokrat yang tak becus melaksanakan tanggungjawabnya.

Namun, dengan penuh simpati, berkaitan dengan isu-isu yang dipapar di atas, saya berkeyakinan Fahri Damopolii tidak beda dengan anjing yang terkaing-kaing dengan ekor terlipat di antara dua kaki belakang. Atau, yang lebih manis, dia sebaiknya menggenakan penjepit rambut merah marun, tas tangan kecil dan sepatu high heels berwarna sama, serta dipadu atasan putih dan rok hitam. Sebagai penyempurna, saya akan mengirimkan bedak dan lipstick yang cocok (juga pelatih olah lidah) agar dia tampil prima di hadapan Walikota KK.

Ke alamat manakah saya harus mengirimkan alat-alat mempercantik diri itu?***

Monday, May 28, 2012

Hormat Pada Baginda Walikota!

DI BAGDAD yang indah, makmur dan sentosa, Khalifah Harun al Pusingah bertahta dengan nyaman. Demikian permainya negeri yang dia pimpin hingga satu-satunya pekerjaan yang menyibukkan Baginda Khalifah adalah ‘’santai-santai dan tiduran di sofa kebesaran’’.

Dalam menjalankan pemerintahan Khalifah dibantu seorang penasihat bernama Iznogoud yang tersohor karena tingginya 1,5 meter (sudah dengan selop) serta kelicikan dan satu-satunya niat yang dia tuju: menjadi Khalifah pengganti Khalifah. Duo ini digenapi ajudan Iznogoud yang bernama Jilat Darat.

Saya mengoleksi komik Petualangan Iznogoud yang Tersohor karya Goscinny dan Tabary dengan semangat seorang bocah, sebagaimana selama ini juga mengumpulkan satu demi satu komik-komik bermutu lainnya (yang terakhir serial Cedric dari Laudec dan Cauvin serta Agen Polisi 212 karya Daniel Kox dan Raoul Cauvin). Di banyak kesempatan komik-komik itu menjadi bacaan menyegarkan.

Di tangan Goscinny dan Tabary kekuasaan dan ambisi menjadi sumur yang terus-menerus mengalirkan humor. Kita boleh mengatakan Khalifah Harun al Pusingah adalah parodi dari Khalifah Harun Ar-Rasyid (766-809) yang tersohor. Peradaban manusia mengenal periode kepemimpinannya sebagai masa keemasan Islam (The Golden Age of Islam).

Tapi di komik Goscinny dan Tabary tokoh utamanya bukanlah Khalifah Harun al Pusingah. Titik pusat dari seluruh cerita adalah Iznogoud. Segala tindak-tanduk dan kelakuan penasihat Khalifah ini seolah demi kehormatan junjungannya. Yang sebenarnya, Iznogoud menjalankan tipu-muslihat dan aneka taktik agar Khalifah tersingkir dari singasana, lalu dia tampil sebagai pengganti.

***

Kamis (24 Mei 2012) saya menulis ‘’Lanjutkan Sampe di Got?” yang mengkritisi diusungnya kain rentang ‘’Lanjutkan’’ di tengah perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) Kota Kotamobagu (KK) ke-5 yang berlangsuung Rabu (23 Maret 2012). Tulisan itu sebenarnya belum tuntas, karena masih ada tanda-tanya yang menggantung di benak saya.

Di foto perayaan HUT KK yang dipublikasi http://beritamanado.com/ dan saya rujuk, kain rentang ‘’Lanjutkan’’ dilatari anak-anak berpakaian serba putih dan dalam posisi sujud. Mulanya saya menduga posisi itu bagian dari gerak tari yang dipentaskan mendahului Tari Dana-Dana. Barulah pada Sabtu (26 Mei 2012) saya mendapatkan penjelasan lebih komprehensif dari sejumlah orang yang hadir di event tersebut.

Penjelasan yang sangat mengejutkan. Ternyata posisi sujud itu dilakukan sebelum ribuan siswa-siswi Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) mulai menarikan Tarian Dana-Dana. Arahnya: ke panggung di mana Walikota KK, Djelantik Mokodompit dan jajarannya serta para undangan duduk dengan takzim.

Gerakan itu sepegetahuan saya bukanlah bagian dari Tari Dana-Dana. Kalau begitu, apa maksud koreografer atau pelatih Tari Dana-Dana dan panitia yang terlibat menggelar sujud massal ke arah panggung? Pertanyaan ini bukan sekadar keingintahuan biasa. Dan memang saya berprasangka bahwa ada sejumlah oknum yang mengada-adakan keanehan-keanehan tak perlu untuk ‘’mencari muka’’ dan menjilat, khususnya ke Walikota KK sebagai sosok utama di perayaan HUT itu.

Setiap aspek dari sebuah event publik pasti disiapkan lewat rencana yang tersusun rapi, langkah demi langkah, tahapan demi tahapan. Apa yang ditampilkan bukan sekadar karena ada yang iseng memasukkan di skenario, tetapi sebab ada pesan-pesan yang terkandung dan dikandung di dalamnya.

Terlebih tarian. Orang paling awam seni dan kesenian pun tahu, setiap gerakan dari satu rangkaian tarian adalah simbol dari ‘’sesuatu’’ yang ingin disampaikan sang koreografer. Sebagai satu simbol, tak ada tafsir lain dari gerakan sujud kecuali penyerahan diri (dalam Islam gerakan ini bermakna sangat tinggi). Di luar itu, artinya adalah kultus terhadap sesuatu.

Untunglah putra-putra saya, terutama si bungsu Iben, tidak menjadi bagian dari ribuan siswa-siswi SD dan SMP yang bersujud massal itu, hingga saya terbebas dari kemarahan mendidih. Saya dibesarkan dengan ajaran bahwa sujud hanya untuk Tuhan dan orangtua. Di luar itu, prek!

Mencium tangan saja, yang kian jadi praktek biasa sebagai bentuk penghormatan (pada yang lebih tua atau yang dianggap tokoh), saya haramkan. Saya, sebagaimana yang juga saya ajarkan pada anak-anak, hanya mencium tangan kedua orangtua, mertua, serta kakek dan nenek. Selebihnya, salaman saja sudah cukup mewakili seluruh maksud penghormatan yang ingin disampaikan.

Perkara mencium tangan, saya selalu teringat bagaimana guru saya dan beberapa teman, Kiai Arifin Assagaf, yang refleks menampik bila ada gelagat orang yang bersalaman akan mencium tangannya. Kalau salah satu di antara kami mencoba-coba melakukan itu (yang sesungguhnya dia tahu sekadar becanda), tangan kanan Kiai Arifin pasti segera mendarat di kepala diikuti bunyi garing ‘’plak’’.

***

Kultus individu biasanya tidak lahir begitu saja. Selalu ada yang memulai, melakukan secara terencana dan terus-menerus (di banyak kasus dengan pemaksaan), lalu menjadi kewajiban yang bila diabaikan membawa konsekwensi serius.

Contoh lain dari adanya upaya dan rencana kultus individu itu adalah peristiwa berikut. Usai Lebaran 1432 H lalu, Walikota Djelantik Mokodompit diundang menghadiri halal bi halal Keluarga Besar Manoppo yang digelar di Kotamobagu. Mengingat tanggungjawab dan kesibukannya, galib belaka bila Walikota terlambat tiba dan akhirnya acara yang dihadiri sanak-kerabat Manoppo dari berbagai daerah ini baru dimulai selewat pukul 21.00 Wita.

Pembaca, molornya acara tidak masalah. Di keseharian saja hal itu dapat dimaklumi dan dimahfuni, apalagi di saat halal bi halal. Yang sangat mengganggu justru penceramah yang diundang menyampaikan hikmah pada para hadirin, yang berulang kali menyapa Djelantik Mokodompit dengan sebutan ‘’Baginda Walikota’’.

Saya memang tidak hadir di acara tersebut. Tetapi malam itu beberapa kerabat dekat yang gerah  mengirimkan BlackBerry Messenger (BBM) dan pesan pendek (SMS), menanyakan pendapat saya terhadap sapaan ‘’Baginda Walikota’’. Salah satu jawaban yang saya ingat persis adalah: ‘’Mari kita bersiap satu saat menyaksikan Walikota KK mengendarai onta atau kuda ke kantor dan di sepanjang jalan rakyat berbaris sembari menunduk dengan khimat.’’

Tokoh rekaan Goscinny dan Tabary, Iznogoud, kini menjelma jadi nyata di KK. Mungkin saya harus memasukkan salah satu komik favorit ini ke lemari dan mengunci rapat-rapat, karena sudah kalah lucu dibanding ulah sejumlah orang yang memaksakan aneka kultus ke Walikota Djelantik Mokodompit.***

Sunday, May 27, 2012

DPR (Masih) ‘’Asal Malontok’’

PEMERINTAH Kabupaten Bolaang Mongondow (Pemkab Bolmong) tidak mandiri dalam mengelola potensi kandungan tambang di wilayahnya. Saya membaca konklusi itu dari pernyataan Ketua Komisi III DPR Bolmong, Chairun Mokoginta, di situs Harian Komentar, Selasa (22 Mei 2012).

Lengkapnya, berita bertajuk Terkait Kejelasan Izin AMDAL: Besok, Komisi III Hearing BLH dan Perusahaan Tambang, mengutip Chairun, ’’Untuk menuju kemadirian keuangan daerah, harusnya Pemda cerdas memanfaatkan SDA pertambangan, itu bisa dikelola dalam bentuk WPR, koperasi daerah dan BUMD. Nantinya ini akan menopang PAD, kenapa itu harus diberikan kepada investor, bukan Pemda yang mengelolanya untuk kepentingan hajat hidup rakyat Bolmong.
Jika rekomendasi ini (PT JRBM) berlanjut, maka Pemda tidak ada keberpihakan kepada masyarakat di wilayah Kecamatan Lolayan.’’

Keseriusan Ketua Komisi III DPR Bolmong itu didramatisir wartawan yang menulis dengan menggambarkan kalimat-kalimat panjang itu ditukas dengan nada kesal. Bagaimana kira-kira nada kesal itu? Kata demi kata yang dikutip tidak menunjukkan pernyataan itu adalah ekspresi kekesalan. Menurut hemat saya, justru lebih memperlihatkan anggota DPR yang bersangkutan asal malontok.

***

Kekayaan sumber daya alam Bolmong yang selama ini (atau pernah) sangat diunggulkan adalah potensi pertanian, perkebunan, dan peternakan. Daerah ini bahkan sempat dijuluki ‘’Lumbung Padi Sulawesi Utara’’ karena pertaniannya yang maju pesat (lebih khusus di Dumoga), ditopang irigasi modern yang disuplai Bendungan Kosinggolan dan Bendungan Toraut.

Di sektor perkebunan, macam-macam komoditas berhasil memakmurkan petaninya. Mulai dari kopi (dataran tinggi Modayag menghasilkan salah satu jenis kopi berkualitas tinggi), aneka buah (jeruk satu ketika jadi buah lokal primadona), coklat, hingga cengkih dan kelapa. Khusus perkebunan kelapa, biasanya juga dipadu dengan peternakan atau penggemukan sapi.

Saya tidak akan menyebut kehutanan sebagai salah satu sektor penting. Sepengetahuan saya belum pernah ada perusahaan yang bergerak di industri ini yang meninggalkan jejak sukses. Para pengusaha kehutanan (baik yang legal maupun ilegal) terbukti berandil sangat besar terhadap sejumlah kerusakan hutan parah di seantero Mongondow. Berbeda dengan para pemainnya –terlebih ilegal-- yang justru bersulih jadi tokoh publik, bahkan kini mencoba-coba vokal dan mencitrakan diri sebagai ‘’orang bersih’’.

Tapi apa relevansi sektor-sektor itu dengan pernyataan Ketua Komisi III DPR Bolmong? Jawabannya adalah pengelolaan potensi lewat koperasi dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Berapa banyak Koperasi Unit Desa (KUD) dan koperasi dengan skalanya lebih luas yang didirikan, lebih khusus untuk menopang sektor pertanian dan perkebunan di Bolmong? Kalau Anda punya data, pertanyaan berikut: Berapa banyak yang hari ini tetap beroperasi dan sehat wal afiat?

Seingat saya Bolmong adalah salah satu ‘’kuburan subur’’ koperasi dan KUD. Kenyataan ini berbanding terbalik dengan bekas pengelola koperasi dan KUD itu, atau mereka yang mengaku-ngaku pejuang koperasi, yang tetap makmur, bahkan menjadi tokoh-tokoh publik terkemuka. Contohnya Walikota Kota Kotamobagu (KK), Djelantik Mokodompit, dan mantan Ketua DPR Sulut, Syarial Damopolii.

Fakta lain adalah BUMD perkebunan, Perusahaan Daerah (PD) Gadasera, yang (terus-terang) tak saya ketahui sudah berusia berapa tahun. Seingat saya, sejak masa kanak, PD Gadasera sudah beroperasi dengan menguasai ratusan ribu hektar perkebunan kelapa di wilayah Mongondow.

Selain punya ribuan hektar perkebunan kelapa, pengetahuan saya terhadap PD Gadasera nyaris nol, kecuali perusahaan ini kebanyakan rugi daripada untung. Tak pernah jelas benar komposisi komisaris dan direksinya. Berapa persen penguasaan saham oleh Pemkab Bolmong. Berapa luas lahan perkebunan yang dikuasai, jumlah dan usia pohon kelapa yang masih tegak, tingkat produktivitasnya, dan yang tak kalah penting: berapa besar sumbangan BUMD ini terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Bolmong?

Mengelola sektor yang relatif dikuasai cukup banyak warga Bolmong (terlebih mereka yang berlatar pendidikan tinggi pertanian atau ekonomi) masih jauh dari becus, eh, sudah pula mengadang-gadang mandiri mengeksploitasi sumberdaya pertambangan yang kompleksitasnya puluhan kali lipat. Beda rencana dan angan-angan adalah yang pertama dapat diwujudkan dengan sejumlah syarat dan disiplin ketat; sedang yang kedua cuma cocok sebagai bunga-bunga leyeh pengantar tidur siang sembari dihembus angin sepoi-sepoi.

***

Tambang sebagai industri tidaklah sesederhana operasi tromol atau tong sianida, yang berhasil menetaskan segelintir warga Mongondow jadi jutawan lokal. Mengelola tambang dengan cara yang benar, berstandar tinggi, modern, dan berkelanjutan dari sisi keseimbangan lingkungan, adalah perpaduan pencapaian pengetahuan dan teknologi, sumber daya manusia (SDM) handal, ditopang kapital skala besar.

Belum pernah ada penemuan cebakan emas (bahan tambang paling umum di Bolmong) hanya dengan bertanya pada jailangkung atau orang kesurupan. Eksplorasi sebagai tahap paling awal dari rangkaian proses yang harus dilalui setiap pelaku usaha tambang memerlukan biaya jutaan dolar Amerika Serikat (AS). Bila terbukti di satu wilayah terdapat cebakan emas yang cukup ekonomis, tahap besar berikut adalah kontruksi yang juga menuntut investasi hingga ratusan juta atau milyaran dolar AS.

Setelah masa konstruksi, fase produksi pun tetap harus dibiayai, demikian pula dengan pasca tambang. Operasi tambang yang ideal harus diakhiri dengan proses penutupan demi menjaga keseimbangan lingkungan, yang menuntut kesiapan pembiayaan setara lebih dari sepertiga total investasi yang mesti disiapkan.

Menggunakan referensi pertambangan emas tanpa izin (PETI) yang sudah jadi praktek berurat-berakar di Bolmong sebagai titik-tolak mengelola sumberdaya pertambangan lewat WPR, koperasi daerah, atau BUMD, adalah usul seenak perut yang tidak bertanggungjawab. Memangnya cukup tersedia SDM pertambangan di Mongondow, khususnya di Pemkab Bolmong, demikian pula dengan teknologi dan dana?

Pemain industri tambang besar dan mapan saja punya potensi menimbulkan masalah jangka panjang, apalagi amatir yang sekadar bermodal angan-angan.

Apakah dengan dikelola WPR, koperasi rakyat, atau BUMD, ada jaminan kontribusi terhadap PAD lebih baik dari pengelolaan oleh perusahaan tambang profesional? Tidak dapatkah kita menjadi lebih bijaksana dengan memetik pelajaran dari kondisi PD Gadasera?

Karena itu, ketimbang ‘’asal malontok’’ menunjukkan ketidaktahuan, pelajari seluruh undang-undang dan regulasi yang mengatur sektor tambang di Indonesia. Jangan lupa perkembangan terkini praktek pertambangan modern, lengkap dengan standar dan tanggungjawab yang harus dipenuhi.

Dengan begitu, setiap kali mendengar atau membaca pernyataan tokoh-tokoh publik di Mongondow tentang sektor tambang, kami (rakyat banyak ini) tak perlu balas menyemburkan keketusan: ‘’Kalu cuma modal tahu pantongan, jang bicara. So bukang depe zaman ini. So lama manusia mendarat di bulan, kong ada kamana kasiang Bapak Anggota DPR Bolmong yang Terhormat?’’***

Friday, May 25, 2012

HUT Bolmut: Tercakar Macan Jadi-Jadian

DI 1994 aktor papan atas Hollywood, Jack Nicholson, berakting apik sebagai Will Randall di Wolf. Film yang berkisah tentang serigala jadi-jadian ini adalah salah satu tontonan mengasikkan. Saya tetap tak bosan bahkan setelah berulang kali film ini ditayangkan di Home Box Office (HBO) atau Cinemax.

Enam tahun setelah Wolf, Benicio del Toro memainkan karakter yang sama, serigala jadi-jadian, di film besutan sutradara Joe Johnston, The Wolfman. Dibanding Wolf, sebagai pemicu adrenalin The Wolfman lebih surealis, gelap dan menggigit. Cocok dijadikan teman di malam Jumat yang sepi dengan rinaian rintik-rintik memaku-maku atap rumah.

Makluk jadi-jadian sudah lama menjadi jualan industri tontonan dunia. Di masa jaya film Indonesia, negeri ini ditaburi aneka makluk jenis ini. Ada babi ngepet, ada manusia ular, hingga gondoruwo yang tidak jelas apakah masuk golongan hewan atau manusia mutan.

Di era yang sama, 1980-an hingga awal 1990-an, para penyuka novel pernah dipukau Manusia Harimau karangan SB Chandra. Berkisah tentang Erwin yang berasal dari Mandailing, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, pembaca diharu-biru petualangan anak muda yang menerima warisan hingga ditakdirkan memiliki kemampuan berubah jadi manusia harimau.

Pendeknya, kita tak asing lagi dengan makluk jadi-jadian, baik yang serius maupun gadungan. Tersebab itu mulanya saya melewatkan berita di situs khusus Mongondow, http://kontraonline.com/, Kamis (24 Mei 2012), Masyarakat Bolmut Merasa Dibohongi, HUT Bolmut Hadirkan Trio Macan Gadungan.

Sedianya, tulis situs yang baru di-launching beberapa hari lalu itu, Hari Ulang Tahun (HUT) Kabupaten Bolaang Mongondow Utara (Bolmut), dimeriahkan pentas musik yang menghadirkan Trio Macan (trio dangdut yang sedang naik daun). Nyatanya yang diboyong even organizer (EO) yang ditunjuk bukan Trio Macan (yang benar-benar macan), melainkan tiga artis dengan label New Trio Macan.

Tidak jelas benar dari mana New Trio Macan ini berasal dan apakah mereka benar-benar grup dangdut  profesional atau sulapan mendadak hasil kreativitas EO yang kepepet. Dari lalu lintas gosip yang beredar di BlackBerry Messenger (BBM) yang saya terima, konon salah satu artis macan-macanan ini diketahui bermukim di kampung yang terkenal dengan nasi kuning-nya di Manado.

Terlalu banyak yang jadi-jadian dan gadungan di negeri ini (polisi gadungan, jaksa gadungan, hakim gadungan, dokter gadungan, hingga kuntilanak gadungan), hingga sekadar artis yang dimacan-macankan seolah Trio Macan betulan pasti dampaknya tak signifikan. Anggap saja bagian dari lelucon masyarakat modern yang seringkali menganggap tipuan sebagai bagian dari hiburan.

Yang pasti warga Bolmut yang antusias meramaikan pesta rakyat urung bergoyang bersama Iwak Peyek  dengan pelantun aslinya. Alih-alih membawa kemeriahan, New Trio Macan justru memicu protes dan keberatan.

***

Tersebutlah Boston Production Management sebagai EO di balik kehadiran New Trio Macan itu. Sebagaimana dikutip Kontraonline, menanggapi keberatan warga Bolmut, lewat seseorang bernama Tono, pihak EO berkilah masalahnya hanya mis-komunikasi. Yang dihadirkan memang bukan Trio Macan, melainkan New Trio Macan.

Saya terperanjat membaca pernyataan tersebut, seolah Trio Macan beneran atau sekadar macan-macanan, bukanlah pokok masalah. Yang terpenting ada tiga orang artis yang membalut diri dengan kostum belang-belang, bergoyang, jungkir balik melantunkan aneka lagu. Penonton tidak usah banyak tanya, terlebih protes. Mari bersuka ria.

Siapa sesungguhnya sosok di balik Boston Production Management? Jawaban yang saya dapat tak kurang mencengangkan –juga membuat terbahak. Salah seorang sepupu menginformasikan, EO ini berkaitan dengan Tono Kanopi. Penjelasan lanjutannya: Dia adalah pengusaha yang bergerak dibidang jasa penyewaan peralatan pesta, termasuk tenda (canopy), sound system dan pendukungnya.

Lebih lengkap lagi, Tono Kanopi ini (katanya) tak lain Hartono Mokodompit, ST, yang masih tercatat sebagai staf Bagian Umum Sekretariat Daerah (Setda) Bolaang Mongondow (Bolmong). Sebagai pegawai negeri sipil (PNS), karir Tono sebenarnya cukup moncer. Dia pernah menjabat sebagai kepala Seksi (Kasi) di Dinas Pekerjaan Umum (PU), kemudian Kasi di Badan Penanggulangan Bencana, lalu tiba-tiba mogok dan diparkir sebagai staf.

Semoga info itu benar. Kalau tidak, saya menyarankan Tono Kanopi segera buka suara agar pergunjingan yang mengait-ngaitkan namanya dapat dijernihkan.

Apa pasal hingga karir Tono yang tampaknya bakal terus menanjak itu mendadak mangkrak. Kata cerita, satu ketika di masa kampanye Pemilihan Gubernur-Wakil Gubernur Sulut 2010, dia mendapat tugas menyiapkan panggung yang akan digunakan pasangan calon Gubernur-Wagub, Vreeke Runtu-Marlina Moha-Siahaan di Ibolian.

Di hari pelaksanaan kampanye, di saat kandidat dan para pendukungnya bersesakan membakar semangat massa, tanpa didahului petanda, panggung hasil karya Tono dan timnya mendadak roboh. Untunglah tak ada korban jiwa, tetapi seketika karirnya rontok. Maklum, saat itu Marlina Moha-Siahaan (yang semestinya jadi bintang panggung) masih menduduki kursi Bupati Bolmong.

Sempat terbersit di benak, tenda raksasa yang belum lama ini roboh beberapa jam sebelum pesta pernikahan puteri Bupati Bolaang Mongondow Selatan (Bolsel), Herson Mayulu), mudah-mudahan bukanlah juga hasil karya Tono.

Dicopot dari jabatan jiwa entrepreneurship-nya justru berkibar. Bahkan saking populernya dia di sektor jasa yang digeluti hingga tersematlah nama alias ‘’Tono Kanopi’’.


***

Tapi akankah Tono tetap berkibar setelah peristiwa New Trio Macan? Ada sejumlah aspek yang semestinya dia waspadai, utamanya kepercayaan konsumen terhadap jasa yang ditawarkan.

Peristiwa malam pesta rakyat di Bolmut itu dapat dikategorikan pelanggaran pidana dan perdata, sebab saya yakin Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bolmut –juga Tono— mengantongi kontrak pelaksanaan event-nya, termasuk artis dan kelompok mana saja yang bakal ditampilkan. Aspek pidananya adalah penipuan, sedangkan perdata kerugian finansial yang ditanggung Pemkab karena produk yang tersaji tidak sebagaimana yang dijanjikan.

Selain Pemkab, sebagai konsumen, saya kira warga masyarakat yang keberatan punya hak mengajukan gugatan sebagaimana yang dijamin Undang-Undang (UU) Perlindungan Konsumen.

Di luar urusan legal, hubungan bisnis Boston Production Management dengan Pemkab Bolmut tamat sudah. Kita bisa membayangkan bagaimana geramnya Bupati Hamdan Datunsolang dan jajarannya begitu menyadari yang dipertontonkan  ternyata bukan Trio Macam, tapi sekadar macan jadi-jadian.

Mungkin di HUT Bolmut tahun depan, bila pesta rakyat tetap digelar, lebih baik tak perlu dengan menyuguhkan artis kelas berat yang imbuhannya seseram ‘’macan’’. Untuk Tono sendiri, pelajaran bisnis yang bisa dipetik, lebih mudah menjanjikan memboyong Spiderman atau Iron Man karena sekujur tubuh mereka ditutupi uniform, ketimbang mengarang-ngarang New Trio Macan dan akhirnya diaum dan dicakar orang banyak.***

Thursday, May 24, 2012

‘’Lanjutkan Sampe di Got?’’

KENANGAN dari masa Sekolah Dasar (SD) tetap hidup di ingatan.

Namanya Makatu. Saya dan para adik mengenal dia sejak masih bermukim di Matali (di sebuah rumah yang hanya berbatas jalan dengan Mesjid Matali). Orang-orang mengatakan Makatu agak kurang waras, terlebih karena kesukaannya tidur di totaboyan (tempat pengasapan kelapa).

Kurang waras, eksentrik atau apalah, kini tidak lagi relevan. Dia sudah lama berpulang ke hadirat-Nya. Doa saya untuk Makatu dan nostalgi tentang dia.

Yang sukar saya lupakan adalah Makatu –yang sangat jarang bersuara— amat ringan tangan. Dia mudah dimintai tolong, selalu ada di hajatan-hajatan –lebih khusus membantu pekerjaan-pekerjaan berat di bagian belakang (membelah kayu, menyiapkan dandang dan aneka kerja otot lainnya).

Setelah kami sekeluarga pindah ke Jalan Amal (waktu itu saya baru menginjak kelas 2 SD), ada dua orang lagi yang kurang lebih seperti Makatu yang rajin bertandang ke rumah: Abas dan Hasani. Mengingat Abas yang super aktif selalu jadi memori lucu: Dia pernah memijat kambing piaraan ayah yang sakit dan ajaibnya sembuh. Sedang Hasani gesit mengerjakan apa saja sepanjang tersedia kopi dan rokok mengepul di mulutnya.

Kembali pada Makatu. Satu hari sahabat dekat ayah, almarhum Om Saman Yambo –kami kakak-beradik menyapanya dengan panggilan ‘’Papa Iwan’’—mampir ke rumah. Setelah urusan antara para orang tua selesai, Om Saman naik ke mobilnya (di memori saya yang dia kendarai adalah Datsun) dan bersiap mundur ke jalan raya. Di belakang mobil Makatu bersiaga dengan aba-aba.

Tanpa ragu Makatu meneriakkan, ‘’ Mundur…. Mundur…. Trus…. Trus….’’ Lalu mendadak mobil yang dikendarai Om Saman terjungkit. Roda belakangnya meluncur melewati bahu jalan, terjerembab ke selokan (saat itu masih) pekarangan di depan rumah kami. Adegan mengagetkan ini ditutup teriakan dari Makatu, ‘’Sudah! Kombonu don in got.’’

***

Tiba-tiba saya teringat pada Makatu dan mobil  Om Saman yang terjungkit saat berselancar dan menemukan di http://beritamanado.com/ serangkaian foto perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) Kota Kotamobagu (KK) yang ke-5, Rabu (23 Mei 2012). Salah satu foto memperlihatkan kain rentang bertulis ‘’Lanjutkan’’ yang diinterpretasi sebagai dukungan terhadap Walikota KK, Djelantik Mokodompit, untuk memperpanjang masa jabatan kedua kalinya lewat Pemilihan Walikota (Pilwako) di 2013 mendatang.

Komando Makatu, ‘’Trus…. Trus….’’, berkelebat di benak dengan nuansa yang sama sekali berbeda. Hingga hari ini ulah Makatu yang terjadi berpuluh tahun lampau itu saya kenang sebagai peristiwa lucu. Tapi kain rentang ‘’Lanjutkan’’ di HUT KK sama sekali tak bisa dimaknai sebagai lelucon. Apalagi itu dimunculkan di tengah berlangsungnya Tarian Dana-Dana (yang dibanggakan berhasil memecahkan rekor Meseum Rekor Indonesia –MURI).

Sebagai orang Mongondow yang dilahirkan di KK, terlibatnya ribuan pelajar SD dan Sekolah menengah Pertama (SMP) menyukseskan tarian kolosal itu, membuat saya bertanya-tanya: Poin apa yang ingin dicapai Pemkot KK? Apakah tak ada ide yang lebih kreatif dan bernilai, misalnya semacam festival makanan khas Mongondow di mana pemenangnya dihadiahi modal dan kesempatan berusaha?

Walau tidak bersetuju, terlebih rekor MURI makin biasa dan pasaran, tak perlulah urusan tari-tarian diperpanjang. Yang lebih penting adalah kain rentang berisi pesan politik itu, yang menurut hemat saya sungguh tak pada tempatnya dipapar di event khusus yang seharusnya bebas dari interes satu kelompok atau perorangan seperti HUT KK.

Etika memang jadi persoalan yang, apa boleh buat, harus terus dikritisi di bawah rezim Walikota Djelantik Mokodompit. HUT KK adalah ‘’pesta’’ bagi seluruh warga, bukan hanya acara pribadi Walikota dan kelompok pendukungnya. Benar bahwa penyelenggaraannya dilaksanakan oleh Pemkot, namun dengan demikian melibatkan birokrasi, lebih khusus siswa-siswi SD dan SMP serta para guru berkaitan dengan Tarian Dana-Dana. Mengusung ‘’Lanjutkan’’ di tengah acara tak dapat ditolak harus diterjemahkan sebagai praktek politik praktis dari seluruh birokrat yang terlibat; serta lebih buruk lagi mobilisasi dan pelibatan pelajar di bawah usia memilih.

Moga-moga bukan pegawai negeri sipil (PNS) KK yang mengusung kain rentang itu. Kalau mereka PNS, rendah betul nilai profesionalismenya sebagai birokrat. Patut diteliti apakah mereka lulus pra jabatan atau tidak, karena sama sekali tak bisa membedakan loyalitas pada seragam dan lambang-lambang yang dikenakan lima hari setiap pekan hingga pensiun; dan loyalitas pada seseorang yang usia berkuasanya paling lama 10 tahun –dengan kemungkinan di tengah atau setelah masa jabatan masuk bui.

Kian hari cara berpikir dan bertindak sejumlah orang di KK semakin memuakkan. Tidakkah mereka menyadari hal-hal sepele seperti itu menunjukkan bahwa komponen-komponen penting pelayan publik, khususnya birokrasi, telah terkooptasi dan berlaku asal bapak senang. Di sisi lain, fenomena semacam kain rentang ‘’Lanjutkan’’ di HUT KK menunjukkan kepanikan Walikota yang tak lagi tahu cara mana yang elegan dan etis mengkampanyekan diri; mana yang tidak dan norak.

Politik adalah seni. Semakin berkelas seorang politikus, praktek-prakeknya memenangkan hati publik kian elegan dan tak terduga. Dan yang terpenting, mengundang kagum serta penghormatan.

Praktek model kain rentang itu adalah low level politic yang mengindikasikan visi dan misi politikus yang ‘’syur’’ digosok-gosok cara norak seperti itu cuma sebatas kursi yang didudukinya. Lain soal bila Walikota KK secara terbuka mengoreksi perentangan ‘’Lanjutkan’’ itu. Dia bukan hanya menunjukkan kelas pengetahuan etikanya, tetapi juga memenangkan kesadaran orang banyak (sesuatu yang amat berguna sebagai modal di 2013) terhadap kehormatannya sebagai pemimpin untuk semua.

Sembari turut bersuka-cita di HUT KK yang ke-5, saya berduka terhadap kesadaran Walikota dan orang-orang di sekitarnya serta para birokrat yang mencemari acara untuk semua orang dengan kepentingan politik murahan. Selamat HUT KK. Pada Bapak Walikota Yang Terhormat, jangan sampai lanjutkan itu menjadi tak beda dengan ‘’Trus... Trus….’’ dari Makatu, yang baru Anda sadari ketika sudah terjungkit dari kursi yang kini diduduki.***

Motif Culas dan Batas Api (3)

APA kepentingan umum yang berkaitan dengan motif pertama? Karena ada pihak yang menyimpang amarah terhadap saya (dari yang langsung terkena kritik hingga keluarga terjauhnya) lalu mencaci Katamsi Ginano adalah kepentingan publik, jauh dari alasan yang dapat diterima akal sehat. Lebih banyak lagi orang yang memendam amarah mendengar, melihat, dan mengetahui betapa banyaknya politikus dan birokrat Bolmong yang kelakuannya sangat merugikan orang banyak.

Motif kedua lebih masuk akal. Hanya saja Fahri Damopolii perlu berkaca di ujung pensil. Hingga 15-20 tahun ke depan, sekali pun dia berhenti menjadi pegawai negeri sipil (PNS), kembali lagi ke sekolah hingga meraih gelar S3 sembari siang-malam mengasah ilmu tulis-menulis, lawan sepadannya hanya murid dari murid dari murid saya. Itu pun yang lulusnya cukup sampai kelas reporter. Lagipula tidak pantas belut cemburu, sirik atau dengki pada naga.

Akan halnya motif mengolok-olok, saya sudah mengingatkan yang bersangkutan, bahwa saya bisa membuat dia mengunyah dengkul dan sikut, setelah itu memamah giginya sendiri. Saya akan membuktikan peringatan ini.

Motif ketiga hingga kelima lebih gawat lagi. Sekali pun artikel Fahri Damopolii seolah adalah pembelaan, faktanya dia justru terang-terangan menghina Bupati Salihi Mokodongan dan Istri sebagai ‘’bodoh dan super tolol’’ (kata-kata yang tidak pernah saya gunakan di serial tulisan yang dijadikan rujukan). Bupati Salihi Mokodongan dan keluarga semestinya serius mempertimbangkan menggugat penulis artikel yang dengan gamblang menghina tanpa dasar itu.

Di sisi lain, dengan menggunakan tulisan-tulisan saya, tak dapat dielakkan bahwa ada motif jahat artikel itu menjadi barang dagangan ke Bupati Bolmong. Kalau Fahri Damopolii berani menuduh kritik saya punya muatan pribadi; maka sebaiknya dia mesti bersigegas mengecek lagi kerabat dekatnya yang mana yang sudah tersingkir dari ‘’lingkar dalam’’ birokrasi Bolmong. Hati-hati, meludah ke arah angin hasilnya cuma keramas dengan jigong sendiri.

Gagal menggunakan sebagai barang dagangan, artikel tersebut bertujuan memprovokasi agar saya terus menyerang Bupati Bolmong. Syukur-syukur terjadi chaos politik. Lalu siapa yang amat dirugikan bila posisi Bupati Salihi Mokodongan goyah? Demikian pula, pihak mana yang bakal menangguk untung?

Pendukung utama Bupati Bolmong adalah Partai Amanat Nasional (PAN) –yang juga berhasil mengantar Djelantik Mokodompit ke kursi Walikota KK. Di belakang Bupati Salihi Mokodongan yang juga Ketua Dewan Pengurus Daerah (DPD) PAN Bolmong ada Ketua Dewan Pengurus Wilayah (DPW) PAN Sulut, Tatong Bara, yang tak lain Wawali KK dan pesaing Djelantik Mokodompit di pemilihan walikota (Pilwako) KK 2013 mendatang. Di balik PAN Sulut dan dua tokoh itu ada anggota DPR RI, Yasti Mokoagow, yang secara terbuka berseteru sengit dengan Walikota KK.

Simpulnya terletak pada Walikota KK, Djelantik Mokodompit, yang tak lain adalah Ketua DPD I Partai Golkar (PG), di mana Fahri Damopolii menjajakan lidah dan liurnya. Guncangan terhadap Bupati Salihi Mokodongan (apalagi sampai membuat limbung) dengan segera menciptakan gelombang hantaman terhadap Tatong Bara dan akhirnya Yasti Mokoagow. Instabilitas tokoh-tokoh ini dan PAN sebagai partai asal mereka, pasti sangat memudahkan konsolidasi Djelantik Mokodompit dan partainya menghadapi Pilwako 2013.

Bila skenario itu terwujud, bayangkan betapa hebatnya nilai tawar seorang pemula seperti Fahri Damopolii. Terlebih secara bersamaan dia juga bisa membuat syur ego Walikota KK sebab hanya dengan satu tepukan dua --yang dia pikir tak beda dengan-- lalat seketika kelenger: saya yang sudah punya cap berseberangan dengan Walikota KK serta Yasti Mokoagow, Tatong Bara dan PAN.

***

Di bagian manakah dari lima motif yang patut dipersangkakan itu yang dapat dibantah? Mengapa pula saya tak segan menyatakan bahwa penulis Metamorfosis Katamsi ke Wujud ‘’Makin Lucu’’ (1 dan 2) bermental rusak.

Penggunaan nama alias di tulisan tersebut mempertegas sang penulis sejak mula memang bermaksud mengail di air keruh. Dikaitkan dengan statusnya sebagai PNS di KK, mana yang lebih penting, mencaci seseorang yang mengkritik kinerja Bupati Bolmong; atau mengerjakan tugasnya sebagai birokrat dan –kalau cukup punya nyali—juga kinerja Walikota KK dan jajarannya?

Niat jahat dan culas itu terekspresi ketika secara gamblang akhirnya saya mengatakan, saya tahu persis dia (Fahri Damopolii)-lah yang menulis artikel cacian itu, responsnya sangat difensif.  Mula-mula tetap ba terek dengan menyatakan, ‘’Bilang kua’ biasa baku terek.’’  Lalu akhirnya ancaman fisik, ‘’Kalu baku muka kita so tumbu.’’

Maling yang tertangkap biasanya mengelak-ngelak dengan segala daya, bila perlu balik mengancam tanpa terlebih dahulu memikirkan konsekwensi kata-kata yang terlontar.

Di titik itu saya menghitung ada tiga batas api yang dilanggar oleh Fahri Damopolii: Satu, menulis caci-maki ke saya pribadi tanpa alasan yang jelas dan kokoh. Dua, mengait-ngaitkan sikap kritis dan pribadi saya dengan kepentingan jabatan birokrasi untuk kerabat dekat (yang juga tidak dapat dia buktikan dari mana dasar tuduhannya). Dan ketiga, mengancam melakukan kekerasan fisik.

Batas api pertama dan kedua saya maafkan saja. Tapi tidak yang ketiga. Supaya adil, saya sekali lagi mengingatkan, pernyataan yang sudah dikeluarkan itu telah paku di batok kepala. Di mana saja kita bertemu, bersiaplah. Saya toh harus membela diri dari ancaman Anda.

Peringatan yang lain: Mulai hari ini Anda sukses menciptakan musuh di mana-mana. Bukan hanya mereka yang mendukung Bupati Salihi Mokodongan, Wawali Tatong Bara , atau anggota DPR RI Yasti Mokoagow; melainkan pendukung Djelantik Mokodompit sendiri yang menyadari bahwa tindakan Anda adalah gangguan serius terhadap kepentingan mereka (saya tidak yakin apa yang dilakukan Fahri Damopolii ada di grand strategy mereka); serta orang Mongondow umumnya yang kian pengap dengan kelakuan nista dari sejumlah orang yang culas dan politicking.

Repotnya, Fahri, Anda PNS, kan? Sekuat-kuatnya satu rezim pemerintahan usia maksimalnya hanya 10 tahun. Sekali pun Djelantik Mokodompit terpilih untuk masa jabatan kedua di Pilwako 2013 mendatang, tidak masalah buat saya. Saya punya stok kesabaran revolusioner dengan ingatan seekor gajah yang disakiti.***

Wednesday, May 23, 2012

Motif Culas dan Batas Api (2)

BILA Radar Totabuan menolak, saya akan ke Dewan Pers dan memproses sebagaimana mestinya. Setelah itu, Radar Totabuan sudah berkonsekwensi hukum dengan saya: boleh jadi pidana bekerjasama dengan niat jahat, dapat pula perdata karena ada kerugian-kerugian yang saya derita.

Penulis yang bersembunyi di balik nama A. R. Thomas itu tentu tak berpikir sejauh itu (atau malah tidak punya pikirin). Dia terlalu asyik bersilat, menaut-nautkan potongan-potongan tulisan saya, mencemooh dan mencaci seolah memiliki kesumat terhadap saya pribadi.

Merasa hebat jauh dari arti hebat. Ibaratnya, si penulis itu seperti murid pemula yang setelah berlatih beladiri beberapa bulan, berbekal sejumlah jurus dasar, haqul yakin mampu mengalahkan siapa saja. Begitu naik satu tingkat, dari sabuk putih ke berwarna, kepalanya bahkan nyaris sudah meledak.

Begitu percaya dirinya, dia bahkan berani meminta lawan tanding yang sabuknya tak ketahuan lagi apakah dulu berwarna biru, coklat atau hitam karena saking pudarnya. Modal ‘’merasa’’ membuat tokoh pandir kita ini lupa mengecek: di ujung sabuk berwarna entah apa itu ada delapan strip hitam yang berarti pemiliknya ada di jajaran ‘’maha guru’’.

Tidak perlu kepalan membuat si jumawa ini pingsan. Cukup satu jari telunjuk dan riwayat kejagoannya berakhir dengan nafas buatan.

***

Di hari Radar Totabuan mempublikasi Metamorfosis Katamsi ke Wujud ‘’Makin Lucu’’ (1) saya mengirim BlackBerry Messenger (BBM) ke Fahri Damopolii. Isinya implisit bahwa saya tahu siapa penulis artikel atas nama A. R. Thomas. Respons yang saya terima pengakuan tidak tahu-menahu. Bahkan Fahri Damopolii menuliskan kalau dia mengetahui siapa A. R. Thomas, segera akan diinfo.

Menjelang petang, di tengah banyak spekulasi yang dikirim lewat pesan pendek dan BBM, saya menjelaskan ke beberapa orang bahwa A. R. Thomas itu nama fiktif. Tidak ada hubungannya dengan Hinorimus Rafles Thomas, seorang gembala di Tuyat yang namanya tiba-tiba ditemukan dan dihubung-hubungkan dengan artikel itu.

Bukankah tidak adil menduga-duga dan mengaitkan artikel caci-maki itu dengan seorang Pelayan Tuhan hanya karena ada kemiripan antara A. R. Thomas dan H. R. Thomas. Yang membuat saya bergegas memberikan penjelasan karena  spekulasi itu berpotensi dipolitisasi dan akhirnya ada orang tak berdosa yang terkena getah perbuatan seorang pengecut yang berlindung di balik nama alias.

Akan halnya siapa penulis yang jadi tanya-tanya itu, tak sekali pun saya ungkap. Dari mutu artikelnya, setelah beberapa saat orang pasti bakal melupakan. Yang tertinggal adalah penegasan saya, bahwa setiap kritik dan koreksi yang saya tulis berkaitan dengan kepentingan publik bukanlah komoditi dagang atau tawar-menawar politik.

Di luar itu, ketika merespons artikel atas nama A. R. Thomas, saya dengan sadar menuliskan ekspresi kemarahan. Menunjukkan pada yang memprovokasi bahwa saya terpancing dan kalap karena tak berdaya.

Masa kecil saya yang sebagian besar dihabiskan di Jalan Amal banyak diisi kesenangan memancing, baik di kolam milik nenek (dan orang lain hingga pemiliknya memergoki) serta sungai-sungai hingga ke ujung Mongkonai. Kesukaan ini memberi pengalaman setiap jenis ikan menyukai jenis umpan tertentu. Namun di antara semua jenis ikan yang ada di kolam dan sungai, yang paling mudah dipancing adalah lele dan gabus. Apa saya yang dikaitkan ke mata pancing, kudul sekali pun, dengan segera disambar.

Kudul yang diumpankan memang dicaplok. Satu hari setelah O, Cuma Proklamasi Orang-Orang Bermartabat Receh (1) dilansir Radar Totabuan, Fahri Damopolii mengirimkan BBM. O, rupanya idiot ini merasa di atas angin dan lupa diri karena icon dan bahasa yang digunakan memang bertujuan mengolok-olok saya (banyak orang yang menggunakan icon pesan pendek atau BBM seolah itu hanya lambang yang tidak berisi pesan apa pun ke penerimanya).

Sudah waktunya kepala anak kemarin sore dengan kesombongan sok pintarnya ini dikempiskan. Cukup dengan satu kelingking.

***

Siapa Fahri Damopolii ini? Apa pentingnya dia buat saya? Apa pula signifikansinya bagi kemaslahatan Mongondow? Apa yang sudah dikontribusikan hingga saya bersedia mencapek-capekkan diri menulis tentang dia?

Tidak ada, kecuali dia adalah pengawai di Bagian Hubungan Masyarakat (Humas) Pemkot KK yang dikenal dekat dengan Walikota Djelantik Mokodompit dan putranya, anggota DPR Sulut, Razki Mokodompit. Warga KK yang mengikuti dinamika masyarakat kota ini tahu persis hubungan itu, setidaknya tercermin dari keterlibatan Fahri dan sejumlah birokrat yunior KK di event-event atas nama Razki Mokodompit (seolah-olah mereka kekurangan pekerjaan sebagai birokrat).

Dia juga adalah salah seorang pegawai baru yang dengan cepat mendapat promosi di rolling yang baru-baru ini dilaksanakan oleh Walikota KK.

Hal terpenting yang ingin saya tunjukkan dari tulisan ini adalah: Memang ada kelompok berusia muda dan berpendidikan tinggi di Mongondow  yang semestinya punya kesempatan mengambil peran di tengah masyarakatnya, tapi sayangnya secara mental rusak parah; atau sedang menuju kerusakan parah. Penyebabnya adalah kesukaan mereka terhadap politik dan politicking, yang sesungguhnya juga menunjukkan dari sisi kompetensi mereka sebenarnya payah. Modalnya, sebagaimanya yang sering saya tuliskan, cuma lidah dan liur.

Pembuktian terhadap kecenderungan mentalitas rusak itu membawa kita pada pertanyaan: Apa motif di balik tulisan Metamorfosis Katamsi ke Wujud ‘’Makin Lucu’’ (1 dan 2)?

Menurut saya setidaknya ada lima hal yang patut diduga menjadi motif tulisan itu. Pertama, ekspresi kritik satu anggota masyarakat terhadap yang lain berkaitan dengan kepentingan umum. Dua, sekadar tunjung pande dan tunjung jago lalu dipercakapkan sebagai olok-olok di belakang punggung karena berhasil mengganggu saya. Tiga, menggunakan tulisan-tulisan saya sebagai alat menyerang Bupati Bolmong dan menjadikan sebagai alat tawar-menawar. Empat, mirip dengan motif ketiga, tetapi lebih politis dan konspiratif, yang tujuan akhirnya menjatuhkan Bupati Bolmong dengan harapan menciptakan efek domino. Dan kelima, sejalan dengan motif keempat, menjadi dagangan ke Walikota KK yang memang kerap berseberangan dengan saya dan menjadi rival politik kelompok yang mendukung Bupati Bolmong.(Bersambung)

Tuesday, May 22, 2012

Motif Culas dan Batas Api (1)

PANTASKAH orang-orang marah karena isu-isu yang saya tulis, kritik, cemooh dan (kadang-kadang) caci berkaitan dengan Mongondow?

Tak salah bila subyek yang ‘’ditabrak’’ tulisan saya, kerabat, teman atau sekadar kenalan menyimpan murka dan –andai bisa— siap melayangkan tinju. Namun sebelum menjadi tarung fisik, sukar dibantah: Saya hanya menulis isu yang berkaitan dengan hajat-hidup orang banyak dan tokoh-tokoh yang terlibat dan bertanggungjawab.

Ada batas api yang pantang dilewati. Selama ini garis itu saya jaga ketat. Berbeda pendapat dengan mantan Bupati Bolmong, Marlina Moha-Siahaan, misalnya, tidak membuat anggota keluarganya –kecuali mereka yang menceburkan diri ke tengah ketidak-sepahaman-- turut diseret-seret.

Saya bersyukur hingga almarhum suami mantan Bupati Moha-Siahaan, Kudji Moha, berpulang, hubungan kami tetap sangat baik. Demikian pula putra mereka, Didi Moha. Mereka mampu membedakan urusan yang jadi domain umum dan hubungan-hubungan pribadi; walau barangkali melahirkan kepahitan-kepahitan sendiri.

Menyerang Walikota Kota Kotamobagu (KK), Djelantik Mokodompit, juga dilokalisir hanya yang berkaitan dengan hajat-hidup orang banyak, lebih khusus janji-janji dan pernyataannya. Toh tidak ada alasan saya harus tak sependapat dengan Djelantik sebagai pribadi. Bahwa saya juga pernah dengan kejam mengkritik putranya yang anggota DPR Sulawesi Utara (Sulut), Razki Mokodompit, tak lepas dari posisi dan tanggungjawab publiknya.

Sikap membedakan pribadi dan jabatan publik itu juga saya makmumi, katakanlah ketika mengkritik Bupati Bolaang Mongondow Timur (Boltim), Sehan Lanjar; Bupati Bolaang Mongondow Selatan (Bolsel), Herson Mayulu; Bupati Bolaang Mongondow Utara (Bolmut), Hamdan Datunsolang; atau –yang terakhir—Bupati Bolmong, Salihi Mokodongan. Dalam koteks Bupati Bolmong ada kritik yang sama pedasnya terhadap Ibu Bupati, sebab dari sisi kepentingan publik sudah saatnya yang bersangkutan ditegur setegas-tegasnya.

Mengkritik keras, apalagi mencaci, semata karena punya kemampuan dan ketrampilan menulis –terlebih dengan motif yang bersifat sangat pribadi dan politicking— adalah perilaku biadab yang tidak bertanggungjawab.

Diluar kepentingan publik, jangankan menulis tentang istri, anak atau kerabat Bupati/Walikota di Mongondow; terhadap Bupati dan Walikota pun saya haramkan. Selain tulisan jenis itu melanggar etika, potensi menjadi masalah hukum (pidana dan perdata) mengangga lebar, yang paling sederhana perbuatan tidak menyenangkan atau pencemaran nama baik.

***

Artikel di Radar Totabuan, Senin-Selasa (14-15 Mei 2012), Metamorfosis Katamsi ke Wujud ‘’Makin Lucu’’ (1 dan 2), jelas melanggar batas api. Saya sudah menuliskan di O, Cuma Proklamasi Orang-Orang Bermartabat Receh (1 dan 2), dengan harapan si penulis menyadari dua hal fundamental yang dia langgar: Pertama, keseluruhan artikel itu hanya ‘’memaki-maki’’ saya sebagai pribadi, bukan ide apalagi kepentingan kontrol publik secara umum. Kutipan-kutipan tulisan saya yang dijadikan dasar juga jauh dari komprehensif dan dipelintir sesukanya.

Kedua, apa yang saya lakukan dikait-kaitkan demi kepentingan kerabat terdekat (Kakak Ipar dan adik kandung), yang sudah jadi pengetahuan umum selama ini justru menjadi korban langsung dan tidak langsung dari sikap kritis saya. Terlampau murah pengorbanan yang mereka pikul bertahun-tahun kalau hanya ditukar dengan jabatan birokrasi di Bolmong, terlebih Bupatinya adalah Salihi Mokodongan (tanpa perlu merendahkan diri mudah bagi saya meminta jabatan untuk dua kerabat itu).

Saya marah membaca artikel itu. Namun, kata-kata harus dibalas dengan kata-kata dan itu sudah saya dituliskan dengan menahan diri, sebab hanya dengan membaca tiga alinea pertama Metamorfosis Katamsi ke Wujud ‘’Makin Lucu’’ (1 dan 2) saya sesungguhnya langsung tahu siapa si penulis.

Begini pembaca, bagaimana saya mengetahui A. R. Thomas hanya sebuah nama, sebagian kecil sudah saya jelaskan di O, Cuma Proklamasi Orang-Orang Bermartabat Receh (1 dan 2). Yang belum diungkap adalah saya punya artikel pembanding yang keidentikannya dari segala aspek 100 persen menunjuk ke seseorang yang saya tahu persis kualitasnya. Bukan penulis, hanya orang yang bermodal satu-dua kata eksotis tapi sudah merasa hebat (bahkan tunjung jago) dalam tulis-menulis.

***

Apa yang berbahaya dari menulis dan mempublikasikannya di media massa? Pertama, setiap tulisan adalah rekam jejak yang dapat ditelusuri. Hanya dengan memperbandingkan rekam jejak itu, seorang analis yang baik dan berpengalaman dengan cepat mengetahui satu tulisan ditulis oleh siapa.

Kedua, di media cetak (khususnya koran, tabloid dan majalah) selalu ada klausal artikel (utamanya opini) yang ditulis bukan oleh jurnalisnya (by line) harus disertai tanda pengenal dan identitas lengkap penulisnya. Media tidak berani ceroboh memuat tulisan opini, apalagi yang bakal mengundang reaksi umum dengan mengabaikan aspek penting ini.

Ketiga, media wajib melindungi sumber beritanya apabila informasi yang disampaikan berkonsekwensi terhadap keselamatan jiwanya. Artikel Metamorfosis Katamsi ke Wujud ‘’Makin Lucu’’ (1 dan 2) bukanlah berita. Kalau pun sebagai satu bentuk opini atau informasi ke publik, yang ditulis bukanlah rahasia yang berpotensi mengancam keselamatan sang penulis.

Dengan menganalisis tulisan yang mencaci itu, saya tahu siapa penulisnya. Kalau masih kurang yakin, sebagai subyek dari tulisan, saya dapat memastikan dengan menelepon atau menulis email ke Pemimpin Redaksi Radar Totabuan, meminta redaksi membuka identitas si penulis. Saya yakin redaksi dengan senang hati memberikan konfirmasi, sebab: Tulisan itu adalah artikel opini di mana tanggungjawab sepenuhnya berada di tangan penulis, bukan tergolong isu yang bisa membahayakan keselamatan penulisnya, dan karena saya adalah subyek yang ditunjuk langsung.(Bersambung)

Wednesday, May 16, 2012

O, Cuma Proklamasi Orang-Orang Bermartabat Receh (2)

KEMBALI pada caci-maki yang ditujukan ke saya. Sejelasnya, pertama, konsistensi seperti apa yang ingin diukur dari saya? Benar, saya menulis bahwa Salihi Mokodongan ‘’harusnya’’ layak dicalonkan sebagai Bupati Bolmong. Itu sepenuhnya benar. Ada kata ‘’harusnya’’ dan ‘’dicalonkan’’ atau ‘’sebagai calon’’.

Proses yang kemudian berlangsung membuktikan Salihi Mokodongan hanya layak ‘’dicalonkan’’ sebagai Wabup Bolmong. Apa yang salah dengan fakta tersebut? Dimana pula inkonsistensi saya?

Tidak akan diperdebatkan bahwa saya terimpresi dengan prestasi pribadinya (merintis usaha dari nol, aktivitasnya di dunia politik dan kemasyarakat); tetapi dengan catatan bahwa di banyak peristiwa politik dia terkesan hanya ‘’dimanfaatkan’’. Mengapa bagian sepenting ini tidak dikutip kelompok sok tahu di balik Metamorfosis Katamsi ke Wujud ‘’Makin Lucu!’’ (1 dan 2) –khususnya yang mencermati tulisan-tulisan saya tentang Salihi Mokodongan-Yani Tuuk.

Bahkan untuk licik pun ternyata kalian tak punya kecerdasan cukup. Blog saya masih di situ, demikian pula tulisan-tulisan di dalamnya. Silahkan dipelototi tulisan demi tulisan dan kalau langit kalian cukup tinggi, subtansi utamanya adalah: kesetiaan saya bukan pada orang, tetapi ide dan visi.

Kedua, Kamis (28 April 2012) ketika Salihi Mokodongan-Yani Tuuk memenangkan gugatan Pilkada Bolmong di MK, saya menulis Hore…! Di alinea ketiga terakhir, saya menyatakan: Agar mereka selalu awas, kontrol dan kritik harus terus-menerus dilakukan dengan ketat. Saya, hari ini –di saat kebanyakan warga Bolmong meneriakkan ‘’hore…!’’ menegaskan: Saya akan selalu mengambil jarak dengan kekuasaan. Artinya, sampai di sini dukungan saya terhadap Om Salihi dan Yani Tuuk. Setelah itu, dukungan saya terhadap mereka berdua adalah kritik dan koreksi yang mungkin saja bakal memerahkan kuping dan memicu amarah.

Ketiga, sangat bathil menafsir-nafsir dan menuduh sikap saya terhadap isu publik dilandasi kepentingan pribadi, apalagi mengaitkan-ngaitkan dengan kerabat. Track record  saya dalam 15 tahun terakhir menunjukkan: kritik terhadap para elit politik dan birokrasi di Bolmong tidak pernah menjadi dagangan atau nilai tawar jabatan untuk kerabat, saudara kandung sekali pun.

Berbeda tentu dengan cecungguk-cecungguk yang bahkan bersedia merendahkan harga diri demi sekadar dianggap orang dekat Walikota atau Bupati, naik sebagai kepala seksi, kepala bagian, atau kepala SKP. Saya bisa menunjuk hidung orang per orang, terutama yang terlibat di tulisan berisi serapah terhadap saya, apa saja yang mereka jual semata demi jabatan.

Benar, kerabat saya, yang pertama Kakak Ipar, bergeser posisinya di-rolling jabatan eselon II yang dilakukan Bupati Bolmong beberapa waktu lalu. Tapi dia masih berada di eselon II. Artinya, bahkan pengetahuan paling dasar masih salah, lalu apa yang bisa dibanggakan dari orang-orang di balik Metamorfosis Katamsi ke Wujud ‘’Makin Lucu!’’ (1 dan 2)?

Kedua, adik kandung saya, Parman Ginano, mundur sebagai Sespri Bupati Bolmong. Mundur, bukan dipecat.

Apakah saya terlibat, menyodorkan atau mendorong Parman menjadi Sespri. Sewaktu mengetahui rencana menjadikan dia Sespri Bupati, saya menegur yang mengusulkan, menyatakan ketidak-setujuan. Sepengetahuan saya, rencana itu terus berjalan sampai satu ketika Parman menelepon dan menginformasikan bahwa dia berniat mundur karena ada hal-hal prinsipil yang sudah tidak sejalan.

Tanyakan pada Bupati Bolmong apakah saya pernah menelepon, bicara atau menyinggung mundurnya adik kandung saya sebagai Sespri (posisi yang dianggap sebagai mata, telinga, tangan dan sebagian otak Bupati). Sama sekali tidak. Parman sudah dewasa, memahami dengan baik tugasnya sebagai birokrat, dan sudah menerima konsekwensi apa pun sebagai adik kandung saya.

Andai berkeinginan, apa susahnya saya meminta jabatan untuk kerabat dekat? Orang-orang yang tidak punya saham politik dan pengaruh sosial (hanya mengandalkan lidah dan liur) di Bolmong saja banyak yang menghiba melakukan itu, apalagi saya yang pantang merendahkan kepala di hadapan politikus?

Harga diri kami, keluarga dan kakak-beradik, tidak semurah itu. Kami tidak pula dibesarkan dan di sekolahkan dengan duit korupsi. Insya Allah kalau pun terantuk rintangan, kami tidak akan merendahkan diri di telapak sepatu orang-orang yang ubun-ubunnya lebih pantas dijadikan tatakan ludah.

Tuduhan di luar konteks itu pantas membuat saya marah dan akan membela harga diri kerabat-kerabat yang bertahun-tahun secara langsung jadi korban (terutama karir mereka terhambat), sebab saya bersikap kritis dan tak mau berkompromi. Bahkan bila pembelaan itu harus berdarah-darah, saya akan lakukan. Kami dilahirkan bukan sebagai penakut dan pengecut; dan tidak akan pernah menjadi penakut dan pengecut.

Cuma Kulit

Apakah tanpa hujan dan angin mendadak saya harus mengkritik Bupati Bolmong, istri dan beberapa antek di sekitarnya? Oho, orang-orang di balik tulisan penghujatan pribadi terhadap saya memang tidak penting bahkan untuk info sesepele itu. Tanyakan saja pada Bupati berapa kali isu-isu tersebut sudah disampaikan ke dia, siapa saja yang sudah menyampaikan dan apa tindakan yang diambil?

Lagipula, apa yang saya tuliskan hanyalah yang sudah dilihat, diketahui dan dipergunjingkan orang banyak. Cuma kulit semata. Saya masih menghormati Salihi Mokodongan sebagai pribadi, istri dan keluarganya. Tanpa penghormatan itu, saya bisa menulis lebih brutal dan kejam; lalu siapa pun yang keberatan boleh sama-sama kita ke pihak berwenang.

Tidak pula saya sebutkan bagaimana orang-orang yang berada di sekitar istri Bupati berlaku memalukan, hanya sekadar demi benda-benda dan fasilitas agar tampak ‘’kaya’’, ‘’punya jabatan’’ dan ‘’terhormat’’. Cuih!

Jadi, para pembela Bupati, kritik yang saya tulis dalam dua pekan terakhir tidak berbeda dengan teriakan anak kecil di The Emperor’s New Clothes. Tapi kalau Anda sekalian ingin bukan peringatan yang saya sampaikan, konsultasilah dengan Bupati. Ada hal besar yang saya tahu dan miliki, yang bukan hanya seketika menghentikan mulut-mulut kotor penuh puja-puji di sekitar Bupati, tapi bisa jadi jabatan yang kini dia duduki.

Camkan, saya tidak sedang mengertak!***

O, Cuma Proklamasi Orang-Orang Bermartabat Receh (1)

TERSEBUTLAH dua penipu lihai yang berhasil mendekati seorang raja. Kepada baginda mereka menjanjikan pakaian maha indah dipandangan semua orang, kecuali mereka yang tidak pantas, tidak kompeten atau bodoh. Yang sebenarnya, dua tukang tipu itu hanya mematut-matut, berbuat seolah-olah sedang mengukur dan mengemas pakaian.

Raja bukannya tak punya pertanyaan. Tapi karena malu dianggap tak pantas duduk di jabatannya, tak kompeten dan bodoh, apa yang sudah di ujung lidah ditelan kembali.

Singkat kata, pakaian sang raja selesai dan dipertontonkan lewat parade di hadapan khalayak. Semua mata tertuju dan banyak mulut yang mendecakkan kagum, hingga seorang bocah berteriak nyaring, ‘’Tapi bukankah raja tidak mengenakan apa pun?’’

Ya, bayangkan raja berparade hanya dengan cawat tetapi lengkap bermahkota, tongkat kebesaran, diiring pejabat tinggi kerajaan dan decak kagum orang banyak. Tak satu pun berani mengatakan raja sedang mempermalukan dirinya, kerajaan, dan seluruh rakyat hanya karena kuatir dianggap tak pantas, tidak kompeten atau bodoh.

Kisah yang saya petik dari The Emperor’s New Clothes karya Hans Christian Andersen ini  pertama kali diterbitkan C. A. Reitzel bersama cerita klasik lain, The Little Mermaid, pada 1837 di Kopenhagen. Nestapa raja yang ditipu mentah-mentah ini adalah dongeng abadi anak-anak yang tetap relevan mengajarkan kejujuran dan integritas. Dan lucunya, sangat kontekstual dengan Kabupaten Bolaang Mongondow (Bolmong) hari ini.

Bupati Bolmong dan istri dikelilingi para bajingan dan pejabat-pejabat yang sama banditnya, dengan sengaja menjerumuskan mereka dan membiarkan ditertawai di mana-mana. Tatkala ada yang mengingatkan, dianggap sebagai tindakan pongah, lancang, tidak tahu diri, tidak beradab, dan jauh dari sopan-santun.

Martabat Recehan

Saya tahu persis serial tulisan yang mengkritik Bupati, istrinya dan para antek di sekitar yang dipublikasi di blog Kronik Mongondow  (lalu dilansir pula oleh Harian Radar Totabuan dan Media Totabuan) bakal mengundang reaksi. Tidak perlu dukun sakti untuk menduga akan ada serangkaian tuduhan, hujatan, ejekan dan sejenisnya yang dialamatkan ke saya (yang tidak akan keberatan sepanjang itu punya dasar yang kokoh).

Tidak pula saya mesti marah ketika mendapatkan transkrip percakapan di group facebook ‘’Radar Manado Berita Biro Bolmong Raya’’ di mana Hendro Dedulah sesumbar akan menulis pembelaan terhadap Bupati Bolmong. Seperti biasa, saya terbahak-bahak saja karena si entah siapa ini bergaya seolah-olah mendapat restu Bupati; seolah-olah orang dekat; dan seolah-olah punya ilmu digjaya yang siap dikeluarkan melawan pendapat saya.

Siapa anak ini? Di mana dia waktu Salihi Mokodongan menghadapi ejekan dan hinaan selama proses pencalonan Bupati-Wakil Bupati (Wabup) Bolmong? Kemana pula pahlawan kesiangan kita ini ketika harga diri Salihi Mokodongan sedang dipertaruhkan di Mahkamah Konstitusi (MK)?

Banyak betul kutu kurap di Bolmong saat ini yang tiba-tiba merasa jagoan hanya bermodal klaim.

Pertanyaan yang sama melintas di kepala ketika mengetahui Radar Totabuan menurunkan tulisan Metamorfosis Katamsi ke Wujud ‘’Makin Lucu!’’ (1 dan 2), Senin (14 Mei 2012) dan Selasa (15 Mei 2012). Siapa orang-orang ini? Atas kepentingan apa mereka tiba-tiba menyembulkan kepala?

Saya tahu siapa-siapa di balik tulisan itu. Bertahun-tahun menggeluti huruf, kata dan kalimat, melatih saya dengan mudah mengenali tulisan orang per orang. Pilihan kata, bentuk kalimat (lengkap dengan kesalahan tanda-baca) dari tulisan tersebut membawa saya pada simpulan: A. R. Thomas hanya sebuah nama. Tulisannya sendiri adalah hasil rembuk dengan satu orang (yang saya tahu dan kenali persis) sebagai dirijennya.

Menjadi munafik dan pengecut mungkin menyenangkan –biasanya juga punya daya tahan dan adaptasi luar biasa. Tapi buat saya manusia-manusia seperti itu adalah jenis yang paling rendah: martabatnya seharga recehan. Apa susahnya berhadap-hadapan, toh risikonya hanya diejek?

Berani betul dia meremehkan jaringan perkauman yang bertahun-tahun saya bangun, khususnya dengan media. Tidak perlu teori konspirasi kalau saya ingin mengetahui lebih pasti. Cukup datang ke Radar Totabuan dan mendapatkan copy asli artikelnya (lupakan saja, misalnya, menanyakan siapa yang mengantar artikel itu atau dikirim dengan email apa, sebab itu melanggar etika). Jejak elektronik yang ada di artikel itu dengan mudah menunjuk di komputer mana dan kapan artikel itu ditulis.

Pandir dengan nafsu mengebu-gebu memang gemar menggali liang lahat sendiri. Saya pura-pura tidak tahu saja. Hanya: Jangan lupa, saya pengingat yang baik. Bertingkah tidak tahu bukan berarti melupakan.

Sekali Lagi: Langit Pendek

Bagaimana dengan isi tulisan yang mendadah saya habis-habisan itu? Satu kata: Payah! Lanjutannya: Sok canggih menggunakan kata, tapi malah norak (semakin terlatih dan pintar seorang penulis, semakin sederhana dan tepat pilihan katanya). Ingin mengejek dan memaki (bahkan menghina) tapi justru tampak memelas dan tak berdaya. Dan yang terpenting, gagal menggunakan diksi, stilistika, dan substansi tulisan saya untuk menyerang baik.

Saya malah heran Radar Totabuan meluluskan artikel yang tujuan satu-satunya hanya memaki-maki saya (dilakukan pula dengan cara pengecut). Substansi apa yang ingin disampaikan? Membela Bupati Bolmong dan istri, tapi implisit mengatakan mereka bodoh dan teramat tolol?

Semarah-marah saya pada Bupati Bolmong dan istrinya, tak ada satu kalimat pun di artikel saya yang menyebut mereka bodoh dan teramat tolol. Alih-alih ingin melakukan pembelaan, gerombolan di balik artikel atas nama A. R Thomas justru ‘’membelah’’ Bupati Bolmong dan istri, mengumumkan bahwa yang saya tulis ini sepenuhnya benar.

Masalahnya: Mengapa harus ditulis? Kalau ini jadi problem, apa urusannya? Bukan saya yang punya persoalan, melainkan orang per orang yang keberatan. Bila tidak ingin membaca, abaikan. Jangan melongok ke blog saya supaya nyanda tereng deng makang hati.(Bersambung)

Wednesday, May 9, 2012

Somasi? ‘’Inta…!’’

KURANG dari 24 jam setelah diunggah, tulisan Pasal ‘’P’’ DPR ‘’Biongo’’ yang juga dipublikasi dua media terbitan Kotamobagu, Radar Totabuan dan Media Totabuan, Kamis (3 Mei 2012), ditanggapi beberapa orang yang tahu persis pangkal isunya. Sejumlah tanggapan bahkan berisi info baru yang semestinya sangat menarik bagi kalangan media.

Salah seorang ‘’orang dalam’’ yang tahu persis latar dilaporkannya wartawan Radar Totabuan, Mawardi Mamonto, ke Polsek Urban Kotabunan oleh Ketua Badan Kehormatan (BK) DPR Bolaang Mongondow Timur (Boltim), James Tine, blak-blakan menceritakan kisah di balik layarnya. Sejatinya, kisah ‘’orang dalam’’ ini, Ketua BK DPR Boltim tidak bermasalah dengan berita yang ditulis Mawardi.

Bahkan ketika James Tine sudah melaporkan dugaan pencemaran nama baik lewat pemberitaan dan dia bertemu Mawardi, keduanya justru terlibat percakapan akrab dan lepas. Ketua BK baru menjelaskan ketika Mawardi yang sebelumnya diberitahu sesama wartawan bahwa dia dilaporkan ke kepolisian, mengkonfirmasi kebenaran informasi itu.

Penjelasan Ketua BK DPR Boltim (kurang lebih) bahwa dia senang institusinya dan anggota dewan yang terhormat dikritik. Perjalanan dinas, kunjungan kerja (Kunker), atau bimbingan teknis (Bimtek), silahkan diberitakan. Termasuk siapa yang kerap melakukan perjalanan dinas, siapa yang doyan Kunker dan Bimtek, pun yang rajin masuk kantor dan yang hobi bolos.

Bahwa sebagai Ketua BK yang tugasnya mengawal kehormatan anggota dewan, James Tine terpaksa melaporkan Mawardi ke kepolisian karena dia didesak sejumlah anggota DPR Boltim. Yang menjadi alasan tercemarnya kehormatan anggota DPR adalah bagian dimana Mawardi menulis telah diagunkannya Surat Keputusan (SK) pengangkatan sebagai anggota DPR ke bank.

Kalau benar demikian dasar perasaan tercemarnya kehormatan itu, ada dua cara pandang yang dapat digunakan: Pertama, SK tersebut adalah dokumen yang melekat pada seorang tokoh publik yang dipilih para konstituen lewat Pemilihan Umum (Pemilu). Dapat diartikan konstituen memang berhak tahu apa yang diperbuat wakil mereka, termasuk diperlakukan seperti apa dokumen negara yang menjadi dasar sah-nya seseorang sebagai anggota DPR.

Kedua, benar bahwa anggota DPR dipilih orang banyak, tetapi SK pengangkatan mereka adalah obyek pribadi dan karenanya konstituen tidak berhak tahu diapakan dan dikemanakan? Kalau cara pandang ini yang digunakan, lalu dari sisi publik apa dasar seseorang resmi dan berhak menyandang sabutan anggota DPR yang terhormat?

Saya sependapat cara pandang pertamalah yang lebih tepat. Dengan demikian anggota DPR yang sudah mengagunkan SK-nya tidak berhak merasa tercemar kehormatannya ketika media menyiarkan isu tersebut. Semestinya Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Boltim dan rakyatlah yang merasa kehormatannya cacat sebab belum mampu menyediakan anggaran yang pantas untuk DPR.

Perlu dipikirkan kartu kawan, kotak sumbangan, sponsorship dan donasi, serta komite khusus yang melibatkan semua pemangku kepentingan DPR di Boltim, supaya kecukupan anggaran dan kesejahteraan mereka dapat dimaksimalkan. Tidak elok rasanya menuntut DPR banting tulang mewakili masyarakat mengawasi dan mengontrol pemerintahan sementara mereka juga pening memikirkan isi kantong.

Bisik-Bisik Somasi

Hampir sepekan dipublikasi di media massa cetak, saya mengira isu dilaporkannya wartawan Radar Totabuan, Mawardi Mamonto, SH, telah surut dan ‘’diam-diam dibereskan’’ (sebagai langkah elegan menyelamatkan muka pihak-pihak terkait dan tersebut) di Polsek Urban Kotabunan. Eh, ternyata tidak, bahkan kini melebar dengan ‘’katanya’’ ada rencana yang sedang digodok untuk melayangkan somasi ke saya.

Saya menerima kabar rencana somasi itu pada Rabu sore (9 Mei 2012) dari salah seorang wartawan yang meminta tanggapan lewat BlackBerry Messenger (BBM. Reaksi pertama saya adalah geli dan menyakini rencana itu semata gosip mendinamisasi dinamika sosial dan politik di Boltim. Saya tidak percaya DPR Boltim sebagai institusi dan anggotanya  orang per orang sukarela terjerumus ke lobang yang sama: mengambil tindakan yang keliru dari semua aspek.

Namun rencana itu tampaknya bukan sekadar bise-bise dan spekulasi. Wartawan yang kemudian saya telepon itu bahkan menegaskan, ‘’Info terakhir akan ada rembuk apakah somasi itu dilakukan atau tidak.’’ Cross check yang saya lakukan terhadap beberapa orang di Boltim, meng-amin-kan bahwa apa yang disampaikan itu mengandung kebenaran.

Nah, dengan berprasangka baik, selain memberi pernyataan pada wartawan yang melaksakan kewajiban jurnalistiknya, mengingat keterbatasan ruang di sebuah berita, sebelum DPR Boltim atau anggota-anggotanya (sekali lagi) bertindak gegabah, saya ingin menjelaskan: Pertama, di bagian mana dari tulisan saya yang akan disomasi? Judul yang ‘’kejam’’, Pasal ‘’P’’ DPR ‘’Biongo’’-kah? Kalau ini yang dipermasalahkan, cermati dengan hati-hati sebab ada ratusan DPR kabupaten, provinsi, ditambah DPR RI, di negeri ini.

Kedua, bila yang disoal adalah penggunaan kata ‘’biongo’’, saya kutipkan lagi sebagaimana yang telah dipublikasi: Dengan memahami UU Pers dan fakta-fakta tentang Radar Totabuan dan pemberitaan yang jadi musabab perkara, menurut hemat saya tidak ada satu alasan pun yang masuk akal perihal laporan BK DPR Boltim ke Polsek Urban Kotabunan. Kecuali, DPR Boltim lewat BK-nya, ingin menunjukkan kualitas sejumlah anggotanya memang hanya dapat didefinisikan dengan satu kata: biongo!

Di alinea tersebut saya tidak menuding DPR Boltim, BK DPR Boltim, tetapi ‘’sejumlah anggotanya memang hanya dapat didefinisikan dengan satu kata: biongo!’’ Para ahli hukum tidak akan berdebat bahwa siapa pun yang mengajukan somasi terhadap tulisan saya, pasti bukan DPR atau BK DPR Boltim sebagai institusi; melainkan orang per orang anggota DPR Boltim yang merasa dituding ‘’biongo’’.

Sembari terus menyakini bahwa rencana somasi yang bakal dilayangkan itu sekadar rumor tidak bertanggungjawab, saya menunggu penuh penasaran, adakah anggota DPR Boltim yang bersedia unjuk jari mengakui dirinya ‘’biongo’’. Kalau pun ada, babak berikut pasti seru. Saya akan menolak mencabut tulisan yang jadi pangkal soal, apalagi minta maaf.

Himbauan saya, siapkan saja pikiran, tenaga, dan biaya, karena prosesnya mesti berlangsung di Jakarta (saya menulis dan mengunggah tulisan itu dari rumah di Jakarta Selatan). Siapkan pula ahli hukum, ahli di bidang komunikasi dan jurnalistik, ahli bahasa, bahkan kalau perlu ahli kutukan; karena setelah itu saya pasti balik menggugat pidana dan perdata.***