Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Thursday, November 28, 2013

‘’Bae Kita Anak Mami, Bukang HMI’’

LEWAT tengah malam, Kamis, 28 November 2013, saya masih bertekun dengan sejumlah dokumen ketika disambangi BBM dari seorang kawan di Kotamobagu. Yang tiba adalah tautan facebook seseorang bernama Samsul Bahri Gonibala (http://www.facebook.com/samsul.bahri.gonibala/notes#!/notes/samsul-bahri-gonibala/penjilat-berdasi-itu-bernama-katamsi/684584574899651).

Saya tidak punya account facebook dan tidak pernah berniat memiliki. Atas jasa baik kawan yang kerap bertukar canda itu, yang juga masih terjaga padahal hari sudah uzur menjelang fajar, saya lengkap mendapatkan curahan hati Samsul Bahri Gonibala. Isinya, di luar insinuasi saya adalah penjilat berdasi, tak beda dengan yang ditulis Ketua HMI Bolmong Raya, Eko Satrio Paputungan. Bikin tulisan saja harus saling contek? Cuma beginikah hasil pengkaderan yang dilakukan untuk aktivis-aktivis di Bolmong?

Belum reda ketercengangan saya, tautan tulisan Supriadi Dadu di Kompasiana.Com (http://m.kompasiana.com/post/read/614548/2/seharusnya-katamsi-menuliskan-gerombolan-itu-bernama-satpol-pp-part-1) masuk menyusul BBM sebelumnya. Setelah menyimak beberapa alinea, saya menghentikan membaca. Capek sungguh mengikuti kalimat-kalimat yang berkelindang tak karuan, bercerdas-cerdas padahal yang menulis barangkali turut pula pening bila kembali membaca apa yang dia tulis.

Sepengetahuan saya, kalau tak salah, selain aktivis HMI, Supriadi Dadu adalah wartawan di salah satu situs berita Sulut. Amatlah mengecewakan bila kualitas tulisan seorang wartawan (HMI pula) jauh kelas dibanding esai putra kedua saya yang baru berusia 12 tahun, yang salah satu tulisannya terpilih dibukukan di kumpulan tulisan-tulisan terbaik pelajar Primary School se  Australia.

Mengingat substansi yang disampaikan dua pengguna media sosial itu sejalan dengan Ketua HMI Bolmong Raya, apapun yang mereka tulis saya aminkan saja. Dicaci tanpa alasan jelas, terutama oleh orang-orang yang sakit hati ketahuan belangnya, telah lama saya mahfumi. Lagipula telah berulang kali diingatkan, orang-orang yang berpikiran pendek, yang langitnya hanya sepelemparan batu, mohon jangan membaca Kronik Mongondow? Blog ini hanya ditujukan pada mereka yang menyediakan diri berpikir tinggi dan terbuka. Yang otaknya cupet dan punya keberatan, tidak perlu lebih mempertontonkan kedunguan. Lapor ke pihak berwenang dan mari kita uji mana loyang, mana yang bukan.

Kalau pun saya menanggapi dua orang itu, yang tampaknya menganggap HMI adalah lembaga suci dan kader-kadernya luar biasa lurus dunia-akhirat, sebab ada bagian tulisan mereka yang terang-terangan membuktikan jahat, licik, dan manipulatifnya segelintir orang yang membanggakan diri sebagai aktivis organisasi mahasiswa, ber-label Islam pula. Padahal aktivis dengan kelakuan seperti ini pasti akan berakhir sebagai bajingan, sama dengan sederet kader HMI yang kini menghuni jeruji besi atau berstatus tersangka KPK karena menggarong duit negara.

Pembaca, setelah mengunggah Gerombolan Itu Bernama HMI Bolmong Raya, tiba-tiba sejumlah orang meng-add PIN BB saya. Saya tak pernah menolak dan memilih-milih tawaran perkawanan, karenanya seluruh ‘’orang baru’’ yang tidak saya kenal sebelumnya itu di-accept. Salah satunya Abdi Firmansyah Sutomo, SE. Walau demikian, mengikuti insting alamiah, saya mewaspadai kawan-kawan dadakan ini, apalagi kemudian percakapan yang dipertukarkan memancing-mancing dan menggiring saya ke isu-isunya tertentu.

Ai, bocah-bocah bau kencur, sepertiga rambut di kepala saya sudah memutih. Warna ini bukan hasil kreativitas salon. Saya sudah cukup berumur dan berjalan jauh untuk tahu pertemanan mana yang sincere dan mana yang disertai niat-niat tak baik. Maka umpan itu pun dilemparkan, yang dengan segera dilahap konspirator amatir itu, dipertukarkan di antara aktivis HMI Bolmong Raya, dimanipulasi oleh Samsul Bahri Gonibala dan Supriadi Dadu, lalu disebarkan di tulisan yang mereka unggah di facebook dan Kompasiana.Com.

Pikatan itu saya sodor di bual-bual BBM dengan Abdi Firmansyah Sutomo, SE, bahwa pada dasarnya saya juga HMI. Kalau ukuran menjadi HMI adalah mengikuti LK, saya tercatat sebagai pesertanya ketika HMI Manado bersekretariat di Gedung Serimpi. Bukan hanya itu, di beberapa angkatan LK I saya diminta turut memberikan training (khususnya tulis-menulis), yang satu ketika bahkan ‘’nyaris celaka’’ karena disodori materi NIK.

Sepotong-dua info itulah yang saya kisik ke Abdi Firmansyah Sutomo, SE, yang menyambar dengan tawaran, ‘’... kapan-kapan bisa kasih kajian tentang NIK....’’ Respons saya adalah, ‘’Kalau mau jangan kita, sekalian saja Nadia Madjid, Fami Fachrudin, atau Geisz Chalifah, supaya kelas berat punya.’’ Saya masih menyimpan percakapan BBM pribadi ini, yang disebar-sebarkan oleh Abdi Firmasyah Sutomo ke sesamanya, dan kemudian dipelintir Samsul Bahri Gonibala sebagai penolakan untuk bertemu dengan HMI Bolmong Raya. Pelintiran (dan kebohongan yang sama) juga dilaku Supriadi Dadu yang menuduh saya mengaku-ngaku sebagai kader HMI.

Mengetahui dua manipulasi itu, saya mengirim BBM ke Abdi Firmansyah Sutomo, SE, bahwa (sekali pun sudah mencium niat buruknya sejak awal) saya kecewa dengan cara jahat, licik, dan tak beretika yang dia lakukan. Mengapa percakapan antara dua orang yang sama-sama mewakili diri sendiri, bukan atas nama organisasi, tiba-tiba menjadi ‘’tantangan’’ HMI Bolmong Raya ke saya, yang tidak berani saya ladeni? Sepotong info bahwa pada dasarnya ‘’saya juga HMI’’ kok mendadak dituduh sebagai mengaku-aku?

Mari saya tanyakan pada tiga orang itu: Sejak kapan HMI secara resmi, atas nama organisasi, meminta saya hadir sekadar berbual-bual, saling ludah, atau duduk sebagai sesama manusia beradab yang memahami apa itu intelek dan barbar? Pula, kapan dan di mana saya secara terbuka mengaku-ngaku sebagai alumni HMI? Saya tidak pernah menyelesaikan pendidikan PT di Indonesia dan malu mengaku ‘’alumni’’; dan kini lebih malu lagi ‘’alumni HMI’’ melihat laku dan pola aktivisnya, khususnya di Bolmong Raya.

Yang berbahaya bagi negeri ini bukanlah orang-orang tidak berpendidikan atau mereka yang dengan sinis disebut oleh Samsul Bahri Gonibala sebagai ‘’hanya lulusan SMA’’, melainkan jahanam yang jahat sejak dalam pikiran. Terlebih pikiran itu dimuati ideologi dan kecakapan tertentu sebagai pembenar. Itukah yang kalian pelajari dari NDP di LK-LK yang dilakukan HMI masa kini?

Tidak salah kawan yang mengirim tautan tulisan Samsul Bahri Gonibala dan Supardi Dadu berkomentar, ‘’Bae kita anak Mami, bukang HMI.’’ Memang, untuk apa jadi kader HMI kalau substansi paling dasar, Islam, yang dibangga-banggakan organisasi ini hanya sekadar cap sebab kelakuan aktivis-aktivisnya justru jauh lebih buruk dari para pengusung atheism.

Begini saja, kumpulkan seluruh aktivis dan alumni HMI Bolmong Raya dan kita duduk buka-bukaan dan saling tunjung jago. Gatal betul saya menunjukkan pada Ketua HMI Bolmong Raya dan aktivis-aktivis yang dia pimpin, bahwa kini mereka sedang kuyup ludah ‘’ide harus sesuai dengan realitas’’. Apa ide Anda tentang kemaslahatan hidup orang banyak sesuai NDP dan panduan luhur HMI? Bagaimana realitasnya kini?

Tak perlu jauh-jauh, jejerkan mantan pengurus dan kader-kader HMI yang kini berserak di media massa di Sulut. Yang akan Anda-Anda lihat adalah tukang peras, kriminal, yang sudah lama mengencingi keluhuran-keluhuran yang pernah mereka pelajari dan khimati di organisasi ini. Menyebut nama mereka pun saya tidak jerih; apalagi cuma menempeleng bocah-bocah yang sedang gegar merasa penting dan pintar, memaki-maki tak karuan, semata karena ‘’apa daya pengetahuan tak memadai''.***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:
BB: BlackBerry; BBM: BlackBerry Messenger; Bolmong: Bolaang Mongondow; HMI: Himpunan Mahasiswa Islam; KPK: Komisi Pemberantasan Korupsi; LK: Latihan Kader; NDP: Nilai Dasar Perjuangan; NIK: Nilai Identitas Kader; PIN: Personal Identification Number; PT: Perguruan Tinggi; dan Sulut: Sulawesi Utara.

Wednesday, November 27, 2013

Kecup dan Lain-lain untuk HMI Bolmong Raya

JELANG siang, Rabu, 27 November 2013, beberapa BBM tiba di BB saya. Isinya seragam, tautan ke blog yang tampaknya dikelola Ketua HMI Bolmong Raya, Eko Satrio Paputungan (http://ekspap.blogspot.com/2013/11/yukur-moanto-kakanda-katamsi-tapi-ide.html). Tautan ini berisi tulisan yang menanggapi unggahan saya, Selasa, 26 November 2013, Gerombolan Itu Bernama HMI Bolmong Raya.

Saya sebenarnya tak berminat menanggapi yang mulia Ketua HMI itu. Apa yang dia tuliskan sekadar demam ‘’kekiri-kirian’’ (atau sebaliknya kekanan-kananan) yang umum diidap anak-anak muda yang kaget mencerna bacaan berat. Isinya tak jauh dari merontokkan selera makan siang dan meneguhkan kekuatiran saya terhadap kader-kader HMI masa kini: Gemar omong tanpa mikir, lebih percaya pada otot, tidak jelas logika dan struktur berpikirnya, serta (yang paling parah) merasa mereka adalah kelas elit tersendiri di tengah masyarakat. Preklah!

Bertahun-tahun lampau (saya bahkan sudah lupa kapan tepatnya, tetapi dapat ditelusuri dari kumpulan dokumen publikasi tentang HMI di media massa) saya pernah menulis di Harian Media Indonesia, bila HMI ingin survive, organisasi ini mesti mampu membebaskan diri dari beban sejarah dan model pengkaderan yang kaku. Ringkasnya, di zaman yang menjadi digital, HMI tidak cukup hanya intelek dan kritis, tetapi juga mampu menempatkan diri sebagai mercu suar pemandu yang memikat bagi generasinya.

Apa yang terjadi hari ini? Demo di Rudis Walikota dan tulisan Ketua HMI Bolmong Raya sebagai counter terhadap artikel saya menunjukkan HMI sudah tak intelek, tertinggal jauh pula dibanding zaman yang seharusnya diantisipasi satu organisasi dengan akar intelektual yang kuat. Di skala lebih luas, nasional, HMI kontemporer adalah organisasi yang gemar saling sikut dan kudeta. Dan puncaknya, Kongres untuk memilih Ketua Umum PB tak beda dengan pertemuan para hooligan: Riuh caci-maki, rebutan palu sidang, saling lempar kursi, hunus-menghunus pisau, serta bagi-bagi duit dari kandidat dan tim suksesnya untuk membeli suara cabang-cabang.

Tingkah dan pola itu yang dipertunjukkan di demo menggeruduk Rudis Walikota; juga tulisan Syukur Moanto’ Kakanda Katamsi, Tapi Ide Harus Sesuai Dengan Realitas dari Ketua HMI Bolmong Raya. Dengan berbaik hati dan memberi muka pada yang mulia Ketua (tak apalah sesekali saya melanggar tekad tak menanggapi hal tak penting), saya harus menjawab beberapa hal yang memang musti diluruskan dari pikiran-pikiran yang dia lontarkan.

Pertama, saya tidak pernah mengklaim sebagai ini-itu. Tidak juga Pemerhati Bolaang Mongondow yang entah Anda pungut dari tong sampah mana. Deklarasi status saya, bila menulis di media nasional, adalah ‘’Penggemar Buku’’; sedang di media lokal, saya dengan bangga menuliskan ‘’Orang Mongondow’’. Tidak lebih dan kurang. Jangan samakan saya dengan Anda yang mungkin tidak ‘’pe-de’’ kalau tak diembeli ‘’Ketua HMI Bolmong Raya’’.

Kedua, tuduhan saya tidak beretika, tidak tahu diri, dan tidak berkontribusi terhadap apa pun di Mongondow, jelas cuma ekspresi kemarahan orang yang tidak cukup cerdas mencari cara menyerang yang tepat. Di manakah ketidak-beretikaan itu? Tahukah pula Anda apa itu etika? Ketika segerombolan orang dengan pengeras suara menggeruduk halaman rumah orang lain, apakah kita menyebut itu etis dan beretika?

Di manakah pula ketidak-tahudirian saya? Saya hanya anggota masyarakat biasa, orang Mongondow dan warga KK, yang terkagum-kagum melihat sejumlah orang meng-klaim berhak mewakili masyarakat menuntut pemerintahnya? Tidak bolehkah orang yang terlongo-longo ini berkomentar, menilai, mencaci gerombolan tak terdidik yang berlaku sesukanya? Pula, siapa kalian? Memangnya HMI mendapat mandat dari warga mana saja lalu merasa menjadi wakil mereka? Mengaku-ngaku dan mengklaim-klaim itulah yang disebut tidak tahu diri.

Demikian pula, urusan apa seorang Ketua HMI Bolmong Raya menanyakan kontribusi saya terhadap Bolmong? Kalau saya tidak berkontribusi apapun, lalu Anda mau apa? Sekali lagi, saya cuma warga biasa, bukan seseorang seperti yang mulia Ketua HMI Bolmong Raya yang terseok-seok ingin diakui penting dan layak dapat perhatian. Anda yang inferior dan masih meyakin-yakinkan diri bahwa demo adalah salah satu cara berkontribusi terhadap pembangunan, kok orang lain yang diseret-seret.

Ketiga, rujukan saya terhadap penggerudukan Rudis Walikota oleh gerombolan HMI Bolmong Raya adalah media. Kalau info yang saya sitir itu keliru, maka proteslah media yang bersangkutan dan saya dengan sukarela meralat ketidak-akuratan yang dituliskan di blog ini. Masak kelas Ketua HMI (Bolmong Raya pula) tak mudeng perkara yang luar biasa sederhananya ini.

Keempat, lebih 50 persen warga KK yang memilih Walikota-Wawali di Pilwako Juni 2013 lalu tahu persis, mereka dapat menuntut janji-janji pasangan pemenang dengan segala cara. Tapi warga yang taat hukum, memahami aturan, mekanisme, dan sistem, pertama-tama harus membawa aspirasi dan tuntutan mereka ke DPR. Ini cara berdemokrasi yang konstitusional. Cara ekstra konstitusi, seperti demo, boleh dilakukan tetapi bila segala upaya konstitusional mampet dan masalah yang dikedepankan amat sangat penting bagi kelangsungan hidup khalayak.

Apa pentingnya tuntutan HMI Bolmong Raya agar Walikota KK menanda-tangani dokumen komitmen dengan organisasi ini? Andai Walikota mau menanda-tangani, setelah itu melemparkan ke got di depan Rudis, Anda dan HMI Bolmong Raya bisa apa? Menggugat? Menyumpahi Walikota? Atau mungkin mencari dukun sakti untuk menyantet Walikota?

Begini saja, demo itu kan cuma untuk cari perhatian. Dengan saya menuliskan, Anda dan organisasi Anda sudah dapat atensi. Tak perlulah minta pula dikecup pipi kiri-kanan, usapan di punggung, dan pujian hebat. Kalian sudah hebat-hebat; sekaligus tolol.

Ketua HMI Bolmong Raya, mari saya beritahu blak-blakkan: Anda dan organisasi Anda tidak penting dalam konteks ini. Cuma menimbulkan kebisingan (mungkin pula kemacetan) yang tidak perlu. Jadi sebaiknya balik ke sekretariat, belajar menulis yang baik dan benar, bikin kajian, lalu publikasikan. Ini cara modern di zaman digital yang lebih efektif, mengena, dan bermutu.

Kelima, HMI Bolmong Raya boleh menganggap kinerja DPR KK payah. Tapi mereka dipilih oleh warga kota ini serta hak dan kewajibannya dijamin UU. HMI Bolmong Raya juga boleh menyampaikan dan mengawal aspirasinya langsung ke Walikota-Wawali. Soalnya adalah seperti apa caranya? Anda menyebut berkoar-koar di jalan dan menggeruduk Rudis Walikota seperti orang kesurupan setan bugil sebagai cara sopan dan santun? Sekolah di manakah sebenarnya Anda?

Keenam, benarkah unjuk rasa HMI Bolmong Raya itu juga menyampaikan pemberitahuan (kalau benar ada pemberitahuan) ke pihak Polres Bolmong dengan men-disclosure akan pula menggeruduk Rudis Walikota? Saya yakin Anda adalah pembohong kelas wahid bila jawaban atas pertanyaan sederhana ini adalah ‘’ya’’.

Dan ketujuh, secara khusus saya ingin menjawab pertanyaan: ‘’... kok bisa ya, Walikota-Wawali KK yang dikritik Kakanda Katamsi Ginano yang kebakaran jenggot? Apakah Kakanda Katamsi diperintahkan Walikota?’’ Anda boleh mengecek rekam-jejak saya, apakah saya pernah menjadi tukang kritik pesanan. Kalau Anda menemukan fakta dan buktinya, saya akan hadir di sekretariat HMI Bolmong Raya untuk  meminta maaf pada organisasi ini, jajaran pengurus, dan anggotanya. Lagipula, demo yang dilakukan HMI Bolmong Raya tidaklah untuk mengkritik Walikota-Wawali, melainkan menanda-tangani komitmen.

Sebaliknya, saya justru ingin bertanya, benarkah demo Senin, 25 November 2013, itu adalah aspirasi HMI Bolmong Raya? Bagaimana kalau saya memiliki bukti bahwa itu demo pesanan belaka?

Harap dicatat pula, saya punya pertanyaan yang sama kritisnya: Mengapa HMI Bolmong Raya mendadak kalap mendemo Walikota-Wawali yang belum genap tiga bulan duduk di jabatannya? Mengapa organisasi ini mandul (atau ketakutan) mendemo perkara lain yang lebih substansial bagi kepentingan orang banyak, misalnya praktek jurnalistik Radar Bolmong yang sudah mencapai level perbuatan kriminal?

Ketua HMI Bolmong Raya, Anda dan organisasi yang Anda pimpin pilih-pilih isu dan sasaran, kan? Anda takut toh kalau yang disoal atau didemo adalah isu-isu tertentu yang tidak menguntungkan atau mengundang kontra banyak pihak? Di sinilah beda antara saya, Anda, dan organisasi yang Anda pimpin.***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:
BB: BlackBerry; BBM: BlackBerry Messenger; Bolmong: Bolaang Mongondow; DPR: Dewan Perwakilan Rakyat; HMI: Himpunan Mahasiswa Islam; KK: Kota Kotamobagu; PB: Pengurus Besar; Rudis: Rumah Dinas; UU: Undang-undang; dan Wawali: Wakil Walikota.

Badut di Komidi Putar ‘’Penyitaan’’ DB 25 D

DUA berita yang diunggah Lintasbmr.Com, Selasa, 26 November 2013, masing-masing Mobil Dinas DB 25 D Milik Pemkab Bolmong Masih ‘’Disita’’ Oknum Kontraktor (http://lintasbmr.com/mobil-dinas-db-25-d-milik-pemkab-bolmong-masih-disita-oknum-kontraktor/) dan KY Bantah ‘’Sita’’ DB 25 D (http://lintasbmr.com/ky-bantah-sita-db-25-d/), menambah daftar lelucon di lingkungan Pemkab Bolmong. Kian hari, sejak rezim Bupati Salihi Mokodongan-Wabup Yani Tuuk berkuasa, pemerintahan di kabupaten ini semakin mirip komidi putar yang dijalankan para badut.

Raibnya Mobdin DB 25 D yang sedianya dialokasikan untuk Kadis PU, sejatinya bukan isu baru.  Senin, 23 September 2013, saya sudah menulis DB 25 D, Sogok-menyogok, dan Licin-melicin, yang disusul beberapa pemberitaan media (cetak dan elektronik) yang turut menyoroti isunya. Setelah itu, hening panjang bagai tengah malam di jantung kuburan. Pemkab Bolmong berlaku seolah tak terjadi apa-apa, pihak kepolisian duduk manis menunggu ada laporan resmi, dan masyarakat yang merasa tak berkepentingan dengan cepat berpindah ke isu lain yang lebih hangat dan heboh.

Di tengah dunia yang bergerak cepat, Kabupaten Bolmong beringsut-ingsut bagai siput demam dan pilek. Dibanding KK dan tiga kabupaten hasil pemekarannya, daerah ini berada di urutan paling buncit dari segala aspek, termasuk sukses mencatat disclaimer dari BPK selama dua tahun berturut –yang hampir pasti akan dilengkapi hattrick di tahun anggaran 2013 ini. Pembangunan, pemerintahan dan birokrasi, serta praktek politik yang lebih baik, yang menyertai terpilihnya Bupati Salihi Mokodongan-Wabup Yani Tuuk pada 2011 lalu, telah lama raib dari harapan kebanyakan orang yang mencermati jalannya kepemimpinan publik di Bolmong.

Birokrasi di Bolmong bagai mesin berkarat yang beringsut karena bahan bakar masih tersedia. Pengendalinya adalah sekelompok domba bingung yang tak punya arah, karena pengembalanya bukan hanya tak paham ihwal ternak, tetapi juga sama sekali tak ingin menyentuh pengetahuan gembala-menggembalai.

Nyaris hanya sebagai keisengan dan olok-olok, di banyak kesempatan saya menanyakan pendapat beberapa kalangan soal kedisiplinan PNS yang dua tahun terakhir mencapai praktek terparah di Bolmong. Jawabannya aneka rupa dan lucu-lucu. Dari ‘’Bupati tidak tahu apa itu disiplin’’; ‘’Bupati cuma bisa marah-marah dan setelahnya lupa’’; hingga yang maha serius: ‘’Segala sesuatu di Bolmong bukan tergantung pada Bupati Salihi Mokodongan, tetapi pada Bupati Ad Interim, Ibu Hajjah.’’

Saya tahu bahwa Bupati Ad interim itu adalah lontaran main-main yang menggambarkan pengertian sebaliknya. Bahwa de jure Salihi Mokodongan memang dilantik sebagai Bupati Bolmong; tetapi de facto sejak dilantik dia diposisikan ‘’tidak berada di tempat’’ dan kekuasaannya ada di tangan Bupati Ad Interim. Pembaca, tidak perlu menduga-menduga, yang dimaksud Ad Interim itu bukanlah Wabup Yani Tuuk yang kekuasaannya juga sama diamputasi. Kita, warga Mongondow, toh sudah tahu sama tahu.

De facto tidak berkuasanya Bupati Salihi Mokodongan terlihat jelas dari isu ‘’penyitaan’’ Mobdin DB 25 D yang telah terkatung-katung sejak November 2013. Apa sulitnya seorang Bupati memanggil pejabat yang ‘’menggadaikan’’ Mobdin itu, Inspektorat, dan Kepala DPPKAD, lalu menginstruksikan penyelesaian masalahnya sesegera mungkin? Faktor apa yang menghalangi Bupati Bolmong menggunakan wewenangnya?

Isu ‘’penyitaan’’ itu tidaklah sepele. Sebab tidakkah sangat memalukan Pemkab Bolmong yang menggembar-ngemborkan pembangunan yang tertata laksana, yang bergegas membenahi diri agar lolos dari jerat disclaimer ketiga kalinya, membiarkan pelanggaran seperti itu terjadi di depan mata, padahal mereka tahu kejadiannya bakal jadi duri di audit BPK serta lembaga pengawas dan pemeriksa lainnya.

Di sisi lain saya tak dapat menyalahkan siapa pun oknum ‘’penyita’’ Mobdin DB 25 D. Saya berkeyakinan tindakan yang dia ambil punya alasan kuat, terlebih dengan tidak adanya reaksi dari jajaran Pemkab Bolmong. Tidak memerlukan kecerdasan orang kuliahan hingga kebanyakan warga Bolmong sampai pada simpulan: Bupati dan jajarannya telah menjadikan pengelolaan harkat hidup orang banyak di Bolmong sebagai main-mainan, seperti anak-anak TK menyusun-bongkar balok-balok Lego.

Setali-tiga uang, aparat berwenang, khususnya kepolisian dan kejaksaan, juga menganggap skandal ‘’penyitaan’’ itu belumlah menjadi wewenang mereka. Halo, kemana saja komitmen turut menegakkan hukum, memberantas korupsi, dan penyelewengan oleh kejaksaan dan polisi? Bukankah informasi yang beredar luas cukup jadi jalan masuk jaksa atau polisi menggerakkan penyelidikan dan penyidikan? Atau korupsi memang harus selalu diusut setelah ada laporan resmi dari entah siapa?

Wajar belaka bila ada warga masyarakat yang akhirnya mengkonklusi, isu ‘’penyitaan’’ DB 25 D sudah jadi ‘’obyek dagang’’ aparat berwenang dan oknum-oknum di jajaran Pemkab Bolmong. Apalagi, seperti yang ditulis Lintasbmr.Com, ada temuan baru di balik kembali mengedepannya isu ini, yaitu: Rekaman audio skenario kongkalingkong menutupi skandal ini agar tak jadi perhatian BPK dan pihak kepolisian setempat.

Tidak salahlah isu ‘’penyitaan’’Mobdin itu telah dijadikan komidi putar oleh Pemkab Bolmong. Siapa badutnya? Penyataan-pernyataan Kepala DPPKAD, Amri Arif, yang dikutip Lintasbmr.Com membuat saya terpingkal-pingkal membayangkan hidung merah, wajah berbalur bedak tebal, rambut jabrik ala Albert Einstein, pakaian bermotif polka dot, serta sepatu bermoncong menggelembung. Yang membuat pernyataan seorang Kepala DPPKAD atau badut yang bersiap-siap pentas di HUT cucu Bupati?

Setelah berbulan tak ketahuan juntrungannya, menanggapi isu ‘’penyitaan’’ DB 25 D, dengan enteng Amri Arif berkilah, ‘’ Soal itu saya tidak tahu pasti apakah digadai atau bagaimana, sebab masih sedang menelusuri bagaimana jalan ceritanya.’’ Kepala DPPKAD ini tampaknya memang domba linglung yang tersesat, karena pernyataannya secara langsung mengkonfirmasi Mobdin yang jadi pokok-soal memang sedang tak dalam penguasaan Pemkab Bolmong.

Lelucon ala badut itu disempurnakan dengan alasan, ‘’Kami memang sedang mengusut keberadaan mobil tersebut ada di mana. Namun kami juga masih menunggu surat dari pihak Inspektorat Bolmong terkait hal itu.’’ Kemana saja Anda berapa bulan terakhir ini, Pak Kepala DPPKAD? Apa saja yang dilakukan hingga urusan yang hingga detilnya khatam diketahui publik, yang jelas berada di bawah lingkup kewenangan Anda, sama sekali tak Anda ketahui? Lalu apa sebenarnya yang Anda tahu?

Kalau Bupati dan Wabup tak mengeluarkan instruksi menyelesaikan masalahnya, atau ada instruksi tetapi Anda mengabaikan; bagaimana bila kami meminta Bupati Ad Interim turun tangan? Pasti amat kocak. Satu badut saja sudah cukup mengguncang perut, apalagi seluruh pengocok perut dilibatkan sekaligus dan biarkan kami menikmati kegaduhan karnaval hingga tiga tahun ke depan.***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:
Bolmong: Bolaang Mongondow; BPK: Badan Pemeriksa Keuangan; DPPKAD: Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Asset Daerah; HUT: Hari Ulang Tahun; Kadis: Kepala Dinas; KK: Kota Kotamobagu; Mobdin: Mobil Dinas; Pemkab: Pemerintah Kabupaten; PNS: Pegawai Negeri Sipil; dan PU: Pekerjaan Umum.

Tuesday, November 26, 2013

Gerombolan Itu Bernama HMI Bolmong Raya

BBM yang disebar Senin, 25 November 2013, menggunakan beberapa frasa bombastis. Ditajuki ‘’Pernyataan Sikap oleh Ketua Umum HMI Lewat BB’’, bagian paling membetot perhatian adalah kalimat, ‘’... aksi kami dibubarkan oleh anjing-anjing penjaga pemerintah (Pol-PP) tanpa alasan yang mendasar.’’

Menegaskan keberatannya, pesan berantai atas nama Ketua Umum HMI Bolmong Raya itu menuliskan, ‘’Padahal aksi kami hanya aksi damai dalam rangka meminta komitmen pembangunan. Tapi kami diperlakukan secara represif. Diperlakukan seenaknya oleh pasukan-pasukan penjilat ini, malah salah satu dari kader HMI yang tangannya sudah cacat diseret oleh Pol-PP sampai tangannya patah lagi.’’

Demi menunjukkan keseriusan menyoal tindakan Satpol PP, BBM yang saya terima menyatakan pula, ‘’... kami juga telah melaporkan ke kepolisian atas tindakan represif ini serta akan melaporkannya ke Pengurus Besar HMI di Jakarta. Kami meminta dengan tegas kepada Walikota Kotamobagu agar meminta maaf  atas perbuatan yang telah dilakukan oleh Pol-PP dan mencopot Kepala Kesbangpol dan Kasat Pol-PP yang bertanggungjawab penuh atas tindakan represif ini.’’

Sebagai catatan, kesalahan-kesalahan penggunaan awalan di kalimat-kalimat yang saya kutip itu telah diperbaiki. Sungguh memalukan bila Ketua Umum HMI Bolmong Raya masih cemang-cemong dalam urusan berbahasa Indonesia yang baik dan benar, apalagi genit-genit bicara konsep besar membangun KK.

Tapi apa juntrungan hingga HMI Bolmong Raya menggelar demonstrasi? Setelah menyimak beberapa berita terkait, antaranya di situs Lintasbmr.Com (http://lintasbmr.com/hmi-berdemo-tantang-walikota-teken-pakta-integritas-terkait-visi-misi/ dan http://lintasbmr.com/aksi-hmi-di-rudis-walikota-diwarnai-insiden/), saya mendapat gambaran musabab beraksinya organisasi mahasiswa ini. Rupanya urusannya sepele: Mereka menuntut Walikota-Wawali menanda-tangani pakta integritas berkaitan dengan visi-misi pembangunan KK sesuai janji-janji selama Pilwako beberapa bulan lampau.

Bingung kerap diekspresikan dengan menggaruk-ngaruk kepala. Itulah yang saya lakukan setelah memahami duduk-soal demontrasi yang digerakkan HMI Bolmong Raya itu. Dari berbagai aspek, kepantasan, serta praktek-praktek umum berdemokrasi dan menyuarakan pendapat, unjuk rasa HMI Bolmong Raya itu tampaknya lebih cocok digelar oleh kelompok liar tak berpendidikan. Orang Mongondow menyebut himpunan orang seperti itu sebagai ‘’gorombolan’’. Mereka yang hanya pantas dilibas ketimbang diterima di tengah masyarakat.

Pertama, Walikota-Wawali KK dipilih oleh mayoritas warga kota ini (lebih 50 persen pemilih pada Pilwako lalu) secara demokratis. Berapa banyak anggota HMI Bolmong Raya di KK, dibanding jumlah pemilih itu? Siapa pula yang mengamatkan mereka menjadi wakil seluruh masyarakat untuk menuntut Walikota-Wawali menanda-tangani pakta integritas? Apa isi pakta tersebut dan siapa yang menyiapkan?

Apa pula organisasi HMI ini? Apa urusannya dengan kewajiban, hak, dan keinginan warga KK diperhadapkan dengan Walikota, Wawali, dan seluruh perangkat birokrasi Pemkot yang mereka bawahi?

Orang per orang di KK tentu punya aspirasi, pendapat, tuntutan, bahkan keberatan terhadap Walikota-Wawalinya; sebagaimana saya yang lebih sering tidak sependapat dengan elit politik dan birokrasi bahkan di seantero Mongondow. Tetapi mengklaim bahwa aspirasi pribadi per pribadi atau sekelompok orang, dengan legitimasi yang patut dipertanyakan, sebagai keinginan umum, adalah tindakan yang sungguh keblinger.

Kedua, hak demokrasi dan menyuarakan pendapat secara bebas juga harus dengan menghormati pihak lain. Satu-satunya institusi yang wajib dan berhak mengontrol (secara formal dan langsung) Walikota, Wawali, dan jajarannya adalah DPR KK. HMI yang semestinya berpendidikan, memahami sistem, aturan, dan aspek-aspek terkait lainnya, tahu persis menuntut (apapun itu, termasuk demo) ke DPR adalah jalan yang paling masuk akal. Itu pun mereka hanya dapat meminta DPR memastikan Walikota-Wawali menegakkan visi-misi yang telah dijanjikan, yang sebelumnya disampaikan secara formal di hadapan lembaga yang terhormat ini.

Ketiga, unjuk rasa adalah salah satu ekspresi berdemokrasi, tetapi cara ini juga diikat aturan-aturan tertentu, setidaknya pemberitahuan pada aparat berwenang. Adakah HMI Bolmong Raya menaati aturan-aturan itu sebelum menggelar aksinya? Mudah-mudahan informasi yang saya terima keliru, tetapi faktanya unjuk rasa yang mereka gerakkan itu tergolong liar dan masuk kategori gangguan terhadap ketertiban, keamanan, dan kenyamanan umum. Untuk para pengganggu ini, secara sosial di Mongondow, semestinya boleh dicambuk dengan rotan dan bambu penghalau anjing.

Keempat, sejalan dengan taat aturan, demontrasi seharusnya adalah ekspresi demokrasi dan hak penyuarakan pendapat setelah upaya yang lebih soft gagal dilakukan. Adakah sebelum berunjuk rasa HMI Bolmong Raya terlebih dahulu mengikhtiarkan cara lain itu, misalnya dengan mengirim surat resmi, bertatap muka dengan Walikota dan Wawali, lalu menyampaikan aspirasi dan tuntutannya?

Demonstrasi sekadar karena ingin dan terujung berteriak-teriak seolah-olah merekalah yang terpenting di tengah masyarakat, lebih sering mengundang antipati ketimbang simpati dan empati. Kalau cuma tunjung jago gaya berandalan, HMI cemen dan amatir belaka. Baru berhadapan dengan Satpol PP sudah terkaing-kaing, bagaimana bila dengan Brimob atau satuan anti huru-hara?

Dan Kelima, baiklah, sekali pun liar dan menjadi gangguan (utamanya) kenyamanan publik, demo ke DPR dan Kantor Pemkot KK kita anggap saja sebagai bentuk penyaluran aspirasi. Tapi bagaimana dengan gerudukan ke Rumah Jabatan Walikota? Rumah jabatan adalah fasilitas negara untuk pejabat publik yang dilekati dua aspek fundamental: ruang publik sekaligus ruang private. Di Mongondow, melangkahi halaman rumah seseorang dengan menimbulkan ketidak-nyamanan (apalagi onar) secara kultural cukup jadi alasan bagi penguasa kediaman itu melakukan pembelaaan diri hingga tingkat ekstrim. Jangankan sekadar mematahkan tangan, dari sisi sosial-budaya, menebas leher orang yang menerobos pun dapat diterima sebagai keniscayaan.

Lima argumen itu membuktikan, dari berbagai aspek aksi unjuk rasa HMI Bolmong Raya ke Walikota-Wawali KK sama sekali tidak memiliki dasar dan pijakan yang dapat diterima kewarasan umum. Bukan hanya itu, dengan secara terbuka menyebarkan insinuasi  ‘’anjing-anjing’’ pada Satpol PP KK, organisasi ini, para pengurusnya, dan penanggungjawab demo yang digelar justru harus diseret ke depan hukum karena penistaan.

Lucunya, gatal di kepala saya kian menjadi karena para pendemo itu, selain menuntut permintaan maaf dari Walikota serta pencopotan Kepala Kesbangpol dan Kasatpol PP, juga mengancam akan mengadu ke Ketua Umum PB HMI. Sebagai warga KK, walau punya keberatan dan protes sendiri terhadap Walikota dan jajarannya, kali ini saya turut terpancing ancaman HMI Bolmong.

Tuan-tuan HMI Bolmong Raya, jangan hanya melapor pada Ketua Umum PB. Bagaimana kalau sekalian urusannya dibawa ke Kahmi Pusat, Komnas HAM, Mabes Polri, dan institusi negara lainnya? Jangan lupa pula hadirkan Ketua Umum PB HMI di hadapan kami, warga KK, supaya kepalanya mudah ditoyor karena organisasi yang dia pimpin belakangan ini ternyata cuma melahirkan kader-kader tak berotak.

Mulut besar dengan otak kosong biasanya cuma untuk kerbau atau sapi potong.***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:
BB: BlackBerry; BBM: BlackBerry Messenger; Brimob: Brigade Mobil; Bolmong: Bolaang Mongondow; DPR: Dewan Perwakilan Rakyat; HAM: Hak Asasi Manusia; HMI: Himpunan Mahasiswa Islam; Kahmi: Korps Alumni HMI; Kasat: Kepala Satuan; Kesbangpol: Kesatuan Bangsa Politik dan Perlindungan Masyarakat; KK: Kota Kotamobagu; Komnas: Komisi Nasional; Mabes: Markas Besar; PB: Pengurus Besar; Pemkot: Pemerintah Kota; Pilwako: Pemilihan Walikota-Wawali; Pol-PP: Polisi Pamong Praja; Polri: Polisi Republik Indonesia; Satpol: Satuan Polisi; dan Wawali: Wakil Walikota.

Thursday, November 21, 2013

‘’Hid, Begitukah Cara Mengurus Koran dan Wartawannya?’’

GEDUNG tua di Jalan Babe Palar Manado, tepat berdampingan dengan kediaman mantan Walikota Manado 1966-1971, Almarhum Hi Rauf Mo’o, adalah monumen penanda kelahiran Grup MP, salah satu kelompok penerbitan yang kini menggurita di Indonesia Timur. Bangunan ini mulanya rumah tinggal berarsitektur Belanda dari era setelah kemerdekaan yang diubah jadi kantor, tak lama setelah JP men-take over Harian MP (yang mulanya koran spesialis kriminal).

Yang Terhormat Presdir Harian Radar Bolmong, M Tauhid Arief, karib dari zaman romantis idealisme berjurnalistik, saya yakin engkau tak melupakan bagaimana saya dan beberapa kawan bergabung sebagai rekrutan generasi pertama MP di bawah rezim JP. Hid (izinkan saya menggunakan sapaan yang selalu sarat persaudaraan dan pertemanan ini), seingat saya engkau adalah satu dari segelintir wartawan MP generasi pra JP yang menyambut kami bukan sebagai pesaing. Tidak menatap para ‘’anak bawang’’ Carep dengan pandangan pandang enteng. Sejak hari pertama hingga terakhir saya di MP, engkau selalu menjadi kawan profesional dan pribadi yang mengasyikkan.

Di masa itu tensi politik kantor antara ‘’wartawan lama’’, ‘’kiriman JP’’, ‘’impor dari sesama anak perusahaan’’, dan rekrutan baru, berkelindang mempolarisasi bukan hanya relasi antar personal; tetapi juga hingga bagaimana seluruh sistem bekerjasama supaya koran yang setiap pagi diterbitkan cukup bermutu, kau adalah bagian dari ‘’mereka’’ yang berdiri di jalur tengah. Engkau, yang mendapat sapaan kesayangan ‘’Si Gondrong’’ dari ‘’Panglima Redaksi’’, Asdar Muis RMS, yang diimpor dari Harian Fajar, diterima di semua kelompok yang bergesekan.

Kita (Asdar Muis RMS, engkau, dan saya –belakangan bertambah beberapa kawan lain seperti Burhanuddin Bella yang juga berasal dari Harian Fajar) dengan cepat menjadi sobat. Menjadikan kantor ‘’rumah’’, berbagi ruang di pondok kayu yang ditegakkan di halaman belakang, atau berebut mengakuisisi veltbed milik Asdar ketika mata tak kuat lagi menahan kantuk.

Sebagaimana saya banyak belajar dari Asdar dan Buhanuddin, dengan engkau pun saya memetik aneka tips, trik, dan kepraktisan-kepraktisan kreatif seorang wartawan tatkala dia turun lapangan. Harus diakui, di antara seluruh wartawan MP generasi sebelum JP, diam-diam (lengkap dengan keesentrikan rambut kriwil gondrong yang lebih banyak berantakan ketimbang tersisir) telah ternujum satu saat engkau akan menjadi ‘’seseorang’’, entah di MP atau lebih dari itu.

Di ingatan yang tetap segar, engkau adalah salah satu pewarta otodidak (betapa lucu saya bahkan tidak pernah tahu –juga tak peduli-- latar pendidikanmu, toh kau sudah membuktikan dari kualitas kerja dan profesionalisme) yang nyaris komplit. Engkau mampu meliput, menulis, dan mengedit berita dan feature politik hingga sekadar lengak-lengok artis. Pengecualiannya mungkin isu-isu ekonomi, yang bila bersentuhan dengan angka-angka, selalu cepat membuat kau bosan dan jengkel.

Lalu tiba waktu ‘’pemberontakan demi pemberontakan’’ meletus di MP masa lalu. Satu per satu orang pergi. Mula-mulanya generasi MP pra JP, para pewarta impor dari anak perusahaan JP yang lain, sejumlah wartawan kelahiran Sulut yang di-deploy dari JP, dan akhirnya generasi saya. Para pewarta yang tersisa dari masa itu adalah para survival, antara lain engkau dan Ais Kai (sepengetahuan saya dia kini tak lagi bekerja di Grup MP).

Kenangan saya terhadap kepergian dari MP, sekali pun pahit, telah bertahun-tahun dimaafkan dan disyukuri sebagai bagian dari stupidity journey. Sesuatu yang harus dilalui sebelum akhirnya kita terjaga dan tergelak. Setidaknya saya pernah dengan bangga menertawai diri, sebab percaya bahwa kerja setara profesor absah belaka dibayar dengan kompensasi jauh di bawah pendapatan seorang tenaga kasar harian. Bahwa banting tulang satu-dua hari, tiga-empat bulan, atau lima-enam tahun bakal terbayar dengan tegaknya media yang profesional, kredibel, independen, dan benar-benar dapat dibanggakan.

Saya masih tetap terbahak-bahak setiap kali mengenang tahun-tahun pancaroba di Jalan Babe Palar itu. Betapa naifnya terkagum-kagum pada Dahlan Iskan yang setiap kedatangannya disambut bagai ‘’nabi’’ pembawa kabar baik dan harapan. Atau di rapat-rapat internal dan pertemuan redaksi menyimak Imawan Mashuri menjanjikan ‘’satu saat nanti’’ wartawan MP akan sejahtera lahir-bathin. Koran yang dipelihara, dipupuk dengan kerja keras dan keringat seluruh jajarannya, akan menuai sukses untuk semua.

‘’Satu saat nanti’’ itu saya saksikan setidaknya tujuh atau delapan tahun belakangan. MP membesar dengan cepat, melahirkan anak-anak di banyak daerah, termasuk Malut dan Bolmong di mana engkau kemudian menjadi Presdir dan Dirutnya. Saya, juga kebanyakan eks MP dari generasi ke generasi menyaksikan ‘’mimpi yang jadi nyata’’ itu dengan kagum dan syukur. Terlebih kalian (jajaran eksekutif Grup MP), kawan-kawan yang umumnya saya kenal akrab, juga tampak makmur dan sejahtera. Wartawan Grup MP bukan lagi gerombolan kumuh, kurang tidur, kurang duit, tetapi tetap bangga dan sombong seperti zaman Jalan Babe Palar; melainkan tokoh-tokoh yang hadir sebagai elit sosial di wilayah yang dicakupnya.

Lalu fakta-fakta itu mendadak terbeber. Bermula dari kritik saya terhadap penggunaan kata yang amat keliru di Radar Bolmong, yang lalu menguak begitu banyak praktek tercela yang jelas-jelas mengencingi filosofi, etika, norma, standar, dan keluhuran praktek-praktek jurnalistik. Tidak itu saja, manajemen cash in yang diterapkan dengan brutal (khususnya) di redaksi Radar Bolmong, di mana engkau tercantum sebagai Presdir, bahkan dengan telanjang dapat dibuktikan sebagai ulah para psikopat tukang peras.

Hid, kemana kabar baik, harapan, dan mimpi yang disemai bertahun-tahun lampau hanyut di Grup MP, khususnya Radar Bolmong? Di kalangan elit seperti kalian mungkin tak jadi soal, tapi bagaimana dengan wartawan yang bongkok memikul kewajiban cash in; tanpa legalitas kekaryawannya yang dijamin hukum; dengan mekanisme kerja, SOP, aturan, dan kebijakan sesuka ‘’bos-bos’’ perusahaan dan redaksi? Kemana para pewarta yang diperlakukan lebih buruk dari kuli kontrak dan romusha ini mengadu, ketika mereka dianiaya dengan non aktif atau skorsing untuk waktu yang tidak ditentukan, semata karena mangkir rapat redaksi atau abai menunaikan penugasan? Atau alasan lain yang dicari-cari, dikreasi, demi mendepak yang tidak seide dan sejalan?

O, terhadap ‘’skorsing untuk waktu yang tidak ditentukan’’ yang Jumat (15 November 2013) dijatuhkan Radar Bolmong pada tiga wartawannya, menurut hemat saya, semestinya jadi anugerah tak ternilai. Bukankah mereka harus tetap menerima hak-haknya (salary dan benefit) hingga waktu yang tidak ditentukan pula? Hid, kepiawaianmu sebagai salah seorang wartawan kriminal terbaik di Sulut, pasti akan mengkonklusi simpulan yang sama. Tidakkah aturan dan UU-nya memang mengatur demikian?

Sesungguhnya saya tidak menuntut jawaban apapun. Apa yang ditulis ini cuma semacam gumaman, solulokui, sembari mengenang sepotong tahun yang penuh warna denganmu dan banyak kawan lain di MP masa lalu. Namun tetap ada yang mengganjal, yang setidaknya ingin saya bawa dan tanyakan. Saya membayangkan, entah itu di Ternate atau satu tempat di Sulut di waktu dekat ini, kita berdua duduk di hadapan kopi dan kudapan mengepul, bertukar cerita, lalu akhirnya saya menyampaikan pertanyaan, ‘’Begitukah cara mengurus koran dan wartawannya?’’

Mudah-mudahan saya punya cukup ketegaan menderas kalimat sederhana itu, Hid. Saya tahu, diperlukan berton-ton alasan hingga akhirnya kau akan mengangkat tangan dan mengakui: Di Radar Bolmong (mungkin pula MP dan seluruh anak-anaknya) kabar baik, harapan, dan mimpi-mimpi yang pernah sama kita dengar bertahun lampau hanya berlaku untuk segelintir orang. Bukankah kita sama tahu pula, sorga tidak untuk seluruh umat manusia, demikian juga dengan neraka?***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:
Carep: Calon Reporter; Dirut: Direktur Utama; JP: Jawa Pos; MP: Manado Post; Presdir: Presiden Direktur; dan UU: Undang-undang.

Wednesday, November 20, 2013

Ha ha ha, Manajemen ‘’Radar Bolmong’’ Memang ‘’Bobodukon’’ (2)

PASAL 2 hingga Pasal 8 UU No 40/1999 Tentang Pers secara gamblang menjelaskan apa itu institusi pers, kewajiban dan haknya, serta bagaimana wartawan bekerja dan mendapat perlindungan hukum selama menjalankan profesinya. Selain dilindungi UU ini, sebagai pekerja, para pewarta juga dipayungi UU No 13/2003 Tentang Ketenagakerjaan.

UU berisi 193 pasal itu relatif lengkap mengatur bagaimana kewajiban dan hak pemberi kerja, pekerja, dan pengawasan terhadap penegakannya oleh institusi negara. Tentu akan panjang, membosankan, dan jauh dari menggugah selera bila seluruh pasal yang mengatur kewajiban dan hak pekerja, khususnya terkait dengan skorsing tiga wartawannya oleh Radar Bolmong, mesti dibahas satu per satu. Toh pembaca atau siapa pun yang berkepentingan kini gampang mengunduh UU No 13/2003 dan mempelajari secermat-cermatnya.

Maka telaah yang dilakukan lebih bersifat umum namun substansial. Mula-mula adalah bagaimana hubungan antara pemberi kerja (Harian Radar Bolmong) dan pekerja (wartawannya), yang tentu mesti didasari dokumen yang mengikat secara hukum. Di perusahaan, institusi, atau lembaga yang menerapkan standar sebagaimana mestinya, dokumen-dokumen itu biasanya disebut sebagai employment documents atau yang lebih umum kita kenal sebagai perjanjian kerja, SK, dan sejenisnya.

Adakah ikatan antara Radar Bolmong dan wartawannya dituangkan dalam dokumen yang demikian? Semestinya ‘’ya’’, karena di dalamnya tercantum kewajiban dan hak kedua pihak, termasuk salary dan benefit yang diterima wartawan dari media tempatnya bekerja. Merujuk praktek umum di negeri ini, employment documents juga menyebutkan setiap pekerja harus mematuhi etika, norma, budaya, SOP, dan berbagai aturan yang ditetapkan (secara tertulis) oleh pemberi kerja.

Alangkah mengejutkan dan menggelikan tatkala mengetahui Radar Bolmong nyatanya tak beda dengan warung onde-onde. Jangankan SOP dan aturan-aturan kerja tertulis yang menjadi panduan internal karyawan dan wartawannya; umumnya awak media ini ternyata tak mengantongi sepotong pun SK atau kontrak kerja. Bagi sebagian karyawan dan wartawan yang namanya dicantumkan di boks manajemen dan redaksi, bukti status pekerjaannya hanya dirujuk dari sini dan (kalau pun ada) bukti penerimaan gaji.

Manajemen suka-suka hati ini menempatkan pekerja di Radar Bolmong dalam posisi ‘’datang tanpa kepala, pergi tanpa punggung’’. Masuk gampang, sekadar (bagi wartawannya) mampu merangkai kata dan kalimat, bersedia pontang-panting memburu sumber berita, dan menyetor cash in; keluar atau ditendang pun mudah. Maaf kawan-kawan jurnalis di Radar Bolmong dan Grup MP, nasib sapi perah tampaknya masih lebih baik dari sebagian besar Anda. Walau susunya setiap pagi direlakan untuk tuan pemilik, sapi perah masih dilengkapi sertifikat kepemilikan dan diasupi dengan konsumsi prima.

Ketiadaan ikatan hukum pemberi kerja-pekerja di Radar Bolmong membuat mereka yang duduk di posisi pengendali manajemen leluasa pula berbuat sesuka hati. Wartawan yang dianggap gagal mencapai target cash in dipinalti dengan non aktif atau ditiadakan statusnya. Alpa mengikuti rapat redaksi atau tak mematuhi instruksi, dijatuhi hukum skorsing tanpa batas waktu. Apa dasar yang digunakan, tanya pada pohon sirsak di tepi ruas jalan Sinindian-Matali, di mana koran ini berkantor, karena Pemred dan Wapemred pasti tak pernah membaca UU Tentang Ketenagakerjaan, bahwa sekadar SP pun ada masa berlakunya.

Sesuai UU No 13/2003, pekerja yang tidak mematuhi kewajiban, etika, norma, budaya, SOP, kerbijakan dan berbagai aturan yang ditetapkan pemberi kerja, boleh diskorsing atau di-PHK tetapi harus dengan dasar yang secara hukum dan administratif dapat dipertanggungjawabkan. Sebelum tindakan itu dilakukan, minimal pekerja mendapat SP yang diberikan sesuai tingkat kesalahan yang dilakukan.

Skorsing atau PHK memang boleh langsung dilakukan, tetapi pelanggaran yang dilakukan tergolong sangat berat, semisal terlibat tindak kriminal berat seperti pembunuhan, Narkoba, merusak asset atau merugikan pemberi kerja hingga mengganggu kelangsungan bisnisnya secara permanen. Pelanggaran ini harus dicantumkan dengan jelas dalam employment documents atau peraturan kerja yang disepekati bersama antara pemberi kerja dan pekerjanya. Di luar itu, menurut hemat saya, seperti kasus skorsing yang dialami tiga wartawan Radar Bolmong, mereka seolah diberi jalan tol menggungat pidana dan perdata yang bakal dengan mudah dimenangkan.

Ketiadaan employment documents, SOP, kebijakan dan aturan tertulis, serta perlakuan semena-mena yang dialami tiga wartawan Radar Bolmong itu bahkan sudah tergolong pelanggaran HAM. Surat skorsing yang ditanda-tangani Pemred dan Wapemred yang mereka terima juga menjadi bukti kriminalisasi terhadap pekerja oleh pemberi kerja, tanpa dasar hukum memadai.

Akan menjadi lelucon akhir tahun yang meriah bila tiga jurnalis yang kini berstatus TJ itu melaporkan nasibnya ke Komnas HAM serta menggugat pidana dan perdata nama-nama mentereng yang terkait dengan koran ini dan kelompok penerbitannya, seperti Dahlan Iskan, Imawan Mashuri, Suhendro Boroma, Tauhid Arief, Taufik Adam, serta PU, Pemred, dan Wapemred Radar Bolmong. Liputan media lokal dan nasional pasti gempita, apalagi Dahlan Iskan sedang mengadang-ngadang dan menjual diri sebagai calon Presiden RI 2014-2019.

Selain bakal membeber dan mendeder kelakuan bangsat manajemen Radar Bolmong dan Grup MP, gugatan tiga wartawan berstatus ‘‘’skorsing untuk waktu yang tidak ditentukan’’ itu berpotensi pula membangkrutkan media ini. Di tangan penasehat hukum dan litigator piawai, sungguh mudah membuktikan Radar Bolmong dan kelompok yang memayunginya sama sekali tidak pantas dihormati, apalagi dibiarkan terus-menerus mempraktekkan manajemen dan jurnalisme munafik seperti yang selama ini digiatkan.

Itu sebabnya, apalagi yang dapat kita konklusi dari institusi pemberitaan publik yang setiap hari berkoar tentang etika, norma, budaya luhur, kemanusian, kepatuhan terhadap hukum, HAM, anti korupsi, ketata-laksanaan, dan transparansi; sementara di saat bersamaan mereka menginjak nilai-nilai agung itu, kecuali sebutan jahanam? Kata ini tak jauh beda dengan biadab yang telah berulangkali saya tuliskan di blog ini, yang kian lengkap karena kebodohan dan ignorance jajaran manajemennya yang sudah mencapai batas (dalam bahasa Mongondow) bobodukon. Menghadapi para jahanam yang bobodukon, dengan segala keterbatasan dan risiko, saya lebih dari sukarela bersedia turut serta.***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:
Bolmong: Bolaang Mongondow; HAM: Hak Asasi Manusia; Komnas: Komisi Nasional; Narkoba: Narkotika dan Obat-obat Terlarang; Pemred: Pemimpin Redaksi; PHK: Pemutusan Hubungan Kerja; SK: Surat Keputusan; SMS: Short Message/Pesan Pendek; SOP: Standard Operation Procedure; SP: Surat Peringatan; TJ: Tidak Jelas; UU: Undang-undang; dan Wapemred: Wakil Pemimpin Redaksi.

Ha ha ha, Manajemen ‘’Radar Bolmong’’ Memang ‘’Bobodukon’’ (1)

LISTRIK byar-pet dan jaringan selular yang kerap datang dan pergi tak menghalangi cepatnya ruyakan kabar dari Kotamobagu. Jumat malam (15 November 2013), di tengah serapah koneksi internet yang selambat siput di seantero Manado, hampir serempak beberapa SMS dan BBM menjerit-jerit di telepon saya. Isinya pun seragam, ihwal nasib dan kepentingan beberapa ‘’pencari dan penyiar warta’’ yang tercatat sebagai awak redaksi Radar Bolmong.

SMS dan BBM itu umumnya menanyakan apakah saya sudah mengetahui ada tiga wartawan (bahkan di posisi senior) Radar Bolmong yang dijatuhi sanksi ‘’skorsing untuk waktu yang tidak ditentukan’’? Bahwa surat pemberitahuan skorsing yang mereka terima ditanda-tangani Pemred Budi Siswanto dan Wapemred Firman Toboleo.

Awalnya saya tidak bereaksi karena beberapa orang yang menginformasikan skorsing itu mengatakan, alasan dihukumnya tiga wartawan itu sebab mereka mengabaikan penugasan dan doyan mangkir dari rapat redaksi. Saya tidak gila urusan dan masih sayang dengan kewarasan sendiri hingga sudah pula menghentikan langganan Radar Bolmong sejak dua bulan terakhir, jadi buat apa repot-repot membuang waktu memikirkan sepak-terjang media ini, lebih khusus kebijakan redaksinya.

Di negara-negara di mana demokrasi dan pers bebas mendadak dinikmati seperti bah bendungan jebol, media yang tak waspada mudah jatuh sekadar produksi pamflet dan brosur iklan; serta jurnalis yang lepas kendali jadi semena-mena, pongah, dan tak tahu diri. Di Indonesia, situasinya kian kompleks sebab sejumlah kelompok media pun tak malu-malu memperjual-belikan berita seperti yang dipraktekkan Grup MP lewar kebijakan cash in. Media semacam ini juga memperlakukan jurnalis dan karyawanannya sebagai ‘’pencari kerja’’ yang tanpa reserve diminta berkhimat karena punya status pekerjaan. Mereka tidak dianggap dan diperlakukan sebagai asset intelektual penting, melainkan sekadar elemen mesin yang setiap saat boleh diganti atau dibuang.

Sumber berita dan pembaca Radar Bolmong boleh menghitung sendiri berapa banyak wartawan media ini yang terpental atau dipental dalam tiga bulan terakhir. Di media-media kredibel kehilangan satu-dua wartawan adalah pukulan, bahkan aib, apalagi bila mereka di level bukan lagi calon reporter dan dipinalti karena dinilai tidak kompeten atau membangkang. Ada yang sakit dari manajemen dan praktek keredaksian di media yang ditinggalkan pewartanya, terlebih jumlah yang pergi mencapai lebih dari setengah awak redaksi. Ajaibnya, kesadaran seperti itu tampaknya tidak berlaku di Radar Bolmong dan Grup MP umumnya.

Dengan pengetahuan yang kian luas terhadap praktek manajemen dan jurnalistik di Grup MP, bagi saya pribadi, Radar Bolmong memecat seluruh wartawannya, menghentikan penerbitan korannya, atau apa kek, terserah. Kalau pun saya masih menulis tentang media ini, sebab mereka adalah lembaga penyiaran publik yang sepak-terjangnya wajib dikritisi, dikritik, dan dikontrol setiap warga negara sebagaimananya hak umum yang dimilikinya.

Namun, saya agak terganggu dengan beberapa BBM yang berspekulasi para wartawan itu diskorsing sebab mereka pernah terlibat bincang-bincang dan bual-bual saat saya ada di Kotamobagu bertepatan dengan perayaan Idul Adha (Selasa, 15 Oktober 2013) lalu. Petang di satu hari sebelum Idul Adha saya memang berkunjung ke Kopi Jarod Sinindian, di mana kebetulan ada sejumlah wartawan (termasuk dari Radar Bolmong) yang tengah reriungan. Kami sempat berbincang-bincang, tidak lebih dari saling bertukar cerita dan lelucon.

Dengan kata lain mustahil ihwal-soal diskorsingnya tiga wartawan itu karena ada hubungannya dengan pertemuan tidak sengaja dengan saya. Lagipula di antara ketiganya hanya dua orang yang sepengetahuan saya ada di Kopi Jarod petang itu. Satu wartawan lagi bahkan sama sekali tidak pernah bertemu, apalagi berhubungan dengan saya, untuk jangka waktu yang sangat lama.

Rumor dan dugaan itu sangat tidak bertanggungjawab. Sebab bila demikian adanya, artinya Radar Bolmong telah mengkriminalisasi saya. Sebagai kriminil tanpa proses pengadilan dan tahu apa dosa yang diperbuat, kriminalisasi itu cukup jadi alasan saya menyambangi Kantor Radar Bolmong dan meludahi batok kepala jajaran manajemennya.

Di sisi lain, rumor itu dapat pula ditafsir sebagai bentuk ketakutan manajemen Radar Bolmong, lebih khusus para petinggi redaksinya, karena berhalusinasi saya memiliki kesaktian mempengaruhi jajaran wartawannya. Kok media yang mengklaim ‘’No. 1 di Bolmong Raya’’, yang juga berlindungan di bawah payung Grup MP yang menyakini kelompoknya sebagai ‘’Terbesar di Sulawesi Utara’’, minder dan kehilangan taji hanya karena gangguan seorang penulis blog?

Memangnya skorsing terhadap wartawan yang kebetulan sekadar berpapasan, ngobrol, atau berbual-bual dengan saya menghentikan olok-olok, sentilan, dan tempeleng di kuping manajemen Radar Bolmong dan Grup MP? Justru rumor dan duga-duga yang beredar itu memantik ide, saya perlu mengunjungi jajaran direksi koran ini (yang semuanya saya kenal baik dan pasti tidak berani menolak ketukan di pintu rumah mereka). Kita kita lihat nanti apakah Budi Siswanto dan Firman Toboleo berani menandatangani surat skorsing untuk Suhendro Boromo atau Urief Hassan.

Saya bahkan tiba-tiba berencana meluangkan waktu menunggu kemunculan Wapemred Firman di ruang-ruang publik. Saya akan menyambangi dia di tengah orang banyak untuk menyampaikan banyak hal berkaitan dengan kebobrokan manajemen, cara kerja, dan produk medianya. Saya betul-betul ingin tahu apakah Wapemred yang saya kenal cukup rendah hati ini bakal mempermalukan diri sendiri di depan khalayak, terutama pemangku kepentingan (cash in) Radar Bolmong? Pula, apakah setelah itu dia bakal diganjar dengan ‘’skorsing untuk waktu yang tidak ditentukan’’ atau tidak?

Akan halnya Budi Siswanto, saya masih punya urusan yang belum selesai. Pada waktunya nanti, ketika dia bahkan sama sekali telah mengabaikan, saya akan menangih hutang-piutang itu. Pemburu yang paling banyak membawa pulang buruan adalah yang memiliki kesabaran ekstra revolusioner. Saya cukup terlatih dan terbiasa untuk itu.

Mengingat  rumor dan duga-duga itu dianggap sekadar mengait-ngaitkan saya dan karena Radar Bolmong adalah lembaga penyiaran publik, kita fokuskan saja cermatan pada ‘’skorsing tanpa batas waktu yang ditentukan’’ itu, yang kini sudah jadi pengetahuan dan gunjing orang banyak. Pembaca, tampaknya jajaran manajemen Radar Bolmong datang dari jenis manusia yang benar-benar tumpul, tidak mau belajar, apalagi bercermin, dan gemar melanggar hukum. Surat skorsing untuk tiga wartawan yang ditanda-tangani Pemred dan Wapemred-nya, adalah contoh bagaimana mereka sekeras granit dalam soal mempertontonkan kebodohan.***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:
Bolmong: Bolaang Mongondow; BBM: BlackBerry Messenger; MP: Manado Post; Pemred: Pemimpin Redaksi; SMS: Short Message/Pesan Pendek; dan Wapemred: Wakil Pemimpin Redaksi.

Wednesday, November 13, 2013

Gagah-gagahan Bahasa Jurnalis ‘’Radar Bolmong’’

LEBIH mudah mengingatkan sekumpulan kambing agar tak berkeliaran dekat kolam, saluran air, atau rawa-rawa, ketimbang mengetuk-ngetuk batok kepala jajaran redaksi Harian Radar Bolmong. Kambing yang sensitif air, sekadar kuyup diguyur hujan biasanya bakal demam dan bisa-bisa berakhir jadi bangkai. Yang repot dan mengurut dada cuma pemiliknya seorang.

Beda dengan ketololan pewarta dalam soal keliru menggunakan kata seperti yang sudah jadi tabiat laten Radar Bolmong. Kebodohan yang mereka praktekkan selalu berdampak dua sisi. Pertama, mencoreng profesionalisme, kapabilitas, serta kredibilitas jurnalis dan medianya. Wartawan yang gagap kecakapan paling dasar, hal-ihwal berbahasa, lebih baik menukar keyboard komputer dengan cangkul. Salah mengayunkan cangkul, entah itu terkena kaki sendiri atau cuma membuat tanah kebun bergunduk tak karuang, bukan urusan orang banyak. Toh cangkul, batang tulang kering, dan tanah itu milik Anda sendiri.

Dan kedua, penggunaan kata yang entah dipetik seenaknya dari pohon cabe siapa, menyesatkan pembaca awam dan mendidihkan darah mereka yang cukup paham berbahasa (Indonesia) baik dan benar. Syukur-syukur wartawan biongo berbahasa coreng-moreng itu cuma jadi obyek lelucon dan ejek. Bagaimana kalau berakhir jadi kasus hukum karena bahasa, kalimat, atau kata yang digunakan secara implisit berarti sangat menghina?

Untuk kesekian kali Radar Bolmong edisi Selasa (12 November 2013) memajang kesalahan berbahasa fatal yang menunjukkan jajaran redaksi koran ini ingin tampak cerdas dan bermutu, dengan ekspresi yang dikarang-karang sesukanya, seolah para pembaca adalah kambing buta-tuli yang sedang kram sakit perut. Adalah berita bertajuk Kriminalisasi Murid, Dekab Panggil Dikpora di halaman 3 (Bolmut) yang kali ini jadi pokok-soal. Berita ini disertai foto dengan keterangan, ‘’KRIMINALISASI MURID: Guru tidak dibenarkan melakukan kekerasan fisik kepada murid.’’

Mari kita telisik mengapa ‘’kriminalisasi’’ yang digunakan pewarta (dan jajaran redaksi) Radar Bolmong itu sekeliru menyamakan lutut sebagai otak. Supaya rujukannya dapat sama-sama mudah diakses (saya malas menggunakan literatur cetak sebagai sumber, sebab pasti mereka yang berhimpun di media ini lebih suka membaca syair Togel), yang digunakan adalah sumber-sumber online. Nah, menurut situs Wikipedia (http://id.wikipedia.org/wiki/kriminalisasi), kriminalisasi berasal dari criminalization (bahasa Inggris), yang berarti, ‘’dalam ilmu kriminologi adalah sebuah proses saat terdapat sebuah perubahan perilaku individu-individu yang cenderung untuk menjadi pelaku kejahatan dan menjadi penjahat.’’

Wikipedia berbahasa Inggris (http://en.wikipedia.org/wiki/Criminalization) lebih lengkap mencantumkan, ‘’in criminology, is ‘the process by which behaviors and individuals are transformed into crime and criminals.’ Previously legal acts may be transformed into crimes by legislation or judicial decision. However, there is usually a formal presumption in the rules of statutory interpretation against the retrospective application of laws and only the use of express words by the legislature may rebut this presumption. The power of judges to make new law and retrospectively criminalise behaviour is also discouraged. In a less overt way, where laws have not been strictly enforced, the acts prohibited by those laws may also undergo de facto criminalisation through more effective or committed legal enforcement.’’ Bagi yang tak paham bahasa Inggris, karena blog ini ditujukan pada pembaca yang tidak malas, saran saya gunakan Google Translate (http://translate.google.co.id/?hl=id&tab=wT).

Secara lebih sederhana, situs http://www.thefreedictionary.com/criminalization mendefinisikan criminalization sebagai ‘’legislation that makes something illegal.’’ Contohnya adalah sepotong kalimat, ‘’The criminalization of marijuana’’, yang dapat kita artikan ‘’menjadikan (penggunaan) ganja sebagai tindak (pidana) kriminal.’’

Masih menurut Wikipedia (http://id.wikipedia.org/wiki/Kriminalisasi), ‘’Kriminalisasi mengalami neologisme, yaitu menjadi sebuah keadaan saat seseorang dapat dinyatakan sebagai pelaku kejahatan atau penjahat oleh karena hanya karena adanya sebuah pemaksaan interpretasi atas perundang-undangan melalui anggapan mengenai penafsiran terhadap perlakuan sebagai kriminalisasi formal dalam peraturan perundang-undangan. Sebagai contoh dalam perseteruan KPK dan polisi, kata kriminalisasi digunakan media untuk mendefinisikan upaya polisi menjerat pemimpin KPK.’’

Sejalan dengan pengertian dari sumber-sumber online itu, KBBI (Departemen Pendidikan Nasional dan Balai Pustaka, 2005) mengartikan kriminalisasi sebagai, ‘’Proses yang memperlihatkan perilaku yang semula tidak dianggap sebagai peristiwa pidana, tetapi kemudian digolongkan sebagai peristiwa pidana oleh masyarakat.’’ Maaf, pembaca, dengan terpaksa saya harus merujuk pada satu sumber berbentuk buku, sekali pun saya ragu apakah Radar Bolmong punya sekadar satu copy KBBI di ruang redaksinya.

Benderanglah sudah pengertian ‘’kriminalisasi’’ sebagaimana yang diketahui umum. Kita pun dapat menafsir judul berita dan keterangan foto Radar Bolmong dengan pemahaman yang sama, bahwa: Menurut koran ini, di Bolmut para guru telah mendudukkan siapa saja yang menjadi murid sebagai pelaku kriminal. Pendeknya, Anda jangan jadi murid, sebab dengan demikian Anda adalah kriminalis. Dan yang menjadikan Anda kriminalis adalah para pendidik Anda sendiri.

Melihat adegan guru sedang menghajar (maaf) bokong muridnya dengan sepotong benda di foto yang menyertai berita Kriminalisasi Murid, Dekab Panggil Dikpora, kita patut menduga kata yang dimaksud bukanlah ‘’kriminalisasi’’ melainkan ‘’kriminali’’ (melakukan tindak kriminal). Dengan begitu tajuk yang tepat adalah Kriminali Murid, Dekab Panggil Dikpora. Judul ini pun baru mendekati dua pertiga kebenaran, sebab yang semestinya adalah Guru Kriminali Murid, Dekab Panggil Dikpora.

Pelajaran penggunaan kriminil, kriminal, kriminali, dan kriminalisasi kita sudahi dengan menilai jurnalis, jajaran redaksi, dan sumber berita yang tulisan ngawur selangit itu sebagai para kriminil. Menurut hemat saya, gara-gara cuma dijadikan sapi perah cash in, tampaknya sudah menjadi takdir para pewarta Radar Bolmong lebih piawai menggunakan cangkul ketimbang pena dan komputer.

Sudah pula jadi nasib kebanyakan sumber berita yang mereka rujuk untuk tampak idiot dan menggelikan, karena pernyataan-pernyataan yang dikutip memang menunjukkan mereka bobodukon belaka. Tidak sebanding dengan kementerengan jebatan publik atau birokrasi yang disandang, yang di kasus berita Kriminalisasi Murid, Dekab Panggil Dikpora, sumbernya adalah yang terhormat oknum DPR Bolmut.

Tepat pula bila akhirnya membaca Radar Bolmong sekadar dianggap dan dijadikan penyaluran keinginan bermain-main, berolok-olok, atau menumpahkan serapah. Tidak ada manfaat lebih menyimak koran yang isinya mengkriminali pengetahuan pembacanya. Barangkali bahkan ikan atau kacang yang dibungkus koran semacam ini pun langsung busuk sebelum sempat ditanak, apalagi isi kepala kita. Wassalam.***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:
Bolmut: Bolaang Mongondow Utara; Dekab: Dewan Kabupaten; Dikpora: Dinas Pendidikan dan Olah Raga; DPR: Dewan Perwakilan Rakyat; KBBI: Kamus Besar Bahasa Indonesia; KPK: Komisi Pemberantasan Korupsi; dan Togel: Toto Gelap.