Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Sunday, December 31, 2017

Bikin Musuh Cara ‘’Jadi Kotamobagu’’

SANTAP siang saya bersama sejumlah kerabat dan karib, Jumat, 29 Desember 2017, berlanjut dengan percakapan ringan penuh lelucon. Salah satunya adalah fragmen-fragmen lucu (boleh juga disebut dungu) saat KPU KK melakukan verfak balon independen Pilwako 2018, Jainuddin Damopolii-Suharjo Makalalag.

Kata cerita, tersebutlah saat didatangi Tim Verfak, ada seorang ustadz di Kotabangon yang kendati tetap dengan santun, terang-terangan menyemburkan kekesalan sebab KTP dan tanda tangannya dicatut. Kisah tak jauh beda muncul di Motoboi Kecil dari seorang ibu yang ‘’kebetulan’’ bekerja sebagai tenaga kebersihan harian lepas di Pemkot KK. Mengetahui KTP-nya digunakan untuk dokumen dukungan bakal calon independen, dengan tanda tangan yang dipalsu, sang ibu kontan naik pitam: ‘’Babarani dorang heh! Ba tanda tangan yang bukan dorang pe tanda tangan.’’

Kami, majelis makan siang yang bersantap terlambat—jauh setelah sholat Jumat selesai—terkial-kial membayangkan dialog ‘’kaki menendang tengkuk’’ antara Tim Verfak KPU KK dan orang-orang yang KTP serta tanda tangannya dicatut dan dimanipulasi itu. Kontestasi politik praktis memang bukanlah lomba baca Al Qur’an yang haram tercemar muslihat; tetapi curang dengan cara yang malas dan bodoh jelas adalah komedi berimplikasi pidana.

Teruntuk dua warga KK (dan anggota masyarakat lain) yang identitasnya dicatut dan tanda tangannya dipalsukan, saya menyarankan: jangan takut dan segan mengambil langkah hukum. Pencatutan dan pemalsuan itu bukan sekadar tindak pidana (umum dan Pemilu), tetapi secara substansial adalah pelecehan terhadap salah satu hak hakiki Anda sebagai warga negara.

Perut kenyang, hati gembira. Usai saling sahut dan berbagi cerita, saya—bersama anak bungsu—bermobil bersama dua kawan sebab ada sedikit urusan yang mesti dibereskan di Kobo Besar. Karena kebetulan melewati Kantor KPU KK yang sedang menggelar pleno verfak; juga sebab—terus-terang—penasaran dengan ‘’iklan klaim’’ ada 1.000 pendukung balon Jainuddin-Suharjo yang bakal show of force dukungannya, saya meminta kawan yang menyetir agar mampir sejenak-dua di Kantor KPU.

Beberapa saat setiba di halaman Kantor KPU KK, pleno di-skorsing. Saya yang berada di halaman kemudian disambangi beberapa karib dan kenalan, juga ber-hai-hai dengan komisioner KPU dan anggota Panwaslu yang memang bukan sosok-sosok asing buat saya. Bahkan salah seorang komisioner, Amir Halatan, sempat bertukar cerita dan lelucon bersama saya; Kabag Ops Polres Bolmong, Kompol Effendy Tubagus; dan beberapa orang yang kebetulan berada di pelataran Kantor KPU KK.

Tak dinyana, Sabtu pagi, 30 Desember 2019, akun fb ‘’Jadi Kotamobagu’’ mengunggah foto di momen bincang-bincang di halaman Kantor KPU KK itu, lengkap dengan komentar sinis menyindir kehadiran beberapa orang, termasuk saya yang di-framing seolah-olah sungguh peduli terhadap balon independen (yang—lagi-lagi—diklaim) fenomenal, Jainuddin-Suharjo. Ketika unggahan—dan komentar-komentar yang mengikutinya—itu diperlihatkan, reaksi pertama saya adalah takjub terhadap kebodohan pengelolanya.

Bila ‘’Jadi Kotamobagu’’ adalah media kampanye mendukung Jainuddin-Suharjo (baik resmi dan disetujui pasangan ini maupun sekadar inisiatif para pendukung mereka), sejatinya dia adalah wahana untuk menarik sebanyak mungkin simpati dan pemihakan. Sinisme, sindiran, apalagi framing seolah-olah pujian yang sebenarnya mengandung makna mengecilkan, tak dapat persepsi lain kecuali provokasi permusuhan yang terang-terang, Tegasnya, buat saya, unggahan akun ‘’Jadi Kotamobagu’’ itu adalah pernyataan separasi terang-terangan: kami adalah kami, kalian adalah kalian yang di manapun dan kapanpun harus dipandang dengan kecurigaan politik derajat gawat.

Baiklah! Secara pribadi saya bersimpati dan berempati terhadap Jainuddin Damopolii. Hubungan kami sangat baik, hingga dalam dua tahun terakhir, setiap kali bersua, saya tidak sungkan (apalagi takut) secara terbuka menyatakan dukungan terhadap niatnya menjadi salah satu kontestan Walikota KK di Pilwako 2018. Tapi setelah ungahan akun ‘’Jadi Kotamobagu’’ (yang tampaknya memang adalah salah satu alat komunikasi resminya) itu, saya mesti menghaturkan maaf, bahwa: Sekalipun saya tetap mendukung pencalonannya sebagai Walikota KK; namun sejak hari ini dan seterusnya saya pasti akan memilih pasangan Tatong Bara-Nayodo Kurniawan.

Jainuddin mungkin adalah pribadi yang matang, santun, meng-orang tua, dan tahu persis bagaimana mesti bermasyarakat. Namun, dalam konteks Pilwako KK dan akun fb ‘’jadi Kotamobagu’’ sebagai salah satu alat politiknya, dia keliru memilih pendukung seiring. Saya—dan siapapun orang Mongondow di KK yang cukup waras politik—tidak mungkin duduk satu meja dengan para kodok berusia muda (atau tua sekalipun tetapi cuma punya otak datar), yang enteng dan tanpa hormat mengomentari sesiapa yang dianggap atau dicurigai tak berada dalam kelompok yang sama dengan sinisme ‘’simpit’’.

Manusia dengan otak dan laku kodok—membangun tempurung dan mendekam di dalamnya sembari berilusi inilah dunia sesungguhnya—mutlak mesti hormati karena menjadi cermin yang menjaga kewarasan dan keawasan orang-orang yang sadar dan tahu diri. Itu sebabnya, saya sama sekali tidak tersinggung di-framing sebagai ‘’pihak sebelah’’ yang hadir Kantor KPU KK saat pleno verfak ‘’sebagai mata-mata’’, ‘’simpit’’, serta macam-macam sinisme dan pengecilan lainnya. Apalagi berulang kali di blog ini saya telah men-disclosure, memangnya siapa saya? Saya hanya salah seorang dari ratusan ribu orang Mongondow yang lahir dan besar di Kotamobagu, yang sedapat mungkin punya perhatian dan keterlibatan terhadap kewajiban, hak, dan hajat publik.

Pilwako adalah kewajiban, hak, dan hajat umum. Siapapun yang terpilih sebagai Walikota-Wawali KK di Pilwako 2018 nanti, pasti bukan sosok paling ideal, apalagi setara malaikat. Karena Pilwako adalah konstestasi politik, pendukung para kandidat pun bakal tak bisa dicegah akan saling menjegal, menjatuhkan, merendahkan, bahkan menghina. Tapi yang seperti itu adalah ahlak para pengecut pandir dan nir kreativitas; bukan ahlak saya dan (barangkali) sedikit orang yang menyadari betul, di atas politik ada pikiran, cita-cita, dan praktek yang semestinya luhur.

Olehnya saya menolak bersentuhan, apalagi berhubungan dan kemudian diasosiasikan dengan sosok-sosok dan kelompok politik murahan. Memang tidak berarti selama ini, di tengah dinamika politik BMR, saya telah berasosiasi dengan tokoh-tokoh publik dan politik yang 100% lurus atau kelompok yang dijamin tak terbantahkan berperilaku etis dan cerdas; tetapi setidaknya saya tahu persis saya masih berada di lingkaran mereka yang tahu atau dapat diberitahu mana yang cukup dan yang melewati batas.

Dengan menghatur maaf yang sangat, saya berterima kasih pada akun ‘’Jadi Kotamobagu’’. Sinisme dan framing mengecilkan yang diunggah itu sesungguhnya telah menyelamatkan saya dari kekeliruan semata karena simpati, empati, dan belas kasih. Juga membebaskan saya untuk turut menggunakan hak ‘’orang simpit’’ demi terpilihnya Tatong Bara-Nayado Kurniawan sebagai Walikota-Wawali KK di Pilwako 2018.

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

Balon: Bakal Calon; BMR: Bolaang Mongondow Raya; fb: Facebook; Kabag Ops: Kepala Bagian Operasional; KK: Kota Kotamobagu; KPU: Komisi Pemilihan Umum; KTP: Kartu Tanda Penduduk; Pilwako: Pemilihan Walikota (dan Wakil Walikota); Verfak: Verifikasi Faktual; dan Wawali: Wakil Walikota.

Memverifikasi Syawat Berkuasa

In politics, nothing happens by accident. If it happens, you can bet it was planned that way (Dalam dunia politik, tidak ada yang terjadi secara kebetulan. Jika itu terjadi, Anda bisa bertaruh itu direncanakan seperti itu).

Franklin D. Roosevelt (1882-1945)

TERSEBAB tensi politik Pilwako 2018, kata ‘’verifikasi’’ mendadak mengarusutamai wacana di seantero KK dan bahkan BMR. Kata ini, yang dikandung akronim vermin dan verfak, memang laris manis bersama mendaftarnya bakal calon independen, pasangan Jainuddin Damopolii-Suharjo Makalalag, saat KPU KK membuka tahapan Pilwako.

Vermin? Verfak? Apa lagi ini? Tapi tak usah pura-pura heran. Indonesia adalah salah satu negeri produsen akronim paling kreatif di dunia. Termasuk mengakronimkan sesuatu yang sudah akronim. Tak beda dengan luka di atas luka. Misalnya, ABRI yang adalah ‘’Angkatan Bersenjata Republik Indonesia’’ diakronimkan lagi menjadi AMD dalam ‘’ABRI Masuk Desa’’.

Sesuai tahapan Pilwako, oleh KPU KK di-vermin-lah dokumen dukungan terhadap Jainuddin-Suharjo. Konon (demikianlah yang saya simak dari lalu-lalang bual-bual publik dan pemberitaan media; dan sebab KPU menyatakan dokumennya adalah ‘’rahasia’’) terdapat sekitar 10.000 pernyataan (pribadi dan kolektif) yang dilampiri KTP, yang sukarela dan sukaria mendukung pasangan bacalon ini.

Melihat UU dan turunannya, di tahapan vermin ini KPU (mudah-mudahan bahasa Indonesia yang mereka kuasai cukup memadai), benar-benar paham definisi dan arti ‘’verifikasi’’. Jikalau khilaf atau dengan sengaja mem-bloon-bloon-kan diri, saya ingatkan, KKBI menyatakan verifikasi adalah ‘’pemeriksaan tentang kebenaran laporan, pernyataan, perhitungan uang, dan sebagainya.’’ Ibaratnya, seorang WNI yang akan berkunjung ke Eropa memerlukan visa, dan karena itu dia harus memenuhi persyaratan administratif (minimal): Paspor, KTP, KK, Rekening Bank, dan undangan/dokumen yang menunjukkan kepentingannya mengunjungi negara yang dituju.

Dokumen pemenuhan syarat administratif itu mesti disampaikan ke Kedutaan/Konsulat negara yang bersangkutan. Salah satu dokumen tak terpenuhi, otomatis gugurlah sudah proses pengurusan visa yang dilakukan. Dokumen yang dinyatakan lengkap kemudian di-vermin apakah keterangannya bersesuaian, tanda tangan seragam, foto tak mencurigakan, dan sebagainya. Hasil vermin, ditindaklanjuti dengan verfak, yakni mengundang pemohon visa untuk diwawancara demi memastikan kebenaran permohonannya dan dokumen yang digunakan sebagai pendukung.

Merunut logika yang demikian (dan memang harus demikian!), langkah awal adalah KPU KK menerima dokumen dukungan calon independen Jainuddin-Seuharjo, yang terdiri dari formulir KWK (entahlah huruf ini adalah akronim atau sekadar penanda, sebab KPU tidak pernah secara lengkap menjelaskan apa ‘’KWK’’ ini, kecuali bahwa dia adalah serangkaian jenis formulir) dan KTP sebagai lampirannya. Lalu, dilakukan vermin, di mana KPU memeriksa apakah dokumen terkait ini benar adanya: termasuk benarkah manusia yang KTP dilampirkan adalah penduduk KK, masih hidup dan bermukim di KK, dan identitas serta pendukungnya (terutama tanda tangan) cocok satu dengan yang lain.

Berdasar ‘’pemeriksaan tentang kebenaran itu’’, sejatinya KPU KK sudah dapat memberi catatan dokumen mana yang secara administratif ‘’benar’’, ‘’meragukan’’, atau ‘’tidak benar’’. Sekalipun KPU berlindungan pada aturan internal bahwa dokumen dukungan calon independen bersifat rahasia, hasil vermin ini wajib diketahui publik. Minimal dimaklumatkan bahwa hasil vermin menemukan terdapat sekian suara yang ‘’MS’’ dan sekian yang ‘’TMS’’.

KPU KK telah melakukan kewajiban itu, walau yang saya simak di media cukup simpang siur. Yang jelas, pasangan ini memenuhi syarat untuk dilanjutkan ke tahapan verfak.  Secara pribadi, dengan memohon maaf, saya sebenarnya berpendapat hasil yang diumumkan KPU KK adalah omong kosong besar. Simpulan subyektif ini dikongklusi dari proses berpasangannya Jainuddin-Suharjo yang hanya kurang dari hitungan sepekan sebelum keduanya mendaftar sebagai kandidat independen.

Telah menjadi pengetahuan umum, bahwa sebelum Suharjo Makalalag, pasangan yang dipilih Jainuddin Damopolii adalah Nasrun Koto. Dengan adanya perubahan dalam waktu singkat terhadap bertumpuk-tumpuk formulir yang sudah disiapkan, maka hanya ada tiga kemungkinan: 1) Formulir yang ditanda-tangani  oleh para pendukung sebelumnya masih mengosongkan nama bakal calon Wawali; 2) Dalam waktu singkat tim yang mendukung pasangan Jainuddin-Suharjo bekerja amat sangat keras menemui seluruh pendukung untuk melakukan perubahan; dan 3) Dokumen yang disetorkan ke KPU KK patut diduga penuh manipulasi dan pemalsuan.

Wilayah KK tergolong kecil untuk ukuran sebuah kota. Apa yang sedang terjadi salah satu sudut KK di wilayah Barat, tak memerlukan waktu lama diketahui hingga kutu-kutunya di kawasan terujung di Timur. Ditambah lagi teknologi komunikasi saat ini, nyaris tak ada satu pergerakan politik (apalagi massif seperti pengumpulan KTP dan tanda tangan) yang bisa dilakukan dengan ‘’umum, bebas, dan rahasia’’.

Karenanya, yang terhormat para komisioner KPU KK, verfak—apapun panduan dan aturan yang digunakan KPU—, (sekali lagi) adalah ‘’memeriksa tentang kebenaran’’. Orang-orang yang dikunjungi KPU (melalui organnya di tingkatan kecamatan dan desa/kelurahan) bersama Panwaslu dan organ di bawahnya pula, memastikan ‘’secara nyata’’ wujud catatan ‘’benar’’, ‘’meragukan’’, atau ‘’tidak benar’’ hasil vermin yang dilakukan. Termasuk apakah formulir dan KTP yang dilampir diperoleh sebagaimana seharusnya atau hasil tipu-tipu belaka.

Verfak yang berlangsung 12-25 Desember 2017 terbukti menemukan banyak ‘’TMS’’ yang akhirnya pada Pleno KPU KK, Jumat, 29 Desember 2019, membuat jumlah dukungan minus 87.

Mengiringi pengungkapan temuan dalam Pleno KPU, selama verfak berlangsung, warga KK diriuhi keberatan karena KTP yang disalahgunakan (misalnya yang dikumpulkan dengan alasan bantuan ini-itu), tanda tangan yang dipalsukan, dan hal-hal sumir lainnya yang bersifat tindak pidana (umum dan Pemilu). Media (lagi-lagi) melaporkan, keberatan yang berhamburan itu bukan sekadar datang dari satu-dua orang, tetapi kelompok besar yang bahkan menyampaikan penarikan dukungan secara terbuka—sebab memang tak pernah menyatakan dukungannya.

Tentang tidak pidana ini, terutama jika itu penyalahgunaan KTP (identitas pribadi yang juga adalah dokumen negara) dan tanda tangan, tidak perlu puluhan orang atau ratusan—apalagi ribuan—orang yang keberatan. Cukup dua-tiga orang yang solid dengan keberatannya, maka ancaman hukuman pidana sudah mengintai serombongan orang. Termasuk KPU KK dan Panwaslu, apabila dua lembaga ini mengabaikan fakta-faktanya.

Lebih celaka lagi, keberatan dua-tiga orang tersebut, jika ditindaklanjuti dengan saksama, sangat mudah menggugurkan perlindungan ‘’dokumen kerahasian’’ yang menjadi alasan KPU KK menyimpan rapat-rapat daftar penyokong pasangan Jainuddin-Suharjo. Ilustrasinya adalah: Jika Anda memiliki rekening bank, wajib hukumnya bank melindungi rekening dan identitas pemiliknya. Tetapi ketika pemilik rekening terjerat tindak pidana yang berkaitan dengan rekeningnya, adalah wajib bagi bank membuka seluas-luasnya akses orang/lembaga/institusi yang berwenang terhadap rekening dimaksud.

Dengan tetap mengambil jarak dan menghormati semua pihak yang berada di pusat pusaran Pilwako KK 2018 (Jainuddin Damopolii adalah sosok yang sedapat mungkin saya sambangi setiap berada di KK; Suharjo Malalalag tak lain kawan lama yang masih terus berhubungan; dan seluruh Komisioner KPU serta Ketua dan anggota Panwaslu KK bukanlah orang-orang yang asing secara pribadi dengan saya), menurut hemat saya, drama politik bakal calon independen ini mesti segera dihentikan.

Jika benar ikhtiar bakal calon independen ambil bagian dalam Pilwako adalah demi kemaslahatan KK, maka semestinya dilakukan dengan penuh martabat, etis, dan jujur. Senyampang dengan itu, KPU dan Panwaslu KK juga wajib mendudukkan mereka yang mengajukan diri sebagai bakal calon pasangan independen di tempat terhormat dengan menunjukkan tanggung jawab dan kinerja profesional. Lain soal kalau bakal calon pasangan independen itu semata-mata mengejar syawat kekuasaan; dan KPU serta Panwaslu KK cuma operator hajat politik Pilwako yang bekerja dengan keuntungan pribadi atas nama negara dan orang banyak.

Sayangnya, sejauh ini, tendensi yang saya cermati lebih bertitik-berat pada pemenuhan syawat kekuasaan yang ditukangi para pengibul; dengan operator sekadar robot yang melalaikan kepentingan publik dan substansi demokrasi.***

Singkatan dan Istilah:

ABRI: Angkatan Bersenjata Republik Indonesia; AMD: ABRI Masuk Desa; Bacalon: Bakal Calon; BMR: Bolaang Mongondouw Raya; KK: Kota Kotamobagu/Kartu Keluarga; KPU: Komisi Pemilihan Umum; KTP: Kartu Tanda Penduduk; MS: Memenuhi Syarat; Panwaslu: Panitia Pengawas Pemilu; Pemilu: Pemilihan Umum; Pilwako: Pemilihan Walikota (dan Wakil Walikota); TMS: Tidak Memenuhi Syarat; Verfak: Verifikasi Faktual; Vermin: Verifikasi Administrasi; dan Wawali: Wakil Walikota.

Sunday, December 17, 2017

Pilwako KK 2018: Sekutu untuk Menang atau Kawan ‘’Lempar Handuk’’?

TAHAPAN Pilwako KK 2018 telah bergulir beberapa pekan terkahir, dimulai dengan pendaftaran calon independen Walikota-Wawali penghujung November 2017, dilanjutkan dengan verifikasi dan proses ikutannya.

Orang banyak tidak terkejut ketika Jainuddin Damopolii (yang masih menduduki jabatan Wawali 2013-2018) mengajukan diri sebagai bacalon Walikota 2018-2023 dari jalur independen. Kendati dia adalah Ketua DPD PAN KK, Jainuddin mesti realistis dengan kehendaknya menjadi pesaing Walikota saat ini—yang berasal dari partai yang sama dan bahkan menjabat sebagai Ketua Bappilu Nasional.

Mendaftar sebagai calon independen adalah tindakan realistis yang diambil Jainuddin. Yang kemudian mengagetkan adalah pasangan yang dia gandeng, Suharjo Makalalag. Apa dan bagaimana kalkulasi komprehensif pilihan terhadap Suharjo, tentu adalah strategi dan taktik yang tak perlu diumbar ke tengah umum. Sekalipun ada ‘’drama’’ sebab (konon) sejatinya keputusan itu diambil di detik-detik terakhir setelah mengeleminasi kandidat lain, Nasrun Koto, yang sebelumnya justru sudah matang dielus-elus.

Saya tak hendak mempertanyakan pilihan Jainuddin terhadap Suharjo (alasan utamanya: saya mutlak tak punya hak untuk itu). Paling-paling, sebagai penonton (walau lahir dan besar di KK, KTP saya saat ini beralamat di daerah lain), saya hanya boleh mengeleng-ngeleng dan bergumam, ‘’Ini pilihan untuk menang atau ‘lempar handuk’ dengan cara yang tampak elegan?’’

Politik, bagaimanapun, adalah arena yang kejam, apalagi di kompetisi perebutan jabatan elit semacam Walikota dan Wawali. Segala macam ihwal publik dan personal seorang bacalon, kemudian calon, akan digali habis-habisan dan disajikan ke depan umum. Sekadar sebagai ujian terhadap kompetensi dan integritasnya; sarana menyakinkan konstituen; hingga senjata untuk melemahkan yang dengan mudah dan empuk digunakan oleh para pesaing.

Suharjo Makalalag yang saya kenal (cukup dekat) adalah orang pintar yang baik. Tapi itu saja tidak cukup. Sejujurnya, kredibilitas publiknya tidaklah terlampau mengkilap sejak meledaknya kasus TPAPD Kabupaten Bolmong yang hingga kini sudah menyeret banyak nama ke LP. Sebagai ASN, UU baru dan turunannya juga tidak berhenti hanya sampai pada hukuman badan yang sudah dia jalani. Maka itu, lepas dari majunya dia sebagai bacalon Wawali KK 2018-2023, saya tidak akan terkejut bila dalam satu-dua pekan ke depan anak-pinak kasus TPAPD masih tetap menyerempet Suharjo.

Dengan memahami peta politik lokal, sejak lama saya meyakini, siapapun dan berapapun bacalon (dan calon) Walikota yang maju, Pilwako KK 2018 adalah kepiawaian strategi dan taktik memilih pendamping. Fakta politik saat ini menunjukkan: sudah ada satu bacalon Walikota dari jalur independen; satu bacalon dari Parpol, petahana Tatong Bara (yang sejauh ini sudah pasti mendapat mandat dari PAN, Hanura, dan PKB), serta kemungkinan bacalon Djelantik Mokodompit yang mengharapkan dukungan dari PG dan—tambahan—kemungkinan PD.

Jainuddin menggandeng Suharjo. Tatong Bara sudah pasti disandingkan dengan Nayodo Kurniawan. Akan halnya Djelantik Mokodompit, dari publikasi totabuan.co, Sabtu, 16 Desember 2017, Kader Golkar Masih Jagokan Djelantik di Pilkada Kotamobagu (http://totabuan.co/2017/12/kader-golkar-masih-jagokan-djelantik-di-pilkada-kotamobagu/), mempertimbangkan tiga nama: Nasrun Gilalom, Ishak Sugeha, dan Nasrun Koto.

Tiga pasang bacalon (lalu calon) Walikota-Wawali Pilwako KK 2018 adalah ideal, dengan catatan PG telah dengan saksama memperhitungkan potensi kemenangan kandidat yang mereka usung. Di antara empat kabupaten dan satu kota di BMR, saat ini tak ada satupun yang dipimpin oleh kader PG. Ini ironi yang menyakitkan, mengingat cukup lama partai ini berjaya di daerah ini, setidaknya saat belum dimekarkan—dan hingga terbentuknya KK.

Peluang terbaik PG di BMR di 2018 ada di KK dan Bolmut. Kita lihat—jika akhirnya direstui dan didukung partainya—apakah kandidat yang sekarang digadang untuk dua daerah ini, Djelantik Mokodompit dan Karel Bangko, berhasil menggandeng sekutu ideal yang mendukung kemenangan atau justru hanya mendapatkan kawan untuk gagal bersama?

PG, partai tua yang kenyang asam-garam politik Indonesia pada akhirnya tak akan gegabah: ketimbang kalah sendirian, adalah lebih baik menang sekalipun harus dibagi beramai-ramai.

Kembali ke Pilwako KK, tiga nama yang diopinikan (terutama oleh media)—Tatong Bara, Jainuddin Damopolii, dan Djelantik Mokodompit—boleh dikata punya keunggulan, kelemahan, keterkenalan, dan penerimaan yang hampir sama di tengah masyarakat KK. Lucunya, ketiganya juga terikat pada satu jejak yang sama: Tatong pernah menjadi Wawali dari Djelantik, sementara Jainuddin saat ini adalah Wawali dari Tatong.

Sekadar sebagai utak-atik, duga-duga, dan humor politik, Pilwako KK sebenarnya sudah selesai jika Tatong kembali dipasangkan dengan Jainuddin; atau bila ingin ‘’pertandingan’’ yang seru, dengan telah pastinya Tatong padu dengan Nayodo; selayaknya Djelantik (yang punya harapan tinggi tetap diusung PG, terlebih dia adalah Ketua DPD II KK) disanding dengan Jainuddin. Soalnya adalah: sungguh sulit menarik garis kompromi di antara para politikus keras kepala dengan tak ada satupun di antaranya bersedia mengalah.

Dengan majunya tiga elit itu sendiri-sendiri sebagai bacalon Walikota, diperhitungkan dengan pasangan yang mereka gandeng, sejujurnya secara subyektif saya menilai Tatong berada jauh di depan pesaing-pesaingnya. Di antara sangat banyak tokoh—terutama yang berusia muda—di KK, Nayodo punya catatan publik yang paling terpapar dan tertakar. Tiga kali menjadi anggota KPU, dengan dua kali sebagai ketua di KK, dia bukan hanya sukses turut mengawal semua proses politik formal di kota ini (setidak lebih 10 tahun terakhir), tetapi juga membawa lembaga yang dia pimpin diakui sebagai salah satu yang terbaik di negeri ini.

Pendeknya, tanpa perlu menderet satu per satu capaiannya (toh mudah di telisik di jagad Internet), KPU KK di bawah kepemimpinan Nayodo adalah lembaga yang punya integritas dan kredibilitas dua jempol. Sekalipun sistim dan mekanisme di KPU telah tertata ketat, buat saya, tetap saja hanya sosok yang kredibel dan berintegritas yang mampu mengimplementasikan menjadi praktek dan fakta solid.

Sebagai ‘’sekolah’’ memahami berbagai aspek manajemen birokrasi dan pengelolaan politik, KPU meluluskan Nayodo dengan suma cum laude. Dia meninggalkan KPU KK dan masuk politik praktis sebagai bacalon Wawali dengan predikat ‘’with highest honor’’.

Di lain pihak, secara sosial-kemasyarakatan, saya juga tidak menemukan ‘’sesuatu keberatan berarti’’ berkenaan dengan sosok pribadinya. Kendati bukan pribadi yang doyan tampil di mana saja dan kapan saja, secara relatif Nayado—yang saya tahu—diterima dengan baik di semua strata sosial-kemasyarakatan (dan budaya) di Bolmong, terlebih di KK.

Karena itu, di tahap Pilwako KK 2018 saat ini (per Desember 2017), tantangan bagi bacalon Walikota pesaing Tatong adalah: membuktikan bahwa bacalon Wawali yang mereka pilih minimal sama atau jauh lebih baik dari Nayodo. Menggandeng yang kualitas krebilitas dan integritasnya lebih rendah, sama artinya dengan membuat Pilwako KK 2018 sekadar ‘’pura-pura kompetisi’’ atau ‘’kompetisi pura-pura’’. Hanya membuang-buang energi orang banyak dan biaya dari uang pajak rakyat.***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

ASN: Aparatur Sipil Negara; Bacalon: Bakal Calon; Bappilu: Badan Pemenangan Pemilu; BMR: Bolaang Mongondow Raya; DPD: Dewan Pengurus Daerah; Hanura: Hati Nurani Rakyat; LP: Lembaga Pemasyarakatan; KK: Kota Kotamobagu; KPU: Komisi Pemilihan Umum; KTP: Kartu Tanda Penduduk; PAN: Partai Amanat Nasional; PD: Partai Demokrat; PDIP: Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan; PG: Partai Golkar; Pilwako: Pemilihan Walikota (dan Wakil Walikota); PKB: Partai Kebangkitan Bangsa; TPAPD: Tunjangan Pendapatan Aparatur Pemerintahan Desa; UU: Undang-undang; dan Wawali: Wakil Walikota.

Tuesday, December 5, 2017

Mobil yang Terhormat dan ‘’Golojo’’ yang Menjijikkan

HINGGA Selasa, 5 Desember 2017, Ketua DPRD Bolmong belum menandatangani APBD 2018. Padahal, pasal 312, ayat  (1), UU No. 23/2014 Tentang Pemerintahan Daerah mengamanatkan: ‘’Kepala daerah dan DPRD wajib menyetujui bersama rancangan Perda tentang APBD paling lambat 1 (satu) bulan sebelum dimulainya tahun anggaran setiap tahun.’’ Apabila dua pihak yang berkewajiban ini tidak mencapai persetujuan, ada sanksi yang otomatis dijatuhkan sebagaimana yang ditetapkan dalam ayat (2) dan (3).

Faktanya, merujuk unggahan totabuan.co, Jumat, 1 Desember 2017, Ada Apa, Ketua DPRD Bolmong Tidak Mau Tanda Tangan Dokumen APBD (http://totabuan.co/2017/12/ada-apa-ketua-dprd-bolmong-tidak-mau-tanda-tangan-dokumen-apbd/), melalui proses yang sebagaimana mestinya, DPRD sudah membahas RAPBD 2018 menjadi APBD. Hanya saja, hingga batas waktu yang ditetapkan UU, Ketua DPRD Bolmong menolak menandatangani dokumennya dengan alasan yang hanya dia seorang yang tahu.

Di lain pihak, dalam pemberitaannya, dengan mengutip seorang sumber, totabuan.co membeber penolakan Ketua DPRD Bolmong itu karena Bupati dan jajarannya enggan memenuhi permintaannya berkenaan dengan pengadaan mobnas baru untuk pimpinan dewan pada 2018. Urusan ‘’mobil yang terhormat’’ ini secara lebih tegas diungkap situs berita Kronik Totabuan, Jumat, 1 Desember 2017, Diduga Permintaan Mobnas Ditolak, Welty Tolak Teken APBD 2018 (https://kroniktotabuan.com/bolmong/diduga-permintaan-mobnas-ditolak-welty-tolak-teken-apbd-2018), bahkan dengan mengutip tiga anggota DPRD Bolmong, masing-masing Mohammad Syahrudin Mokoagow, Masri Masenge dan Yusra Alhabsyie.

Membaca lalu-lalang informasi Ketua DPRD Bolmong dan ‘’mobnas harapannya’’ di ruang publik (termasuk pula media sosial), mulanya saya berharap isu ini sekadar keriuhan bumbu dinamika politik biasa. Masak sih seorang pimpinan dewan mengorbankan kepentingan orang banyak (bukan hanya Bupati dan jajaran Pemkab atau DPRD Bolmong, tetapi seluruh masyarakat yang hajat-hidupnya pasti bakal terganggu) hanya karena rakus ingin mencicipi mobnas baru?

Akal sehat dan adab saya juga menolak percaya, kendati Kronik Totabuan telah pula menyiarkan konfirmasi dari Sekda Bolmong, Tahlis Galang, termasuk bahwa, ‘’Berdasarkan Renstra Setwan 2017-2022, kendaraan roda empat nanti akan dianggarkan pada 2019 kepada pimpina DPRD yang terpilih berdasarkan hasil Pemilu Legislatif Tahun 2019. Kalau tahun depan tidak ada.’’

Namun, publikasi totabuan.co, Sabtu, 2 Desember 2017, Ini Bantahan Bupati Bolmong Soal Pernyataan Ketua DPRD (http://totabuan.co/2017/12/ini-bantahan-bupati-bolmong-soal-pernyataan-ketua-dprd/), memapas tuntas karaguan saya. Mengutip pernyataan Bupati Yasti Soepredjo Mokoagow dari rilis resmi Sekretariat Daerah Bolmong, pemberitaan ini memapar fakta Ketua DPRD meminta mobnas—tanpa tedeng aling-aling diungkap jenisnya adalah Toyota Alphard—benar adanya. Kebenaran ini kian tegas sebab alih-alih melawan apa yang dikatakan Bupati, masih di totabuan.co, Minggu, 3 Desember 2017, Ketua DPRD Bolmong Beber Kinerja Komisi Satu (http://totabuan.co/2017/12/ketua-dprd-bolmong-beber-kinerja-komisi-satu/), Ketua DPRD Bolmong justru ‘’meracau’’ dengan mempersoalkan kinerja koleganya di Komisi I. Kalau alat kelengkapan dewan tidak bekerja benar dan baru dipersoalkan setelah RAPBD Bolmong 2018 selesai di paripurnakan, lalu selama ini Ketua DPRD ngapain saja? Cuma asyik tebar pesona dan nonton tayangan syur di telepon genggam?

Ya, apa boleh buat, jangan tersinggung jika saya menyimpul bahwa penolakan penandatanganan dokumen APBD Bolmong 2018 memang cuma perkara ‘’tai idong’’: urusan keinginan bergaya-gaya dengan Toyota Alphard. Benar-benar mental dan kelakuan hillbilly yang mangkage dan tak kuat menahan syawat golojo karena mendadak menduduki kursi empuk kekuasaan dan punya akses terhadap fasilitas—pula uang.

Tentang golojo, saya teringat pada nasihat orang-orang tua Mogondow, ‘’Na’-ai mo-tura-tura’ na’-kalakuang i bolai (Jangan berlaku rakus seperti monyet).’’ Binatang monyet ini, dalam khasanah fabel Mongondow, kerap digambarkan sangat pintar, sekaligus licik dan—dalam beberapa kasus—mewakili laku golojo derajat tinggi. Pada kenyataannya, ketika melihat monyet menggengam pisang di kedua tangannya, merangkum pula pisang dengan kedua kakinya, sembari mulut mengunyah dan pipi menyimpan pisang yang lain, seketika membawa kita pada konklusi: kalau binatang ini tidak sedang sangat lapar, maka dia mustahak super rakus. Padahal, barangkali demikianlah hukum dan sifat alamiah monyet dan adabnya.

Memantik pula ingatan di kepala peringatan para bijak bestari Mongondow dari zaman lama yang bilang, ‘’Aka bobutaan yo tatap bi’ bobutaan.’’ Kendati bukan ujaran kebencian atau provokasi, saya tidak akan menyertakan terjemahan bahasa Mongondow untuk kalimat ini. Biarlah hanya mereka yang benar-benar Mongondow yang mampu memahami dan menangkap esensinya. Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung.

Tersebab sedang membahas Ketua DPRD dan APBD Bolmong 2018, sebelum nasihat tentang bolai dan peringatan bobutaan dikonotasikan dengan sosok/individu tertentu, saya men-disclosure: sebagai orang Mongondow, tidak ada satupun larangan dan pengharaman sesuai hukum formal, apalagi adab, adat, budaya, dan tradisi Mongondow, yang boleh menghalangi saya menegok, mengingat, dan mentakzimi nasihat, kearifan, dan kebijaksanaan warisan leluhur saya.

Akan halnya Ketua DPRD dan mobnas impiannya, menurut hemat saya, karena perkaranya sekadar ‘’ecek-ecek’’ orang yang gegar dan gagap mendadak penting, sepatutnya seluruh orang Mongondow, khususnya warga Bolmong, menaruh belas kasih. Bukankah sungguh menyedihkan jika daerah yang katanya kaya (terutama SDA-nya) tak mampu sekadar menyediakan Toyota Alphard untuk orang sepenting Ketua DPRD? Terlebih, Bupati yang masa jabatannya baru dibilang hitungan bulan sudah wara-wiri dengan Toyota Alphard mengkilap (satu mobil setahu saya milik pribadi Yasti Seopredjo Mokoagow; satu lagi mobnas yang sudah dianggarkan dari zaman Bupati Salihi Mokodongan).

Masak sih dengan jumlah penduduk mencapai 233.189 jiwa sesuai statistik resmi 2015 (http://sulut.bps.go.id/new/backend2/pdf_publikasi/Provinsi-Sulawesi-Utara-Dalam-Angka-2016.pdf), masyarakat Bolmong tak mampu menyisihkan recehan, setidaknya koin yang dikais dari mana-mana di dalam setiap rumah penduduk, senilai Rp 2.500-3.000 per jiwa, dikumpulkan sebagai modal membeli Toyota Alphard untuk Ketua DPRD? Kalau sumbangan koin warga Bolmong belum cukup, demi harga diri seluruh Mongondow, saya yakin warga KK (119.427 jiwa), Bomut (76.331 jiwa), Bolsel (62.222 jiwa), dan Boltim (68.692 jiwa), dengan sukarela bersedia ambil bagian.

Anggap saja ‘’gerakan koin untuk Toyota Alphard Ketua DPRD Bolmong’’ ini adalah implementasi nilai luhur ‘’momosad’’, yang tentu sama sekali tidak dikenal—apalagi dimengerti—oleh politikus dan elit dengan mentalitas modondia dan lapar segala-galanya.

Saya pribadi berkomitmen menyumbangkan koin-koin Rp 1.000 di ‘’celengan babi’’ saya yang nilainya sudah mencapai ratusan ribu rupiah. Komitmen ini saya tetapkan dengan rasa malu yang melimpah sebab proses hajat hidup umum di Bolmong, APBD 2018, ternyata dihambat ketidaktahumaluan elit yang mestinya menjadi contoh puncak etika, norma, dan adab seorang pejabat publik.

Mari dengan takzim kita, segenap warga, bergerak mengkontribusikan sedikit rezeki, koin-koin yang biasanya terselip dan menggeletak begitu saja di hampir semua rumah di seantero Mongondow, untuk satu Toyota Alphard buat Ketua DPRD Bolmong. Mungkin, dari mengkilapnya Toyota Alphard hasil koin yang kita kumpulkan, dia bisa berkaca dan belajar ihwal tahu diri dan rasa malu.***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

APBD: Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah; Bolmong: Bolaang Mongondow; Bolmut: Bolaang Mongondow Utara; Bolsel: Bolaang Mongondow Selatan; Boltim: Bolaang Mongondow Timur; KK: Kota Kotamobagu; Mobnas: Mobil Dinas; Pemilu: Pemilihan Umum; Pemkab: Pemerintah Kabupaten; RAPBD: Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah; Renstra: Rencana Strategis; SDA: Sumber Daya Alam; Sekda: Sekretaris Daerah; Setwan: Sekretariat Dewan; dan UU: Undang-undang.