SANTAP
siang saya bersama sejumlah kerabat dan karib,
Jumat, 29 Desember 2017, berlanjut dengan percakapan ringan penuh lelucon.
Salah satunya adalah fragmen-fragmen lucu (boleh juga disebut dungu) saat KPU
KK melakukan verfak balon independen Pilwako 2018, Jainuddin Damopolii-Suharjo
Makalalag.
Kata cerita, tersebutlah saat didatangi Tim
Verfak, ada seorang ustadz di Kotabangon yang kendati tetap dengan santun,
terang-terangan menyemburkan kekesalan sebab KTP dan tanda tangannya dicatut.
Kisah tak jauh beda muncul di Motoboi Kecil dari seorang ibu yang ‘’kebetulan’’
bekerja sebagai tenaga kebersihan harian lepas di Pemkot KK. Mengetahui KTP-nya
digunakan untuk dokumen dukungan bakal calon independen, dengan tanda tangan
yang dipalsu, sang ibu kontan naik pitam: ‘’Babarani
dorang heh! Ba tanda tangan yang bukan dorang pe tanda tangan.’’
Kami, majelis makan siang yang bersantap
terlambat—jauh setelah sholat Jumat selesai—terkial-kial membayangkan dialog
‘’kaki menendang tengkuk’’ antara Tim Verfak KPU KK dan orang-orang yang KTP
serta tanda tangannya dicatut dan dimanipulasi itu. Kontestasi politik praktis
memang bukanlah lomba baca Al Qur’an yang haram tercemar muslihat; tetapi
curang dengan cara yang malas dan bodoh jelas adalah komedi berimplikasi
pidana.
Teruntuk dua warga KK (dan anggota
masyarakat lain) yang identitasnya dicatut dan tanda tangannya dipalsukan, saya
menyarankan: jangan takut dan segan mengambil langkah hukum. Pencatutan dan
pemalsuan itu bukan sekadar tindak pidana (umum dan Pemilu), tetapi secara
substansial adalah pelecehan terhadap salah satu hak hakiki Anda sebagai warga
negara.
Perut kenyang, hati gembira. Usai saling
sahut dan berbagi cerita, saya—bersama anak bungsu—bermobil bersama dua kawan
sebab ada sedikit urusan yang mesti dibereskan di Kobo Besar. Karena kebetulan
melewati Kantor KPU KK yang sedang menggelar pleno verfak; juga
sebab—terus-terang—penasaran dengan ‘’iklan klaim’’ ada 1.000 pendukung balon
Jainuddin-Suharjo yang bakal show of
force dukungannya, saya meminta kawan yang menyetir agar mampir sejenak-dua
di Kantor KPU.
Beberapa saat setiba di halaman Kantor KPU
KK, pleno di-skorsing. Saya yang
berada di halaman kemudian disambangi beberapa karib dan kenalan, juga
ber-hai-hai dengan komisioner KPU dan anggota Panwaslu yang memang bukan
sosok-sosok asing buat saya. Bahkan salah seorang komisioner, Amir Halatan,
sempat bertukar cerita dan lelucon bersama saya; Kabag Ops Polres Bolmong, Kompol
Effendy Tubagus; dan beberapa orang yang kebetulan berada di pelataran Kantor
KPU KK.
Tak dinyana, Sabtu pagi, 30 Desember 2019,
akun fb ‘’Jadi Kotamobagu’’ mengunggah foto di momen bincang-bincang di halaman
Kantor KPU KK itu, lengkap dengan komentar sinis menyindir kehadiran beberapa
orang, termasuk saya yang di-framing seolah-olah
sungguh peduli terhadap balon independen (yang—lagi-lagi—diklaim) fenomenal,
Jainuddin-Suharjo. Ketika unggahan—dan komentar-komentar yang mengikutinya—itu
diperlihatkan, reaksi pertama saya adalah takjub terhadap kebodohan
pengelolanya.
Bila ‘’Jadi Kotamobagu’’ adalah media
kampanye mendukung Jainuddin-Suharjo (baik resmi dan disetujui pasangan ini
maupun sekadar inisiatif para pendukung mereka), sejatinya dia adalah wahana untuk
menarik sebanyak mungkin simpati dan pemihakan. Sinisme, sindiran, apalagi framing seolah-olah pujian yang
sebenarnya mengandung makna mengecilkan, tak dapat persepsi lain kecuali
provokasi permusuhan yang terang-terang, Tegasnya, buat saya, unggahan akun
‘’Jadi Kotamobagu’’ itu adalah pernyataan separasi terang-terangan: kami adalah
kami, kalian adalah kalian yang di manapun dan kapanpun harus dipandang dengan
kecurigaan politik derajat gawat.
Baiklah! Secara pribadi saya bersimpati dan
berempati terhadap Jainuddin Damopolii. Hubungan kami sangat baik, hingga dalam
dua tahun terakhir, setiap kali bersua, saya tidak sungkan (apalagi takut)
secara terbuka menyatakan dukungan terhadap niatnya menjadi salah satu
kontestan Walikota KK di Pilwako 2018. Tapi setelah ungahan akun ‘’Jadi
Kotamobagu’’ (yang tampaknya memang adalah salah satu alat komunikasi resminya)
itu, saya mesti menghaturkan maaf, bahwa: Sekalipun saya tetap mendukung
pencalonannya sebagai Walikota KK; namun sejak hari ini dan seterusnya saya pasti
akan memilih pasangan Tatong Bara-Nayodo Kurniawan.
Jainuddin mungkin adalah pribadi yang
matang, santun, meng-orang tua, dan tahu persis bagaimana mesti bermasyarakat.
Namun, dalam konteks Pilwako KK dan akun fb ‘’jadi Kotamobagu’’ sebagai salah
satu alat politiknya, dia keliru memilih pendukung seiring. Saya—dan siapapun
orang Mongondow di KK yang cukup waras politik—tidak mungkin duduk satu meja
dengan para kodok berusia muda (atau tua sekalipun tetapi cuma punya otak
datar), yang enteng dan tanpa hormat mengomentari sesiapa yang dianggap atau
dicurigai tak berada dalam kelompok yang sama dengan sinisme ‘’simpit’’.
Manusia dengan otak dan laku
kodok—membangun tempurung dan mendekam di dalamnya sembari berilusi inilah
dunia sesungguhnya—mutlak mesti hormati karena menjadi cermin yang menjaga
kewarasan dan keawasan orang-orang yang sadar dan tahu diri. Itu sebabnya, saya
sama sekali tidak tersinggung di-framing
sebagai ‘’pihak sebelah’’ yang hadir Kantor KPU KK saat pleno verfak ‘’sebagai
mata-mata’’, ‘’simpit’’, serta macam-macam sinisme dan pengecilan lainnya. Apalagi
berulang kali di blog ini saya telah men-disclosure, memangnya siapa saya? Saya
hanya salah seorang dari ratusan ribu orang Mongondow yang lahir dan besar di
Kotamobagu, yang sedapat mungkin punya perhatian dan keterlibatan terhadap kewajiban,
hak, dan hajat publik.
Pilwako adalah kewajiban, hak, dan hajat
umum. Siapapun yang terpilih sebagai Walikota-Wawali KK di Pilwako 2018 nanti,
pasti bukan sosok paling ideal, apalagi setara malaikat. Karena Pilwako adalah
konstestasi politik, pendukung para kandidat pun bakal tak bisa dicegah akan
saling menjegal, menjatuhkan, merendahkan, bahkan menghina. Tapi yang seperti
itu adalah ahlak para pengecut pandir dan nir kreativitas; bukan ahlak saya dan
(barangkali) sedikit orang yang menyadari betul, di atas politik ada pikiran,
cita-cita, dan praktek yang semestinya luhur.
Olehnya saya menolak bersentuhan, apalagi
berhubungan dan kemudian diasosiasikan dengan sosok-sosok dan kelompok politik
murahan. Memang tidak berarti selama ini, di tengah dinamika politik BMR, saya telah
berasosiasi dengan tokoh-tokoh publik dan politik yang 100% lurus atau kelompok
yang dijamin tak terbantahkan berperilaku etis dan cerdas; tetapi setidaknya
saya tahu persis saya masih berada di lingkaran mereka yang tahu atau dapat
diberitahu mana yang cukup dan yang melewati batas.
Dengan menghatur maaf yang sangat, saya
berterima kasih pada akun ‘’Jadi Kotamobagu’’. Sinisme dan framing mengecilkan yang diunggah itu sesungguhnya telah
menyelamatkan saya dari kekeliruan semata karena simpati, empati, dan belas
kasih. Juga membebaskan saya untuk turut menggunakan hak ‘’orang simpit’’ demi
terpilihnya Tatong Bara-Nayado Kurniawan sebagai Walikota-Wawali KK di Pilwako
2018.
Singkatan
dan Istilah yang Digunakan:
Balon: Bakal Calon; BMR:
Bolaang Mongondow Raya; fb: Facebook;
Kabag Ops: Kepala Bagian Operasional;
KK: Kota Kotamobagu; KPU: Komisi Pemilihan Umum; KTP: Kartu Tanda Penduduk; Pilwako: Pemilihan Walikota (dan Wakil
Walikota); Verfak: Verifikasi
Faktual; dan Wawali: Wakil Walikota.